"Bu Soraya, dipanggil Kepala Sekolah. Tadi pagi nitip pesan ke saya. Beliau bilang sudah menghubungi Bu Soraya tetapi belum ada jawaban," ucap salah salah seorang rekan guru, Bu Lulu. Dia salah satu guru yang masih mau menyapa diriku. Yang lain bagaimana ?Bahkan mereka lebih suka memutar arah daripada berpapasan denganku sekalipun di koridor sekolah. Untungnya aku tak peduli. Lebih baik seperti ini, hidupku tak terlalu ribet berurusan dengan orang-orang yang tak penting tersebut. "Lebih baik secepatnya bertemu, kurasa ada urusan penting." Wanita berkerudung lebar tersebut tersenyum lembut. Aku tak menyahut dan memilih menganggukkan kepalaku agar secepatnya dia berlalu dari hadapanku. Sekalipun Bu Lulu tak pernah membuat masalah atau mengungkit segala bentuk kekuranganku, tetap saja aku tak suka ada orang lain yang sok dekat denganku. Aku bergegas menemui Bu Fatma di ruangannya. Jam kosong ini hanya ada beberapa guru yang berada di kantor. Mereka pun asyik dengan kegiatan masing-
"Saya mendapatkan foto ini dari nomor yang tak dikenal. Tak hanya satu, lima sekaligus. Bisakah Anda jelaskan, Bu Soraya?" Keringat dingin langsung mengucur deras dari seluruh bagian tubuhku. Tanganku kaku, bahkan hanya sekadar untuk menutup layar ponsel yang menampilkan foto memalukan diriku. Foto di atas ranjang tidur sebuah hotel berbintang yang menampilkan tubuhku yang hampir polos. Tak hanya itu, sebuah tangan yang melingkar di tubuhku tak dapat membuatku berkelit bahwa aku tengah menghabiskan waktu dengan seseorang di tempat itu. Otakku secepatnya berputar mencari jawaban yang tepat. Bu Fatma membiarkanku bungkam seolah tengah menunggu jawaban apa yang akan kuberikan untuknya."Ma-af, saya ceroboh. Seharusnya mantan suami saya lebih bisa menjaga dokumen pribadi kami," ucapku dengan berusaha mengembangkan senyum. Sayangnya tak bisa, bibirku kaku dan sulit sekali kuajak berdrama di depan wanita ini. Bu Fatma tak menanggapi kalimatku. Hanya tarikan napas panjang yang menunjukka
Kubaringkan diriku di atas kasur di kamarku. Apa yang terjadi hari ini membuat kepalaku tak bisa lagi kuajak berpikir jernih. Bu Fatma tidak main-main. Dampak dari foto-foto itu di luar dugaanku. Ayah yang biasanya pasang badan di depanku justru sibuk dengan urusannya sendiri sehingga terkesan mengabaikan aduanku mengenai apa yang terjadi hari ini. Bahkan dia berkata dengan tegas agar aku segera menyelesaikan semuanya hingga tak mengganggu rencananya yang sudah tersusun rapi. Belum lagi dengan kondisi ibu yang terlihat masih syok di dalam kamarnya. Wanita itu betah duduk berlama-lama di depan teralis jendela kamar memandang ke arah luar kamar dengan tatapan kosong. Entah berapa kali aku sudah mencoba menghubungi Mas Arya untuk membicarakan masalah yang menimpaku ini. Tak hanya meneleponnya Aku juga berusaha mengirimkan puluhan pesan yang hanya berakhir dengan tanda centang satu. Mas Arya benar-benar memblokir nomorku. Salah hilang bakti telan bumi laki-laki yang sempat mengejarku
BRAKKubanting tas jinjing milikku di atas meja kaca di ruangan Mas Arya. Aku sudah tak bisa bersabar mendapati lelaki itu yang hilang tak berjejak. Satu-satunya jalan adalah mendatanginya langsung ke kantor miliknya.Beberapa kali aku pernah kemari, jadi tak sulit untukku kembali melakukan hal yang sama. Meskipun jujur saja ada rasa takut masih dia akan mengetahui kedatanganku kemari. Aku tak punya pilihan selain memberanikan diri mencari keberadaan Mas Arya yang seperti sengaja bersembunyi dariku. Berbanding terbalik dengan kejadian beberapa minggu yang lalu saat dia mengancamku yang hendak memilih pergi memutuskan hubungan dengannya. "Kamu sudah gila?!" Mas Arya berjalan cepat ke arah pintu ruangan miliknya. Kulihat dengan mataku sendiri laki-laki itu salah ketakutan hingga tangannya sedikit bergetar saat mengunci pintu.Aku mendecih sinis. Laki-laki itu benar-benar kehilangan taringnya. Dia bukanlah lagi Mas Arya yang sama. Entah ancaman seperti apa yang telah dilontarkan oleh
“Lalu aku? Bagaimana dengan hidupku, Mas? Kau harus bertanggungjawab atas apa yang kualami. Perlukah aku membawa kasus ini pada kepolisian? Aku akan membuat istrimu kena hukuman karena hal ini!” Mas Arya tersentak dengan kalimatku. Pintar sekali caranya menyingkir dari masalah ini. Bahkan dia tak peduli sama sekali dengan apa yang menimpaku. Aku tak bisa diam saja membiarkan ketidakadilan ini menimpaku. “Jangan bodoh. Aku yakin dinas pendidikan tidak mau masalah ini makin meluas. Mereka akan makin menanggung malu jika persoalan ini tercium oleh media. Kau hanya butuh waktu sebentar saja untuk membuat semuanya seperti semula.” “Mas?! Bahkan aku terancam dimutasi ke daerah lain, bisa jadi daerah terpencil! Tak hanya itu, bisa saja aku dikantorkan, tidak mengajar lagi! Aku tak bisa diperlakukan seperti itu!” ucapku tak terima dengan perkataannya yang seolah meremehkan apa yang menimpaku. Rasanya kiamat sudah berada di pelupuk mataku saat ini. “Kau pikir aku tak mendapatkan hukuman da
Aku berjalan gontai setelah menerima surat mutasi beberapa waktu yang lalu. Sungguh tak ada dalam bayanganku menerimanya secepat ini. Momen pergantian tahun ajaran memang membuat hal-hal semacam ini seringkali terjadi. Hanya saja, untuk kasusku kurasa memang semuanya amat dipercepat. "Saya harap Bu Soraya akan jauh lebih baik di tempat yang baru," tutur Bu Fatma setelah menyerahkan amplop coklat tersebut. Kalimat itu terngiang di kepalaku. Aku bukan tak paham dengan kasak-kusuk di kantor guru saat aku kembali dari ruangan kepala sekolah. Mereka menatapku kaget yang membuktikan bahwa mereka memang menjadikanku topik pembicaraan kali ini. "Semoga segalanya lekas membaik, Bu Soraya." Hanya wanita berkerudung lebar bernama Bu Lulu itulah yang menunjukkan raut simpatinya. Kali ini aku menatapnya agak lama. Wanita itu tersenyum menenangkan. Mataku berkaca-kaca. Baru kali ini kurasakan ada orang yang bersikap setulus ini. "Apakah sudah tahu mutasi kemana?" tanyanya hati-hati. Aku mengge
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny