Share

Bab 3

Orang tua kami meninggal saat kami masih sangat kecil. Kami tumbuh besar mengandalkan satu sama lain. Adikku adalah hartaku yang paling berharga. Satu lecet kecil di jarinya saja membuatku khawatir setengah mati.

Sayangnya, aku buta.

Aku memperkenalkan Dimas kepadanya!

Kami memberikan seluruh isi hati kami dengan setulus-tulusnya. Lalu berjuang tanpa lelah untuk mengandung seorang anak. Tapi pada akhirnya, semua itu hanya alat yang digunakan oleh dua pria tak tahu malu ini untuk menyulut perasaan Monika!

"Hahaha ...."

Adikku tiba-tiba tertawa. Isak tangisnya semakin menjadi-jadi.

Aku menoleh dan melihatnya memegangi ponselnya.

Menatap foto di layar.

Yudha bertelanjang dada, seutas tali melingkar di pinggangnya yang ramping.

Monika menjatuhkan diri ke dalam pelukannya dan diselamatkan ke bawah. Di saat yang sama, Dimas yang mengenakan seragam polisi sedang bergegas berlari ke sana.

Sebuah momen yang diabadikan dengan penuh cerita.

Monika ada di antara mereka, bagaikan tuan putri yang selalu dilindungi oleh kesatria dan tidak perlu lagi merasa takut.

Ini adalah foto yang baru saja Monika unggah di media sosialnya.

Bahkan disertai tulisan yang sangat menggugah pikiran: "Kalau diberi kesempatan lagi, siapa yang harus kupilih dari dua pria berseragam ini?"

Komentarnya juga sangat ramai.

"Kenapa harus memilih? Sikat dua-duanya!"

"Ya Tuhan, semoga kalian nyata. Dari caption-nya saja aku sudah bisa membayangkan cerita panas kalian di kamar!"

"Sekarang juga, aku ingin lihat tiga orang ini menikah!"

Aku tersenyum pahit, dan hatiku semakin sakit.

Sebab, liontin cincin yang melingkar di leher Monika dalam foto itu ternyata versi perempuan dari cincin kawin Yudha dan Dimas, layaknya pasangan.

"Kukira, empat cincin kita sengaja dibuat sama, sebagai bukti besarnya cinta kita."

"Ternyata cincin kita juga model cincin laki-laki."

"Kak, konyol sekali, ya?"

Air mata adikku kembali berderai. Suaranya semakin pilu dan menggetarkan dada.

Aku berjuang untuk bangkit dan mengambil ponsel itu dari tangannya.

Lalu, aku berbaring di sampingnya seperti saat kami masih kecil, menepuk punggungnya dengan lembut untuk menghiburnya. "Tiara, jangan dipikirkan lagi, nanti nggak sembuh-sembuh loh. Walaupun aku menyesal, yang penting kita nggak akan seumur hidup mengurung diri dalam pernikahan yang seperti neraka."

Tapi tenggorokanku semakin tercekat saat mengatakannya.

Kenapa?

Kami bahkan tidak tahu soal Monika sebelum kami menikah. Kenapa kami harus jadi bagian dari permainan mereka dan menanggung penderitaan yang begitu tragis!

Yang lebih konyol lagi, Yudha juga memblokir nomorku.

"Kak, apa kita terlalu menyebalkan?"

"Mereka menjauhkan diri seakan kita punya sakit menular yang sangat berbahaya."

Setelah beristirahat selama beberapa hari, adikku akhirnya mendapatkan semangatnya kembali. Dia menertawakan diri sendiri sambil tergenang air mata.

"Tenang saja, aku akan mencari cara, lalu pergi dari sini."

"Hidup sesuka kita. Jangan dekat-dekat dengan laki-laki lagi. Jangan pernah hamil lagi ...."

Aku mengusap rambut adikku dengan hati sesak. Suaraku tercekat oleh isak tangis.

Kalau dipikir-pikir, cara yang paling efektif adalah dengan menyewa pengacara perceraian. Agar Yudha dan Dimas mengerti bahwa tekad kami sudah benar-benar bulat.

Bukan cari gara-gara saja.

Tapi ...

"Bu Ratna, kami nggak sanggup membantu kalian!"

"Bajingan macam apa suami kalian itu? Punya mulut nggak dipakai untuk bicara! Begitu dia dengar kalau kalian klien kami, dia langsung menendang kursi sampai hancur berkeping-keping. Anjing gila!"

"Apanya yang pelayan masyarakat?! Dia lebih seperti preman sampah masyarakat!"

"Saya sudah kembalikan biayanya. Mohon maaf, kami nggak sanggup!"

Pengacara itu mengeluh penuh amarah dan langsung menutup telepon.

Tak lama kemudian, telepon berdering lagi.

Yudha membuka blokir nomorku. "Ratna, bisa nggak kamu lebih dewasa sedikit?! Kamu tahu sendiri kenapa nomormu kublokir!"

"Kalau semua perempuan di dunia ini separah kalian setiap cemburu, semua laki-laki pasti musnah!"

"Kalian berani sampai panggil pengacara ke kantor Dimas! Bikin malu saja!"

"Kami sial tujuh turunan menikah dengan kalian!"

Masih dengan penghinaannya yang sangat menyakitkan.

Aku sangat marah sampai gigiku terasa ngilu, tapi aku malah tertawa. "Hahaha ...."

Terlalu marah sampai aku hanya bisa tertawa.

Yudha semakin jengkel saat mendengarnya. "Apa yang kamu tertawakan! Jangan kira aku nggak berani menceraikanmu cuma karena kamu sedang hamil!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status