Maaf "Mas?"Aku tersadar dari lamunanku. Mita duduk berseberangan denganku, di sisi seorang laki-laki berwajah tegas yang kutahu sebagai ayahnya. Aku tak punya keberanian menatap wajah itu. Bukan tak mungkin dia ingin sekali menghantamkan vas bunga berbahan keramik itu ke kepalaku demi membalaskan rasa sakit yang bersemayam di dalam hatinya. Siapa yang tak marah jika anak perempuan kebanggaannya justru dirusak oleh lelaki beristri tak punya adab sepertiku?"Apa maksud kedatanganmu kemari?" suara bariton itu terdengar begitu angker di telingaku. Dadaku berdegup keras, menolak permintaan otakku agar aku bersikap baik-baik saja.Kutarik napas perlahan. Sesak. Bahkan aku tak tahu persis maksud kedatanganku kemari.Sekadar permintaan maaf yang akan kuulang berkali-kali, atau memang aku mengharapkan hal lain. Kunaikkan wajahku yang semula menunduk. Saatnya menghadapi semua yang sudah kulakukan dengan cara seharusnya. Aku harus siap menerima apapun yang akan laki-laki itu lakukan. "Saya
Aku dirundung rasa bersalah yang menggunung. Rasanya aku menjadi manusia paling jahat di muka bumi ini. Aku bahkan tak berani menegakkan kepalaku berhadapan dengan Pak Suseno, ayah Mita. Laki-laki itu kunilai amat pandai meredam emosinya. Meski sebagai seorang yang punya otak, aku bisa menilai dia dalam pengaruh emosi yang tidak main-main. Namun pembawaannya amat tenang. Dia tidak meledak-ledak seperti yang seharusnya dia tampilkan di depan bajing*n sepertiku. Bahkan jika sampai dia memukuliku sampai mati pun kurasa tak akan pernah membuatnya puas. Kurutuki diri ini berkali-kali. “Dan pada putriku… apakah kau tak berpikir jauh sebelum membawanya masuk dalam lingkaran masalahmu yang kompleks itu?” Pertanyaan yang ditujukan padaku itu membuatku tersengal. Aku yang menunduk kupaksakan diri untuk menatap mata merah menyala itu. Rahang laki-laki itu mengeras. “Aku sudah dengar darinya. Semua. Memang, putriku punya andil yang amat besar terciptanya masalah ini. Jika saja sebagai seorang
Di depan sebuah nisan aku duduk bersimpuh. Kuusap batu bertuliskan nama Rahajeng Putri Ahmad. Tangisku pecah. Sementara di sisi yang lain, Mita berdiri dengan wajahnya yang kutahu sama hancurnya denganku. Berkali-kali dia mengusap air matanya yang luruh. Kerudungnya berkibar tertiup angin sore.“Putri kalian meninggal, sekitar enam bulan yang lalu. Dokter mengatakan dia memiliki kelainan dalam paru-parunya. Kami sempat berupaya untuk mengobatinya, namun dia tak selamat. Ajeng memilih menyerah dan berpulang. Mungkin itu adalah cara yang dipilih Allah agar anak itu tak mengalami hal menyakitkan akibat penolakan keluarga ayahnya.”Bibirku mengatup kuat mendengar perkataan Pak Seno. Aku bukan tak tahu bagaimana kisah Mita dan anak kami selama diri ini berada dalam penjara. Salah seorang tetangga yang melihat bagaimana ibu memperlakukan Mita membuatku yakin perkataan Pak Seno memang benar adanya. Duniaku benar-benar runtuh. Aku makin mengutuk diriku. Sebagai seorang suami, aku sungguh mem
"Cukup, Bu! Jangan menghina ayahku. Dia tak tahu apa-apa!" Mita berteriak menandakan rasa tak terimanya akibat perkataan tersebut. Wanita itu menjadikan dirinya sebuah tameng untuk sang ayah. "Kenapa? Bukankah apa yang kukatakan adalah kenyataan? Ayahmu yang munafik ini membesarkan dan merawat sampah tak berguna sepertimu!" "Terserah kau ingin memanggilku sampah sekalipun, tetapi jangan membicarakan keburukan ayahku. Di sini akulah satu-satunya yang bersalah. Jangan hukum ayahku." Mata wanita itu berkaca-kaca. Rasa sedihku kian bertumpuk saat menyadari semua ini disebabkan olehku. Akulah orang yang patut disalahkan atas semuanya. Akulah orang yang telah menghancurkan kehormatan keluarga Suseno."Bagus. Kau memang sama lihainya dengan ayahmu. Dia pintar sekali menceramahi banyak orang, tetapi lupa menceramahi putrinya sendiri! Bukankah itu yang dinamakan manusia munafik?!" "Bu Linda!" Mita menatap nyalang wajah di depannya. Aku mengusap wajahku kasar. Jujur, aku tak tahu peranan a
Bu Linda menjeda kalimatnya. Tatapan wajah itu beralih pada Mita yang berkali-kali menyusut air matanya yang menderas di pipinya. "Mita! Kau ingin mempermalukan keluargaku bukan? Kau ingin balas dendam karena perlakuanku padamu selama ini, bukan?" Mita menggeleng lemah. Apa yang dia tuduhkan tak berdasar sama sekali. "Bu, hentikan. Kedatangan Mas Galih hanya untuk menengok anak kami. Dia tak tahu anaknya telah meninggal," jawab Mita dengan tangisnya yang begitu menyayat. Ingin sekali jemari ini mengusap air mata itu. "Kau berharap kami percaya? Mita! Tak bisakah kau bersyukur akhirnya aku memberikan restu Ardian untuk melamarmu dan menikahimu? Kenapa kau harus berbuat sesuatu yang justru membuat nama baik dan kehormatan kami kembali tercoreng karena bersedia menerimamu dan masa lalumu yang menjijikkan?! Katakan, apa maksudmu atas semua ini?" "Bu, hentikan. Aku sungguh minta maaf. Aku bisa pulang saat ini jika kedatanganku merusak hubungan keluarga Ibu dengan Pak Seno yang akan te
Keputusan Pak Seno Aku tercekat. Tak kusangka kedatanganku kemari justru membawa pengaruh buruk untuk Mita dan ayahnya. Aku sungguh tak mengira Pak Seno justru mengambil keputusan di luar dugaan. Dia menggagalkan rencana lamaran putrinya dengan anak salah satu orang terkaya di kampung ini. Aku sungguh-sungguh merasa bersalah pada kedua orang itu. "Pak. Maaf, jangan gegabah. Sungguh saya minta maaf jika kedatanganku kemari membawa dampak seburuk ini. Tolong, pertimbangkan lagi keputusan Bapak," ucapku dengan wajah yang entah bagaimana bentuknya. Aku sudah merusak kehidupan putri kesayangannya. Tak mungkin kutambah derita lagi dengan gagalnya rencana lamaran Mita dengan pria yang terlihat betul amat menyukainya. Pak Seno menggeleng. Ditatapnya wajah Bu Linda dan Ardian yang terlihat syok dengan keputusan Pak Seno. Bahkan Bu Linda hampir terhuyung memegang erat keningnya. "Ardian, bawa ibumu pulang. Di depan semua orang kukatakan padamu, tak perlu kau kemari lagi, dengan alasan apa
Kupandang untuk yang terakhir kalinya wajah Mita. Wajah yang akhir-akhir ini seringkali melintas dalam pikiranku. Aku mengutuk diriku sendiri yang telah menciptakan neraka untuknya. Wanita itu harus menanggung derita yang tak sedikit. Orang-orang yang menggunjing diri serta keluarganya pasti memberikan dampak negatif untuknya. Apalagi ditambah dengan kehilangan anak yang lahir dari kesalahan yang dibuat oleh orangtuanya. Kehilangan seorang anak bukan perkara mudah. Apalagi sebelumnya ibunya Mita pun meninggal memeluk kecewa atas nasib yang menimpa putri kandungnya. Kupukul setir berkali-kali. Rasanya kepalaku hampir pecah memikirkan semua itu. Aku tidak tahu apakah permohonan maafku benar-benar mereka kabulkan atau tidak. Mita bergeming pada keputusannya untuk meminta diriku pulang. Kalimatnya amat halus, tetapi cukup mengoyak hatiku tanpa perlawanan sedikit pun. Rasa bersalahku membuat kepasrahan tersendiri bahwa aku harus siap menerima segala bentuk kemarahan wanita itu. "Perg
Aku menyusuri lorong rumah sakit yang kali ini terasa amat panjang. Biasanya kami kemari untuk memeriksakan kesehatan Ayah yang memang akhir-akhir ini makin menurun.Laki-laki itu pun sudah kehilangan berat tubuhnya cukup drastis. Stroke yang dideritanya membuatnya kesulitan bergerak. Untuk membantunya bergerak dia lebih banyak menggunakan kursi roda yang tentunya membatasi lingkup geraknya.Telepon dari Ibu membuatku tak bisa berpikir normal sama sekali. Yang aku tahu, seorang penderita stroke akan sangat bahaya jika sampai jatuh atau mengalami benturan.Pikiran-pikiran buruk mulai menghantui diriku. Aku dan Ibu sudah berupaya sebaik mungkin memberi perawatan untuknya. Aku sangat berharap akan kesembuhan dirinya, meski dokter menyiratkan rasa pesimisnya untuk harapan kami. "Galih, Ayahmu di dalam. Dia jatuh saat Ibu membeli sayuran di depan gang. Seharusnya Ibu tak meninggalkan dia lama," tangis Ibu saat melihatku tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu lunglai sambil memukuli dad