Duduk berhadapan dengan sang ayah, Naysila berusaha keras menolak keinginan Pak Baskoro.
"Papa paham, kau belum siap menimang bayi saat ini. Tapi lihat orang tuamu! usia kami tak lagi muda Nay," bujuknya, berharap sang putri akan goyah dari keputusan semula. "Kenapa sih Pa? kalian sebagai orang tua harusnya bisa menjadi panutan. Aku bukan mesin pencetak anak, seperti yang kalian harapkan. Zaman sudah berubah, jika masalah pemimpin, ada suamiku. Dia menghabiskan banyak waktu untuk bekerja. Ku kira dia layak untuk menggantikan Papa." Helaan napas sang ayah begitu berat, "Darah itu lebih kental daripada air nak. Papa ingin seorang pewaris. Karena Papa menyayangimu." "Apakah ucapan Papa bisa aku percaya?" "Kenapa tidak?" "Ada Akhtar di sisimu. Dia adalah putra kesayangan Papa dan Mama," sindir Nay diiringi sorot mata yang memicing ke satu arah. Sang ayah tersenyum kecil, "Kau cemburu padanya? dibanding Sean, adikmu jauh lebih mumpuni. Namun karena kau anak tertua, Papa ingin agar keturunanmu, mewarisi perusahaan yang sudah berjaya hingga saat ini. Mengenai Akhtar kau jangan cemas. Papa sudah menyiapkan bagian lain untuk dirinya." Nay berpikir sejenak, ia tentu senang andai sang ayah menepati setiap ucapannya kali ini. "Okey, aku bersedia." Keputusan besar sudah disepakati. Selanjutnya mereka berniat untuk menuju sebuah rumah sakit ternama guna mengambil alat yang sudah terpasang di dalam tubuh Naysila. Pak Baskoro harus menghadiri sebuah rapat penting, oleh karena itu, beliau menyerahkan tugas kepada Martin. "Kau sangat bahagia?" gurau si pria. Wanita itu memperlihatkan senyum manis dari sudut bibirnya. "Tentu saja, setelah ini pernikahan kami akan lebih lengkap. Papa sudah berjanji. Bahwa putraku yang akan menjadi pemimpin. Sean pasti senang mendengar berita ini," terangnya. Keduanya duduk bersama di dalam kendaraan warna silver. "Memang kau yakin, setelah ini akan langsung hamil?" imbuh si pria. Nay kesal, "Sirik sekali. Tentu saja yakin. Suamiku sangat perkasa. Kau tidak tau kebahagiaan yang menyelimuti hatiku, karena kau belum menikah. Jadi percuma jika aku jelaskan panjang lebar." "Kesehatan seseorang bukan berdasar pada kekuatannya. Melainkan dari gaya hidup, semua yang ia konsumsi juga memiliki pengaruh besar." "Kau terlalu pintar! mengapa tak menjadi guru saja?" ejek si wanita. "Kau sedang pura-pura polos," tebak Martin. "Lakukan saja tugasmu! kau adalah orang penting bagi papa. Bukan berarti bisa mencampuri urusan pribadiku." Pria itu mengangguk paham, setelah mendapat peringatan demikian, Martin memilih untuk bungkam. *** Bertemu dokter Arsyi, Naysila segera melakukan segala prosedur yang diperlukan. Sementara itu sang pengawal menunggu dirinya di luar ruangan. Duduk tenang, dirinya nampak cemas akan suatu hal. Tak lama seorang rekan menghampiri dirinya. "Untung kau datang saat ini. Aku tak ingin menyimpan berkas ini lebih lama," ujar si pria gemuk. Martin membuka map berwarna coklat. Membaca baris demi baris. Tetiba sudut bibirnya terangkat sebelah. "Bagaimana, hasilnya mencengangkan bukan?" imbuh sang rekan. "Ini adalah kebetulan yang indah. Terima kasih untuk kerja kerasmu. Tapi tugas ini belum selesai." "Katakan! apa yang harus ku lakukan?" "Tunggu beberapa hari lagi. Untuk itu kau akan menerima imbalan yang besar," tutur Martin. Menepuk bahu temannya, keduanya melempar senyum untuk satu sama lain. "Aku tak butuh uangmu Bro! asal misimu selesai. Aku turut bahagia." "Terima kasih untuk ketulusanmu." Keduanya lalu berpisah, sang teman harus melanjutkan pekerjaannya. Nay melewati pintu dengan tertatih. Ia sampai memegangi perut bawahnya yang sedikit nyeri. Martin segera mendekat. "Apa yang terjadi? mengapa wajahmu seperti itu?" cemas, tergambar jelas pada sosok si pengawal. "Tak ada. Hanya sedikit eneg. Arsyi bilang hal ini biasa terjadi. Tidak ada masalah saat mengambil benda itu. Namun sepertinya sebuah sugesti terlanjur mempengaruhi otakku. Akibatnya perutku terasa nyeri, juga mual." "Kita ke kantin dulu bagaimana?" tawar si pria. Nay mengangguk setuju. Kondisi siang itu cukup sepi. Martin meminta pada penjaga untuk meminjam sebuah kain juga sedikit air hangat. "Rebahkan tubuhmu!" titahnya kepada si perempuan. "Apa? di sini? kenapa?" tanya Nay heran. "Setelah ini kau akan lebih baik." Melepas luaran jas miliknya, melipat lalu menggunakan sebagai bantalan. Menarik pundak Nay supaya roboh ke belakang. Tak cukup sampai di situ, lanjut menyingkap blouse yang wanita itu kenakan. Dengan telaten, kedua tangannya memberikan kehangatan pada perut Nay, guna mengurangi rasa nyeri. Perempuan itu tertegun sejenak, ada kagum, disertai debaran jantungnya tak beraturan. "Lebih enak?" tanya Martin memastikan. Nay menggeleng pelan. Membuat pria itu buru-buru memindah posisi kain. "Mana yang sakit?" ulang Martin. "Di sini," jawab Nay sambil menyentuh dadanya. "Hah? kau bercanda?" sentak si pria. "Ekh, bukan, maksudku. Sekarang jauh lebih nyaman. Kita pulang saja," ralatnya segera bangkit. Membenahi pakaiannya, Nay sedikit gugup akibat mendapat perlakuan lembut dari pria di sampingnya. Sementara itu, seorang staf kantin mendekat, "Mbak sangat beruntung. Memiliki suami yang sangat pengertian," ucapnya membuat Nay kian tersipu. Bibirnya mengatup rapat, tak mampu membantah, atau sekedar menolak ucapannya. "Mbak salah sangka, saya bukan suaminya," sahut Martin. "Oh mungkin baru calon? tak usah malu begitu Mas. Saya justru senang," si mbak mengukir senyuman lebar. Nay menunduk menahan tawa, entah mengapa, tuduhan si mbak membuatnya tergelitik.Berada di dalam ruang rapat perusahaan, Pak Baskoro menentang keras keputusan Sean yang memberi izin pada supplier, bahwa ia memperbolehkan distribusi sebuah produk minuman mengandung alkohol lebih dari 40 persen, melalui perusahaan Indojaya miliknya. Pak Baskoro sebagai Komisaris Utama ia sangat menentang akan hal itu. "Selama bertahun-tahun kami menjaga kebersihan juga kepuasan konsumen. Berbisnis bukan perkara mendapat banyak keuntungan, akan tetapi juga berkah yang terkandung di dalamnya. Saya tetap gak setuju dengan keputusan Pak Sean Geovani," ucapnya tegas. Anggota rapat yang terdiri dari empat puluh orang dari perwakilan setiap divisi, tak mampu menentang keinginan Pak Baskoro yang berpegang teguh pada prinsip juga norma agama. "Tapi zaman sudah berubah Pak. Kita harus mengikuti perkembangan, bukan berlandaskan apa yang kita suka dan tidak," sanggah Sean. Di depan para pegawai hubungan keduanya bagaikan orang asing. Pak Baskoro tak segan-segan melayangkan kritik ped
Naysila mondar-mandir di depan pintu utama warna silver. Dirinya amat cemas dengan reaksi sang suami malam ini."Dia pasti tak akan suka," gumamnya sembari menggigit kuku lentik karena khawatir luar biasa.Tak lama.Pintu terbuka perlahan, Sean muncul dengan wajah masam. Lelah, sudah pasti.Dasi yang mengikat lehernya juga lepas dari tempat semula, tatapannya lesu juga kesal."Tumben Nay, menungguku di sini? sudah makan?" tegurnya berbasa-basi."Sudah, kau sendiri?" sang istri terburu meraih tas dari genggaman si suami.Perhatian kecil senantiasa Naysila berikan sebagai wujud pengabdian kepada pria yang amat ia cintai.Berniat mengambil segelas air, namun matanya membulat sempurna ketika dirinya memasuki area dapur.Perabot serba baru dengan merk ternama terpampang di depan wajah Sean.Ia lalu berbalik, menghampiri istrinya yang mematung di ambang pintu."Katakan! darimana semua ini?" sungutnya sembari melotot tajam."I--tu dari papa," jawab Nay terbata."Dia lagi? sepertinya papamu
Sedang serius di dalam ruang kerja berada pada lantai dua bangunan, Nay dikejutkan dengan kedatangan sang sekretaris. "Permisi Kak, tapi mendadak para wartawan ingin menemui anda saat ini. Katanya untuk wawancara atas produk kita yang terbaru," seru Julia menyampaikan informasi. Nay tentu heran, pasalnya ia tak ingat telah membuat janji. "Apa kau mengundang mereka? harusnya minta izin dulu padaku. Jangan seperti ini!" tegasnya. "Tidak Kak, mereka datang atas kemauan sendiri," sahut Jul. "Hmm, baiklah, aku akan turun. Bawa mereka masuk," titah si Bos. Begitulah Naysila, antara bisnis dan pewarta berita harus terjalin sebuah harmonisasi indah demi keuntungan keduanya. Oleh sebab itu sangat perlu menjalin hubungan baik di antara dia dan para wartawan. Julia mengikuti arahan dari si Bos Cantik, ia mempersilakan sekitar dua puluh orang untuk memasuki aula utama. Duduk berjajar dengan rapi, para pria dan wanita menunggu kehadiran seorang pengusaha muda yang sukses malang melinta
Pak Baskoro menyungging senyum tipis, "Kau selalu bisa diandalkan. Untuk itu akan ku kirim bonus yang telah aku janjikan," ucapnya puas. "Nona Nay marah gara-gara kejadian tadi pagi. Jika boleh tahu, mengapa anda ingin memisahkan Nona dari suaminya? saya kira anda sudah luluh. Sebelumnya sempat meminta Nona melahirkan seorang pewaris. Tapi sekarang?" "Kau sangat penasaran rupanya? aku ingin mendapat cucu, karena ia akan menjadi senjata sekaligus aset yang akan mewarisi kekayaan Baskoro Wijaya. Aku tak sudi jika kejayaan juga ketenaran ini menjadi milik pria licik, tak lain adalah Sean Geovani. Setelah Nay hamil, pria serakah itu harus segera ku tendang jauh. Jika perlu ia harus musnah dari muka bumi ini," terangnya penuh penegasan. "Tapi Pak, Nona sangat memuja dirinya. Bagaimana jika perasaannya hancur? dia putri tersayang bagimu?" raut cemas tergambar pada wajah Martin saat ini. Pupilnya melebar, diikuti suara kian melemah. "Justru itu, aku paham betul, apa yang baik untu
Malam itu Nay mengemas dua stel pakaian untuk ia bawa keesokan harinya. Sean baru saja tiba, langkahnya lalu mendekati sosok istrinya yang nampak lesu tanpa bersemangat. Mengecup mesra bahunya sembari memeluk erat bagian tubuh ramping tersebut. "Senyum sayang, kenapa manyun begitu?" tegurnya. Suara berat terdengar seksi pada pendengaran Nay, membuat dirinya menggeliat perlahan. "Gimana bisa? kali ini aku harus pergi seorang diri. Ayolah sayang, kita pergi bersama. Sudah beberapa bulan kau selalu sibuk," pintanya sangat manja. Sang istri berbalik kemudian mengalungkan kedua tangan di leher Sean. "Aku tak bisa, mengapa tak ajak Julia saja? lagian ini untuk pekerjaan. Percuma jika aku ikut. Paling kau anggurkan diriku di kamar hotel, benar kan?" protes si suami. "Ah, tapi pasti seru jika ada kau. Mama Jul sedang sakit, jadi ia tak bisa ikut." Nay memainkan jemarinya, bergerak memutar pada permukaan dada bidang milik sang suami. Sean memperhatikan lekat wajah cantik
"Bram, siapkan dua kamar untukku. Pastikan sesuai keinginanku di salah satu kamarnya," pinta Sean melalui sambungan telepon. "Ini tidak benar Se, kau ingin memata-matai istrimu sendiri? kamera cctv di dalam kamar? aku tak sanggup. Kalau sampai Pak Baskoro murka, habislah aku." Brama awalnya menolak ide gila yang diberikan oleh Sean Geovani. Bagaimana bisa seorang suami berniat membuat rekaman video intim antara istrinya dan pria lain? "Ini hanya jebakan saja, aku akan menerobos masuk sebelum pria itu berhasil menyentuh istriku. Kau kira aku sudah tidak waras?" tegas Sean, berpegang teguh pada pendirian. "Tetap saja, aku tidak berani. Kau tau, seperti apa pengaruh Pak Baskoro. Niat membantumu malah akan menjerumuskan diriku ke balik jeruji besi. Aku tidak mau!" "Bram, kau tak percaya padaku? okey, jika itu maumu. Tapi jangan salahkan aku, jika perselingkuhanmu dengan salah satu staf akan ku ungkap di depan istrimu." Skakmat. Bram tak berkutik jika sudah menyinggung perihal h
Gerakan lambat Martin berniat mendekatkan bibirnya ke arah Naysila, wanita itu hampir menyerah. Nay memejam kedua netranya, kini dirinya menjadi lebih tenang. Tinggal berjarak satu cm, mendadak Martin menghentikan aksinya. Tersenyum tipis kemudian meniup wajah Nay yang merona kemerahan. "Apa yang kau harapkan Nona," tanya Martin memecah keheningan. Cumbuan itu tidak terjadi. Si perempuan membuka mata, pupil kecoklatan membulat diselipi banyak pertanyaan. Sang pengawal melepas cengkeraman di kedua tangan Naysila, menyisakan tatapan heran dari sosok si wanita. Pria itu merapikan atasan seperti sedia kala. Membiarkan angan si Nona buyar seketika. "Kau ngerjain aku? berani sekali!! keterlaluan!" sungut Nay sembari mengalihkan tubuhnya ke arah lain. Satu tangannya bertengger di depan dada, memastikan debaran jantungnya memang sedang beradu sangat kencang. "Kenapa? kau ingin merasakan ciuman dariku?" goda Martin. "Astaga, kau harus bersiap. Jika aku adukan ke papa maka setelah it
Satu jam berikutnya Martin meninggalkan area lembab dengan handuk melilit sebatas pinggang, netranya menyipit ke satu arah. "Tidak salah lagi, pasti ada yang sengaja memberiku obat di dalam minuman ini!" geram batinnya sembari meremat botol kaca. Hanya ada satu ranjang ukuran king di dalam ruang mewah itu. Namun si pria masih memiliki kesadaran penuh. Ia tak akan menempati alas empuk sebab menyadari statusnya hanya sebagai anak buah. Mengambil celana pendek dari dalam koper dirinya kemudian merebahkan dirinya pada permukaan sofa. Nay sudah lelap, hingga tak menyadari kedatangan dirinya. ** Di ruangan sebelah Sean Geovani teramat kesal. Jebakan yang ia rancang ternyata gagal. "Bagaimana pria itu bisa lolos? saat obat itu merasuk ke dalam jaringan sel, keinginan bercinta sangatlah kuat. Mengapa dia memilih menahan rasa itu?"Sean berpikir logis, ia membayangkan bahwa pengawal itu akan memaksakan dirinya kepada Naysila. Pada momen yang tepat ia berniat menggerebek kamar sebela
Satu jam berikutnya Martin meninggalkan area lembab dengan handuk melilit sebatas pinggang, netranya menyipit ke satu arah. "Tidak salah lagi, pasti ada yang sengaja memberiku obat di dalam minuman ini!" geram batinnya sembari meremat botol kaca. Hanya ada satu ranjang ukuran king di dalam ruang mewah itu. Namun si pria masih memiliki kesadaran penuh. Ia tak akan menempati alas empuk sebab menyadari statusnya hanya sebagai anak buah. Mengambil celana pendek dari dalam koper dirinya kemudian merebahkan dirinya pada permukaan sofa. Nay sudah lelap, hingga tak menyadari kedatangan dirinya. ** Di ruangan sebelah Sean Geovani teramat kesal. Jebakan yang ia rancang ternyata gagal. "Bagaimana pria itu bisa lolos? saat obat itu merasuk ke dalam jaringan sel, keinginan bercinta sangatlah kuat. Mengapa dia memilih menahan rasa itu?"Sean berpikir logis, ia membayangkan bahwa pengawal itu akan memaksakan dirinya kepada Naysila. Pada momen yang tepat ia berniat menggerebek kamar sebela
Gerakan lambat Martin berniat mendekatkan bibirnya ke arah Naysila, wanita itu hampir menyerah. Nay memejam kedua netranya, kini dirinya menjadi lebih tenang. Tinggal berjarak satu cm, mendadak Martin menghentikan aksinya. Tersenyum tipis kemudian meniup wajah Nay yang merona kemerahan. "Apa yang kau harapkan Nona," tanya Martin memecah keheningan. Cumbuan itu tidak terjadi. Si perempuan membuka mata, pupil kecoklatan membulat diselipi banyak pertanyaan. Sang pengawal melepas cengkeraman di kedua tangan Naysila, menyisakan tatapan heran dari sosok si wanita. Pria itu merapikan atasan seperti sedia kala. Membiarkan angan si Nona buyar seketika. "Kau ngerjain aku? berani sekali!! keterlaluan!" sungut Nay sembari mengalihkan tubuhnya ke arah lain. Satu tangannya bertengger di depan dada, memastikan debaran jantungnya memang sedang beradu sangat kencang. "Kenapa? kau ingin merasakan ciuman dariku?" goda Martin. "Astaga, kau harus bersiap. Jika aku adukan ke papa maka setelah it
"Bram, siapkan dua kamar untukku. Pastikan sesuai keinginanku di salah satu kamarnya," pinta Sean melalui sambungan telepon. "Ini tidak benar Se, kau ingin memata-matai istrimu sendiri? kamera cctv di dalam kamar? aku tak sanggup. Kalau sampai Pak Baskoro murka, habislah aku." Brama awalnya menolak ide gila yang diberikan oleh Sean Geovani. Bagaimana bisa seorang suami berniat membuat rekaman video intim antara istrinya dan pria lain? "Ini hanya jebakan saja, aku akan menerobos masuk sebelum pria itu berhasil menyentuh istriku. Kau kira aku sudah tidak waras?" tegas Sean, berpegang teguh pada pendirian. "Tetap saja, aku tidak berani. Kau tau, seperti apa pengaruh Pak Baskoro. Niat membantumu malah akan menjerumuskan diriku ke balik jeruji besi. Aku tidak mau!" "Bram, kau tak percaya padaku? okey, jika itu maumu. Tapi jangan salahkan aku, jika perselingkuhanmu dengan salah satu staf akan ku ungkap di depan istrimu." Skakmat. Bram tak berkutik jika sudah menyinggung perihal h
Malam itu Nay mengemas dua stel pakaian untuk ia bawa keesokan harinya. Sean baru saja tiba, langkahnya lalu mendekati sosok istrinya yang nampak lesu tanpa bersemangat. Mengecup mesra bahunya sembari memeluk erat bagian tubuh ramping tersebut. "Senyum sayang, kenapa manyun begitu?" tegurnya. Suara berat terdengar seksi pada pendengaran Nay, membuat dirinya menggeliat perlahan. "Gimana bisa? kali ini aku harus pergi seorang diri. Ayolah sayang, kita pergi bersama. Sudah beberapa bulan kau selalu sibuk," pintanya sangat manja. Sang istri berbalik kemudian mengalungkan kedua tangan di leher Sean. "Aku tak bisa, mengapa tak ajak Julia saja? lagian ini untuk pekerjaan. Percuma jika aku ikut. Paling kau anggurkan diriku di kamar hotel, benar kan?" protes si suami. "Ah, tapi pasti seru jika ada kau. Mama Jul sedang sakit, jadi ia tak bisa ikut." Nay memainkan jemarinya, bergerak memutar pada permukaan dada bidang milik sang suami. Sean memperhatikan lekat wajah cantik
Pak Baskoro menyungging senyum tipis, "Kau selalu bisa diandalkan. Untuk itu akan ku kirim bonus yang telah aku janjikan," ucapnya puas. "Nona Nay marah gara-gara kejadian tadi pagi. Jika boleh tahu, mengapa anda ingin memisahkan Nona dari suaminya? saya kira anda sudah luluh. Sebelumnya sempat meminta Nona melahirkan seorang pewaris. Tapi sekarang?" "Kau sangat penasaran rupanya? aku ingin mendapat cucu, karena ia akan menjadi senjata sekaligus aset yang akan mewarisi kekayaan Baskoro Wijaya. Aku tak sudi jika kejayaan juga ketenaran ini menjadi milik pria licik, tak lain adalah Sean Geovani. Setelah Nay hamil, pria serakah itu harus segera ku tendang jauh. Jika perlu ia harus musnah dari muka bumi ini," terangnya penuh penegasan. "Tapi Pak, Nona sangat memuja dirinya. Bagaimana jika perasaannya hancur? dia putri tersayang bagimu?" raut cemas tergambar pada wajah Martin saat ini. Pupilnya melebar, diikuti suara kian melemah. "Justru itu, aku paham betul, apa yang baik untu
Sedang serius di dalam ruang kerja berada pada lantai dua bangunan, Nay dikejutkan dengan kedatangan sang sekretaris. "Permisi Kak, tapi mendadak para wartawan ingin menemui anda saat ini. Katanya untuk wawancara atas produk kita yang terbaru," seru Julia menyampaikan informasi. Nay tentu heran, pasalnya ia tak ingat telah membuat janji. "Apa kau mengundang mereka? harusnya minta izin dulu padaku. Jangan seperti ini!" tegasnya. "Tidak Kak, mereka datang atas kemauan sendiri," sahut Jul. "Hmm, baiklah, aku akan turun. Bawa mereka masuk," titah si Bos. Begitulah Naysila, antara bisnis dan pewarta berita harus terjalin sebuah harmonisasi indah demi keuntungan keduanya. Oleh sebab itu sangat perlu menjalin hubungan baik di antara dia dan para wartawan. Julia mengikuti arahan dari si Bos Cantik, ia mempersilakan sekitar dua puluh orang untuk memasuki aula utama. Duduk berjajar dengan rapi, para pria dan wanita menunggu kehadiran seorang pengusaha muda yang sukses malang melinta
Naysila mondar-mandir di depan pintu utama warna silver. Dirinya amat cemas dengan reaksi sang suami malam ini."Dia pasti tak akan suka," gumamnya sembari menggigit kuku lentik karena khawatir luar biasa.Tak lama.Pintu terbuka perlahan, Sean muncul dengan wajah masam. Lelah, sudah pasti.Dasi yang mengikat lehernya juga lepas dari tempat semula, tatapannya lesu juga kesal."Tumben Nay, menungguku di sini? sudah makan?" tegurnya berbasa-basi."Sudah, kau sendiri?" sang istri terburu meraih tas dari genggaman si suami.Perhatian kecil senantiasa Naysila berikan sebagai wujud pengabdian kepada pria yang amat ia cintai.Berniat mengambil segelas air, namun matanya membulat sempurna ketika dirinya memasuki area dapur.Perabot serba baru dengan merk ternama terpampang di depan wajah Sean.Ia lalu berbalik, menghampiri istrinya yang mematung di ambang pintu."Katakan! darimana semua ini?" sungutnya sembari melotot tajam."I--tu dari papa," jawab Nay terbata."Dia lagi? sepertinya papamu
Berada di dalam ruang rapat perusahaan, Pak Baskoro menentang keras keputusan Sean yang memberi izin pada supplier, bahwa ia memperbolehkan distribusi sebuah produk minuman mengandung alkohol lebih dari 40 persen, melalui perusahaan Indojaya miliknya. Pak Baskoro sebagai Komisaris Utama ia sangat menentang akan hal itu. "Selama bertahun-tahun kami menjaga kebersihan juga kepuasan konsumen. Berbisnis bukan perkara mendapat banyak keuntungan, akan tetapi juga berkah yang terkandung di dalamnya. Saya tetap gak setuju dengan keputusan Pak Sean Geovani," ucapnya tegas. Anggota rapat yang terdiri dari empat puluh orang dari perwakilan setiap divisi, tak mampu menentang keinginan Pak Baskoro yang berpegang teguh pada prinsip juga norma agama. "Tapi zaman sudah berubah Pak. Kita harus mengikuti perkembangan, bukan berlandaskan apa yang kita suka dan tidak," sanggah Sean. Di depan para pegawai hubungan keduanya bagaikan orang asing. Pak Baskoro tak segan-segan melayangkan kritik ped
Duduk berhadapan dengan sang ayah, Naysila berusaha keras menolak keinginan Pak Baskoro. "Papa paham, kau belum siap menimang bayi saat ini. Tapi lihat orang tuamu! usia kami tak lagi muda Nay," bujuknya, berharap sang putri akan goyah dari keputusan semula. "Kenapa sih Pa? kalian sebagai orang tua harusnya bisa menjadi panutan. Aku bukan mesin pencetak anak, seperti yang kalian harapkan. Zaman sudah berubah, jika masalah pemimpin, ada suamiku. Dia menghabiskan banyak waktu untuk bekerja. Ku kira dia layak untuk menggantikan Papa."Helaan napas sang ayah begitu berat, "Darah itu lebih kental daripada air nak. Papa ingin seorang pewaris. Karena Papa menyayangimu.""Apakah ucapan Papa bisa aku percaya?""Kenapa tidak?""Ada Akhtar di sisimu. Dia adalah putra kesayangan Papa dan Mama," sindir Nay diiringi sorot mata yang memicing ke satu arah. Sang ayah tersenyum kecil, "Kau cemburu padanya? dibanding Sean, adikmu jauh lebih mumpuni. Namun karena kau anak tertua, Papa ingin agar ketu