Soraya mengigit bibirnya. Kurasa kalimatku berhasil memberinya pukulan. Benar, tak semua wanita sekuat diriku. Aku bisa bangkit membesarkan anak-anakku sebelum menikah dengan Mas Rafli. Tanpa pekerjaan, tanpa dukungan materi dari Mas Galih sebagai ayah kandung mereka. Bahkan setelah perceraian pun aku dihadapkan pada situasi yang amat menguras emosi. Mereka datang untuk mengambil salah satu dari anakku. "Maaf," ucapnya dengan suara bergetar. "Seharusnya kau bisa mencegah dirimu larut dengan nafsu yang kini justru membelitmu sedemikian kuat." Dia mengangguk. Nyatanya begitu, dia ingin lepas dari laki-laki bernama Arya, namun laki-laki itu sepertinya bergerak di luar kendali. "Kukira Mas Arya hanya bermain-main, sama sepertiku. Dia hanya butuh bersenang-senang sesaat. Jika sampai dia ingin bercerai dari istrinya, sungguh itu di luar dugaan. Aku kalah dengan permainan yang kuciptakan sendiri." Mata itu kembali dipenuhi kaca-kaca bening. Soraya terlihat amat kacau. "Berhentilah. Se
Pertemuan "Bawa anak-anak bertemu ayahnya." Mas Rafli menatapku penuh keseriusan. Mata beriris coklat itu makin membuatku tenggelam. Hatinya yang begitu lapang tiba-tiba mengutarakan hal tersebut setelah aku mengabarkan pertemuanku dengan Soraya. Laki-laki itu tak menyela sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Dengan penuh perhatian dia mendengarkan seluruh ceritaku. "Jangan membentangkan jarak antara anak-anak dan ayahnya." Mas Rafli meraih tanganku dan mengusap punggung tanganku penuh kelembutan. Aku menenggelamkan kepalaku dalam dadanya. Tempat paling nyaman yang pernah kutemui dalam hidupku. Disanalah segala bentuk bahagia dan sedihku berlabuh. Disanalah dermaga yang kutuju setelah perahuku lelah berlayar. Mas Rafli memelukku erat. Wangi parfum khas miliknya amat menenangkanku. Laki-laki yang tak pernah terpikirkan akan menjadi pendamping di sisa usiaku ini benar-benar memperlakukanku bak seorang ratu dalam sebuah kerajaan. "Aku tak akan pernah melarangmu mempertemukan mereka
"Bunda…apakah kakak nakal?" Ziyan, anak lelakiku yang amat perasa itu bertanya saat berada dalam mobil. Sebelum kami berangkat, mereka sudah terlebih dahulu kuberitahu perihal rencana pertemuan kali ini. Zayn yang cenderung cuek hanya mengangguk tanpa bertanya apapun. Berkebalikan dengan Ziyan yang terlihat berpikir keras dengan apa yang kukatakan. Anak itu pasti berpikir tidak-tidak. Kini keajaibanku menjelaskan hal ini padanya. "Kak, apakah bertemu dengan ayah Galih hanya saat kalian nakal?" tanyaku balik padanya. Ziyan menggeleng perlahan. Namun matanya tak berbohong. Dia berpikir keras memecahkan alasan yang mendasari ibunya datang menemui ayah mereka. "Ziyan…." "Ayah Galih rindu dengan kalian. Dia ingin melihat segendut apa kau sekarang. Bukankah kau ingin bercerita bagaimana kisahmu juara lomba melukis kemarin?" Mas Rafli mengambil alih posisiku berbicara. Kurasa mempan, Ziyan bergerak menganggukkan kepala. Zayn jangan ditanya. Anak itu bahkan tertidur bersama Zoya sambil
Aku tercekat saat melihat mantan suamiku duduk berjongkok tengah menyuapi seorang anak yang duduk di kursi roda. Tatapan mata anak itu beda, tak seperti anak kebanyakan. Kulitnya dipenuhi bekas luka berwarna hitam dengan ukuran yang cukup lebar. Bentuk kepalanya agak besar. Berkali-kali Mas Galih terlihat membujuk anak tersebut untuk membuka mulutnya. "Ayo, Gio. Buka mulutnya. Kamu harus makan. Bukannya Gio ingin bermain dengan teman-teman yang lain?" Sepertinya Mas Galih belum menyadari keberadaan kami yang berada di belakang lelaki itu. Lelaki yang mengenakan hem berwarna biru seolah tak patah semangat. Dibujuknya anak laki-laki yang usianya kurasa belum genap sepuluh tahun."Ayah…." panggil Zayn setelah beberapa saat kami berdiri tanpa tindakan.Mas Rafli sendiri memilih membawa Zafran berkeliling melihat anak-anak yang lain. Mas Galih tak mampu menutup rasa kagetnya. Laki-laki itu bahkan tak mampu berucap saat melihat kami berempat. "Vin-da?" panggilnya dengan suara bergetar.
Penyesalan Mantan Suami Mas Galih duduk berjeda jarak cukup jauh dengan posisiku duduk. Zoya tak beranjak dari pangkuanku. Hanya Zayn dan Ziyan yang sudah berbaur dengan anak-anak di rumah singgah. Anak-anakku menyatu dengan mereka yang sedang bermain sepak bola mini di halaman yang cukup terlindung dari pandangna orang luar. Sekeliling tempat ini hampir rapat ditutupi oleh rimbunan pohon hingga membuatnya seolah terlindung dari orang-orang luar. Siapa yang menyangka disini terdapat tempat seasri ini di tengah-tengah padatnya kota. Tawa riang anak-anak seolah berbanding terbalik dengan reaksi Zoya. Anakku itu tak juga tertarik bergabung dengan kedua kakaknya. Bahkan tangannya memegang erat kedua tanganku seolah tak ingin lepas. Sesekali dia mencuri pandang ke arah ayahnya. Saat ayahnya menatap balik ke arahnya, Zoya akan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku tersenyum mendapati tingkah lucu putriku sekaligus sedih melihatnya yang masih merasa asing dengan ayah ka
"Lalu Mita? Apakah kau sempat menikahinya?" Pertanyaanku membuat laki-laki yang dulu pernah kucintai segenap hati itu menoleh cepat. Mas Galih menggeleng lesu."Belum. Aku terlalu sibuk dengan urusan hukum sehingga tak sempat memberinya kepastian sebuah pernikahan." Jawaban Mas Galih membuatku melayang ke arah masa lalu. Saat Mita datang ke restoran sambil mendekap bayinya. Dia meminta bantuanku untuk mengirimnya pulang ke kampung orangtuanya. Aku sungguh kasihan dengan gadis malang itu. Masa depannya hancur karena terjerat laki-laki seperti Mas Galih. Soraya benar-benar melakukan apa yang dia katakan. Dia menghancurkan lelaki itu meski akhirnya dia pula yang membebaskan Mas Galih dari penjara. Tetapi efek yang didapatkan Mas Galih benar-benar dahsyat. Pasti dia tak akan pernah lupa dengan jalan kehidupannya saat ini. "Mas tidak ingin memperbaiki hubungan dengan Mita? Kasihan anak kalian, nasibnya bahkan lebih buruk dari Zoya." Kalimatku yang membawa nama Zoya membuat anak perem
POV Galih Mencari Mita Kutatap rumah berhalaman luas di depanku. Sebuah rumah berwarna putih dengan design tempo dulu terlihat masih gagah di usianya yang pasti tidak lagi muda. Berbekal dari fotokopi KTP yang tertinggal di rumah, aku sampai di kampung halaman Mita. Entah mengapa, perkataan Vinda beberapa waktu yang lalu membuat pikiranku terus-menerus sesak oleh rasa bersalah terhadap Mita. Gadis yang baru lulus kuliah dan masih magang di kantor tempatku bekerja sebelumnya itu sudah kurusak sedemikian hingga. Aku yang telah membuatnya mengalami kepahitan hidup yang pasti tak pernah dia bayangkan sebelumnya. "Datangi Mita, Mas. Dia berpamitan padaku sebelum pulang ke kampung halamannya. Bahkan ibumu tak peduli sama sekali dengan dirinya dan bayinya. Mudah-mudahan belum terlambat," ucap Vinda dengan keyakinan penuh. Sungguh, aku tak pernah membayangkan wanita yang sudah kusakiti itu justru berlaku selayaknya seorang teman yang tak segan memberi saran. Meski aku tahu ada batasan y
Suara yang begitu kuhafal terdengar dari arah belakang wanita yang kini berdiri dengan tatapan tak bersahabat, berbeda saat pertemuan pertama kami di awal tadi. Dadaku berdegup kencang saat menyadari Mita berdiri dengan wajah pucat dengan jarak hampir sepuluh meter. Mita, penampilannya sungguh berbeda dengan pertemuan kami dulu. Gadis yang baru saja lulus dari perguruan tinggi ternama itu mencuri perhatianku dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas. Tentu saja hal itu membuatku mudah sekali terpesona dengan pembawaannya yang energik dan penuh semangat. Aku yang mulai lelah dengan kehidupan bersama Soraya seolah menemukan tempat lain yang jauh lebih menentramkan daripada di rumah. Soraya yang mulai memperlakukanku semena-mena membuat harga diriku jatuh ke dasar jurang. Aku bosan mendengar keluhan-keluhannya mengenai sindiran dan nyinyiran orang-orang mengenai dirinya yang menjadi orang ketiga dalam hubunganku dengan Vinda. Yang membuat diriku amat sakit adalah saat keluarga besar
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa