Dokter gila itu menurunkan kacamatanya. Aku benci sekali mendapati dirinyalah satu-satunya dokter yang bisa menangani lukaku sekarang ini. Seandainya aku bisa bebas menentukan dokter lain, tentu akan kulakukan hal tersebut. "Kiran, kau dengar apa kataku bukan?" Dokter yang merupakan teman seangkatanku di sekolah menengah atas itu mendelik penuh selidik ke arahku dan Kinan. Sialnya Kiran justru tersenyum geli. Dia tahu Salman pasti watak Salman yang keras kepala dan arogan. Entah mengapa dia yang sepertinya punya masalah kejiwaan itu justru lulus menjadi dokter di usianya yang terbilang cukup muda. Bahkan laki-laki yang mengenakan jas berwarna putih itu kudengar sudah selesai mengambil spesialisasi bedah. Entah apa yang akan dia bedah, kurasa otaknya yang perlu diganti agar bisa berpikir sedikit saja hal positif tentangku. "Kenapa lagi wajahmu?" tanyanya dengan suara dingin. Tak ada keramahan sedikit pun dari wajahnya. Hei, bukankah itu berbeda sekali dengan sumpah seorang dokter
Terbongkar Aku tengah mengikuti arisan dengan teman-teman satu komunitasku saat melihat kedatangan Mbak Cintya dengan wajah masam ke arah tempat duduk yang sudah kami pesan ini. Awalnya aku mengira dia yang juga anggota grup arisan datang seperti biasanya sebelum jambakan keras di rambutku membuat diriku berteriak keras. Aku tak mampu menghindar karena yang dilakukan Mbak Cintya tergolong amat cepat. Kulit kepalaku perih seketika. Rambut di kepalaku seolah tercabut seluruhnya tanpa ampun. Aku mengerang. Sementara teman-teman arisan mulai panik dengan ketegangan yang tidak biasa terlihat. Aku dan Mbak Cintya bahkan sudah seperti kakak beradik. Kedekatan itulah yang membuat orang-orang tak percaya dengan apa yang mereka lihat. "Sund*l ! Kau sungguh menjijikkan, Soraya! Kau jal*Ng paling nista yang pernah kutemui dalam hidupku!" Plak. Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku hanya mengaduh penuh rasa sakit dengan bibir yang mulai menangis tak mampu menahan sakit. "Aku tak m
Serangan Untuk Pelakor "Mbak! Jangan bawa-bawa ayahku. Dia nggak tahu apa-apa." Aku memohon hampir berlutut di depan wanita kesetanan itu. Sedangkan anggota arisan yang lain kulihat wajahnya syok tak menyangka akulah dalang di balik kemarahan Mbak Cintya, wanita yang selalu terlihat bahagia dengan pernikahannya. Ya, itulah yang membuatku akhirnya terhasut setan yang bersemayam dalam diriku sendiri. Aku terhasut ingin memiliki kehidupan layaknya negeri dongeng seperti yang selama ini Mbak Cintya rasakan. Suami yang mapan sekaligus penyayang, anak-anak yang sehat dan lucu, mertua yang amat baik, belum lagi dengan kepintarannya membawa diri di depan banyak orang. Kedua orang tua Mbak Cintya pun orang berpunya. Bisnisnya menggurita, membuat wanita berkulit putih dengan tinggi sebahuku itu tak perlu bersusah payah bekerja. Hidupnya hanya dihabiskan untuk menikmati liburan demi liburan. Aku tahu semua itu dari postingan Mbak Cintya sendiri di akun media sosialnya. Aku benci semua itu.
Mbak Cintya tidak main-main. Bahkan semesta seolah bekerja sama di bawah perintahnya. Dia sengaja datang ke rumahku saat di rumah tengah ada acara pertemuan keluarga. Salah satu kakak sepupuku yang berhasil mendirikan start up di bidang IT datang ke rumah untuk bertemu dengan Ayah.Meski hubungan keluarga kami tak terlalu baik, namun atas dasar kepentingan pencitraan seolah kami adalah keluarga yang saling mendukung satu sama lain.Aku tak menyangka kedatangan Mbak Cintya akan bersamaan dengan pertemuan intern keluarga ini. Jangan tanya bagaimana ekspresi wajahku saat melihatnya dengan gaun selutut dengan sepatu hak tinggi yang makin memperlihatkan kaki jenjangnya yang menawan. Ibu yang sudah kenal dekat dengan Mbak Cintya merangkul wanita itu hingga mereka berpelukan hangat beberapa saat lamanya. Sementara Ayah hanya berjabat tangan sewajarnya terhadap wanita itu. Aku yang gugup bahkan lupa mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. "Silakan masuk, Sayang. Kebetulan sekali kau kema
Tiba-tiba tawa Mbak Cintya pecah. Aku menatapnya dengan penuh tanya. “Tenang, aku hanya bercanda.” Mbak Cintya memegangi perutnya sambil tertawa lebar. “Jangan panik, aku hanya ingin membuat Om deg-degan,” lanjutnya. Wanita itu beranjak mendekati tempat dudukku. Diusapnya lembut pipiku yang kurasa sudah hampir sedingin es. Candaannya terlihat begitu mengerikan. "Tak mungkin ayahmu yang family man berbuat macam-macam di luar sana bukan, Soraya?" Mata itu menatapku tajam, bak singa lapar yang hendak menerkam mangsanya yang ketakutan di depan mata. "Bukankah laki-laki yang baik dan penyayang keluarga seperti Om tak mungkin melakukan hal sehina itu?" Kini berbalik Mbak Cintya mengarahkan pandangannya ke arah ayahku. Entah mengapa aku yakin apa yang baru saja diungkapkan wanita itu benar adanya. Bukan tak mungkin ayahku yang terlihat amat mencintai Ibu tertarik dengan daun muda di luar sana. Apalagi pekerjaan yang mengharuskan dirinya seringkali melakukan jawatan ke luar kota. Apal
"Aku pulang, belum saatnya membuatmu hancur. Ini terlalu cepat. Aku hanya melakukan pemanasan." Mbak Cintya meraih daguku selepas kedua orangtuaku berlalu meninggalkan ruang tamu rumahku. Riuh canda keluarga besarku di halaman belakang cukup memekakkan telinga. Berbanding terbalik dengan keadaan di tempatku berada saat ini. Sepi sekali, hingga detak jarum saja terdengar begitu nyaring di telingaku. Aku mendesah menanggapi sikap Mbak Cintya yang makin terlihat puas dengan ketakutan yang terpancar dari wajahku.Sekuat apapun aku menginginkan terlihat tenang, detak jantungku sulit sekali untuk kuajak bekerja sama. Aku ketakutan mendapati Mbak Cintya yang tak terlihat tengah bermain-main dengan ancamannya. "Aku akan membuatmu kesakitan hingga lupa caranya merintih Soraya. Kau akan lupa bagaimana caranya mengaduh karena sakit tak terperi yang akan kau rasakan." Kudukku meremang. Jujur, aku sempat berpikiran jika suatu saat hubungan gelapku dengan Mas Arya akan terbongkar. Aku begitu ju
Aku hampir gila mendapati kenyataan sulit sekali menghubungi Mas Arya. Berkali-kali menyentuh tombol berwarna hijau di ponselku hanya berakhir tanpa tersambung. Entah dimana laki-laki itu berada saat ini.Jika sebelum Mbak Cintya mengendus semua ini tentu aku dengan mudah mengakses rumah mereka. Beralasan ingin bertemu dua keponakanku aku bisa bertandang ke rumah Mbak Cintya demi bertemu dengan Mas Arya walau tak sebebas pertemuanku di luar sana. Gila memang. Aku bahkan menemui suami orang itu di rumahnya sendiri, di depan istri dan anaknya. Aku wanita tak berhati benar adanya. [ Mas. Dimana? Mbak Cintya nggak main-main. Please, temui aku secepatnya. Kita perlu bicara!] Mataku menyala menyadari pesan terakhirku sudah terbaca oleh Mas Arya. Tanda ceklis dia berwarna hijau sudah menunjukkan pesan tersebut sudah terbaca. Laki-laki itu harus bertanggungjawab atas semua permasalahan ini. Bukankah aku sudah memintanya untuk mengakhiri semua ini sebelum terlambat? Kini apa yang kukhawati
Aku refleks menutup mulutku dengan telapak tangan."Kami selesai beribadah suami istri. Laki-laki yang beberapa waktu lalu masih kau kencani itu nyatanya masih menuntut haknya padaku. Sungguh menggelikan," ucap Mbak Cintya dengan tawa yang sumbang. Aku tergidik ngeri. Tengkukku merasakan hawa dingin yang tiba-tiba kurasakan. "Apakah karena kau wanita tak berahim hingga membuatmu tak ketakutan berhubungan badan dengan laki-laki manapun yang kau incar?" Hening itu hampir membuatku ambruk seketika. "Aku memaafkan suamiku sebagai ayah dari anak-anakku. Tetapi aku tak memaafkan segala kecurangan yang sudah dia lakukan. Apakah kau berharap banyak dari laki-laki yang mengatakan akan memperjuangkanmu mati-matian dan rela meninggalkan keluarganya demi wanita busuk seperti dirimu?" Mbak Cintya menjeda kalimatnya beberapa saat. Tanganku bahkan kaku tak mampu untuk memutuskan panggilan yang sedang berlangsung. "Nyatanya apa yang dia janjikan hanya bualan semata. Cukup kuberikan satu fakta p