Kubaringkan diriku di atas kasur di kamarku. Apa yang terjadi hari ini membuat kepalaku tak bisa lagi kuajak berpikir jernih. Bu Fatma tidak main-main. Dampak dari foto-foto itu di luar dugaanku. Ayah yang biasanya pasang badan di depanku justru sibuk dengan urusannya sendiri sehingga terkesan mengabaikan aduanku mengenai apa yang terjadi hari ini. Bahkan dia berkata dengan tegas agar aku segera menyelesaikan semuanya hingga tak mengganggu rencananya yang sudah tersusun rapi. Belum lagi dengan kondisi ibu yang terlihat masih syok di dalam kamarnya. Wanita itu betah duduk berlama-lama di depan teralis jendela kamar memandang ke arah luar kamar dengan tatapan kosong. Entah berapa kali aku sudah mencoba menghubungi Mas Arya untuk membicarakan masalah yang menimpaku ini. Tak hanya meneleponnya Aku juga berusaha mengirimkan puluhan pesan yang hanya berakhir dengan tanda centang satu. Mas Arya benar-benar memblokir nomorku. Salah hilang bakti telan bumi laki-laki yang sempat mengejarku
BRAKKubanting tas jinjing milikku di atas meja kaca di ruangan Mas Arya. Aku sudah tak bisa bersabar mendapati lelaki itu yang hilang tak berjejak. Satu-satunya jalan adalah mendatanginya langsung ke kantor miliknya.Beberapa kali aku pernah kemari, jadi tak sulit untukku kembali melakukan hal yang sama. Meskipun jujur saja ada rasa takut masih dia akan mengetahui kedatanganku kemari. Aku tak punya pilihan selain memberanikan diri mencari keberadaan Mas Arya yang seperti sengaja bersembunyi dariku. Berbanding terbalik dengan kejadian beberapa minggu yang lalu saat dia mengancamku yang hendak memilih pergi memutuskan hubungan dengannya. "Kamu sudah gila?!" Mas Arya berjalan cepat ke arah pintu ruangan miliknya. Kulihat dengan mataku sendiri laki-laki itu salah ketakutan hingga tangannya sedikit bergetar saat mengunci pintu.Aku mendecih sinis. Laki-laki itu benar-benar kehilangan taringnya. Dia bukanlah lagi Mas Arya yang sama. Entah ancaman seperti apa yang telah dilontarkan oleh
“Lalu aku? Bagaimana dengan hidupku, Mas? Kau harus bertanggungjawab atas apa yang kualami. Perlukah aku membawa kasus ini pada kepolisian? Aku akan membuat istrimu kena hukuman karena hal ini!” Mas Arya tersentak dengan kalimatku. Pintar sekali caranya menyingkir dari masalah ini. Bahkan dia tak peduli sama sekali dengan apa yang menimpaku. Aku tak bisa diam saja membiarkan ketidakadilan ini menimpaku. “Jangan bodoh. Aku yakin dinas pendidikan tidak mau masalah ini makin meluas. Mereka akan makin menanggung malu jika persoalan ini tercium oleh media. Kau hanya butuh waktu sebentar saja untuk membuat semuanya seperti semula.” “Mas?! Bahkan aku terancam dimutasi ke daerah lain, bisa jadi daerah terpencil! Tak hanya itu, bisa saja aku dikantorkan, tidak mengajar lagi! Aku tak bisa diperlakukan seperti itu!” ucapku tak terima dengan perkataannya yang seolah meremehkan apa yang menimpaku. Rasanya kiamat sudah berada di pelupuk mataku saat ini. “Kau pikir aku tak mendapatkan hukuman da
Aku berjalan gontai setelah menerima surat mutasi beberapa waktu yang lalu. Sungguh tak ada dalam bayanganku menerimanya secepat ini. Momen pergantian tahun ajaran memang membuat hal-hal semacam ini seringkali terjadi. Hanya saja, untuk kasusku kurasa memang semuanya amat dipercepat. "Saya harap Bu Soraya akan jauh lebih baik di tempat yang baru," tutur Bu Fatma setelah menyerahkan amplop coklat tersebut. Kalimat itu terngiang di kepalaku. Aku bukan tak paham dengan kasak-kusuk di kantor guru saat aku kembali dari ruangan kepala sekolah. Mereka menatapku kaget yang membuktikan bahwa mereka memang menjadikanku topik pembicaraan kali ini. "Semoga segalanya lekas membaik, Bu Soraya." Hanya wanita berkerudung lebar bernama Bu Lulu itulah yang menunjukkan raut simpatinya. Kali ini aku menatapnya agak lama. Wanita itu tersenyum menenangkan. Mataku berkaca-kaca. Baru kali ini kurasakan ada orang yang bersikap setulus ini. "Apakah sudah tahu mutasi kemana?" tanyanya hati-hati. Aku mengge
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe