Sampai di rumah, rumah dalam keadaan gelap, Alan semakin bingung dengan kondisi ini. Ia pun masuk ke dalam rumah.
"Kemana kamu Aira? Apakah kamu minggat? Tapi nggak mungkin, kita kan nggak ada masalah apa-apa," kata Alan dalam hati.Ia segera masuk ke kamarnya, mengecek lemari pakaian."Masih ada pakaian Aira dan Kenzo. Kemana mereka ya?"Alan membuka ponselnya. Ternyata masih dinonaktifkan. Begitu diaktifkan, ada panggilan tak terjawab dari Aira dan beberapa pesan. Ia pun membuka pesan itu.[Mas, Kenzo dirawat di rumah sakit.]Alan gemetar membaca pesan dari Aira yang singkat, padat dan jelas."Maafkan Ayah, Kenzo. Ayah tidak tahu," kata Alan dengan pelan, matanya berkaca-kaca."Bodoh sekali aku, coba tadi aku tidak menonaktifkan ponselku. Kalau terjadi apa-apa dengan Kenzo, aku pasti akan menyesalinya seumur hidupku. Bodoh sekali aku!" rutuk Alan pada dirinya sendiri.Ia pun menelpon Aira. Tidak ada jawaban dari Aira. Alan menjadi cemas."Aira, tolong angkat teleponnya. Jangan membuatku khawatir," kata Alan dengan pelan. Ia pun mencoba menelpon lagi.Di rumah sakit, Aira tampak terlelap tidur setelah kecapekan menggendong Kenzo yang dari tadi rewel terus. Setelah Kenzo tertidur, Aira pun berusaha untuk tidur.Drtt…Drtt ponsel Aira berdering. Tapi Aira tidak bergerak sedikitpun. Ia masih terlelap, saking lelahnya.Tok…tok pintu kamar rawat Kenzo diketuk. Aira terbangun dari tidurnya."Maaf, Bu. Mau mengecek suhu tubuh Adik," kata seorang perawat yang masuk ke kamar Kenzo."O iya, Mbak. Silahkan," sahut Aira.Perawat itu pun mengecek suhu tubuh Kenzo dengan menempelkan termometer di ketiak Kenzo. Kenzo masih terlelap tidur, sesekali tubuhnya tampak bergetar."39,5." Perawat itu berkata pada Aira.Waktu dibawa ke rumah sakit tadi, suhu tubuh Arka mencapai 40,4. Karena takut akan kemungkinan terburuk, akhirnya dokter menyarankan untuk dirawat di rumah sakit. Supaya bisa diawasi dan di cek suhu tubuhnya secara berkala."Agak turun ya, Mbak.""Iya, Bu. Turunnya perlahan. Tetap dikompres ya, Bu.""Iya, Mbak.""Saya permisi, kalau ada apa-apa pencet bel ini." Perawat itu memberi arahan.Aira mengangguk. Kemudian mengompres dahi Kenzo.Drtt..Drtt...ponselnya berdering, nama Alan yang muncul di ponsel Aira."Di rumah sakit apa?" tanya Alan."Rumah Sakit Ananda.""Ya sudah, aku kesitu sekarang."Panggilan pun ditutup. Ada kelegaan terpancar di wajah Aira dan Alan karena akhirnya bisa berkomunikasi. Alan bergegas pergi ke rumah sakit, ia tidak sempat berganti pakaian ataupun mandi. Padahal tadi dia habis melakukan sesuatu dengan Firda.Ceklek! Pintu kamar Kenzo terbuka, tampak Alan dengan wajah cemasnya. Aira menyambut Alan dan memeluk Alan. Tercium bau asing di tubuh Alan.Aira pun curiga, ia mengendus tubuh Alan lagi."Kenapa?" tanya Alan."Mas dari mana, kok berkeringat kayak gini. Baunya juga aneh." Aira menatap Alan.Alan tampak gugup."Tadi di kantor banyak kerjaan, pas pulang belum sempat mandi. Hanya berganti baju saja, bahkan nggak sempat pakai parfum." Alan berusaha menjelaskan, tentu saja ia berbohong.Aira melihat Alan yang tampak gugup, ia tahu kalau Alan berbohong. Tapi bukan saatnya untuk berdebat. Fokusnya sekarang adalah Kenzo."Bagaimana kondisi Kenzo? Kenapa ia sampai ke rumah sakit?" tanya Alan mengalihkan pembicaraan untuk menghindari kecurigaan Aira."Dari pagi sudah demam, pas Mas berangkat tadi. Sudah dikasih obat belum turun juga. Siang tadi menelpon Mas, nggak diangkat. Di telpon lagi malah dimatikan. Akhirnya ku bawa Kenzo kesini." Aira berkata dengan suara yang bergetar."Maaf, tadi sedang meeting. Nggak lihat ponsel lagi, pas sampai rumah ternyata ponselnya mati." Alan lancar sekali berbohongnya.Aira terdiam, ia memandangi Kenzo yang terlelap tidur. Ia kesal, kalau teringat betapa paniknya ia tadi siang. Andai ia tahu ketika ia panik, Alan malah sedang bergelut, berbagi peluh dengan wanita lain, pasti ia akan sangat kecewa."Mas, andai Mas tahu bagaimana paniknya aku tadi. Semua aku putuskan sendiri, aku bingung sekali. Bahkan tas yang kubawa tertinggal di taksi. Untung saja pengemudinya baik, mengantarkan kesini." Aira menarik nafas panjang."Apalagi waktu Kenzo diambil darahnya tadi. Ia menangis, membuatku ikut menangis juga," kata Aira dengan mata berkaca-kaca."Maafkan aku, ya? Hari ini benar-benar banyak sekali pekerjaan yang harus aku lakukan. Tenang saja, besok aku akan disini menunggu Kenzo. Aku akan minta izin nggak masuk kerja." Alan berkata dengan penuh penyesalan. Ia berusaha menebus rasa bersalahnya. Kemudian memeluk Aira lagi."Apa diagnosa dokter?" tanya Alan lagi."Gejala tipes, Mas."Krucuk…krucuk, terdengar suara dari perut Aira."Mas, aku lapar. Dari siang belum sempat makan. Kenzo rewel terus, terpaksa aku harus menggendongnya. Baru sore tadi ia bisa tidur. Kalau aku cari makan, aku nggak tega meninggalkan Kenzo sendirian. Mau menitipkan pada perawat pun aku nggak tega," kata Aira dengan wajah yang tampak memelas.Alan tertegun mendengar penuturan istrinya, Aira memang tampak pucat dengan wajah yang terlihat kusut. Rasa bersalah itu semakin membesar."Kamu mau makan apa? Nanti biar aku belikan.""Apa saja Mas. Yang penting bisa untuk mengisi perut, dari tadi isinya cuma air saja. Jangan lupa beli air mineral, juga cemilan.""Oke."Alan pun mencium kening Kenzo, kemudian mencium kening istrinya. Aira mengerutkan keningnya, ia melihat sesuatu yang agak mencurigakan. Belum sempat bertanya, Alan sudah keluar dari kamar."Sepertinya hari ini Mas Alan tampak aneh. Apakah ia punya masalah?" gumam Aira.Aira pun mencoba untuk memejamkan mata lagi."Ibu," panggil Kenzo.Aira pun langsung membuka matanya lagi."Iya, Sayang?" Aira langsung memegang dahi Kenzo, sudah mulai agak dingin."Lepas." Kenzo berkata sambil berusaha untuk melepas infus yang ada di tangannya."Jangan Sayang. Ini ada obatnya, biar Kenzo cepat sembuh. Kita bisa pulang."Tiba-tiba Kenzo menggigil lagi, Aira langsung menyelimuti Kenzo."Kepala Kenzo sakit?" tanya Aira. Kenzo hanya mengangguk."Bobok lagi ya?""Kelonin," rengek Kenzo.Akhirnya Aira berbaring di tempat tidur bersama dengan Kenzo. Sambil mengelus-elus badan Kenzo, biar ia merasa nyaman."Mas Alan kok lama sekali ya?" kata Aira dalam hati. Perutnya sudah mulai terasa perih."Jangan sampai asam lambung naik." Aira masih bermonolog dalam hati. Akhirnya ia terlelap dalam mimpi, sambil mengeloni Kenzo. Ceklek! Alan membuka pintu kamar Kenzo. Ia melihat Aira tertidur di tempat tidur sambil memeluk Kenzo. Dipandanginya wajah kedua orang yang menjadi tanggung jawabnya itu. Istri dan anaknya yang sangat ia sayangi, tapi sekarang ada sesuatu yang lain dihatinya.Alan melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wajar saja kalau Aira tertidur. Tadi waktu ia membeli makan, bertemu dengan temannya. Ia ngobrol sampai lupa waktu. Kemudian Firda menelponnya. Kalau sudah berhubungan dengan Firda, Alan bisa lupa segalanya."Dek, bangun! Ayo makan dulu," kata Alan sambil membangunkan Aira. Aira pun menggeliat dan bangun. Selanjutnya ia beranjak dari tempat tidurnya. Aira membuka bungkusan yang dibawa oleh Alan. Sate ayam dan beberapa makanan cemilan. "Ayo makan, Mas," tawar Aira."Kamu saja yang makan. Aku tadi sudah makan sambil nunggu sate ini."Aira makan den
"Dek, kamu kok bangun," kata Alan yang tampak terkejut melihat Aira duduk dan menatap tajam padanya. Alan tersenyum untuk menghilangkan gugup, kemudian duduk di sebelah Aira."Kamu tidur saja, tadi kan sudah capek mengurus Kenzo. Biar sekarang aku." Alan berkata dengan penuh perhatian, seolah-olah ia adalah suami yang baik."Katakan dengan jujur, Mas. Siapa perempuan itu!" "Apa yang kamu katakan? Perempuan apa?" Alan masih berusaha bersikap tenang."Perempuan yang menelponmu!" tegas Aira."Bukan perempuan, itu Herdi. Ia bertanya tentang laporan yang tadi aku berikan." Lagi-lagi Alan berusaha bersikap wajar. Herdi adalah teman satu kantor Alan, Aira juga mengenal Herdi dan istrinya."Jangan berbohong, Mas!""Sayang, kamu kebanyakan nonton berita perselingkuhan artis. Jadi kamu bawaannya curiga denganku.""Mas, kenapa Mas merindukan goyangan Herdi. Memangnya Mas ngapain dengan Herdi? Main kuda-kudaan? Seintim itukah hubunganmu dengan Herdi?"Wajah Alan tampak pucat, ia sangat gugup. K
Alan yang mendengar teriakan Aira, segera mendekati Aira."Darah apa?" tanya Alan.Aira menunjukkan selangkangannya yang keluar darah segar."Tenang, Sayang. Aku panggil perawat dulu." Alan segera berlari mencari perawat jaga. Tak berapa lama, dua orang perawat berusaha mendekati Aira yang masih tampak terduduk di lantai. Perawat itu melakukan pertolongan pertama pada Aira."Apakah Ibu sedang hamil?" tanya seorang perawat.Aira menggelengkan kepala, karena ia merasa tidak hamil."Oke, kami akan membawa Ibu ke ruang IGD untuk melakukan tindakan yang tepat."Seorang perawat berusaha menelpon seseorang, sepertinya ia meminta orang tersebut untuk mengantarkan brankar. Tidak menunggu lama, seorang perawat laki-laki masuk ke dalam kamar sambil mendorong brankar.Dengan dibantu Alan, perawat itu berusaha mengangkat tubuh Aira dan meletakkannya di brankar."Bapak disini saja, menunggui anaknya. Biar kami yang mengurus Ibu."Alan hanya bisa mengangguk pasrah, pikirannya menjadi tidak karuan.
"Alan sudah bosan denganmu, karena itu ia mencari kehangatan bersamaku. Katanya aku lebih hot daripada kamu," sahut Firda. Ia sengaja tidak membahas tentang suaminya. Ia ingin membuat mental Aira jatuh."O ya? Alan itu hanya ingin mencari sensasi lain. Denganmu ia melakukannya hanya nafsu belaka, tapi denganku melakukannya penuh cinta. Karena aku sah dimata hukum agama dan negara. Sedangkan kamu tak ubahnya hanya sebagai terminal saja. Jangan-jangan kamu melakukannya tidak hanya dengan Alan dan suamimu. Tapi dengan banyak laki-laki. Atau kamu open BO?" Aira membalas kata-kata Firda dengan penuh percaya diri. Ia tidak mau terlihat lemah."Firda, aku ingatkan kamu. Kalau kamu masih menghubungi Alan, aku tidak segan-segan akan menyebar foto-foto seksimu. Bagaimana reaksi suami dan orang tuamu ketika melihat itu. Bukankah kamu dulu tidak disetujui menikah dengan Alan? Pasti orang tuamu bisa marah besar, atau mungkin jantungan dan stroke!" Aira semakin berani menantang Firda.Firda yang sa
"Kenapa sih masalah datang bertubi-tubi? Ketahuan selingkuh, anak istri sakit, adik minta iPhone dan Mama menyebutku durhaka," kata Alan dalam hati sambil mengusap kasar wajahnya karena kesal. Ia hanya bisa merutuki apa yang ia alami."Mas, perutku sakit sekali," kata Aira, ia pura-pura kesakitan untuk melihat reaksi Alan.Alan tersentak dalam lamunannya, kemudian ia langsung membopong tubuh Aira ke tempat tidur. Menyelimuti tubuh Aira."Perlu aku panggilkan perawat?" tanya Alan dengan wajah yang cemas."Nggak usah, biar aku istirahat saja." Aira memegangi perutnya."Seharusnya Kenzo punya adik," kata Aira dengan pelan. Alan merasa tertampar mendengar kata-kata Aira."Maafkan aku, aku nggak tahu kalau kamu hamil." Mata Alan tampak berkaca-kaca sambil mengelus perut Aira."Aku benar-benar menyesal telah melukaimu." Alan melanjutkan ucapannya.Aira hanya terdiam, ia masih belum bisa memaafkan perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya. Ponsel Aira yang berdering. Terpampang nama Oma K
"Aira sakit, Ma.""Sakit apa? Manja sekali, sampai-sampai suaminya nggak boleh kerja." Dewi langsung masuk ke dalam rumah, ia datang bersama dengan Trisa."Dimana anak istrimu?" tanya Dewi yang kemudian duduk di sofa. "Istirahat di kamar, Ma. Mereka sedang sakit."Belum sempat Dewi berkata lagi, terdengar suara bel berbunyi. Alan segera menemui tamu yang datang. Ternyata tukang laundry, Alan pun masuk kembali untuk mengambil pakaian kotor."Siapa tamunya?" tanya Dewi. Alan hanya diam, karena ia tahu kalau mamanya pasti mau mengomel."Kayaknya tukang laundry, Ma," sahut Trisa ketika melihat Alan membawa dua kantong plastik besar. Alan tetap diam.Alan masuk ke ruang keluarga lagi setelah tukang laundry pulang. Belum sempat Alan duduk, bel berbunyi lagi. Alan kembali berjalan ke depan, karena ia yakin kalau yang datang ini adalah makanan yang ia pesan."Wah enak sekali istrimu ya? Dengan alasan sakit nggak sempat mencuci baju dan masak. Ini namanya pemborosan!" sindir Dewi ketika melih
"Ibu, maem." Kenzo merengek minta makan."Kenzo lapar ya?" tanya Aira sambil mengelus kepala Kenzo.Kenzo menganggukkan kepala. Sebenarnya Aira malas menemui Dewi, tapi karena Kenzo lapar, mau tidak mau Aira harus keluar dari kamar. Ia menyiapkan mental untuk bertemu dengan mama mertuanya."Akhirnya kamu keluar kamar juga? Jangan-jangan dari tadi kamu sengaja tidak mau menemui Mama." Dewi langsung nyerocos melihat Aira berjalan tertatih-tatih menggendong Kenzo. Tidak ada rasa iba sedikitpun melihat menantunya yang sedang sakit, atau sekedar menyapa cucunya. Alan yang melihat kondisi Aira, segera mendekati Aira dan menggendong Kenzo."Aku benar-benar tidur, Ma. Suara Mama yang keras tadi mengagetkan aku dan Kenzo." Aira menjawab ucapan Dewi."Alasan saja! Kata Alan kamu keguguran ya? Apa kamu nggak KB? Kenzo masih kecil kok sudah mau dikasih adik," omel Dewi. Aira hanya diam."Selalu saja aku yang salah," kata Aira dalam hati."Ma, sudahlah, nggak usah ngomel," kata Alan."Bela terus
"Mampus aku!" umpat Trisa sambil menatap ponselnya. Jantungnya berdetak dengan kencang.Alan dan Dewi menoleh ke arah Trisa."Kamu kenapa?" tanya Alan."E…e…nggak apa-apa, Mas." Trisa menjawab dengan gugup dan suara bergetar."Matilah aku," umpat Trisa lagi, tadi dengan suara yang agak pelan. Hanya Alan saja yang mendengarnya."Ada apa?" tanya Alan lagi."Bakal terjadi perang," gumam Trisa.Alan hanya bisa mengernyitkan dahi melihat Trisa bertingkah aneh. "Perang?" tanya Alan lagi.Trisa hanya diam saja, pikirannya kacau. Ia membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Papanya pasti marah besar melihat video yang dikirim tadi. Sudah terlambat bagi Trisa untuk menghapusnya, karena sudah terlihat tanda centang dua berwarna biru. Berarti papanya sudah melihat video itu.Drtt….drtt…. Ponsel Dewi berdering. Dewi menerima panggilan itu."Halo, Pa?" sapa Dewi."Mama ada dimana?""Di rumah Alan.""Ngapain kesitu? Memangnya Alan nggak kerja?""Enggak, Pa. Kasihan Alan, Aira manja sekali, baru sa
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d