"Kamu nggak mau nyamperin?" tanya Gita.Firda tampak ragu-ragu."Dia datang sendirian, lho. Katanya sudah lama tidak bertemu. Apa perlu aku temani?" Gita masih saja menantang Firda untuk melakukan apa yang Gita sarankan.Akhirnya Firda beranjak dari duduknya dan berjalan menuju tempat yang dimaksud."Ehem." Firda berdehem ketika sudah dekat dengan orang itu."Firda?" Orang itu tampak terkejut dengan kedatangan Firda."Ya Alan, ini aku. Apa kabar? Boleh aku duduk?" sahut Firda sambil tersenyum dengan manisnya."Bo-boleh," sahut Alan dengan gugup."Kok kayaknya kamu keberatan kalau aku duduk?""Siapa bilang?""Tadi kamu gugup waktu memperbolehkanku." Firda berkata masih dalam posisi berdiri."Oh, tadi aku hanya kaget saja. Tidak menyangka kalau akan bertemu denganmu. Duduklah.""Kamu ada janji bertemu dengan seseorang?" tanya Firda."Iya, urusan pekerjaan. Tapi masih lima belas menit lagi, aku saja yang terlalu cepat datang. Kamu apa kabarnya?" Alan mulai bisa menguasai keadaan. Entah k
"Sabtu depan Dwita mau lamaran," kata Dewi dengan sumringah."Alhamdulillah, rencana menikahnya kapan?" "Belum tahu. Nanti baru dibicarakan.""Oke, Sabtu nanti aku datang bersama Aira dan Kenzo.""Jangan ajak Aira!" Dewi berkata dengan spontan, membuat Alan mengernyitkan dahi."Kenapa? Aira itu istriku, Ma? Kenapa Mama sangat membencinya?""Mama nggak membenci Aira, hanya saja tidak terlalu suka dengannya. Gara-gara kehadiran Aira, kamu nggak jadi menikah dengan Firda."Alan menghela nafas panjang. Mendengar nama Firda disebut, membuat hatinya bergetar. Nama yang masih tersimpan rapi di hatinya."Ma, aku dan Firda tidak berjodoh. Kami sudah punya kehidupan sendiri-sendiri. Tolong jangan diungkit-ungkit lagi.""Kenapa sih kamu selalu membela Aira?""Karena dia istriku. Ma, kalau Mama kesini hanya untuk menjelek-jelekkan Aira, lebih baik Mama pulang saja. Pekerjaanku masih banyak.""Mama enggak menjelek-jelekkan Aira. Mama hanya bilang nggak usah ngajak Aira di acara lamaran Dwita nant
"Mama!" teriak Alan.Aira kaget mendengar Alan berteriak, ia pun buru-buru mendekati Alan. Takut terjadi sesuatu pada mama mertuanya. Ia sudah ada di dekat Alan, tapi tidak berani untuk bertanya."Kamu membentak Mama?" Dewi ikut berteriak."Bukan membentak, Ma. Mama dari tadi nyerocos, tidak memberi kesempatan aku untuk berbicara.""Kamu sekarang sudah berubah, kamu bukan Alan yang dulu!""Ma, ada apa Mama menelponku?" tanya Alan dengan suara yang merendah dan berusaha mengalihkan pembicaraan."Mama sedih. Kamu membentak Mama seperti itu. Mama ini yang melahirkanmu, kamu tega menyakiti hati Mama? Ingat Alan, surgamu ada di kaki Mama." Suara Dewi terdengar sesenggukan, entah benar-benar menangis atau sedang memainkan drama."Ma, ada apa?" tanya Alan lagi.Tidak ada jawaban dari sang mama. Dewi segera mengakhiri panggilan itu. Ia kesal karena Alan tadi membentaknya."Huh!" Terdengar hembusan nafas kasar dari Alan. Ia juga kesal dengan mamanya.Aira yang dari tadi melihat Alan, segera be
"Papa nggak bisa seenaknya membatalkan acara itu!" teriak Dewi. Dwita menangis, tak mampu berkata apa-apa."Semua sudah Mama pesan, Pa! Apa Papa tega mempermalukan keluarga kita di depan keluarga Reza?" Dewi mulai marah."Kenapa nggak tega! Mama saja tega selalu menyalahkan Alan dan Aira. Semua karena ulah Mama!""Pokoknya acara tetap berlangsung! Mama nggak mau kalau sampai batal!""Silahkan saja! Papa malam Minggu akan pergi, Papa juga nggak mau menghadiri acara itu." Gunawan keluar dari kamar diikuti oleh Alan. "Ma, apa yang harus kita lakukan? Aku nggak mau kalau lamaran ini sampai batal!" Dwita menangis lagi."Kamu nggak usah nangis kenapa sih? Masalah tidak akan selesai dengan tangisanmu!" bentak Dewi, membuat Dwita tersentak.Dwita keluar dari kamar mamanya, menuju ke kamarnya sendiri. Ia masih menangis. Alan dan papanya yang duduk di ruang keluarga hanya mengamati langkah kaki Dwita."Maaf, Pa. Gara-gara aku dan Aira semua jadi kacau," kata Alan pada Gunawan."Mamamu itu mem
"Alan, kamu pakai baju ini ya? Sudah disiapkan sama Dwita, biar seragam sama Papa." Dewi menyodorkan pakaian pada Alan."Aira dikasih juga nggak?" tanya Alan, karena ia melihat hanya satu pakaian saja yang disodorkan padanya."Ya enggak dong! Ini kan baju khusus keluarga.""Aira kan keluarga juga, Ma?""Sudahlah, pakai saja. Sudah dikasih kok banyak protes." Dewi menjadi kesal.Alan bimbang, ia tadi sudah memakai baju couple dengan Aira. Kalau sampai ganti, pasti Aira akan marah. "Nggak usah, Ma. Aku pakai baju ini saja, biar serasi dengan Aira." Alan pun menjauh dari Dewi dan mendekati Angga, suaminya Wina yang kebetulan ada disitu."Sudah dibelikan mahal-mahal kok nggak mau pakai. Ini lebih mahal dari baju yang kamu pakai," kata Dewi dengan suara yang agak keras. Angga menoleh ke arah Dewi, ia dari tadi memang mendengar semua ucapan Dewi. Ia sudah nggak heran dengan watak Dewi."Ada apa sih, Ma?" tanya Gunawan yang juga berada di ruangan itu. Ia tadi asyik ngobrol dengan Angga."
"Dasar mertuanya Sindi saja yang suka nyari-nyari kesalahan Sindi," sahut Dita."Jangan menyalahkan orang lain. Seharusnya Sindi yang introspeksi diri." Anwar berbicara lagi. Suasana tampak tegang antara Dita dan Suaminya. "Papa kok malah menyalahkan aku? Memang mamanya Hendi yang nggak suka denganku, makanya dia itu benci sekali denganku." Sindi mulai angkat bicara."Papa kalau nggak tahu nggak usah berkomentar, malah menambah cerita yang enggak-enggak. Memang besan kita itu yang agak lain." Dita membela Sindi."Sudah tahu salah dibela terus," celetuk Anwar.Sebenarnya Dita mau melanjutkan berbicara, tapi melihat Aira datang, ia mengurungkan niatnya itu."Sudah selesai makan?" tanya Gunawan."Sudah, Pa.""Ayo kita pulang. Sudah malam," ajak Alan.Gunawan pun menyerahkan Kenzo pada Aira. Alan dan Aira berpamitan pulang."Aira." Ada seseorang yang memanggil.Aira menoleh, ternyata Wina. Wina berjalan mendekati Aira dan memberikan bungkusan berisi makanan."Ini sedikit makanan untuk di
"Siapa yang menelpon? Kok nggak kamu angkat?" tanya Tiara."Dwita! Tumben ia menelponku." "Angkat saja, mungkin ia sedang butuh sama kamu.""Malas ah, pasti juga mau mengejekku atau mungkin menghinaku. Biarkan saja."Dering itu pun berhenti, tapi hanya sebentar saja. Kemudian berdering lagi. Aira pun mensilent ponselnya. "Tapi aku penasaran," kata Tiara."Haha, kepo! Pokoknya kalau keluarga Alan menelpon, pasti akan membuat huru hara. Makanya aku malas menerima panggilan. Biarkan saja, nanti kalau memang penting pasti datang ke rumah." Aira tetap pada pendiriannya untuk tidak menerima panggilan dari Dwita. Mereka pun melanjutkan makan sambil bercerita tentang berbagai hal.Klunting-klunting, sebuah pesan masuk ke ponsel Aira. Ia segera membaca pesan itu.[Kenapa nggak berani menerima telepon dariku? Takut ya, pengecut! Dasar perempuan gatal. Sudah tahu kalau Reza itu calon suamiku, masih saja kamu goda. Sadar diri dong, kamu itu sudah punya anak, nggak mungkin Reza mau menggodamu k
Dari balik pintu muncul wajah seorang laki-laki, seorang karyawan bawahan Alan."Maaf, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Bapak." Laki-laki itu berkata dengan sopan, sambil mengamati keadaan di ruangan itu."Siapa, Ben?" tanya Alan pada karyawan yang bernama Beni."Saya nggak tahu, Pak." "Oke, suruh masuk.""Baik, Pak." Karyawan itu pun keluar dari ruangan Alan, ia melirik ke arah Firda sambil tersenyum simpul. Ia sudah menebak apa yang baru saja terjadi."Wajah mereka lucu, tampak tegang dan kaku seperti habis ketahuan selingkuh, hihi. Cantik juga selingkuhan Pak Alan," kata Beni dalam hati. Ia curiga melihat keberadaan mereka berdua, karena dari gestur tubuh mereka, tampak canggung."Aku nggak suka dengan karyawanmu itu," kata Firda ketika Beni sudah keluar. "Kenapa?""Tatapan mata mesum."Alan melihat ke arah Firda."Pantas saja kalau Beni melihatmu dengan tatapan mesum. Tuh kancing kemejamu terbuka."Firda langsung melihat ke arah dada, ia kaget setengah mati, menyadari kebodoha
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d