"Aku pulang, belum saatnya membuatmu hancur. Ini terlalu cepat. Aku hanya melakukan pemanasan." Mbak Cintya meraih daguku selepas kedua orangtuaku berlalu meninggalkan ruang tamu rumahku. Riuh canda keluarga besarku di halaman belakang cukup memekakkan telinga. Berbanding terbalik dengan keadaan di tempatku berada saat ini. Sepi sekali, hingga detak jarum saja terdengar begitu nyaring di telingaku. Aku mendesah menanggapi sikap Mbak Cintya yang makin terlihat puas dengan ketakutan yang terpancar dari wajahku.Sekuat apapun aku menginginkan terlihat tenang, detak jantungku sulit sekali untuk kuajak bekerja sama. Aku ketakutan mendapati Mbak Cintya yang tak terlihat tengah bermain-main dengan ancamannya. "Aku akan membuatmu kesakitan hingga lupa caranya merintih Soraya. Kau akan lupa bagaimana caranya mengaduh karena sakit tak terperi yang akan kau rasakan." Kudukku meremang. Jujur, aku sempat berpikiran jika suatu saat hubungan gelapku dengan Mas Arya akan terbongkar. Aku begitu ju
Aku hampir gila mendapati kenyataan sulit sekali menghubungi Mas Arya. Berkali-kali menyentuh tombol berwarna hijau di ponselku hanya berakhir tanpa tersambung. Entah dimana laki-laki itu berada saat ini.Jika sebelum Mbak Cintya mengendus semua ini tentu aku dengan mudah mengakses rumah mereka. Beralasan ingin bertemu dua keponakanku aku bisa bertandang ke rumah Mbak Cintya demi bertemu dengan Mas Arya walau tak sebebas pertemuanku di luar sana. Gila memang. Aku bahkan menemui suami orang itu di rumahnya sendiri, di depan istri dan anaknya. Aku wanita tak berhati benar adanya. [ Mas. Dimana? Mbak Cintya nggak main-main. Please, temui aku secepatnya. Kita perlu bicara!] Mataku menyala menyadari pesan terakhirku sudah terbaca oleh Mas Arya. Tanda ceklis dia berwarna hijau sudah menunjukkan pesan tersebut sudah terbaca. Laki-laki itu harus bertanggungjawab atas semua permasalahan ini. Bukankah aku sudah memintanya untuk mengakhiri semua ini sebelum terlambat? Kini apa yang kukhawati
Aku refleks menutup mulutku dengan telapak tangan."Kami selesai beribadah suami istri. Laki-laki yang beberapa waktu lalu masih kau kencani itu nyatanya masih menuntut haknya padaku. Sungguh menggelikan," ucap Mbak Cintya dengan tawa yang sumbang. Aku tergidik ngeri. Tengkukku merasakan hawa dingin yang tiba-tiba kurasakan. "Apakah karena kau wanita tak berahim hingga membuatmu tak ketakutan berhubungan badan dengan laki-laki manapun yang kau incar?" Hening itu hampir membuatku ambruk seketika. "Aku memaafkan suamiku sebagai ayah dari anak-anakku. Tetapi aku tak memaafkan segala kecurangan yang sudah dia lakukan. Apakah kau berharap banyak dari laki-laki yang mengatakan akan memperjuangkanmu mati-matian dan rela meninggalkan keluarganya demi wanita busuk seperti dirimu?" Mbak Cintya menjeda kalimatnya beberapa saat. Tanganku bahkan kaku tak mampu untuk memutuskan panggilan yang sedang berlangsung. "Nyatanya apa yang dia janjikan hanya bualan semata. Cukup kuberikan satu fakta p
Aku hampir menjatuhkan secangkir kopi panas milikku saat mendengar teriakan dari bawah rumah. Secepat kilat kuhentikan aktivitasku bersantai di balkon. Teriakan itu disusul dengan suara pecahan piring dan gelas yang berulang-ulang. Ibu serupa orang kesurupan. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengannya hingga membuat wanita itu bersikap demikian. "Berhenti mendekat. Kau menyakitiku! Menyakiti keluarga kita. Kau tak lebih dari seorang bajing*n yang terlindung topeng rapat selama ini. Kau menjijikan, Yah!" Ibu mengacungkan telunjuknya pada Ayah. Wajahnya merah padam. Rambutnya acak-acakan, amarah itu terlihat jelas dari wajahnya. "Dengar. Jangan teriak-teriak. Kita bisa membicarakannya baik-baik. Tolong. Hentikan!" Ayah mulai kehilangan kendali. Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan kasar. "Ayah Ibu, apa yang terjadi dengan kalian?" tanyaku sambil mendekati kedua orangtuaku yang terhalang meja marmer berukuran dua kali tiga meter di ruang makan rumah kami. "Soraya, ayahmu!" Ibu t
"Wanita gila itu, temanmu. Cintya. Dia yang mengirimi ibumu foto Ayah." Bak disambar petir aku mendengar kabar tersebut. Ibu sedang beristirahat di dalam kamarnya setelah dokter yang kupanggil ke rumah memberi pertolongan padanya yang jatuh pingsan sesaat setelah mendengar perkataan Ayah. Rasa kecewanya yang membumbung tinggi membuat wanita itu tak mampu menerima kenyataan yang diucapkan oleh ayahku. Bahkan laki-laki itu tak mencegah langkah ibu untuk memilih bercerai darinya. "A-pa? Mbak Cintya?!" Aku meraup oksigen dengan kasar. Tak kusangka wanita yang tengah berseteru denganku itu benar-benar menjalankan aksinya. Aku tak menyangka dia akan senekat itu pada keluargaku. "Ya. Kau tahu bukan mengapa wanita itu melakukan hal ini?" Mata Ayah membidikku. Aku tak mampu berkelit. "Jadi berhenti menyalahkan Ayah saja. Justru kau yang mengambil peranan amat besar dalam hal ini. Selesaikan urusan ibumu, Ayah harus keluar selama beberapa hari. Urus ibumu, pastikan dia menunda keputusanny
"Bu Soraya, dipanggil Kepala Sekolah. Tadi pagi nitip pesan ke saya. Beliau bilang sudah menghubungi Bu Soraya tetapi belum ada jawaban," ucap salah salah seorang rekan guru, Bu Lulu. Dia salah satu guru yang masih mau menyapa diriku. Yang lain bagaimana ?Bahkan mereka lebih suka memutar arah daripada berpapasan denganku sekalipun di koridor sekolah. Untungnya aku tak peduli. Lebih baik seperti ini, hidupku tak terlalu ribet berurusan dengan orang-orang yang tak penting tersebut. "Lebih baik secepatnya bertemu, kurasa ada urusan penting." Wanita berkerudung lebar tersebut tersenyum lembut. Aku tak menyahut dan memilih menganggukkan kepalaku agar secepatnya dia berlalu dari hadapanku. Sekalipun Bu Lulu tak pernah membuat masalah atau mengungkit segala bentuk kekuranganku, tetap saja aku tak suka ada orang lain yang sok dekat denganku. Aku bergegas menemui Bu Fatma di ruangannya. Jam kosong ini hanya ada beberapa guru yang berada di kantor. Mereka pun asyik dengan kegiatan masing-
"Saya mendapatkan foto ini dari nomor yang tak dikenal. Tak hanya satu, lima sekaligus. Bisakah Anda jelaskan, Bu Soraya?" Keringat dingin langsung mengucur deras dari seluruh bagian tubuhku. Tanganku kaku, bahkan hanya sekadar untuk menutup layar ponsel yang menampilkan foto memalukan diriku. Foto di atas ranjang tidur sebuah hotel berbintang yang menampilkan tubuhku yang hampir polos. Tak hanya itu, sebuah tangan yang melingkar di tubuhku tak dapat membuatku berkelit bahwa aku tengah menghabiskan waktu dengan seseorang di tempat itu. Otakku secepatnya berputar mencari jawaban yang tepat. Bu Fatma membiarkanku bungkam seolah tengah menunggu jawaban apa yang akan kuberikan untuknya."Ma-af, saya ceroboh. Seharusnya mantan suami saya lebih bisa menjaga dokumen pribadi kami," ucapku dengan berusaha mengembangkan senyum. Sayangnya tak bisa, bibirku kaku dan sulit sekali kuajak berdrama di depan wanita ini. Bu Fatma tak menanggapi kalimatku. Hanya tarikan napas panjang yang menunjukka
Kubaringkan diriku di atas kasur di kamarku. Apa yang terjadi hari ini membuat kepalaku tak bisa lagi kuajak berpikir jernih. Bu Fatma tidak main-main. Dampak dari foto-foto itu di luar dugaanku. Ayah yang biasanya pasang badan di depanku justru sibuk dengan urusannya sendiri sehingga terkesan mengabaikan aduanku mengenai apa yang terjadi hari ini. Bahkan dia berkata dengan tegas agar aku segera menyelesaikan semuanya hingga tak mengganggu rencananya yang sudah tersusun rapi. Belum lagi dengan kondisi ibu yang terlihat masih syok di dalam kamarnya. Wanita itu betah duduk berlama-lama di depan teralis jendela kamar memandang ke arah luar kamar dengan tatapan kosong. Entah berapa kali aku sudah mencoba menghubungi Mas Arya untuk membicarakan masalah yang menimpaku ini. Tak hanya meneleponnya Aku juga berusaha mengirimkan puluhan pesan yang hanya berakhir dengan tanda centang satu. Mas Arya benar-benar memblokir nomorku. Salah hilang bakti telan bumi laki-laki yang sempat mengejarku
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa