Tentang Soraya "Jadi Mas memilih mundur dari proyek itu?" tanyaku pada Mas Rafli yang tengah menikmati sarapan nasi ayam mentega yang kumasak. Laki-laki yang tak suka rasa pedas itu menjadikan makanan tersebut sebagai salah satu menu favoritnya."Sepertinya iya. Mas tidak ingin memperjuangkan sesuatu yang sudah terlihat tak mungkin diperjuangkan dari awalnya." Laki-laki itu menjawab dengan keyakinan yang terpancar jelas dari wajahnya. Aku mengangguk paham. Memang keluarga Wita tak akan mudah ditaklukkan. Bahkan setelah wanita itu tiada, beberapa kali kami sempat bertemu dan mereka masih saja menampakkan wajah tak bersahabat. Kami tak mempermasalahkannya. Selagi tak mengusik kenyamanan keluargaku, semuanya tak perlu dipikirkan. "Mas ingin rehat sebentar. Kebetulan ada beberapa proyek yang dalam proses finishing. Sepertinya aku bisa meninggalkannya sebentar agar kita bisa menghabiskan waktu untuk berlibur. Kau setuju dengan usulku?" Mas Rafli yang selesai menyantap makanannya meraih
"Jadi tolong, kalian berdua awasi adikmu bermain. Zoya sungguh tak bisa diam. Dia tak akan pernah betah berlama-lama bermain satu permainan saja." Entah sudah berapa kali aku memperingatkan Zayn dan Ziyan tentang adiknya. Sementara anak yang sedang kami bicarakan tidur dengan santainya di tengah-tengah kakaknya.Pipi gembul anak itu terlihat bersemu merah. Lucu sekali melihatnya tidur seperti ini. "Jangan sampai lengah. Ayah dan Bunda akan tetap mengawasi kalian," lanjutkan yang langsung ditanggapi dengan anggukan kepala. Kudengar suara tawa lirih Mas Rafli. "Kau terlalu berlebihan, Bun. Sepertinya kau ketakutan sekali Zoya akan lepas kendali." Laki-laki itu tertawa lagi sambil menggelengkan kepala. "Yah, kita tahu Zoya seperti apa. Dia tak pernah kehabisan tenaga sama sekali," jawabku sambil memajukan bibirku. "Tenang saja. Aku akan jaga tuan putri kita dengan baik." Mas Rafli mengalah. Dia tak ingin berdebat lagi denganku. Zoya memang terlihat istimewa, terlebih dia anak pere
Jantungku berdetak tak karuan. Benar sekali dugaanku. Orang yang berada di belakangku memang Soraya. Dia … wanita yang bertahun-tahun yang lalu membuat hidupku berantakan. "No. Jangan salah sangka. Aku kemari memang karena ingin memutuskan semuanya. Aku tak bisa lagi menjalin kedekatan ini. Aku tak ingin merampas kebahagiaan Mbak Cintya dengan anak-anak kalian." Tawa dari sang lelaki meledak. Terdengar cukup mengintimidasi. Sungguh, ingin sekali aku pergi. Beruntung sekat sebatas kepala tetap membuat tempat dudukku kini tak terlihat dari arah sebelah. "Kau sungguh terlihat tak biasa. Kau sedang main-main denganku? Ingat, Soraya. Pantang bagi seorang Aryasatya bergerak mundur. Kemana saja selama ini jika kau bilang tak ingin merampas kebahagiaan Cintya dan anak-anakku? Bahkan kau sudah dianggap adik oleh istriku. Kau lebih lama mengenalnya daripada mengenalku. Seharusnya kau berpikir baik-baik sebelum mendekatiku seperti lintah! Bahkan kau orang pertama yang mampu melihat bagaimana
Karma Dibayar Tunai "Mas, tolong. Kita sudahi semuanya. Aku yakin hubungan Mas Arya dengan Mbak Cintya masih bisa diperbaiki. Ingat, ada Devano dan Raya. Mereka butuh ayah ibunya lengkap. Mereka butuh Mas untuk jadi pelindung keluarga. Ingat, Mas. Mbak Cintya amat sayang dan patuh dengan Mas Arya. Dia …." "Cukup. Kau sudah membuang-buang waktuku. Keputusanku bulat. Aku akan menggugat cerai Cintya, dengan atau tanpa persetujuan darimu. Dan kau…jangan coba-coba kabur dariku, Soraya. Pantang untuk seorang Aryasatya dipecundangi seperti ini! Kau tak akan bisa kabur begitu saja setelah berhasil merebut hatiku." Lirih tangis Soraya terdengar. Entah dia benar-benar serius atau hanya alibinya semata untuk menghindar dari hubungan yang amat tak sehat itu. Bisa saja dia sudah menemukan mangsa baru yang lebih membuatnya tertantang. Soraya bukan wanita kekurangan. Keluarganya cukup berada, bahkan bisa dibilang kaya raya. Tak mungkin faktor ekonomi adalah satu-satunya alasan yang membuat Soray
Aku tersenyum. Aku bukan tengah bersandiwara. Semata-mata hanya simpati yang membuatku melakukan hal demikian.Soraya meraih tisu yang kusodorkan. Diusapnya air mata yang membanjir di pipi pualamnya hingga benar-benar kering. Kubiarkan dia menyelesaikan tangisannya. Beberapa saat kupandangi wanita itu. Bagaimana pun aku harus tetap berterima kasih, atas luka yang dia torehkan membuatku mampu berdiri sekuat ini. Atas luka yang dia torehkan membawaku bertemu dengan laki-laki yang membuat hidupku jauh lebih baik dan bermakna. Aku berterima kasih, atas partisipasinya menghancurkan hidupku membawaku pada pelukan mertua yang amat baik, yang memperlakukanku dengan begitu manis. Mertua yang bahkan tak pernah membedakan diriku dengan anak perempuannya. Dimana lagi aku mendapatkan kebaikan hati mertua semacam itu?"Aku sungguh memalukan, Vinda…." Soraya tertunduk. Tak ada lagi tatapan congkak wanita itu tak seperti bertahun-tahun yang lalu saat dengan sombongnya berhasil mengambil Mas Galih
Soraya mengigit bibirnya. Kurasa kalimatku berhasil memberinya pukulan. Benar, tak semua wanita sekuat diriku. Aku bisa bangkit membesarkan anak-anakku sebelum menikah dengan Mas Rafli. Tanpa pekerjaan, tanpa dukungan materi dari Mas Galih sebagai ayah kandung mereka. Bahkan setelah perceraian pun aku dihadapkan pada situasi yang amat menguras emosi. Mereka datang untuk mengambil salah satu dari anakku. "Maaf," ucapnya dengan suara bergetar. "Seharusnya kau bisa mencegah dirimu larut dengan nafsu yang kini justru membelitmu sedemikian kuat." Dia mengangguk. Nyatanya begitu, dia ingin lepas dari laki-laki bernama Arya, namun laki-laki itu sepertinya bergerak di luar kendali. "Kukira Mas Arya hanya bermain-main, sama sepertiku. Dia hanya butuh bersenang-senang sesaat. Jika sampai dia ingin bercerai dari istrinya, sungguh itu di luar dugaan. Aku kalah dengan permainan yang kuciptakan sendiri." Mata itu kembali dipenuhi kaca-kaca bening. Soraya terlihat amat kacau. "Berhentilah. Se
Pertemuan "Bawa anak-anak bertemu ayahnya." Mas Rafli menatapku penuh keseriusan. Mata beriris coklat itu makin membuatku tenggelam. Hatinya yang begitu lapang tiba-tiba mengutarakan hal tersebut setelah aku mengabarkan pertemuanku dengan Soraya. Laki-laki itu tak menyela sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Dengan penuh perhatian dia mendengarkan seluruh ceritaku. "Jangan membentangkan jarak antara anak-anak dan ayahnya." Mas Rafli meraih tanganku dan mengusap punggung tanganku penuh kelembutan. Aku menenggelamkan kepalaku dalam dadanya. Tempat paling nyaman yang pernah kutemui dalam hidupku. Disanalah segala bentuk bahagia dan sedihku berlabuh. Disanalah dermaga yang kutuju setelah perahuku lelah berlayar. Mas Rafli memelukku erat. Wangi parfum khas miliknya amat menenangkanku. Laki-laki yang tak pernah terpikirkan akan menjadi pendamping di sisa usiaku ini benar-benar memperlakukanku bak seorang ratu dalam sebuah kerajaan. "Aku tak akan pernah melarangmu mempertemukan mereka
"Bunda…apakah kakak nakal?" Ziyan, anak lelakiku yang amat perasa itu bertanya saat berada dalam mobil. Sebelum kami berangkat, mereka sudah terlebih dahulu kuberitahu perihal rencana pertemuan kali ini. Zayn yang cenderung cuek hanya mengangguk tanpa bertanya apapun. Berkebalikan dengan Ziyan yang terlihat berpikir keras dengan apa yang kukatakan. Anak itu pasti berpikir tidak-tidak. Kini keajaibanku menjelaskan hal ini padanya. "Kak, apakah bertemu dengan ayah Galih hanya saat kalian nakal?" tanyaku balik padanya. Ziyan menggeleng perlahan. Namun matanya tak berbohong. Dia berpikir keras memecahkan alasan yang mendasari ibunya datang menemui ayah mereka. "Ziyan…." "Ayah Galih rindu dengan kalian. Dia ingin melihat segendut apa kau sekarang. Bukankah kau ingin bercerita bagaimana kisahmu juara lomba melukis kemarin?" Mas Rafli mengambil alih posisiku berbicara. Kurasa mempan, Ziyan bergerak menganggukkan kepala. Zayn jangan ditanya. Anak itu bahkan tertidur bersama Zoya sambil
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa