Share

Dicampakkan Suami dalam Kebakaran Rumah
Dicampakkan Suami dalam Kebakaran Rumah
Penulis: Vania Hasanah

Bab 1

Aku dan adikku menikah di hari yang sama.

Suamiku adalah kapten pemadam kebakaran, sedangkan suaminya adalah seorang polisi. Dua pria itu berteman baik sejak kecil dan bahkan membeli apartemen di lantai yang sama agar bisa bertetangga.

Tidak lama kemudian, aku dan adikku hamil.

Namun, sepuluh hari sebelum hari perkiraan lahirku, gedung apartemen kami tiba-tiba kebakaran.

Asap tebal mendesak ke semua ruangan. Aku kesulitan bernapas hingga terpicu kontraksi. Darah mengalir di kakiku, dan kesadaranku kabur selama beberapa saat.

Dengan tangan gemetaran, aku menelepon suamiku untuk meminta bantuan.

Tapi dia marah-marah dengan tidak sabar. "Ratna, kamu gila, ya? Kenapa kamu harus telepon sekarang? Aku sedang menyelamatkan orang!"

"Kamu tahu nggak, Monika sedang disandera pembunuh di atap gedung. Nyawanya sedang dipertaruhkan!"

"Tapi kamu bawel terus setiap hari!"

Tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan, panggilan itu ditutup.

Saat aku mencoba telepon lagi, dia menolak panggilan.

Di ambang kematian, adikkulah yang mempertaruhkan nyawa untuk terjun ke dalam api yang membumbung dan menggendongku menuruni tanda. Tapi dia sendiri menunjukkan tanda-tanda akan keguguran.

Menurut satpam, kebakaran ini mungkin disengaja.

Pasalnya, beberapa kabel di ruang distribusi listrik tampak sengaja dipotong.

Adikku juga menelepon suaminya yang seorang petugas polisi, tetapi sama-sama dimarahi ....

"Otakmu dan otak kakakmu sama-sama tersedot plasenta?"

"Orang yang menculik Monika belum tertangkap. Bisa nggak kamu berhenti mengganggu pekerjaanku?"

"Aku dan Yudha benar-benar bodoh menikahi kalian!"

Teleponnya juga ditutup dengan kasar.

Pada akhirnya, aku terlambat sampai di rumah sakit dan bayiku lahir mati.

Bayi adikku juga tidak bisa diselamatkan.

Aku berpelukan dengan adikku dalam derai air mata. Kami bertekad akan menceraikan mereka.

*

Tubuhku sangat lemah dan kesakitan, tidak bisa berhenti gemetar.

Bergerak kecil untuk menyalakan ponsel dan memanggil nomornya saja membuatku banjir keringat. Sangat lelah dan terengah-engah.

"Ada apa lagi!"

Pada panggilan kelima, Yudha akhirnya menjawab telepon dengan amarah tertahan. "Dimarahi saja masih belum cukup?"

Kata-kata itu disusul isak tangis lirih dari sisinya.

Itu suara Monika.

Aku tersenyum sendiri dan berkata, "Kita cerai saja. Aku doakan kalian bahagia."

Yudha tertegun sejenak, lalu menggeram, "Ratna, kalau kamu sedang bosan, carilah kesibukan lain!"

"Sudah kubilang, aku dan Monika cuma berteman. Dia takut ketinggian sejak dulu. Hari ini dia disandera di atap. Lantai 24!"

"Ratna, apa maumu?! Ada nyawa yang sedang dipertaruhkan!"

"Berhenti bertingkah seperti orang gila setiap mendengar nama Monika, oke?"

"Ini terakhir kalinya aku memberimu peringatan. Kalau kamu cari-cari masalah tanpa sebab lagi, aku nggak segan-segan meninggalkanmu! Nggak peduli kamu sedang hamil!"

Telepon lalu ditutup.

Air mataku pecah dan menggenang di layar ponselku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Reni Ardiana
smoga Ratna bisa hidup lbh bahagia bersama dgn adiknya, smoga Yudha suatu saat nanti akn menuai karmanya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status