"Mampus aku!" umpat Trisa sambil menatap ponselnya. Jantungnya berdetak dengan kencang.Alan dan Dewi menoleh ke arah Trisa."Kamu kenapa?" tanya Alan."E…e…nggak apa-apa, Mas." Trisa menjawab dengan gugup dan suara bergetar."Matilah aku," umpat Trisa lagi, tadi dengan suara yang agak pelan. Hanya Alan saja yang mendengarnya."Ada apa?" tanya Alan lagi."Bakal terjadi perang," gumam Trisa.Alan hanya bisa mengernyitkan dahi melihat Trisa bertingkah aneh. "Perang?" tanya Alan lagi.Trisa hanya diam saja, pikirannya kacau. Ia membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Papanya pasti marah besar melihat video yang dikirim tadi. Sudah terlambat bagi Trisa untuk menghapusnya, karena sudah terlihat tanda centang dua berwarna biru. Berarti papanya sudah melihat video itu.Drtt….drtt…. Ponsel Dewi berdering. Dewi menerima panggilan itu."Halo, Pa?" sapa Dewi."Mama ada dimana?""Di rumah Alan.""Ngapain kesitu? Memangnya Alan nggak kerja?""Enggak, Pa. Kasihan Alan, Aira manja sekali, baru sa
"Ma, memangnya uang yang Papa kasih itu sudah habis?" tanya Gunawan kepada Dewi, ketika mereka sudah sampai di rumah.Dewi kaget mendengar pertanyaan suaminya, ia tidak menyangka jika Gunawan akan bertanya tentang uang. Selama ini, berapapun uang yang diberikan Gunawan dan dihabiskan untuk apa, sang suami tidak tahu menahu."Ma-masih kok, Pa." Dewi menjawab dengan gugup."Kenapa Papa bertanya seperti itu? Apa Papa nggak percaya dengan Mama? Apa perlu Mama tuliskan secara rinci pengeluarannya?" lanjut Dewi. Ia berusaha untuk tenang dan mencecar Gunawan dengan beberapa pertanyaan."Syukurlah kalau masih ada. Papa percaya kok sama Mama. Kalau memang kurang, bilang saja. Jangan sampai minta uang dengan anak-anak, terutama dengan Alan. Dia kan sudah punya keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.""Mama nggak pernah minta uang dengan Alan. Apa Aira mengadu yang tidak-tidak dengan Papa? Pa, Aira itu tidak suka dengan Mama. Jadi dia akan menjelek-jelekkan Mama di depan Papa. Papa jangan mudah
Suasana tampak hening sesaat, hanya terdengar hembusan nafas dari Aira dan Alan. "Apa kata Bapak dan Ibu, jika mereka tahu masalah ini? Aku malu, Mas! Berbeda dengan Mama, ia pasti akan bahagia, apalagi kalau sampai tahu siapa yang jadi selingkuhanmu."Aira masih saja mengeluarkan semua uneg-unegnya. "Aku akan mulai mencari kerja, Mas siapkan uang lebih untuk membayar baby sitter untuk Kenzo."Alan kaget mendengar kata-kata Aira, ia tidak menyangka jiika Aira bersungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu."Apa kamu tega membiarkan Kenzo diasuh oleh orang lain? Ia masih kecil, kasihan dia!" sahut Alan."Kenapa nggak tega? Semua demi masa depanku dan Kenzo. Kalau tidak nanti biar Kenzo aku masukkan ke tempat penitipan anak. Aku ingin punya uang sendiri," kata Aira dengan nada yang tinggi."Apa uang dariku nggak cukup?""Bukan masalah cukup nggak cukup, aku nggak mau menjadi beban hidupmu. Setidaknya aku punya uang untuk kebutuhanku sendiri. Aku sudah capek dihina terus oleh Mama dan a
"Kenzo!" panggil Aira sambil berjalan mencari-cari Kenzo. Ia sudah sangat gemetar karena ketakutan. Pikirannya sudah sangat kacau membayangkan Kenzo tidak ada. Tiara mengikuti Aira sambil menenangkannya."Kita cari satpam!" usul Tiara."Maafkan Ibu, Sayang. Ibu teledor," kata Aira sambil terisak-isak."Bagaimana Tiara, aku takut jika tidak bertemu dengan Kenzo lagi.""Hush! Jangan berkata seperti itu, pasti Kenzo ketemu."Tiara dan Aira berjalan mengelilingi gerai pakaian anak, kemudian berlanjut ke pakaian laki-laki. Belum juga menemukan Kenzo, Aira semakin cemas. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat, tangannya terasa sangat dingin karena ketakutan."Ya Allah, kemana kamu, Nak? Jangan membuat Ibu panik!" Aira melanjutkan pencarian ke tempat lain, ia dan Tiara tadi sempat berpencar."Kenzo, dimana kamu?" kata Aira dalam hati.Seketika langkah kaki Aira terhenti, ia memasang telinganya untuk mendengarkan sesuatu. Wajahnya tampak tersenyum mendengar suara tawa anak kecil. Suara yang m
"Ma, apa maksud Mama mengirim foto Aira pada Papa?" tanya Gunawan. Dewi langsung kaget, jantungnya berdetak dengan kencang. Ia segera membuka ponselnya untuk memastikan siapa yang ia kirimi foto tadi. Wajah Dewi langsung pucat pasi, ketika tahu bahwa ia salah kirim. Sebenarnya ia ingin mengirim foto itu pada Alan untuk memprovokasi Alan. Ternyata malah terkirim pada suaminya."Maaf, Pa. Salah kirim." Dewi menjawab dengan gugup."Terus apa maksud dari foto itu? Dapat darimana?""Mama mau mengirim foto pada Alan, biar ia tahu kelakuan istrinya. Suami sibuk kerja, malah istri sibuk belanja." Dewi sudah mulai bisa menetralisir suasana hatinya. Ia pun sekarang berusaha mempengaruhi suaminya."Ma! Tadi Papa sudah bilang, jangan ikut campur urusan Alan!" Gunawan menjadi kesal."Ma!" Terdengar suara Dwita memanggil mamanya."Iya, Sayang," sahut Dewi, kemudian berjalan untuk menemui Dwita yang duduk di sofa ruang keluarga."Kamu sudah pulang ya? Belanja apa saja? Reza mana?" Dewi tampak sumri
"Mama kerepotan mengurus tiga anak, karena Mama nggak mau kalau anak diasuh orang lain," kilah Dewi."Makanya itu, kita sudah sepakat. Papa kerja dan Mama mengurus anak-anak. Aira, Dwita, kalian bisa mencontoh Papa dan Mama. Jadi jangan paksakan bekerja kalau alasannya karena ekonomi. Ingat yang bertugas mencari nafkah itu suami, bukan istri. Istri bekerja untuk membantu suami dan atas izin suami juga." Gunawan menghentikan sejenak ucapannya."Nggak perlu sindir menyindir seperti itu. Aira nggak bekerja, itu sudah kesepakatan Alan dan Aira. Toh Aira bisa menghasilkan uang dengan jualan online, ya kan Aira?""Iya, Pa. Alhamdulillah, untuk tambahan beli bumbu dapur," sahut Aira."Memang berapa sih hasil jualanmu itu? Katanya sarjana, kok malah jualana. Alan, kamu nggak malu punya istri jualan online?" Dewi masih saja menyudutkan Aira."Kenapa malu, Ma? Yang penting halal, dan uangnya bisa digunakan sendiri oleh Aira. Aku nggak pernah nanya, dapat berapa. Karena aku tidak mau mencampuri
"Kamu nggak mau nyamperin?" tanya Gita.Firda tampak ragu-ragu."Dia datang sendirian, lho. Katanya sudah lama tidak bertemu. Apa perlu aku temani?" Gita masih saja menantang Firda untuk melakukan apa yang Gita sarankan.Akhirnya Firda beranjak dari duduknya dan berjalan menuju tempat yang dimaksud."Ehem." Firda berdehem ketika sudah dekat dengan orang itu."Firda?" Orang itu tampak terkejut dengan kedatangan Firda."Ya Alan, ini aku. Apa kabar? Boleh aku duduk?" sahut Firda sambil tersenyum dengan manisnya."Bo-boleh," sahut Alan dengan gugup."Kok kayaknya kamu keberatan kalau aku duduk?""Siapa bilang?""Tadi kamu gugup waktu memperbolehkanku." Firda berkata masih dalam posisi berdiri."Oh, tadi aku hanya kaget saja. Tidak menyangka kalau akan bertemu denganmu. Duduklah.""Kamu ada janji bertemu dengan seseorang?" tanya Firda."Iya, urusan pekerjaan. Tapi masih lima belas menit lagi, aku saja yang terlalu cepat datang. Kamu apa kabarnya?" Alan mulai bisa menguasai keadaan. Entah k
"Sabtu depan Dwita mau lamaran," kata Dewi dengan sumringah."Alhamdulillah, rencana menikahnya kapan?" "Belum tahu. Nanti baru dibicarakan.""Oke, Sabtu nanti aku datang bersama Aira dan Kenzo.""Jangan ajak Aira!" Dewi berkata dengan spontan, membuat Alan mengernyitkan dahi."Kenapa? Aira itu istriku, Ma? Kenapa Mama sangat membencinya?""Mama nggak membenci Aira, hanya saja tidak terlalu suka dengannya. Gara-gara kehadiran Aira, kamu nggak jadi menikah dengan Firda."Alan menghela nafas panjang. Mendengar nama Firda disebut, membuat hatinya bergetar. Nama yang masih tersimpan rapi di hatinya."Ma, aku dan Firda tidak berjodoh. Kami sudah punya kehidupan sendiri-sendiri. Tolong jangan diungkit-ungkit lagi.""Kenapa sih kamu selalu membela Aira?""Karena dia istriku. Ma, kalau Mama kesini hanya untuk menjelek-jelekkan Aira, lebih baik Mama pulang saja. Pekerjaanku masih banyak.""Mama enggak menjelek-jelekkan Aira. Mama hanya bilang nggak usah ngajak Aira di acara lamaran Dwita nant
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d