Dimas tampak terluka.Aku tidak peduli dan memegang tangan adikku. "Ayo pergi."Keguguran di usia kandungan yang sudah besar menimbulkan dampak yang lebih serius daripada saat usia kandungan masih muda.Meskipun bayiku lahir mati, setidaknya aku melahirkan secara alami. Berbeda dari adikku yang keguguran. Kesehatannya masih perlu dipulihkan. Aku takut dia akan jatuh sakit kalau marah-marah terus seperti ini.Biarlah orang lain tidak peduli. Aku sangat peduli.Tapi tak disangka, Yudha tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganku. "Kamu nggak boleh pergi!""Kalaupun bayinya nggak selamat karena kebakaran, tapi kamu bersalah karena menyebabkan Monika mencoba bunuh diri!""Kamu dan Tiara harus dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa!"Dimas pun sepertinya baru tersadar. "Benar, kalian nggak boleh pergi!""Monika anak baik-baik. Dia sangat dekat dengan teman-temannya. Kecuali kalian yang selalu cemburu, nggak ada orang lain yang ingin mencelakai dia!"Sambil mengatakan itu, dia benar-benar me
"Bukan begitu, aku ...."Hanya dalam beberapa saat, ekspresi Yudha berubah menjadi kelabu.Dia seakan menerima pukulan yang sangat keras. Bibirnya membuka-menutup beberapa kali, tapi tidak keluar sepatah kata pun.Aku teringat kembali saat Tiara menggendongku keluar dari lautan api.Tenggorokan dan paru-paruku terasa seperti diiris-iris. Rasa sakit serta darah dari perutku sangat menyiksa, seakan seluruh tulang-tulangku remuk.Aku merasa sangat tidak berdaya pada saat itu.Betapa aku berharap suami yang kucintai datang dan menghiburku.Meski kesadaranku samar-samar, bayang wajah Yudha tetap muncul di depan mataku.Aku sangat berharap bisa melihatnya segera setelah aku membuka mata, mendengarnya berkata kepadaku, "Jangan takut, aku di sini."Tapi semua itu hanya mimpi.Aku pingsan, benar-benar sendirian melahirkan bayiku yang mati!Bagaimana mungkin aku tidak membencinya?Tapi, setelah memahami sifat asli pria ini, aku tiba-tiba merasa bahwa mencurahkan semua itu pun rasanya sia-sia saj
Dia terlihat sangat merendah.Dan sangat berhati-hati.Dari masa pacaran sampai sekarang, baru satu kali ini merendahkan diri. Seperti anak kecil yang ketakutan setelah berbuat salah.Tapi, ke mana saja dia sebelum ini?"Aku nggak harus memaafkanmu cuma karena kamu minta maaf."Aku menggeleng tenang. "Nggak ada gunanya berlama-lama, Yudha, kita sudah selesai.""Tapi Kak Ratna, kami sudah mengungkap kebenarannya!""Yang memotong kabel listrik di gedung apartemen kita itu Monika. Dia memasang alat penyulut api dengan pengatur waktu, lalu pergi ke gedung tinggi puluhan kilometer jauhnya dan pura-pura diculik. Agar aku dan Yudha pergi menyelamatkannya!""Untuk melihat siapa yang akan kami pilih dalam situasi mendesak!""Dia juga membuat sendiri tulisan-tulisan dalam paket itu. Kamu benar!""Monika sangat kejam, tapi kami selalu mengira dia polos dan baik hati. Itu semua karena kami buta dan nggak bisa menilai orang!""Kami salah, sangat salah!""Kami menyakiti kalian dan membunuh anak-anak
Sungguh.Andai ini terjadi di masa lalu, aku pasti sudah sangat terharu dan langsung memaafkan Yudha tanpa pikir panjang.Tapi saat ini, kejadian-kejadian di masa lalu itu terbayang di depan mataku.Dia rela pergi hujan-hujanan di malam hari demi membelikan pembalut wanita untuk Monika.Aku terserang demam dan flu di masa awal kehamilanku, tapi disuruh menahannya sampai pagi, baru diantar ke rumah sakit.Saat aku tiba-tiba melihat ular di dapur, dia memarahiku dengan sangat keras karena dia kaget mendengar teriakanku.Tapi dia rela melewatkan makan siang demi Monika.Bergegas dari tempat kerja ke rumah Monika untuk membantu mengusir beberapa ngengat kecil.Monika minta ditemani pergi kencan dengan pemuda kaya. Meski sudah tahu Monika hanya ingin pamer padanya, dia tetap setuju. Sampai izin tidak masuk kerja dan mengajak Dimas pergi juga.Ada suatu saat ketika adikku terjatuh di usia kandungan yang masih sangat muda.Lututnya bengkak dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan. Dia ada jadwal
Mereka berdua hanya berdiri di sana dalam kebuntuan.Sambil sesekali melirik setiap gerak-gerik kami, seolah takut kami akan melarikan diri.Tapi kami sebenarnya sudah muak melihat dua pria tidak tahu malu ini.Membuang-buang waktu dan emosi!"Begini saja."Setelah mencari ide sebentar, aku berkata, "Pergilah beli buket bunga sekarang. Tapi nggak boleh naik mobil atau naik taksi, harus lari. Yang paling cepat kembali mungkin bisa kami maafkan lebih cepat."Aku mengeluarkan ponsel. "Waktu dimulai dari sekarang."Tiara segera mengikutiku dan mengangguk-angguk. "Benar! Begitu saja!""Tiara, serahkan padaku!""Ratna, tenang saja. Aku 'kan pemadam kebakaran, aku selalu berlatih setiap hari. Lariku pasti bisa lebih cepat dari dia!"Mata mereka tiba-tiba bersinar penuh harapan.Lalu mereka berlari keluar terbirit-birit.Aku dan Tiara saling memandang, lalu tergelak tawa. Kami melambaikan tangan untuk memanggil taksi dan berkata kepada sopirnya, "Tolong jalan lebih cepat, kami dikejar dua oran
Aku dan adikku menikah di hari yang sama.Suamiku adalah kapten pemadam kebakaran, sedangkan suaminya adalah seorang polisi. Dua pria itu berteman baik sejak kecil dan bahkan membeli apartemen di lantai yang sama agar bisa bertetangga.Tidak lama kemudian, aku dan adikku hamil.Namun, sepuluh hari sebelum hari perkiraan lahirku, gedung apartemen kami tiba-tiba kebakaran.Asap tebal mendesak ke semua ruangan. Aku kesulitan bernapas hingga terpicu kontraksi. Darah mengalir di kakiku, dan kesadaranku kabur selama beberapa saat.Dengan tangan gemetaran, aku menelepon suamiku untuk meminta bantuan.Tapi dia marah-marah dengan tidak sabar. "Ratna, kamu gila, ya? Kenapa kamu harus telepon sekarang? Aku sedang menyelamatkan orang!""Kamu tahu nggak, Monika sedang disandera pembunuh di atap gedung. Nyawanya sedang dipertaruhkan!""Tapi kamu bawel terus setiap hari!"Tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan, panggilan itu ditutup.Saat aku mencoba telepon lagi, dia menolak panggilan.Di amba
Aku dulu berkhayal bahwa aku pasti akan bahagia setiap hari setelah menikah.Tapi dia ingat Monika takut ketinggian. Padahal dia tidak peduli sama sekali dengan asma yang aku derita sejak hamil.Aku terengah-engah dalam asap yang menyesakkan. Tanganku terlalu lemah untuk memegang ponsel dan sampai ponselku terjatuh beberapa kali. Rasa sakit yang luar biasa akibat kontraksi mewarnai gaun kuning mudaku menjadi warna merah darah.Tapi dia?Teleponku ditolak berulang kali. Baru saat aku hampir kehilangan kesadaran, dia akhirnya mengangkat panggilan."Sayang ... perutku ... sakit ... tolong ... cepat ke sini ...."Suaraku jelas sangat lemah dan pendek, tidak bisa mengucapkan satu kalimat dengan lengkap.Tapi yang kudengar pertama kali dari sana adalah tangisan Monika. "Terlalu berbahaya, Kak Yudha, jangan naik! Tinggalkan aku!"Hatiku pun membeku seutuhnya.Api membumbung semakin besar.Dan Yudha memarahiku tanpa pikir panjang. "Lagi-lagi sakit lagi. Mengeluh sakit terus setiap saat. Ibu ha
Orang tua kami meninggal saat kami masih sangat kecil. Kami tumbuh besar mengandalkan satu sama lain. Adikku adalah hartaku yang paling berharga. Satu lecet kecil di jarinya saja membuatku khawatir setengah mati.Sayangnya, aku buta.Aku memperkenalkan Dimas kepadanya!Kami memberikan seluruh isi hati kami dengan setulus-tulusnya. Lalu berjuang tanpa lelah untuk mengandung seorang anak. Tapi pada akhirnya, semua itu hanya alat yang digunakan oleh dua pria tak tahu malu ini untuk menyulut perasaan Monika!"Hahaha ...."Adikku tiba-tiba tertawa. Isak tangisnya semakin menjadi-jadi.Aku menoleh dan melihatnya memegangi ponselnya.Menatap foto di layar.Yudha bertelanjang dada, seutas tali melingkar di pinggangnya yang ramping.Monika menjatuhkan diri ke dalam pelukannya dan diselamatkan ke bawah. Di saat yang sama, Dimas yang mengenakan seragam polisi sedang bergegas berlari ke sana.Sebuah momen yang diabadikan dengan penuh cerita.Monika ada di antara mereka, bagaikan tuan putri yang se