Pertemuan "Bawa anak-anak bertemu ayahnya." Mas Rafli menatapku penuh keseriusan. Mata beriris coklat itu makin membuatku tenggelam. Hatinya yang begitu lapang tiba-tiba mengutarakan hal tersebut setelah aku mengabarkan pertemuanku dengan Soraya. Laki-laki itu tak menyela sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Dengan penuh perhatian dia mendengarkan seluruh ceritaku. "Jangan membentangkan jarak antara anak-anak dan ayahnya." Mas Rafli meraih tanganku dan mengusap punggung tanganku penuh kelembutan. Aku menenggelamkan kepalaku dalam dadanya. Tempat paling nyaman yang pernah kutemui dalam hidupku. Disanalah segala bentuk bahagia dan sedihku berlabuh. Disanalah dermaga yang kutuju setelah perahuku lelah berlayar. Mas Rafli memelukku erat. Wangi parfum khas miliknya amat menenangkanku. Laki-laki yang tak pernah terpikirkan akan menjadi pendamping di sisa usiaku ini benar-benar memperlakukanku bak seorang ratu dalam sebuah kerajaan. "Aku tak akan pernah melarangmu mempertemukan mereka
"Bunda…apakah kakak nakal?" Ziyan, anak lelakiku yang amat perasa itu bertanya saat berada dalam mobil. Sebelum kami berangkat, mereka sudah terlebih dahulu kuberitahu perihal rencana pertemuan kali ini. Zayn yang cenderung cuek hanya mengangguk tanpa bertanya apapun. Berkebalikan dengan Ziyan yang terlihat berpikir keras dengan apa yang kukatakan. Anak itu pasti berpikir tidak-tidak. Kini keajaibanku menjelaskan hal ini padanya. "Kak, apakah bertemu dengan ayah Galih hanya saat kalian nakal?" tanyaku balik padanya. Ziyan menggeleng perlahan. Namun matanya tak berbohong. Dia berpikir keras memecahkan alasan yang mendasari ibunya datang menemui ayah mereka. "Ziyan…." "Ayah Galih rindu dengan kalian. Dia ingin melihat segendut apa kau sekarang. Bukankah kau ingin bercerita bagaimana kisahmu juara lomba melukis kemarin?" Mas Rafli mengambil alih posisiku berbicara. Kurasa mempan, Ziyan bergerak menganggukkan kepala. Zayn jangan ditanya. Anak itu bahkan tertidur bersama Zoya sambil
Aku tercekat saat melihat mantan suamiku duduk berjongkok tengah menyuapi seorang anak yang duduk di kursi roda. Tatapan mata anak itu beda, tak seperti anak kebanyakan. Kulitnya dipenuhi bekas luka berwarna hitam dengan ukuran yang cukup lebar. Bentuk kepalanya agak besar. Berkali-kali Mas Galih terlihat membujuk anak tersebut untuk membuka mulutnya. "Ayo, Gio. Buka mulutnya. Kamu harus makan. Bukannya Gio ingin bermain dengan teman-teman yang lain?" Sepertinya Mas Galih belum menyadari keberadaan kami yang berada di belakang lelaki itu. Lelaki yang mengenakan hem berwarna biru seolah tak patah semangat. Dibujuknya anak laki-laki yang usianya kurasa belum genap sepuluh tahun."Ayah…." panggil Zayn setelah beberapa saat kami berdiri tanpa tindakan.Mas Rafli sendiri memilih membawa Zafran berkeliling melihat anak-anak yang lain. Mas Galih tak mampu menutup rasa kagetnya. Laki-laki itu bahkan tak mampu berucap saat melihat kami berempat. "Vin-da?" panggilnya dengan suara bergetar.
Penyesalan Mantan Suami Mas Galih duduk berjeda jarak cukup jauh dengan posisiku duduk. Zoya tak beranjak dari pangkuanku. Hanya Zayn dan Ziyan yang sudah berbaur dengan anak-anak di rumah singgah. Anak-anakku menyatu dengan mereka yang sedang bermain sepak bola mini di halaman yang cukup terlindung dari pandangna orang luar. Sekeliling tempat ini hampir rapat ditutupi oleh rimbunan pohon hingga membuatnya seolah terlindung dari orang-orang luar. Siapa yang menyangka disini terdapat tempat seasri ini di tengah-tengah padatnya kota. Tawa riang anak-anak seolah berbanding terbalik dengan reaksi Zoya. Anakku itu tak juga tertarik bergabung dengan kedua kakaknya. Bahkan tangannya memegang erat kedua tanganku seolah tak ingin lepas. Sesekali dia mencuri pandang ke arah ayahnya. Saat ayahnya menatap balik ke arahnya, Zoya akan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku tersenyum mendapati tingkah lucu putriku sekaligus sedih melihatnya yang masih merasa asing dengan ayah ka
"Lalu Mita? Apakah kau sempat menikahinya?" Pertanyaanku membuat laki-laki yang dulu pernah kucintai segenap hati itu menoleh cepat. Mas Galih menggeleng lesu."Belum. Aku terlalu sibuk dengan urusan hukum sehingga tak sempat memberinya kepastian sebuah pernikahan." Jawaban Mas Galih membuatku melayang ke arah masa lalu. Saat Mita datang ke restoran sambil mendekap bayinya. Dia meminta bantuanku untuk mengirimnya pulang ke kampung orangtuanya. Aku sungguh kasihan dengan gadis malang itu. Masa depannya hancur karena terjerat laki-laki seperti Mas Galih. Soraya benar-benar melakukan apa yang dia katakan. Dia menghancurkan lelaki itu meski akhirnya dia pula yang membebaskan Mas Galih dari penjara. Tetapi efek yang didapatkan Mas Galih benar-benar dahsyat. Pasti dia tak akan pernah lupa dengan jalan kehidupannya saat ini. "Mas tidak ingin memperbaiki hubungan dengan Mita? Kasihan anak kalian, nasibnya bahkan lebih buruk dari Zoya." Kalimatku yang membawa nama Zoya membuat anak perem
POV Galih Mencari Mita Kutatap rumah berhalaman luas di depanku. Sebuah rumah berwarna putih dengan design tempo dulu terlihat masih gagah di usianya yang pasti tidak lagi muda. Berbekal dari fotokopi KTP yang tertinggal di rumah, aku sampai di kampung halaman Mita. Entah mengapa, perkataan Vinda beberapa waktu yang lalu membuat pikiranku terus-menerus sesak oleh rasa bersalah terhadap Mita. Gadis yang baru lulus kuliah dan masih magang di kantor tempatku bekerja sebelumnya itu sudah kurusak sedemikian hingga. Aku yang telah membuatnya mengalami kepahitan hidup yang pasti tak pernah dia bayangkan sebelumnya. "Datangi Mita, Mas. Dia berpamitan padaku sebelum pulang ke kampung halamannya. Bahkan ibumu tak peduli sama sekali dengan dirinya dan bayinya. Mudah-mudahan belum terlambat," ucap Vinda dengan keyakinan penuh. Sungguh, aku tak pernah membayangkan wanita yang sudah kusakiti itu justru berlaku selayaknya seorang teman yang tak segan memberi saran. Meski aku tahu ada batasan y
Suara yang begitu kuhafal terdengar dari arah belakang wanita yang kini berdiri dengan tatapan tak bersahabat, berbeda saat pertemuan pertama kami di awal tadi. Dadaku berdegup kencang saat menyadari Mita berdiri dengan wajah pucat dengan jarak hampir sepuluh meter. Mita, penampilannya sungguh berbeda dengan pertemuan kami dulu. Gadis yang baru saja lulus dari perguruan tinggi ternama itu mencuri perhatianku dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas. Tentu saja hal itu membuatku mudah sekali terpesona dengan pembawaannya yang energik dan penuh semangat. Aku yang mulai lelah dengan kehidupan bersama Soraya seolah menemukan tempat lain yang jauh lebih menentramkan daripada di rumah. Soraya yang mulai memperlakukanku semena-mena membuat harga diriku jatuh ke dasar jurang. Aku bosan mendengar keluhan-keluhannya mengenai sindiran dan nyinyiran orang-orang mengenai dirinya yang menjadi orang ketiga dalam hubunganku dengan Vinda. Yang membuat diriku amat sakit adalah saat keluarga besar
Maaf "Mas?"Aku tersadar dari lamunanku. Mita duduk berseberangan denganku, di sisi seorang laki-laki berwajah tegas yang kutahu sebagai ayahnya. Aku tak punya keberanian menatap wajah itu. Bukan tak mungkin dia ingin sekali menghantamkan vas bunga berbahan keramik itu ke kepalaku demi membalaskan rasa sakit yang bersemayam di dalam hatinya. Siapa yang tak marah jika anak perempuan kebanggaannya justru dirusak oleh lelaki beristri tak punya adab sepertiku?"Apa maksud kedatanganmu kemari?" suara bariton itu terdengar begitu angker di telingaku. Dadaku berdegup keras, menolak permintaan otakku agar aku bersikap baik-baik saja.Kutarik napas perlahan. Sesak. Bahkan aku tak tahu persis maksud kedatanganku kemari.Sekadar permintaan maaf yang akan kuulang berkali-kali, atau memang aku mengharapkan hal lain. Kunaikkan wajahku yang semula menunduk. Saatnya menghadapi semua yang sudah kulakukan dengan cara seharusnya. Aku harus siap menerima apapun yang akan laki-laki itu lakukan. "Saya