Share

6. Pria Lain

Duduk berhadapan dengan sang ayah, Naysila berusaha keras menolak keinginan Pak Baskoro.

"Papa paham, kau belum siap menimang bayi saat ini. Tapi lihat orang tuamu! usia kami tak lagi muda Nay," bujuknya, berharap sang putri akan goyah dari keputusan semula.

"Kenapa sih Pa? kalian sebagai orang tua harusnya bisa menjadi panutan. Aku bukan mesin pencetak anak, seperti yang kalian harapkan. Zaman sudah berubah, jika masalah pemimpin, ada suamiku. Dia menghabiskan banyak waktu untuk bekerja. Ku kira dia layak untuk menggantikan Papa."

Helaan napas sang ayah begitu berat, "Darah itu lebih kental daripada air nak. Papa ingin seorang pewaris. Karena Papa menyayangimu."

"Apakah ucapan Papa bisa aku percaya?"

"Kenapa tidak?"

"Ada Akhtar di sisimu. Dia adalah putra kesayangan Papa dan Mama," sindir Nay diiringi sorot mata yang memicing ke satu arah.

Sang ayah tersenyum kecil, "Kau cemburu padanya? dibanding Sean, adikmu jauh lebih mumpuni. Namun karena kau anak tertua, Papa ingin agar keturunanmu, mewarisi perusahaan yang sudah berjaya hingga saat ini. Mengenai Akhtar kau jangan cemas. Papa sudah menyiapkan bagian lain untuk dirinya."

Nay berpikir sejenak, ia tentu senang andai sang ayah menepati setiap ucapannya kali ini.

"Okey, aku bersedia."

Keputusan besar sudah disepakati. Selanjutnya mereka berniat untuk menuju sebuah rumah sakit ternama guna mengambil alat yang sudah terpasang di dalam tubuh Naysila.

Pak Baskoro harus menghadiri sebuah rapat penting, oleh karena itu, beliau menyerahkan tugas kepada Martin.

"Kau sangat bahagia?" gurau si pria.

Wanita itu memperlihatkan senyum manis dari sudut bibirnya.

"Tentu saja, setelah ini pernikahan kami akan lebih lengkap. Papa sudah berjanji. Bahwa putraku yang akan menjadi pemimpin. Sean pasti senang mendengar berita ini," terangnya.

Keduanya duduk bersama di dalam kendaraan warna silver.

"Memang kau yakin, setelah ini akan langsung hamil?" imbuh si pria.

Nay kesal, "Sirik sekali. Tentu saja yakin. Suamiku sangat perkasa. Kau tidak tau kebahagiaan yang menyelimuti hatiku, karena kau belum menikah. Jadi percuma jika aku jelaskan panjang lebar."

"Kesehatan seseorang bukan berdasar pada kekuatannya. Melainkan dari gaya hidup, semua yang ia konsumsi juga memiliki pengaruh besar."

"Kau terlalu pintar! mengapa tak menjadi guru saja?" ejek si wanita.

"Kau sedang pura-pura polos," tebak Martin.

"Lakukan saja tugasmu! kau adalah orang penting bagi papa. Bukan berarti bisa mencampuri urusan pribadiku."

Pria itu mengangguk paham, setelah mendapat peringatan demikian, Martin memilih untuk bungkam.

***

Bertemu dokter Arsyi, Naysila segera melakukan segala prosedur yang diperlukan. Sementara itu sang pengawal menunggu dirinya di luar ruangan.

Duduk tenang, dirinya nampak cemas akan suatu hal.

Tak lama seorang rekan menghampiri dirinya.

"Untung kau datang saat ini. Aku tak ingin menyimpan berkas ini lebih lama," ujar si pria gemuk.

Martin membuka map berwarna coklat. Membaca baris demi baris.

Tetiba sudut bibirnya terangkat sebelah.

"Bagaimana, hasilnya mencengangkan bukan?" imbuh sang rekan.

"Ini adalah kebetulan yang indah. Terima kasih untuk kerja kerasmu. Tapi tugas ini belum selesai."

"Katakan! apa yang harus ku lakukan?"

"Tunggu beberapa hari lagi. Untuk itu kau akan menerima imbalan yang besar," tutur Martin.

Menepuk bahu temannya, keduanya melempar senyum untuk satu sama lain.

"Aku tak butuh uangmu Bro! asal misimu selesai. Aku turut bahagia."

"Terima kasih untuk ketulusanmu."

Keduanya lalu berpisah, sang teman harus melanjutkan pekerjaannya.

Nay melewati pintu dengan tertatih. Ia sampai memegangi perut bawahnya yang sedikit nyeri.

Martin segera mendekat.

"Apa yang terjadi? mengapa wajahmu seperti itu?" cemas, tergambar jelas pada sosok si pengawal.

"Tak ada. Hanya sedikit eneg. Arsyi bilang hal ini biasa terjadi. Tidak ada masalah saat mengambil benda itu. Namun sepertinya sebuah sugesti terlanjur mempengaruhi otakku. Akibatnya perutku terasa nyeri, juga mual."

"Kita ke kantin dulu bagaimana?" tawar si pria.

Nay mengangguk setuju.

Kondisi siang itu cukup sepi. Martin meminta pada penjaga untuk meminjam sebuah kain juga sedikit air hangat.

"Rebahkan tubuhmu!" titahnya kepada si perempuan.

"Apa? di sini? kenapa?" tanya Nay heran.

"Setelah ini kau akan lebih baik."

Melepas luaran jas miliknya, melipat lalu menggunakan sebagai bantalan. Menarik pundak Nay supaya roboh ke belakang.

Tak cukup sampai di situ, lanjut menyingkap blouse yang wanita itu kenakan.

Dengan telaten, kedua tangannya memberikan kehangatan pada perut Nay, guna mengurangi rasa nyeri.

Perempuan itu tertegun sejenak, ada kagum, disertai debaran jantungnya tak beraturan.

"Lebih enak?" tanya Martin memastikan.

Nay menggeleng pelan. Membuat pria itu buru-buru memindah posisi kain.

"Mana yang sakit?" ulang Martin.

"Di sini," jawab Nay sambil menyentuh dadanya.

"Hah? kau bercanda?" sentak si pria.

"Ekh, bukan, maksudku. Sekarang jauh lebih nyaman. Kita pulang saja," ralatnya segera bangkit.

Membenahi pakaiannya, Nay sedikit gugup akibat mendapat perlakuan lembut dari pria di sampingnya.

Sementara itu, seorang staf kantin mendekat, "Mbak sangat beruntung. Memiliki suami yang sangat pengertian," ucapnya membuat Nay kian tersipu. Bibirnya mengatup rapat, tak mampu membantah, atau sekedar menolak ucapannya.

"Mbak salah sangka, saya bukan suaminya," sahut Martin.

"Oh mungkin baru calon? tak usah malu begitu Mas. Saya justru senang," si mbak mengukir senyuman lebar.

Nay menunduk menahan tawa, entah mengapa, tuduhan si mbak membuatnya tergelitik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status