Aku menyusuri lorong rumah sakit yang kali ini terasa amat panjang. Biasanya kami kemari untuk memeriksakan kesehatan Ayah yang memang akhir-akhir ini makin menurun.Laki-laki itu pun sudah kehilangan berat tubuhnya cukup drastis. Stroke yang dideritanya membuatnya kesulitan bergerak. Untuk membantunya bergerak dia lebih banyak menggunakan kursi roda yang tentunya membatasi lingkup geraknya.Telepon dari Ibu membuatku tak bisa berpikir normal sama sekali. Yang aku tahu, seorang penderita stroke akan sangat bahaya jika sampai jatuh atau mengalami benturan.Pikiran-pikiran buruk mulai menghantui diriku. Aku dan Ibu sudah berupaya sebaik mungkin memberi perawatan untuknya. Aku sangat berharap akan kesembuhan dirinya, meski dokter menyiratkan rasa pesimisnya untuk harapan kami. "Galih, Ayahmu di dalam. Dia jatuh saat Ibu membeli sayuran di depan gang. Seharusnya Ibu tak meninggalkan dia lama," tangis Ibu saat melihatku tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu lunglai sambil memukuli dad
POV Soraya Berkali-kali kututupi wajah dengan kain berwarna hitam yang sengaja kupakai untuk menyamarkan pandangan aneh orang-orang terhadapku. Kiran—temanku, dia memintaku menunggu di dekat lorong poli mata yang kukira cukup lengang. Sementara dia sendiri berpamitan hendak ke toilet. Lalu hal yang tak terduga sama sekali terjadi. Entah mengapa laki-laki dengan postur tubuh tinggi itu akhirnya menabrak posisiku hingga membuat bunyi yang cukup menarik perhatian banyak orang. Aku mendengkus kesal. Begitu luas lorong rumah sakit ini mengapa dia menabrakku seperti ini? Sengaja kudatangi rumah sakit swasta yang cukup terkenal di kota ini karena pelayanannya yang cukup bagus. Selain itu juga karena dokter yang kuhubungi untuk membantu menyembuhkan luka yang kuderita memintaku datang langsung ke rumah sakit tempat dia praktik. Sore nanti dia ada urusan ke luar kota hingga tak bisa melayaniku di rumahnya. "Maaf, aku buru-buru." Aku yang sudah dikuasai emosi mendadak bungkam. Suara itu a
Jangan tanya bagaimana rasanya jadi diriku. Aku hampir menertawakan diriku sendiri atas kenaifan yang selalu membuatku membusungkan dada. Aku begitu percaya diri suamiku tak akan sempat memikirkan anak karena kemampuanku memikat hatinya. Aku melatih diriku menjadi wanita sempurna untuk laki-laki itu. Kupastikan diriku selalu tampil sempurna hingga dia lupa sebagai seorang wanita aku punya kekurangan. Sayangnya semua itu sebatas mimpi. Mas Galih mulai memintaku memeriksakan diri ke dokter. Untuk apa? Dia ingin memastikan kondisiku baik-baik saja. Dia menginginkan sebuah kehidupan akan bersemayam di rahimku.Tentu saja mustahil. Bagaimana mungkin aku bisa menghadirkan anak untuknya. Rahim saja aku tak punya!Ya, kesalahanku di masa lalu membuatku tak akan pernah mengandung sampai kapan pun. Hal yang amat kusesali hingga detik ini. Entah berapa kali aku menggugurkan kandunganku setelah kekasihku menolak untuk bertanggung jawab. Tak hanya dengan satu laki-laki saja, bahkan aku sampai
Dokter gila itu menurunkan kacamatanya. Aku benci sekali mendapati dirinyalah satu-satunya dokter yang bisa menangani lukaku sekarang ini. Seandainya aku bisa bebas menentukan dokter lain, tentu akan kulakukan hal tersebut. "Kiran, kau dengar apa kataku bukan?" Dokter yang merupakan teman seangkatanku di sekolah menengah atas itu mendelik penuh selidik ke arahku dan Kinan. Sialnya Kiran justru tersenyum geli. Dia tahu Salman pasti watak Salman yang keras kepala dan arogan. Entah mengapa dia yang sepertinya punya masalah kejiwaan itu justru lulus menjadi dokter di usianya yang terbilang cukup muda. Bahkan laki-laki yang mengenakan jas berwarna putih itu kudengar sudah selesai mengambil spesialisasi bedah. Entah apa yang akan dia bedah, kurasa otaknya yang perlu diganti agar bisa berpikir sedikit saja hal positif tentangku. "Kenapa lagi wajahmu?" tanyanya dengan suara dingin. Tak ada keramahan sedikit pun dari wajahnya. Hei, bukankah itu berbeda sekali dengan sumpah seorang dokter
Terbongkar Aku tengah mengikuti arisan dengan teman-teman satu komunitasku saat melihat kedatangan Mbak Cintya dengan wajah masam ke arah tempat duduk yang sudah kami pesan ini. Awalnya aku mengira dia yang juga anggota grup arisan datang seperti biasanya sebelum jambakan keras di rambutku membuat diriku berteriak keras. Aku tak mampu menghindar karena yang dilakukan Mbak Cintya tergolong amat cepat. Kulit kepalaku perih seketika. Rambut di kepalaku seolah tercabut seluruhnya tanpa ampun. Aku mengerang. Sementara teman-teman arisan mulai panik dengan ketegangan yang tidak biasa terlihat. Aku dan Mbak Cintya bahkan sudah seperti kakak beradik. Kedekatan itulah yang membuat orang-orang tak percaya dengan apa yang mereka lihat. "Sund*l ! Kau sungguh menjijikkan, Soraya! Kau jal*Ng paling nista yang pernah kutemui dalam hidupku!" Plak. Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku hanya mengaduh penuh rasa sakit dengan bibir yang mulai menangis tak mampu menahan sakit. "Aku tak m
Serangan Untuk Pelakor "Mbak! Jangan bawa-bawa ayahku. Dia nggak tahu apa-apa." Aku memohon hampir berlutut di depan wanita kesetanan itu. Sedangkan anggota arisan yang lain kulihat wajahnya syok tak menyangka akulah dalang di balik kemarahan Mbak Cintya, wanita yang selalu terlihat bahagia dengan pernikahannya. Ya, itulah yang membuatku akhirnya terhasut setan yang bersemayam dalam diriku sendiri. Aku terhasut ingin memiliki kehidupan layaknya negeri dongeng seperti yang selama ini Mbak Cintya rasakan. Suami yang mapan sekaligus penyayang, anak-anak yang sehat dan lucu, mertua yang amat baik, belum lagi dengan kepintarannya membawa diri di depan banyak orang. Kedua orang tua Mbak Cintya pun orang berpunya. Bisnisnya menggurita, membuat wanita berkulit putih dengan tinggi sebahuku itu tak perlu bersusah payah bekerja. Hidupnya hanya dihabiskan untuk menikmati liburan demi liburan. Aku tahu semua itu dari postingan Mbak Cintya sendiri di akun media sosialnya. Aku benci semua itu.
Mbak Cintya tidak main-main. Bahkan semesta seolah bekerja sama di bawah perintahnya. Dia sengaja datang ke rumahku saat di rumah tengah ada acara pertemuan keluarga. Salah satu kakak sepupuku yang berhasil mendirikan start up di bidang IT datang ke rumah untuk bertemu dengan Ayah.Meski hubungan keluarga kami tak terlalu baik, namun atas dasar kepentingan pencitraan seolah kami adalah keluarga yang saling mendukung satu sama lain.Aku tak menyangka kedatangan Mbak Cintya akan bersamaan dengan pertemuan intern keluarga ini. Jangan tanya bagaimana ekspresi wajahku saat melihatnya dengan gaun selutut dengan sepatu hak tinggi yang makin memperlihatkan kaki jenjangnya yang menawan. Ibu yang sudah kenal dekat dengan Mbak Cintya merangkul wanita itu hingga mereka berpelukan hangat beberapa saat lamanya. Sementara Ayah hanya berjabat tangan sewajarnya terhadap wanita itu. Aku yang gugup bahkan lupa mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. "Silakan masuk, Sayang. Kebetulan sekali kau kema
Tiba-tiba tawa Mbak Cintya pecah. Aku menatapnya dengan penuh tanya. “Tenang, aku hanya bercanda.” Mbak Cintya memegangi perutnya sambil tertawa lebar. “Jangan panik, aku hanya ingin membuat Om deg-degan,” lanjutnya. Wanita itu beranjak mendekati tempat dudukku. Diusapnya lembut pipiku yang kurasa sudah hampir sedingin es. Candaannya terlihat begitu mengerikan. "Tak mungkin ayahmu yang family man berbuat macam-macam di luar sana bukan, Soraya?" Mata itu menatapku tajam, bak singa lapar yang hendak menerkam mangsanya yang ketakutan di depan mata. "Bukankah laki-laki yang baik dan penyayang keluarga seperti Om tak mungkin melakukan hal sehina itu?" Kini berbalik Mbak Cintya mengarahkan pandangannya ke arah ayahku. Entah mengapa aku yakin apa yang baru saja diungkapkan wanita itu benar adanya. Bukan tak mungkin ayahku yang terlihat amat mencintai Ibu tertarik dengan daun muda di luar sana. Apalagi pekerjaan yang mengharuskan dirinya seringkali melakukan jawatan ke luar kota. Apal
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa