Aira sudah hilang rasa terhadap sang suami setelah mengetahui perselingkuhan pria itu. Namun, Aira masih tetap bertahan dengan pernikahan karena ia belum mampu untuk menghidupi dirinya sendiri. Selain itu, Aira takut Alan akan mengambil alih Kenzo, anak semata wayang mereka. Lantas, apa yang akan Aira lakukan? Mampukah ia membuat suaminya menyesal telah menyakiti hatinya?
Lihat lebih banyak"Geli ah, kamu kebiasaan deh suka kayak gitu." Firda menggeliat kegelian di tempat tidur apartemen Firda.
"Tapi kamu suka, kan?" sahut Alan sambil memeluk Firda. Ia pun melancarkan aksinya lagi. Terdengar desahan yang saling bersahutan dari mulut Alan dan Firda. Mereka sedang menikmati surga dunia di apartemen Firda.Firda merupakan mantan kekasih Alan, mereka berpisah karena hubungan tidak direstui oleh orang tua Firda. Status sosial yang membuat mereka tidak bisa bersatu. Firda menikah dengan laki-laki pilihan papanya, tentu saja seorang pengusaha sukses.Alan yang hanya seorang pegawai di sebuah CV yang bergerak di bidang konstruksi, dianggap tidak sepadan dengan keluarga Firda, pengusaha batubara dan memiliki usaha lainnya.Drtt….drtt… ponsel Alan berdering. Mereka yang sedang dalam kondisi menuju puncak pun langsung kesal. Alan segera melihat ke ponselnya, sebuah nama terpampang di layar ponsel itu. Aira, istri dan ibu dari anak tunggalnya, Kenzo."Maaf sayang, aku tadi lupa men-silent ponselku," kata Alan pada Firda. Alan pun menonaktifkan ponselnya."Tadi kan sudah aku bilang, silent ponselnya," gerutu Firda."Maaf Sayang," bisik Alan sambil menggoda Firda. Mereka pun melanjutkan sesuatu yang sempat tertunda.Di tempat lain, Aira tampak cemas. Ia sedang menggendong Kenzo, anak lelakinya yang sedang demam tinggi. Berkali-kali ia menelpon Alan, tadi sempat tersambung tapi sekarang malah tidak aktif. Akhirnya ia berinisiatif untuk pergi kerumah sakit.Aira langsung mengambil tas perlengkapan Kenzo sambil menunggu taksi online yang sudah ia pesan. Ia juga membawa beberapa keperluannya, ia khawatir jika nanti Kenzo di rawat inap.Tin..tin.. terdengar bunyi klakson mobil. Aira segera keluar membawa tas dan menggendong Kenzo. Anak lelaki berusia dua tahun itu badannya bergetar, mungkin karena suhu tubuhnya yang terlalu tinggi."Sesuai aplikasi ya, Bu?" tanya sopir taksi online."Iya, Pak." Aira menjawab dengan nada bergetar, ia terlihat sangat cemas. Matanya berkaca-kaca melihat anak lelakinya tidak berdaya.Pengemudi taksi yang melihat Aira dari kaca spion, merasa kasihan dengan penumpangnya itu."Maaf, Bu. Anaknya kenapa?" tanya laki-laki itu."Demam tinggi, Pak. Makanya mau saya bawa ke rumah sakit.""Ibu harus tetap tenang, supaya anaknya juga tenang. Insyaallah anak Ibu akan baik-baik saja," kata pengemudi itu lagi.Aira menarik nafas panjang, kemudian tersenyum."Terima kasih untuk sarannya, Pak.""Sama-sama, Bu."Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah rumah sakit. Setelah membayar ongkos taksi, Aira bergegas keluar dari taksi dan menuju ke ruang UGD. Kenzo segera ditangani oleh dokter jaga. Aira menunggu dengan cemas.Drtt….drtt ponselnya berbunyi. Ia berharap panggilan dari Alan suaminya. Ternyata dari nomor yang tidak ia kenal. Biasanya ia malas menerima panggilan dari nomor yang tidak terdaftar di ponselnya. Tapi entah kenapa ia langsung menerima panggilan itu."Selamat siang, Bu. Saya pengemudi taksi tadi. Tas Ibu ketinggalan di mobil saya. Saya sekarang ada di depan pintu ruang UGD." Ternyata pengemudi taksi yang menelponnya."Iya, Pak." Aira bergegas keluar menemui pengemudi taksi tadi. Tampak pengemudi taksi itu membawa tas Aira yang berisi pakaian Kenzo dan keperluan pribadinya."Maaf Pak, saya lupa membawa tas saya. Tadi saya buru-buru turun," kata Aira sambil menerima tas dari laki-laki itu."Iya, Bu. Nggak apa-apa, namanya juga orang sedang cemas. Bagaimana anak Ibu?""Sedang ditangani oleh dokter, Pak.""Syukurlah, Ibu harus tetap tenang. Anak Ibu sudah berada di tangan yang tepat. Saya permisi dulu, Bu," pamit laki-laki itu."Iya, Pak. Terima kasih."*Alan membuka pintu pagar rumahnya yang tampak tertutup. Biasanya sore-sore seperti ini, Kenzo dan Aira berada di luar menunggunya pulang. Kemudian memasukkan mobil ke depan garasi. Ia pun membuka garasi, ternyata terkunci.Berkali-kali ia memanggil Aira, tapi tetap tidak ada jawaban. Akhirnya ia masuk ke mobil untuk mengambil kunci garasi dan kunci rumah yang selalu ia bawa. Karena terkadang ia pulang larut malam, kasihan kalau harus membangunkan istrinya itu.Alan memasukkan mobil ke dalam garasi, kemudian mengunci pintu garasi dan masuk ke ruang keluarga. Ia merasa heran melihat kondisi rumah yang tampak sepi. Biasanya begitu mendengar suara mobilnya, Kenzo langsung berlari menghampirinya."Aira! Kenzo!" panggil Alan.Tidak ada jawaban juga. Ia pun segera mandi, walaupun setelah menggapai surga dunia bersama Firda tadi, ia sudah mandi. Guyuran air dari shower mendinginkan kepalanya yang terasa ruwet karena pekerjaan dikantornya tadi.Ia juga membayangkan ketika mandi bersama Firda di apartemen Firda. Mereka sering melakukan ini sejak satu bulan yang lalu. Hampir setiap istirahat siang Alan menyambangi Firda untuk saling melepaskan hasrat yang keliru. Mereka melakukannya di apartemen Firda atau di hotel. Mereka sudah memiliki pasangan masing-masing, tapi masih mencari yang lain. Dengan alasan merajut kisah mereka yang telah lalu.Alan berjalan ke ruang makan untuk mengisi perutnya yang terasa lapar. Ternyata tidak ada apapun disana."Ngapain saja sih kerjaan Aira, sampai tidak ada apapun untuk dimakan," gerutu Alan. Alan kembali lagi ke kamarnya.Ia pun mencari ponselnya untuk menghubungi Aira. Ia baru tersadar ketika melihat ponselnya yang dalam keadaan tidak aktif. Segera Alan mengaktifkan ponselnya, ternyata banyak sekali panggilan tak terjawab dari Aira.Tiba-tiba ponselnya berdering, panggilan dari Firda. Ia pun melupakan niatnya yang tadi mau menelpon istrinya."Ada apa Sayang? Baru beberapa jam nggak ketemu kok sudah rindu," kata Alan ketika menerima panggilan dari Firda."Iya, aku kok selalu kangen sama kamu ya? Rasanya ingin selalu di dekatmu." Suara Firda terdengar sangat mendayu-dayu. Membuat hati Alan berdesir.Alan segera memutuskan panggilan dan kemudian melakukan videocall."Kok berani VC an, memang istrimu kemana? Aman?" tanya Firda yang sudah tampak di layar ponsel Alan hanya mengenakan pakaian dalam saja."Lagi keluar, tenang saja, aman kok." Alan meneguk air liurnya melihat Firda yang tampak sangat menarik di matanya.Firda tahu kalau Alan sudah sangat tergoda padanya, ia pun sengaja memancing Alan dengan menyentuh area pribadinya sendiri. Alan menjadi tegang melihat apa yang dilakukan Firda.Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen