Karma Dibayar Tunai "Mas, tolong. Kita sudahi semuanya. Aku yakin hubungan Mas Arya dengan Mbak Cintya masih bisa diperbaiki. Ingat, ada Devano dan Raya. Mereka butuh ayah ibunya lengkap. Mereka butuh Mas untuk jadi pelindung keluarga. Ingat, Mas. Mbak Cintya amat sayang dan patuh dengan Mas Arya. Dia …." "Cukup. Kau sudah membuang-buang waktuku. Keputusanku bulat. Aku akan menggugat cerai Cintya, dengan atau tanpa persetujuan darimu. Dan kau…jangan coba-coba kabur dariku, Soraya. Pantang untuk seorang Aryasatya dipecundangi seperti ini! Kau tak akan bisa kabur begitu saja setelah berhasil merebut hatiku." Lirih tangis Soraya terdengar. Entah dia benar-benar serius atau hanya alibinya semata untuk menghindar dari hubungan yang amat tak sehat itu. Bisa saja dia sudah menemukan mangsa baru yang lebih membuatnya tertantang. Soraya bukan wanita kekurangan. Keluarganya cukup berada, bahkan bisa dibilang kaya raya. Tak mungkin faktor ekonomi adalah satu-satunya alasan yang membuat Soray
Aku tersenyum. Aku bukan tengah bersandiwara. Semata-mata hanya simpati yang membuatku melakukan hal demikian.Soraya meraih tisu yang kusodorkan. Diusapnya air mata yang membanjir di pipi pualamnya hingga benar-benar kering. Kubiarkan dia menyelesaikan tangisannya. Beberapa saat kupandangi wanita itu. Bagaimana pun aku harus tetap berterima kasih, atas luka yang dia torehkan membuatku mampu berdiri sekuat ini. Atas luka yang dia torehkan membawaku bertemu dengan laki-laki yang membuat hidupku jauh lebih baik dan bermakna. Aku berterima kasih, atas partisipasinya menghancurkan hidupku membawaku pada pelukan mertua yang amat baik, yang memperlakukanku dengan begitu manis. Mertua yang bahkan tak pernah membedakan diriku dengan anak perempuannya. Dimana lagi aku mendapatkan kebaikan hati mertua semacam itu?"Aku sungguh memalukan, Vinda…." Soraya tertunduk. Tak ada lagi tatapan congkak wanita itu tak seperti bertahun-tahun yang lalu saat dengan sombongnya berhasil mengambil Mas Galih
Soraya mengigit bibirnya. Kurasa kalimatku berhasil memberinya pukulan. Benar, tak semua wanita sekuat diriku. Aku bisa bangkit membesarkan anak-anakku sebelum menikah dengan Mas Rafli. Tanpa pekerjaan, tanpa dukungan materi dari Mas Galih sebagai ayah kandung mereka. Bahkan setelah perceraian pun aku dihadapkan pada situasi yang amat menguras emosi. Mereka datang untuk mengambil salah satu dari anakku. "Maaf," ucapnya dengan suara bergetar. "Seharusnya kau bisa mencegah dirimu larut dengan nafsu yang kini justru membelitmu sedemikian kuat." Dia mengangguk. Nyatanya begitu, dia ingin lepas dari laki-laki bernama Arya, namun laki-laki itu sepertinya bergerak di luar kendali. "Kukira Mas Arya hanya bermain-main, sama sepertiku. Dia hanya butuh bersenang-senang sesaat. Jika sampai dia ingin bercerai dari istrinya, sungguh itu di luar dugaan. Aku kalah dengan permainan yang kuciptakan sendiri." Mata itu kembali dipenuhi kaca-kaca bening. Soraya terlihat amat kacau. "Berhentilah. Se
Pertemuan "Bawa anak-anak bertemu ayahnya." Mas Rafli menatapku penuh keseriusan. Mata beriris coklat itu makin membuatku tenggelam. Hatinya yang begitu lapang tiba-tiba mengutarakan hal tersebut setelah aku mengabarkan pertemuanku dengan Soraya. Laki-laki itu tak menyela sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Dengan penuh perhatian dia mendengarkan seluruh ceritaku. "Jangan membentangkan jarak antara anak-anak dan ayahnya." Mas Rafli meraih tanganku dan mengusap punggung tanganku penuh kelembutan. Aku menenggelamkan kepalaku dalam dadanya. Tempat paling nyaman yang pernah kutemui dalam hidupku. Disanalah segala bentuk bahagia dan sedihku berlabuh. Disanalah dermaga yang kutuju setelah perahuku lelah berlayar. Mas Rafli memelukku erat. Wangi parfum khas miliknya amat menenangkanku. Laki-laki yang tak pernah terpikirkan akan menjadi pendamping di sisa usiaku ini benar-benar memperlakukanku bak seorang ratu dalam sebuah kerajaan. "Aku tak akan pernah melarangmu mempertemukan mereka
"Bunda…apakah kakak nakal?" Ziyan, anak lelakiku yang amat perasa itu bertanya saat berada dalam mobil. Sebelum kami berangkat, mereka sudah terlebih dahulu kuberitahu perihal rencana pertemuan kali ini. Zayn yang cenderung cuek hanya mengangguk tanpa bertanya apapun. Berkebalikan dengan Ziyan yang terlihat berpikir keras dengan apa yang kukatakan. Anak itu pasti berpikir tidak-tidak. Kini keajaibanku menjelaskan hal ini padanya. "Kak, apakah bertemu dengan ayah Galih hanya saat kalian nakal?" tanyaku balik padanya. Ziyan menggeleng perlahan. Namun matanya tak berbohong. Dia berpikir keras memecahkan alasan yang mendasari ibunya datang menemui ayah mereka. "Ziyan…." "Ayah Galih rindu dengan kalian. Dia ingin melihat segendut apa kau sekarang. Bukankah kau ingin bercerita bagaimana kisahmu juara lomba melukis kemarin?" Mas Rafli mengambil alih posisiku berbicara. Kurasa mempan, Ziyan bergerak menganggukkan kepala. Zayn jangan ditanya. Anak itu bahkan tertidur bersama Zoya sambil
Aku tercekat saat melihat mantan suamiku duduk berjongkok tengah menyuapi seorang anak yang duduk di kursi roda. Tatapan mata anak itu beda, tak seperti anak kebanyakan. Kulitnya dipenuhi bekas luka berwarna hitam dengan ukuran yang cukup lebar. Bentuk kepalanya agak besar. Berkali-kali Mas Galih terlihat membujuk anak tersebut untuk membuka mulutnya. "Ayo, Gio. Buka mulutnya. Kamu harus makan. Bukannya Gio ingin bermain dengan teman-teman yang lain?" Sepertinya Mas Galih belum menyadari keberadaan kami yang berada di belakang lelaki itu. Lelaki yang mengenakan hem berwarna biru seolah tak patah semangat. Dibujuknya anak laki-laki yang usianya kurasa belum genap sepuluh tahun."Ayah…." panggil Zayn setelah beberapa saat kami berdiri tanpa tindakan.Mas Rafli sendiri memilih membawa Zafran berkeliling melihat anak-anak yang lain. Mas Galih tak mampu menutup rasa kagetnya. Laki-laki itu bahkan tak mampu berucap saat melihat kami berempat. "Vin-da?" panggilnya dengan suara bergetar.
Penyesalan Mantan Suami Mas Galih duduk berjeda jarak cukup jauh dengan posisiku duduk. Zoya tak beranjak dari pangkuanku. Hanya Zayn dan Ziyan yang sudah berbaur dengan anak-anak di rumah singgah. Anak-anakku menyatu dengan mereka yang sedang bermain sepak bola mini di halaman yang cukup terlindung dari pandangna orang luar. Sekeliling tempat ini hampir rapat ditutupi oleh rimbunan pohon hingga membuatnya seolah terlindung dari orang-orang luar. Siapa yang menyangka disini terdapat tempat seasri ini di tengah-tengah padatnya kota. Tawa riang anak-anak seolah berbanding terbalik dengan reaksi Zoya. Anakku itu tak juga tertarik bergabung dengan kedua kakaknya. Bahkan tangannya memegang erat kedua tanganku seolah tak ingin lepas. Sesekali dia mencuri pandang ke arah ayahnya. Saat ayahnya menatap balik ke arahnya, Zoya akan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku tersenyum mendapati tingkah lucu putriku sekaligus sedih melihatnya yang masih merasa asing dengan ayah ka
"Lalu Mita? Apakah kau sempat menikahinya?" Pertanyaanku membuat laki-laki yang dulu pernah kucintai segenap hati itu menoleh cepat. Mas Galih menggeleng lesu."Belum. Aku terlalu sibuk dengan urusan hukum sehingga tak sempat memberinya kepastian sebuah pernikahan." Jawaban Mas Galih membuatku melayang ke arah masa lalu. Saat Mita datang ke restoran sambil mendekap bayinya. Dia meminta bantuanku untuk mengirimnya pulang ke kampung orangtuanya. Aku sungguh kasihan dengan gadis malang itu. Masa depannya hancur karena terjerat laki-laki seperti Mas Galih. Soraya benar-benar melakukan apa yang dia katakan. Dia menghancurkan lelaki itu meski akhirnya dia pula yang membebaskan Mas Galih dari penjara. Tetapi efek yang didapatkan Mas Galih benar-benar dahsyat. Pasti dia tak akan pernah lupa dengan jalan kehidupannya saat ini. "Mas tidak ingin memperbaiki hubungan dengan Mita? Kasihan anak kalian, nasibnya bahkan lebih buruk dari Zoya." Kalimatku yang membawa nama Zoya membuat anak perem