Aku dirundung rasa bersalah yang menggunung. Rasanya aku menjadi manusia paling jahat di muka bumi ini. Aku bahkan tak berani menegakkan kepalaku berhadapan dengan Pak Suseno, ayah Mita. Laki-laki itu kunilai amat pandai meredam emosinya. Meski sebagai seorang yang punya otak, aku bisa menilai dia dalam pengaruh emosi yang tidak main-main. Namun pembawaannya amat tenang. Dia tidak meledak-ledak seperti yang seharusnya dia tampilkan di depan bajing*n sepertiku. Bahkan jika sampai dia memukuliku sampai mati pun kurasa tak akan pernah membuatnya puas. Kurutuki diri ini berkali-kali. “Dan pada putriku… apakah kau tak berpikir jauh sebelum membawanya masuk dalam lingkaran masalahmu yang kompleks itu?” Pertanyaan yang ditujukan padaku itu membuatku tersengal. Aku yang menunduk kupaksakan diri untuk menatap mata merah menyala itu. Rahang laki-laki itu mengeras. “Aku sudah dengar darinya. Semua. Memang, putriku punya andil yang amat besar terciptanya masalah ini. Jika saja sebagai seorang
Di depan sebuah nisan aku duduk bersimpuh. Kuusap batu bertuliskan nama Rahajeng Putri Ahmad. Tangisku pecah. Sementara di sisi yang lain, Mita berdiri dengan wajahnya yang kutahu sama hancurnya denganku. Berkali-kali dia mengusap air matanya yang luruh. Kerudungnya berkibar tertiup angin sore.“Putri kalian meninggal, sekitar enam bulan yang lalu. Dokter mengatakan dia memiliki kelainan dalam paru-parunya. Kami sempat berupaya untuk mengobatinya, namun dia tak selamat. Ajeng memilih menyerah dan berpulang. Mungkin itu adalah cara yang dipilih Allah agar anak itu tak mengalami hal menyakitkan akibat penolakan keluarga ayahnya.”Bibirku mengatup kuat mendengar perkataan Pak Seno. Aku bukan tak tahu bagaimana kisah Mita dan anak kami selama diri ini berada dalam penjara. Salah seorang tetangga yang melihat bagaimana ibu memperlakukan Mita membuatku yakin perkataan Pak Seno memang benar adanya. Duniaku benar-benar runtuh. Aku makin mengutuk diriku. Sebagai seorang suami, aku sungguh mem
"Cukup, Bu! Jangan menghina ayahku. Dia tak tahu apa-apa!" Mita berteriak menandakan rasa tak terimanya akibat perkataan tersebut. Wanita itu menjadikan dirinya sebuah tameng untuk sang ayah. "Kenapa? Bukankah apa yang kukatakan adalah kenyataan? Ayahmu yang munafik ini membesarkan dan merawat sampah tak berguna sepertimu!" "Terserah kau ingin memanggilku sampah sekalipun, tetapi jangan membicarakan keburukan ayahku. Di sini akulah satu-satunya yang bersalah. Jangan hukum ayahku." Mata wanita itu berkaca-kaca. Rasa sedihku kian bertumpuk saat menyadari semua ini disebabkan olehku. Akulah orang yang patut disalahkan atas semuanya. Akulah orang yang telah menghancurkan kehormatan keluarga Suseno."Bagus. Kau memang sama lihainya dengan ayahmu. Dia pintar sekali menceramahi banyak orang, tetapi lupa menceramahi putrinya sendiri! Bukankah itu yang dinamakan manusia munafik?!" "Bu Linda!" Mita menatap nyalang wajah di depannya. Aku mengusap wajahku kasar. Jujur, aku tak tahu peranan a
Bu Linda menjeda kalimatnya. Tatapan wajah itu beralih pada Mita yang berkali-kali menyusut air matanya yang menderas di pipinya. "Mita! Kau ingin mempermalukan keluargaku bukan? Kau ingin balas dendam karena perlakuanku padamu selama ini, bukan?" Mita menggeleng lemah. Apa yang dia tuduhkan tak berdasar sama sekali. "Bu, hentikan. Kedatangan Mas Galih hanya untuk menengok anak kami. Dia tak tahu anaknya telah meninggal," jawab Mita dengan tangisnya yang begitu menyayat. Ingin sekali jemari ini mengusap air mata itu. "Kau berharap kami percaya? Mita! Tak bisakah kau bersyukur akhirnya aku memberikan restu Ardian untuk melamarmu dan menikahimu? Kenapa kau harus berbuat sesuatu yang justru membuat nama baik dan kehormatan kami kembali tercoreng karena bersedia menerimamu dan masa lalumu yang menjijikkan?! Katakan, apa maksudmu atas semua ini?" "Bu, hentikan. Aku sungguh minta maaf. Aku bisa pulang saat ini jika kedatanganku merusak hubungan keluarga Ibu dengan Pak Seno yang akan te
Keputusan Pak Seno Aku tercekat. Tak kusangka kedatanganku kemari justru membawa pengaruh buruk untuk Mita dan ayahnya. Aku sungguh tak mengira Pak Seno justru mengambil keputusan di luar dugaan. Dia menggagalkan rencana lamaran putrinya dengan anak salah satu orang terkaya di kampung ini. Aku sungguh-sungguh merasa bersalah pada kedua orang itu. "Pak. Maaf, jangan gegabah. Sungguh saya minta maaf jika kedatanganku kemari membawa dampak seburuk ini. Tolong, pertimbangkan lagi keputusan Bapak," ucapku dengan wajah yang entah bagaimana bentuknya. Aku sudah merusak kehidupan putri kesayangannya. Tak mungkin kutambah derita lagi dengan gagalnya rencana lamaran Mita dengan pria yang terlihat betul amat menyukainya. Pak Seno menggeleng. Ditatapnya wajah Bu Linda dan Ardian yang terlihat syok dengan keputusan Pak Seno. Bahkan Bu Linda hampir terhuyung memegang erat keningnya. "Ardian, bawa ibumu pulang. Di depan semua orang kukatakan padamu, tak perlu kau kemari lagi, dengan alasan apa
Kupandang untuk yang terakhir kalinya wajah Mita. Wajah yang akhir-akhir ini seringkali melintas dalam pikiranku. Aku mengutuk diriku sendiri yang telah menciptakan neraka untuknya. Wanita itu harus menanggung derita yang tak sedikit. Orang-orang yang menggunjing diri serta keluarganya pasti memberikan dampak negatif untuknya. Apalagi ditambah dengan kehilangan anak yang lahir dari kesalahan yang dibuat oleh orangtuanya. Kehilangan seorang anak bukan perkara mudah. Apalagi sebelumnya ibunya Mita pun meninggal memeluk kecewa atas nasib yang menimpa putri kandungnya. Kupukul setir berkali-kali. Rasanya kepalaku hampir pecah memikirkan semua itu. Aku tidak tahu apakah permohonan maafku benar-benar mereka kabulkan atau tidak. Mita bergeming pada keputusannya untuk meminta diriku pulang. Kalimatnya amat halus, tetapi cukup mengoyak hatiku tanpa perlawanan sedikit pun. Rasa bersalahku membuat kepasrahan tersendiri bahwa aku harus siap menerima segala bentuk kemarahan wanita itu. "Perg
Aku menyusuri lorong rumah sakit yang kali ini terasa amat panjang. Biasanya kami kemari untuk memeriksakan kesehatan Ayah yang memang akhir-akhir ini makin menurun.Laki-laki itu pun sudah kehilangan berat tubuhnya cukup drastis. Stroke yang dideritanya membuatnya kesulitan bergerak. Untuk membantunya bergerak dia lebih banyak menggunakan kursi roda yang tentunya membatasi lingkup geraknya.Telepon dari Ibu membuatku tak bisa berpikir normal sama sekali. Yang aku tahu, seorang penderita stroke akan sangat bahaya jika sampai jatuh atau mengalami benturan.Pikiran-pikiran buruk mulai menghantui diriku. Aku dan Ibu sudah berupaya sebaik mungkin memberi perawatan untuknya. Aku sangat berharap akan kesembuhan dirinya, meski dokter menyiratkan rasa pesimisnya untuk harapan kami. "Galih, Ayahmu di dalam. Dia jatuh saat Ibu membeli sayuran di depan gang. Seharusnya Ibu tak meninggalkan dia lama," tangis Ibu saat melihatku tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu lunglai sambil memukuli dad
POV Soraya Berkali-kali kututupi wajah dengan kain berwarna hitam yang sengaja kupakai untuk menyamarkan pandangan aneh orang-orang terhadapku. Kiran—temanku, dia memintaku menunggu di dekat lorong poli mata yang kukira cukup lengang. Sementara dia sendiri berpamitan hendak ke toilet. Lalu hal yang tak terduga sama sekali terjadi. Entah mengapa laki-laki dengan postur tubuh tinggi itu akhirnya menabrak posisiku hingga membuat bunyi yang cukup menarik perhatian banyak orang. Aku mendengkus kesal. Begitu luas lorong rumah sakit ini mengapa dia menabrakku seperti ini? Sengaja kudatangi rumah sakit swasta yang cukup terkenal di kota ini karena pelayanannya yang cukup bagus. Selain itu juga karena dokter yang kuhubungi untuk membantu menyembuhkan luka yang kuderita memintaku datang langsung ke rumah sakit tempat dia praktik. Sore nanti dia ada urusan ke luar kota hingga tak bisa melayaniku di rumahnya. "Maaf, aku buru-buru." Aku yang sudah dikuasai emosi mendadak bungkam. Suara itu a
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa