Nay tersentak, ia lalu mengambil tas yang berada di atas pangkuan.
BUUUUKHHH! Pukulan keras dari benda mahal miliknya, mendarat tepat di depan dada sang pengawal. "Jangan harap!! bagiku, ini hanya masalah kecil. Ke depannya, aku yakin semua akan berubah lebih baik," bantahnya cepat. "Hentikan mobilnya! bukankah kau bersikap terlalu jauh? kau pikir dengan berpisah bisa menyelesaikan semua masalah?" sentaknya kesal. "Kau benar Nona. Maaf karena sudah membuatmu kesal," balas Martin lebih sopan. "Aku mau turun! hentikan, jika tidak aku akan lompat!" ulang Nay. "Jangan Nona, nanti Pak Baskoro pasti memarahiku." "Kalau begitu kau yang turun! aku tak sudi berada di dekatmu." Kendaraan warna hitam seharga setengah Miliar itu menepi di bahu jalan. "Hati-hati di jalan Nona," pesan si pengawal. "Harusnya kau tak perlu mengadu kepada papa terkait hal ini. Sebab semua ini memang kesalahanmu!" bibir tipis itu memberi peringatan keras. "Tentu, sesuai keinginanmu." **** Tiba di apartemen Bougenville Residence, Nay memarkir kendaraan pada lantai paling dasar. Menatap wajahnya melalui pantulan center mirror di depannya, memastikan hanya raut kebahagiaan yang terpancar. Lanjut menaiki lift menuju lantai 15, malam itu cukup lengang. Memasuki kamar utama, dirinya lega sebab ternyata sang suami sudah sampai lebih dulu. Pria itu mengenakan kemeja warna abu muda, berbaring tengkurap seperti hilang kesadaran. Nay mendekat, bau alkohol begitu menyengat, membuat hidungnya menjadi tak nyaman. "Setidaknya ganti bajumu dulu sayang, ya ampun, baunya bikin pusing," keluh Nay sembari melepas deretan kancing satu persatu. Si pria menggeliat ke kanan dan kiri, mengikuti arahan dari istrinya. "Met malam, mimpi indah. Kita bicara lagi besok. Kau harus memberi penjelasan yang masuk akal untukku." Tak lupa memberi kecupan hangat di pipi, Nay kemudian ikut berbaring di samping tubuh sang suami. *** Keesokan harinya sang suami sudah menghilang dari sisi ketika Nay membuka mata. Segera bangkit, hendak melewati pintu, namun telepon genggam milik Sean terus berdering tanpa henti. Nay merogoh tas hitam milik Sean, "Panggilan ini pasti penting," gumamnya pelan. Belum berhasil menjangkau benda pipih itu, namun ujung jemarinya terasa menyentuh sesuatu. "Sebuah lipstik? di dalam tas suamiku?" pekiknya heran. Menaruh benda lonjong tanpa kardus pembungkus, benaknya tentu penasaran. Membuka penutup, terlihat permukaan nampak tumpul, menandakan benda itu tak lagi baru. "Warna merah tua, bukan seleraku banget. Bisa-bisanya nyempil di sini," imbuhnya. Pada saat bersamaan, Sean keluar dari tempat lembab pada sudut ruangan. Mengenakan sehelai handuk sebatas pinggang, netranya membelalak mendapati istrinya berdiri di sana menatap ke arah dirinya. "Ada apa Nay? kau sampai menggeledah tasku segala?" protes sang suami. "Astaga, kita kan suami istri, apa salahnya? lagian aku gak berminat sebenarnya. Tadi ponselmu terus berbunyi. Dan tak sengaja, malah menemukan ini," ucapnya sembari menunjukkan benda temuan di depan wajah Sean. Pria itu cekatan membuka tas hitam. Mengambil ponsel lalu memotret pewarna bibir dari tangan istrinya. Membuka aplikasi pesan, hanya berselang dua menit, seorang staf perempuan mengklaim barang itu sebagai miliknya. "Lihat! itu kepunyaan Lisa, kami memang rapat bersama pada hari kemarin. Apa kau puas?" cecar Sean sembari menghadapkan layar kepada Naysila. "Aku percaya padamu sayang, kau ini. Sensitif banget seperti perempuan," sahutnya santai. "Lalu kenapa masih berdiri di situ? kau tidak ke kantor memangnya?" "Bayar dulu hutangmu! jelaskan! mengapa kau tak hadir dalam acara penting tadi malam? aku menunggumu, semua orang menantikanmu. Kau tega sekali, mengabaikanku seperti itu." "Oh, aku lupa memberitahu. Tadinya aku mau pergi ke sana, tapi Rio ulang tahun, dan aku gak bisa menolak keinginannya." Pria itu lanjut berpakaian, tak ada penyesalan dari sorot matanya yang lebar. "Sean, tapi aku istrimu! aku sangat membutuhkan kehadiranmu, harusnya kau bisa memilah, apa aku tak berarti bagimu?" "Gak usah lebai deh! ada mama papa juga kan? lagian hanya acara potong pita. Kecuali jika produkmu bisa merambah pasar luar negeri. Baru aku merasa bangga," ujarnya santai. Nay mendengus kesal, ia kemudian berlalu. Si wanita memilih untuk menyegarkan dirinya, menenggelamkan tubuhnya pada bathtub berisi penuh air. Kesegaran yang dia dapat mampu meredam rasa kesal yang merebak dalam hati. Selesai bersiap Nay menuju ruang tengah untuk sarapan bersama sang suami. "Sibuk banget, ada klien penting memang?" tegur Nay, mendapati Sean menyantap roti lapis, namun tetap melihat ke arah layar ponsel di satu tangan. "Hm, hari ini aku ada acara reuni bersama teman. Kemungkinan sampai malam, kau tak usah menungguku. "Mendadak? aku ikut," celetuk Nay. "Gak bisa sayang, semua datang sendirian. Tak ada yang membawa pasangan," sela Sean. "Ah, kenapa sih? aku janji gak akan banyak bicara. Bosen tauk, kerja, di rumah, kerja lagi. Yah sayang, aku ikut," rengek sang istri. Memeluk Sean dari belakang. Hal itu ia lakukan demi memperoleh informasi yang terdapat pada layar pipih milik si pria. "Gak bisa Nay, lain kali saja. Okey?" bujuk si pria masih menolak keinginan istrinya. "Menyebalkan! kapan kau punya waktu untukku? jika aku yang minta, kau pakai mikir berjam-jam. Tapi saat temanmu yang mengajak, kau setuju dengan mudah," gerutunya. "Semua temanku hadir, apa aku harus bilang, jika istriku yang kaya raya melarangku pergi bersama mereka?" Sean memberi sindiran keras, hal itu merupakan kelemahan Naysila. "Siapa yang ngelarang? okey, lakukan saja, sesuai keinginanmu! aku tak akan peduli. Kesal, si wanita hanya menyesap teh panas, kemudian melenggang pergi. Meninggalkan sang suami yang belum menghabiskan sarapan pagi ini. *** Seperti rencana awal, pria yang menjabat sebagai Direktur Pemasaran itu mengendara menuju sebuah restoran mewah. Di sana, kawan yang terdiri dari lelaki dan perempuan sudah berkumpul lebih dulu. Begitu Sean sampai, keadaan menjadi heboh seketika. "Ini dia, pria tampan yang hidupnya dipenuhi keberuntungan. Tampilannya sudah seperti seorang eksekutif muda. Setelan jas mahal, juga kendaraan mewah, ditambah seorang istri cantik dan terkenal," puji Anton. "Iya dong, dulu kalian suka ngeremehin aku, kan? lihat sekarang! di antara kalian semua, tak ada yang mampu menandingi kekayaanku," balasnya. "Percaya, eh istrimu yang cantik itu, gak ikut Se? padahal kami sangat penasaran, harusnya kau bawa dia." "Dia itu sibuk, mungkin lain kali," sahut Sean. "Ah paling alasanmu saja. Sengaja kan? biar gak ketahuan kenakalanmu yang belum hilang itu?" Mereka begitu asik, membicarakan banyak hal diiringi gelak tawa. Duduk melingkar menghadap meja panjang, suasana akrab terjalin begitu hangat. "Se, ternyata memang benar, uang bisa mengubah segalanya. Kau jauh lebih tampan sekarang," bisik Widya yang kebetulan duduk di sebelahnya. "Tentu saja, kenapa? apa kau butuh sesuatu saat ini?" tanya Sean diikuti tatapan nakal, meneliti tampilan wanita single itu. "Aku tinggal tak jauh dari sini, setelah acara selesai, mari mampir sebentar?" ajaknya seolah memancing sesuatu yang lain."Kenapa? kau butuh uang, atau sekedar sentuhan?" cecar si pria. "Dua-duanya dong, apa kau bisa memberikan padaku?" "Tergantung, jika bisa membuatku puas. Maka seperti yang kau kenal. Aku bukanlah orang pelit. "Okey, akan ku usahakan." Keduanya melempar senyum penuh makna. Tak dipungkiri, perempuan itu memiliki body lebih padat dibanding istrinya. Bentuk dada yang cukup besar membuat kedua mata si pria enggan berpaling Sedangkan Widya menyadari kelakuan Sean, sengaja menyingkap helaian rambut panjang, lanjut mengikat menjadi satu. Hal itu bertujuan, agar pria tampan di sebelahnya dapat menikmati dirinya dengan leluasa. Acara sudah berlangsung kurang lebih tiga puluh menit. Tetiba semua mata tertuju pada satu arah, yakni pintu kaca area restoran. "Wow, bagaikan bidadari turun dari kahyangan," ucap Rio. "Sean, istrimu sangat mempesona. Kau pasti bersemangat setiap malam. Aku sungguh iri padamu," timpal Anton. Kedua pria sampai tak berkedip selama beberapa detik.
"Maksudmu apa? aku tak ada niatan begitu. Jika itu menyinggung perasaanmu, aku sungguh minta maaf sayang." Perempuan itu berniat menangkup wajah sang suami, namun Sean menepis kasar sentuhan tangan dari si wanita. "Itulah alasan mengapa aku tak mengajakmu. Mereka menjadi tak menghargaiku lagi. Bagi mereka, kau jauh lebih menarik. Sedangkan aku, tidak ada apa-apanya," gerutu Sean menambahkan. "Astaga sayang, itu gak bener. Kau itu tampan dan hebat. Aku bahkan sangat tergila-gila padamu," bujuk Nay. "Sudahlah! pendapatku memang tidak penting. Turun sana! aku masih ada pekerjaan di tempat lain." Dengan tega, Sean mengusir istrinya agar menaiki angkutan umum. "Tapi ini kan sudah sore. Kau mau kemana? kita pulang aja yuk. Nanti aku berikan pijatan eksklusif untukmu. Gimana?" rayuan manis menguar dari bibir tipis si perempuan. Berharap dapat meluluhkan amarah sang suami. "Lupakan! aku tak butuh sentuhan darimu. Kau begitu karena ingin terlihat hebat. Kau pikir aku bodoh
"Untuk bulan ini belum. Sepertinya Pak Bayu mulai curiga. Aku kesulitan mencari celah. Menggelapkan dana perusahaan bukan pekerjaan mudah Se. Kau sih enak, tinggal duduk manis sembari menunggu laporan. Tapi aku kesulitan," keluhnya. "Walau begitu aku yakin, kau pasti bisa. Sebenarnya ada tips lebih mudah Ras, kau tinggal membuat sedikit jebakan untuk pria tua itu. Seolah dia melecehkan dirimu. Dengan begitu kau bisa memerasnya. Meminta ia untuk mengalihkan dua puluh lima persen setiap bulannya. Ku rasa lebih dari cukup." "Aku lebih pintar! pernah mencoba beberapa kali, tapi Pak Bayu itu orangnya sangat teguh pendirian. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi bukankah dia hampir pensiun?" "Hmm, andai saja, kau sebagai sekretaris bisa naik menggantikan dirinya. Tapi sepertinya papa mertua sudah punya pilihan sendiri." "Benarkah? siapa itu? makanya Se, kau kan menantu lelaki Pak Baskoro. Mintalah kenaikan posisi menjadi Anggota Dewan Komisaris. Agar kau punya kekuasaan lebi
Duduk berhadapan dengan sang ayah, Naysila berusaha keras menolak keinginan Pak Baskoro. "Papa paham, kau belum siap menimang bayi saat ini. Tapi lihat orang tuamu! usia kami tak lagi muda Nay," bujuknya, berharap sang putri akan goyah dari keputusan semula. "Kenapa sih Pa? kalian sebagai orang tua harusnya bisa menjadi panutan. Aku bukan mesin pencetak anak, seperti yang kalian harapkan. Zaman sudah berubah, jika masalah pemimpin, ada suamiku. Dia menghabiskan banyak waktu untuk bekerja. Ku kira dia layak untuk menggantikan Papa."Helaan napas sang ayah begitu berat, "Darah itu lebih kental daripada air nak. Papa ingin seorang pewaris. Karena Papa menyayangimu.""Apakah ucapan Papa bisa aku percaya?""Kenapa tidak?""Ada Akhtar di sisimu. Dia adalah putra kesayangan Papa dan Mama," sindir Nay diiringi sorot mata yang memicing ke satu arah. Sang ayah tersenyum kecil, "Kau cemburu padanya? dibanding Sean, adikmu jauh lebih mumpuni. Namun karena kau anak tertua, Papa ingin agar ketu
Berada di dalam ruang rapat perusahaan, Pak Baskoro menentang keras keputusan Sean yang memberi izin pada supplier, bahwa ia memperbolehkan distribusi sebuah produk minuman mengandung alkohol lebih dari 40 persen, melalui perusahaan Indojaya miliknya. Pak Baskoro sebagai Komisaris Utama ia sangat menentang akan hal itu. "Selama bertahun-tahun kami menjaga kebersihan juga kepuasan konsumen. Berbisnis bukan perkara mendapat banyak keuntungan, akan tetapi juga berkah yang terkandung di dalamnya. Saya tetap gak setuju dengan keputusan Pak Sean Geovani," ucapnya tegas. Anggota rapat yang terdiri dari empat puluh orang dari perwakilan setiap divisi, tak mampu menentang keinginan Pak Baskoro yang berpegang teguh pada prinsip juga norma agama. "Tapi zaman sudah berubah Pak. Kita harus mengikuti perkembangan, bukan berlandaskan apa yang kita suka dan tidak," sanggah Sean. Di depan para pegawai hubungan keduanya bagaikan orang asing. Pak Baskoro tak segan-segan melayangkan kritik ped
Naysila mondar-mandir di depan pintu utama warna silver. Dirinya amat cemas dengan reaksi sang suami malam ini."Dia pasti tak akan suka," gumamnya sembari menggigit kuku lentik karena khawatir luar biasa.Tak lama.Pintu terbuka perlahan, Sean muncul dengan wajah masam. Lelah, sudah pasti.Dasi yang mengikat lehernya juga lepas dari tempat semula, tatapannya lesu juga kesal."Tumben Nay, menungguku di sini? sudah makan?" tegurnya berbasa-basi."Sudah, kau sendiri?" sang istri terburu meraih tas dari genggaman si suami.Perhatian kecil senantiasa Naysila berikan sebagai wujud pengabdian kepada pria yang amat ia cintai.Berniat mengambil segelas air, namun matanya membulat sempurna ketika dirinya memasuki area dapur.Perabot serba baru dengan merk ternama terpampang di depan wajah Sean.Ia lalu berbalik, menghampiri istrinya yang mematung di ambang pintu."Katakan! darimana semua ini?" sungutnya sembari melotot tajam."I--tu dari papa," jawab Nay terbata."Dia lagi? sepertinya papamu
Sedang serius di dalam ruang kerja berada pada lantai dua bangunan, Nay dikejutkan dengan kedatangan sang sekretaris. "Permisi Kak, tapi mendadak para wartawan ingin menemui anda saat ini. Katanya untuk wawancara atas produk kita yang terbaru," seru Julia menyampaikan informasi. Nay tentu heran, pasalnya ia tak ingat telah membuat janji. "Apa kau mengundang mereka? harusnya minta izin dulu padaku. Jangan seperti ini!" tegasnya. "Tidak Kak, mereka datang atas kemauan sendiri," sahut Jul. "Hmm, baiklah, aku akan turun. Bawa mereka masuk," titah si Bos. Begitulah Naysila, antara bisnis dan pewarta berita harus terjalin sebuah harmonisasi indah demi keuntungan keduanya. Oleh sebab itu sangat perlu menjalin hubungan baik di antara dia dan para wartawan. Julia mengikuti arahan dari si Bos Cantik, ia mempersilakan sekitar dua puluh orang untuk memasuki aula utama. Duduk berjajar dengan rapi, para pria dan wanita menunggu kehadiran seorang pengusaha muda yang sukses malang melinta
Pak Baskoro menyungging senyum tipis, "Kau selalu bisa diandalkan. Untuk itu akan ku kirim bonus yang telah aku janjikan," ucapnya puas. "Nona Nay marah gara-gara kejadian tadi pagi. Jika boleh tahu, mengapa anda ingin memisahkan Nona dari suaminya? saya kira anda sudah luluh. Sebelumnya sempat meminta Nona melahirkan seorang pewaris. Tapi sekarang?" "Kau sangat penasaran rupanya? aku ingin mendapat cucu, karena ia akan menjadi senjata sekaligus aset yang akan mewarisi kekayaan Baskoro Wijaya. Aku tak sudi jika kejayaan juga ketenaran ini menjadi milik pria licik, tak lain adalah Sean Geovani. Setelah Nay hamil, pria serakah itu harus segera ku tendang jauh. Jika perlu ia harus musnah dari muka bumi ini," terangnya penuh penegasan. "Tapi Pak, Nona sangat memuja dirinya. Bagaimana jika perasaannya hancur? dia putri tersayang bagimu?" raut cemas tergambar pada wajah Martin saat ini. Pupilnya melebar, diikuti suara kian melemah. "Justru itu, aku paham betul, apa yang baik untu
Satu jam berikutnya Martin meninggalkan area lembab dengan handuk melilit sebatas pinggang, netranya menyipit ke satu arah. "Tidak salah lagi, pasti ada yang sengaja memberiku obat di dalam minuman ini!" geram batinnya sembari meremat botol kaca. Hanya ada satu ranjang ukuran king di dalam ruang mewah itu. Namun si pria masih memiliki kesadaran penuh. Ia tak akan menempati alas empuk sebab menyadari statusnya hanya sebagai anak buah. Mengambil celana pendek dari dalam koper dirinya kemudian merebahkan dirinya pada permukaan sofa. Nay sudah lelap, hingga tak menyadari kedatangan dirinya. ** Di ruangan sebelah Sean Geovani teramat kesal. Jebakan yang ia rancang ternyata gagal. "Bagaimana pria itu bisa lolos? saat obat itu merasuk ke dalam jaringan sel, keinginan bercinta sangatlah kuat. Mengapa dia memilih menahan rasa itu?"Sean berpikir logis, ia membayangkan bahwa pengawal itu akan memaksakan dirinya kepada Naysila. Pada momen yang tepat ia berniat menggerebek kamar sebela
Gerakan lambat Martin berniat mendekatkan bibirnya ke arah Naysila, wanita itu hampir menyerah. Nay memejam kedua netranya, kini dirinya menjadi lebih tenang. Tinggal berjarak satu cm, mendadak Martin menghentikan aksinya. Tersenyum tipis kemudian meniup wajah Nay yang merona kemerahan. "Apa yang kau harapkan Nona," tanya Martin memecah keheningan. Cumbuan itu tidak terjadi. Si perempuan membuka mata, pupil kecoklatan membulat diselipi banyak pertanyaan. Sang pengawal melepas cengkeraman di kedua tangan Naysila, menyisakan tatapan heran dari sosok si wanita. Pria itu merapikan atasan seperti sedia kala. Membiarkan angan si Nona buyar seketika. "Kau ngerjain aku? berani sekali!! keterlaluan!" sungut Nay sembari mengalihkan tubuhnya ke arah lain. Satu tangannya bertengger di depan dada, memastikan debaran jantungnya memang sedang beradu sangat kencang. "Kenapa? kau ingin merasakan ciuman dariku?" goda Martin. "Astaga, kau harus bersiap. Jika aku adukan ke papa maka setelah it
"Bram, siapkan dua kamar untukku. Pastikan sesuai keinginanku di salah satu kamarnya," pinta Sean melalui sambungan telepon. "Ini tidak benar Se, kau ingin memata-matai istrimu sendiri? kamera cctv di dalam kamar? aku tak sanggup. Kalau sampai Pak Baskoro murka, habislah aku." Brama awalnya menolak ide gila yang diberikan oleh Sean Geovani. Bagaimana bisa seorang suami berniat membuat rekaman video intim antara istrinya dan pria lain? "Ini hanya jebakan saja, aku akan menerobos masuk sebelum pria itu berhasil menyentuh istriku. Kau kira aku sudah tidak waras?" tegas Sean, berpegang teguh pada pendirian. "Tetap saja, aku tidak berani. Kau tau, seperti apa pengaruh Pak Baskoro. Niat membantumu malah akan menjerumuskan diriku ke balik jeruji besi. Aku tidak mau!" "Bram, kau tak percaya padaku? okey, jika itu maumu. Tapi jangan salahkan aku, jika perselingkuhanmu dengan salah satu staf akan ku ungkap di depan istrimu." Skakmat. Bram tak berkutik jika sudah menyinggung perihal h
Malam itu Nay mengemas dua stel pakaian untuk ia bawa keesokan harinya. Sean baru saja tiba, langkahnya lalu mendekati sosok istrinya yang nampak lesu tanpa bersemangat. Mengecup mesra bahunya sembari memeluk erat bagian tubuh ramping tersebut. "Senyum sayang, kenapa manyun begitu?" tegurnya. Suara berat terdengar seksi pada pendengaran Nay, membuat dirinya menggeliat perlahan. "Gimana bisa? kali ini aku harus pergi seorang diri. Ayolah sayang, kita pergi bersama. Sudah beberapa bulan kau selalu sibuk," pintanya sangat manja. Sang istri berbalik kemudian mengalungkan kedua tangan di leher Sean. "Aku tak bisa, mengapa tak ajak Julia saja? lagian ini untuk pekerjaan. Percuma jika aku ikut. Paling kau anggurkan diriku di kamar hotel, benar kan?" protes si suami. "Ah, tapi pasti seru jika ada kau. Mama Jul sedang sakit, jadi ia tak bisa ikut." Nay memainkan jemarinya, bergerak memutar pada permukaan dada bidang milik sang suami. Sean memperhatikan lekat wajah cantik
Pak Baskoro menyungging senyum tipis, "Kau selalu bisa diandalkan. Untuk itu akan ku kirim bonus yang telah aku janjikan," ucapnya puas. "Nona Nay marah gara-gara kejadian tadi pagi. Jika boleh tahu, mengapa anda ingin memisahkan Nona dari suaminya? saya kira anda sudah luluh. Sebelumnya sempat meminta Nona melahirkan seorang pewaris. Tapi sekarang?" "Kau sangat penasaran rupanya? aku ingin mendapat cucu, karena ia akan menjadi senjata sekaligus aset yang akan mewarisi kekayaan Baskoro Wijaya. Aku tak sudi jika kejayaan juga ketenaran ini menjadi milik pria licik, tak lain adalah Sean Geovani. Setelah Nay hamil, pria serakah itu harus segera ku tendang jauh. Jika perlu ia harus musnah dari muka bumi ini," terangnya penuh penegasan. "Tapi Pak, Nona sangat memuja dirinya. Bagaimana jika perasaannya hancur? dia putri tersayang bagimu?" raut cemas tergambar pada wajah Martin saat ini. Pupilnya melebar, diikuti suara kian melemah. "Justru itu, aku paham betul, apa yang baik untu
Sedang serius di dalam ruang kerja berada pada lantai dua bangunan, Nay dikejutkan dengan kedatangan sang sekretaris. "Permisi Kak, tapi mendadak para wartawan ingin menemui anda saat ini. Katanya untuk wawancara atas produk kita yang terbaru," seru Julia menyampaikan informasi. Nay tentu heran, pasalnya ia tak ingat telah membuat janji. "Apa kau mengundang mereka? harusnya minta izin dulu padaku. Jangan seperti ini!" tegasnya. "Tidak Kak, mereka datang atas kemauan sendiri," sahut Jul. "Hmm, baiklah, aku akan turun. Bawa mereka masuk," titah si Bos. Begitulah Naysila, antara bisnis dan pewarta berita harus terjalin sebuah harmonisasi indah demi keuntungan keduanya. Oleh sebab itu sangat perlu menjalin hubungan baik di antara dia dan para wartawan. Julia mengikuti arahan dari si Bos Cantik, ia mempersilakan sekitar dua puluh orang untuk memasuki aula utama. Duduk berjajar dengan rapi, para pria dan wanita menunggu kehadiran seorang pengusaha muda yang sukses malang melinta
Naysila mondar-mandir di depan pintu utama warna silver. Dirinya amat cemas dengan reaksi sang suami malam ini."Dia pasti tak akan suka," gumamnya sembari menggigit kuku lentik karena khawatir luar biasa.Tak lama.Pintu terbuka perlahan, Sean muncul dengan wajah masam. Lelah, sudah pasti.Dasi yang mengikat lehernya juga lepas dari tempat semula, tatapannya lesu juga kesal."Tumben Nay, menungguku di sini? sudah makan?" tegurnya berbasa-basi."Sudah, kau sendiri?" sang istri terburu meraih tas dari genggaman si suami.Perhatian kecil senantiasa Naysila berikan sebagai wujud pengabdian kepada pria yang amat ia cintai.Berniat mengambil segelas air, namun matanya membulat sempurna ketika dirinya memasuki area dapur.Perabot serba baru dengan merk ternama terpampang di depan wajah Sean.Ia lalu berbalik, menghampiri istrinya yang mematung di ambang pintu."Katakan! darimana semua ini?" sungutnya sembari melotot tajam."I--tu dari papa," jawab Nay terbata."Dia lagi? sepertinya papamu
Berada di dalam ruang rapat perusahaan, Pak Baskoro menentang keras keputusan Sean yang memberi izin pada supplier, bahwa ia memperbolehkan distribusi sebuah produk minuman mengandung alkohol lebih dari 40 persen, melalui perusahaan Indojaya miliknya. Pak Baskoro sebagai Komisaris Utama ia sangat menentang akan hal itu. "Selama bertahun-tahun kami menjaga kebersihan juga kepuasan konsumen. Berbisnis bukan perkara mendapat banyak keuntungan, akan tetapi juga berkah yang terkandung di dalamnya. Saya tetap gak setuju dengan keputusan Pak Sean Geovani," ucapnya tegas. Anggota rapat yang terdiri dari empat puluh orang dari perwakilan setiap divisi, tak mampu menentang keinginan Pak Baskoro yang berpegang teguh pada prinsip juga norma agama. "Tapi zaman sudah berubah Pak. Kita harus mengikuti perkembangan, bukan berlandaskan apa yang kita suka dan tidak," sanggah Sean. Di depan para pegawai hubungan keduanya bagaikan orang asing. Pak Baskoro tak segan-segan melayangkan kritik ped
Duduk berhadapan dengan sang ayah, Naysila berusaha keras menolak keinginan Pak Baskoro. "Papa paham, kau belum siap menimang bayi saat ini. Tapi lihat orang tuamu! usia kami tak lagi muda Nay," bujuknya, berharap sang putri akan goyah dari keputusan semula. "Kenapa sih Pa? kalian sebagai orang tua harusnya bisa menjadi panutan. Aku bukan mesin pencetak anak, seperti yang kalian harapkan. Zaman sudah berubah, jika masalah pemimpin, ada suamiku. Dia menghabiskan banyak waktu untuk bekerja. Ku kira dia layak untuk menggantikan Papa."Helaan napas sang ayah begitu berat, "Darah itu lebih kental daripada air nak. Papa ingin seorang pewaris. Karena Papa menyayangimu.""Apakah ucapan Papa bisa aku percaya?""Kenapa tidak?""Ada Akhtar di sisimu. Dia adalah putra kesayangan Papa dan Mama," sindir Nay diiringi sorot mata yang memicing ke satu arah. Sang ayah tersenyum kecil, "Kau cemburu padanya? dibanding Sean, adikmu jauh lebih mumpuni. Namun karena kau anak tertua, Papa ingin agar ketu