Share

4. Hubungan Gelap

"Maksudmu apa? aku tak ada niatan begitu. Jika itu menyinggung perasaanmu, aku sungguh minta maaf sayang."

Perempuan itu berniat menangkup wajah sang suami, namun Sean menepis kasar sentuhan tangan dari si wanita.

"Itulah alasan mengapa aku tak mengajakmu. Mereka menjadi tak menghargaiku lagi. Bagi mereka, kau jauh lebih menarik. Sedangkan aku, tidak ada apa-apanya," gerutu Sean menambahkan.

"Astaga sayang, itu gak bener. Kau itu tampan dan hebat. Aku bahkan sangat tergila-gila padamu," bujuk Nay.

"Sudahlah! pendapatku memang tidak penting. Turun sana! aku masih ada pekerjaan di tempat lain."

Dengan tega, Sean mengusir istrinya agar menaiki angkutan umum.

"Tapi ini kan sudah sore. Kau mau kemana? kita pulang aja yuk. Nanti aku berikan pijatan eksklusif untukmu. Gimana?" rayuan manis menguar dari bibir tipis si perempuan. Berharap dapat meluluhkan amarah sang suami.

"Lupakan! aku tak butuh sentuhan darimu. Kau begitu karena ingin terlihat hebat. Kau pikir aku bodoh?"

"Sayang, kau salah sangka, aku tak berniat....."

"Keluar kataku! harus ku seret atau bagaimana?" gertak si pria membuta nyali Naysila menciut.

Melepas sabuk pengaman yang sudah terpasang, wajahnya seketika berubah suram.

"Jangan pulang terlalu malam okey? aku akan menunggumu seperti biasanya."

Pesan sang istri hanya dianggap sebagai angin lalu.

Tanpa menoleh, Sean menutup jendela kaca begitu cepat, "Jika bukan karena hartamu, sudah ku tinggal sejak lama. Benar-benar membuatku muak."

Tak perlu sebuah alasan, Sean melaju sedang menuju kediaman seorang perempuan. Dia adalah partner yang menemani langkahnya sejak dulu kala.

Menekan bel di dekat pintu utama, pria bertubuh atletis menunggu di luar dengan sabar.

Ketika pintu dibuka, Rasti langsung menubruk dirinya, memeluk erat seolah tak sabar akibat memendam rindu terlalu lama.

"Kenapa baru sampai? kau pergi dari kantor sejak tadi siang," protesnya sembari bibirnya mengerucut tajam.

"Ada pertemuan di luar. Kau lupa? aku ini orang sibuk."

"Ah percaya. Ayo masuk," ajak si wanita, menarik tangan si pria agar mengikuti langkahnya.

Di dalam rumah cukup besar hanya ada Rasti seorang diri. Kedua orang tua tinggal di luar negeri, mereka hanya pulang sekali dalam waktu dua tahun.

"Astaga pelan-pelan Ras! kau ini, seperti habis puasa satu bulan," lenguh Sean yang tubuhnya ambruk akibat dorongan dari sang kekasih.

Rasti langsung naik ke atas pangkuan Sean, tangannya seperti kehilangan kesabaran. Melepas kancing milik si pria hingga tak tersisa.

Jemarinya juga bergerilya lebih intens, mencari titik penting untuk membangkitkan hasrat sang pujaan hati.

Hal ini yang paling disukai oleh Sean.

Rasti memang tak secantik Naysila, namun ketika berdua dengannya wanita berambut coklat senantiasa membuat Sean bergairah luar biasa.

Bibir mereka bertautan, menyesap, menjelajah bahkan meninggalkan gigitan kecil di setiap bagian.

Membuat keinginan kedua insan semakin membuncah. Rasti berada di posisi atas, gerakan pinggulnya perlahan membuat Sean semakin tak sabar.

Kedua tangannya bertumpu di pinggang si perempuan, memberinya isyarat supaya maju-mundur dengan lebih cepat.

Rasti tentu paham, pria itu sudah terbuai dengan pemanasan yang mereka lakukan sebelumnya. Gerakannya semakin cepat seiring kedua tangan meremat kuat pada pundak sang kekasih.

Pelepasan sempurna terjadi untuk kesekian kalinya. Menyisakan tubuh lemas akibat tenaga yang sudah terkuras habis.

Kedua sejoli tanpa pakaian terlentang di atas ranjang.

Rasti merasakan bagian sensitifnya berdenyut berkali-kali. Tatapannya meremang seiring debaran jantungnya berdetak kuat.

Berbeda dengan dirinya, pria di sampingnya akan merasa kantuk usai melakukan pergulatan panas.

"Hei, setidaknya mandi dulu! setelahnya tidurlah sesukamu," tegur Rasti yang masih sadar.

"Berisik kau! momen ini sangat krusial, ketika menikmati hormon endorfin terlepas ke seluruh tubuh. Jadi tutup saja mulutmu itu."

"Ya ampun, kapan kau akan berubah hah? boro-boro berterima kasih. Memuji juga tidak. Malah mengumpat," gerutu si perempuan.

Ia bangkit kemudian memungut pakaian yang terlempar ke lantai secara sembarang.

"Kau bicara seperti itu, seolah kita melakukan secara gratis. Padahal semua kebutuhanmu juga aku yang tanggung," Sean tak mau kalah.

"Oh, jadi begitu? kau tidak ikhlas? tugasku sebatas wanita penghibur bagimu? bagaimana dengan semua rahasia yang ada dalam genggamanku? apa itu tidak penting?" tantang Rasti.

Tak ada niatan untuk mengajak bertengkar sebenarnya, namun sikap pria terlalu sombong hingga tak menghargai usahanya dalam memenuhi kesenangan batinnya.

Si pria berpikir sesaat, hatinya sedikit melunak. Mungkin ini adalah imbas menahan kangen terlalu lama.

Meski kepalanya bergelayut berat, Sean berupaya bangkit, satu tangan meraih celana pendek kemudian memakainya.

Sementara Rasti duduk di depan cermin rias, menatap dirinya dari pantulan kaca.

"Jangan marah terus, nanti cepat tua lho," imbuh Sean seraya mendekat.

"Kita sudah bersama dalam waktu yang lama, tak bisakah kau membedakan, antara aku dan Naysila?" cecarnya sembari menitikan airmata.

Pria itu menjadi salah tingkah, ia berjongkok untuk menyingkirkan kesedihan dari wajah sang kekasih.

"Hei, kau ini kenapa? kita biasa memiliki perbedaan pendapat. Lalu mengapa mendadak jadi melow begini?" tuturnya kini menjadi lebih lembut.

"Kau tak tahu, betapa sepinya malam yang aku lewati, sering kali berharap kau datang, tapi pesan yang ku terima, hanyalah kalimat formal sebatas memberi peringatan mengenai pekerjaan. Aku butuh dirimu Se," terangnya melepas segala resah.

"Ras, kau kan tau posisiku. Mustahil jika aku datang ke sini setiap hari. Bisa mampus jika ketahuan, atau kau mau kita hancur bersamaan?" pria itu mengusap wajah sang kekasih, menaikkan dagunya hingga berhadapan.

"Selalu ada konsekuensi dibalik cita-cita yang besar. Kita sudah sepakat. Ingat?"

Rasti mengangguk pelan.

Wanita itu lebih tenang, kemudian Sean menambahkan.

"Lalu bagaimana laporan bulan ini? kau sudah mengalihkan berapa lembar ke nomor rahasia kita?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status