“Mila, bisakah kita bertemu?”
Mendengarnya membuatku membeku sesaat.
Aku tidak lupa suara siapa itu.
Perasaanku carut marut mendengarnya.
Lalu daripada aku tidak bisa menguasai diriku, cepat-cepat kumatikan ponsel itu dan melemparnya di atas sofa.
Astaga. Itu ‘kan suara Mas Ramzi? Untuk apa dia menghubungiku kembali? Bukankah dia sudah hidup bahagia bersama Tania. Apalagi sebentar lagi mereka akan memiliki seorang anak.
“Tidak! Aku tidak mau lagi berhubungan dan terlibat apapun dengannya,” ucapku pada diri sendiri sambil mengatur napas, yang sesaat tadi sudah tidak karuan naik turun mendengar lagi suara yang dulu pernah begitu aku rindukan setiap hari.
Namun, kejadian dia tidak datang di hari pernikahanku tentu tidak akan bisa aku lupakan seumur hidup.
Layar ponsel kembali berkedip. Aku tidak meliriknya karena masih cemas bahwa itu adalah panggilan dari pria itu lagi.
“Hebat sekali dia, istrinya terkapar koma di rumah sakit sekarang mulai menghubungimu lagi?”Sella teringat tentang Ramzi yang menghubungiku, lalu kami membahasnya. Dia yang bersimpati atas gagalnya pernikahanku waktu itu, tentu saja tidak menyukai sikap Ramzi yang tanpa dosa tiba-tiba muncul ingin mengusikku.“Hati-hati, Mila. Kau seharusnya sudah tahu pria seperti apa dia setelah mengacaukan pernikahan kalian.” Sella mengingatkan.“Aku tidak lupa hal itu, Sel,” jawabku pasti.Sella benar, untuk apa juga Ramzi tiba-tiba menghubungiku saat ini setelah semuanya sudah berbeda dan masing-masing.Dia sudah menikah dengan Tania dan aku juga sudah mulai menemukan kebahagiaan dengan suamiku.Kemana saja dulu saat aku berkali-kali menghubunginya di detik-detik pernikahan kami sementara membiarkanku seperti orang bodoh yang ditertawakan banyak orang?&n
Ketika pagi menjelang, mendengar suara mobil di halaman aku buru-buru melipat sajadahku.Siapa yang pagi-pagi begini bertamu?Tidak mungkin juga Ed. Dia baru berangkat kemarin dan bilangnya bisa balik paling cepat 3 hari.Perlahan kuintip keadaan di luar dari tirai jendela. Sedikit takut jangan-jangan itu Mas Ramzi yang nekat datang karena panggilan dan pesannya tidak aku angkat.Tapi, bukan dia.Lagian darimana juga dia tahu aku tinggal di sini?Aku ini memang terlalu suka mengira-ngirakan sesuatu hal.Benar-benar sulit diubah.Itu kan Mas Sopir yang menjemput dan mengantar Ibu beberapa waktu yang lalu?Dari tempatku mengintip kulihat pria itu memencet bel untuk kesekian kalinya dan berdiri menungguku membuka pintu.Ada apa dia datang? Apa jangan-janga
“Dia bilang kau yang menyuruhnya datang, Ed.” Kujelaskan apa yang disampaikan sopir tadi.“Oh, benar. Maaf aku lupa hal itu. Sepagi tadi dia telpon mengingatkan bahwa aku belum memberinya tambahan ongkos yang kujanjikan. Lalu karena sekarang aku sedang di luar kota jadi kusuruh dia datang ke rumah untuk memintanya darimu. Kebetulan dia mau datang ke rumah, sekalian aku nitip pesan agar kau mengaktifkan ponselmu karena aku cemas kau ada apa-apa.” Ed menjelaskan dengan panjang dan terperinci.“Oh. Begitukah?” ujarku menghela puas dengan jawaban suamiku itu. Akhirnya terjawab juga yang sejak tadi membuatku heran.Benar dugaanku tadi, sopir itu memang datang untuk menagih kekurangan ongkos dari Ed.“Ya sudah kalau begitu, aku ambilkan uangnya dulu. Berapa?”Panggilan kami kuakhiri dulu lantaran aku harus segera mengambilkan uang untuk Mas Sopir itu. Tidak enak sejak tadi su
Aku tidak menghiraukan pesan-pesan yang dikirim Ramzi dan menyibukan diri dengan hal lain. Namun perasaanku tetap tidak enak saja hingga memutuskan untuk menghubungi Ed.Aku berpikir, kira-kira kalau aku menyampaikan pada Ed tentang pesan Ramzi untuk memintaku bertemu, apakah dia mau mengizinkanku?Sepertinya tidak mungkin,Tapi apa salahnya mencoba?[Ed, kalau tidak sedang menyetir, balas pesanku ya?] tulisku ke nomor ponsel Ed. Ini jam-jam sibuk. Pasti Ed sedang berjibaku dengan pekerjaannya.Lalu dengan hati-hati kukirimkan pesan yang sudah aku sunting lebih dari 10 kali.[Ed, Tania temanku mengalami kecelakaan. Temanku Sella mengajakku menjenguknya. Apa aku boleh melakukannya?]Itu salah satu pemberitahuan terselubung pada Ed bahwa aku akan bertemu dengan Ramzi. Ed sudah tahu bahwa Tania adalah temanku yang dinikahi Ramzi. Tentu jika aku mengunjunginya, Ed sudah bisa menebak bahwa kemungkinan Ramzi juga akan be
Sayangnya Sella sedang sibuk mengurus sesuatu sehingga aku tidak mungkin merepotkannya sekedar menemaniku menemui Ramzi di alamat yang sudah dia kirimkan kemarin.Aku merasa tegang hingga berkali-kali harus menghela napas dalam-dalam. Tapi sudah menjadi keputusanku untuk menemuinya.Menunggu pagi hingga beranjak sore, aku kemudian menyiapkan diri untuk pergi menemui mantan calon suamiku itu.Tadinya ingin memakai motor saja, tapi karena kafe itu ada di jalan utama yang sering ada razia kelengkapan motor, jadinya aku putuskan memesan taxi. Aku tidak mengurus SIM karena sebelumnya memang tidak punya motor.Sejak awal, Ed melarangku memakai ojek. Dia lebih menyarankanku memesan grab atau taxi saja. alasannya hanya demi keamanan saja.Taxi yang kupesan sudah datang. Dengan segera aku masuk ke dalam mobil itu. Ketika sudah di perjalanan menuju tempat janjian, hatiku benar-benar tidak tenang. Mungkin karena aku tidak memberitahu Ed tent
Tatapanku reflek membola mendengar ucapannya. Membuatku berdecih dalam hati karena muak dengan kata-katanya.Setelah sudah membuat hatiku hancur, masih pantaskah dia mengatakan hal itu?Sebagai pria yang sudah memiliki istri, apa dia tidak malu mengatakan kata rindu pada wanita yang juga sudah memiliki suami?“Aku harap Anda tidak lupa tujuan kita bertemu kali ini.” Dengan tegas kuingatkan hal itu padanya.“Tidak, aku tidak lupa, Mila!” sahutnya cepat.Sebelum melanjutkan Ramzi menghela napas mencoba mengatur diri untuk memulai apa yang ingin disampaikannya.“Pertama, aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi, Mila. Truly deeply sorry. Aku sama sekali tidak pernah berniat sebigini brengsek sampai harus meninggalkanmu di pesta pernikahan yang seharusnya kita jalani bersama.”Kuhela napas dalam karena sungguh pembicaraan ini sudah menyeret kenangan buruk itu kembali hingga membuatku merasakan betapa sakit hatiku saat itu.“Aku ke toilet sebentar,” ucapku.Karena takut aku tidak bisa me
“Lepasin, Mas!”Kuhentakkan tanganku dari Ramzi dengan sebal.“Aku sudah punya suami, Mas. Dan aku tidak mau dia berpikir macam-macam padaku karena mengetahui pertemuan ini. Jadi sudah cukupkan sampai di sini, karena kau juga seharusnya menunggui Tania yang sedang koma ‘kan?”Kukatakan hal ini agar Ramzi tidak terus menahanku dalam pembicaraan yang sudah tidak ada gunanya ini.Jelas-jelas tadi aku sudah mengatakan mengikhlaskan semua dan memaafkannya. Lalu apa lagi yang masih diinginkannya?“Baik, setelah ini sudah. Aku akan membiarkanmu pergi. Aku janji, Mila.” Ramzi memintaku duduk kembali.Terpaksa aku pun duduk kembali karena malu dilihat banyak orang seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.Hhg, bukan sepasang kekasih. Tapi, mantan sepasang kekasih."Bagaimana hubunganmu dengan suamimu? Apa dia pria baik-baik?"Ramzi ternyata malah membahas tentang rumah tanggaku.Aku menatapnya kesal karena buk
“Sudah selesai urusannya, Sayang?”Deg!Apa itu suara Ed?Bukankah dia bilang masih besok baru sampai rumah.Bagaimana dia ada di sini?Perlahan kubalikan badanku.Seketika darahku berhenti mengalir melihat sosok pria itu duduk di depan kafe dengan rokok masih menyala di ujung jarinya.Aku baru tahu kalau Ed perokok. Selama ini aku sama sekali tidak melihatnya merokok di depanku.“Ed? K-kau di sini?” tanyaku gelagapan. Aku sudah seperti orang yang ketahuan selingkuh saja.Bahkan karena saking gugupnya aku sampai menjatuhkan kartu nama yang diberikan Ramzi padaku tadi.Ed memperhatikan hal itu, lalu mematikan rokoknya di asbak dan bangkit mengambil benda itu sebelum aku sempat mengambilnya.Astaga...Ed pasti membaca nama yang tertera di kartu nama itu.Kenapa juga tadi aku mengambil kartu nama itu?Apa Ed akan salah paham padaku?“Milikmu?”Ed menyodorkan kartu nama itu setelah sekilas membacanya.Di balik sikap tenangnya, aku tahu sorot mata Ed sedang menyembunyikan kekecewaannya
Kukirim pesan pada Ed bahwa saat ini aku dan Mbak Lilis ada di pusat perbelanjaan di dekat kantornya.Ed mengirim pesan balik yang menyampaikan akan segera menyusulku.Di sana aku tidak sengaja bertemu dengan wanita yang waktu itu bersama Jessica. Seingatku namanya Sherin. Aku juga tidak lupa, dia bilang temannya Jessica.“Kau sedang berbelanja?” tanyaku basa-basi seteah dia duluan yang menyapaku.Kami duduk di resto dan mengobrol santai di sana sembari menikmati makanan yang kami pesan.“Iya, tadi aku dari kantor suamimu, mau tanya adakah lowongan pekerjaan di sana. Aku mau tinggal di Indonesia lagi saja,” ujar Sherina.Senyumnya ramah sekali. Penampilannya juga cantik dan elegan. Dia berteman dengan Jessica, pasti sedikit tahu tentangku dan Ed. Namun wanita ini masih tetap ramah. Sepertinya dia berbeda dengan Jessica.“Sebelum ini tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Di Prancis. Aku model di sana. Tapi usia semakin tua dan kalah saing dengan para model muda. Jadi sudah seharusnya aku m
Gala dan Meida senangnya minta ampun ketika papanya bilang minggu depan akan mengajak mereka jalan-jalan ke luar negri. Padahal libur sekolah masih sebulanan. Tapi Ed tidak mempermasalahkan hal itu.“Jangan terlalu keras, mereka masih TK. Enggak masalah juga,” ujarnya saat kuingatkan tentang jadwal sekolah mereka.“Takutnya sekolah tidak memberi izin, Sayang,” ujarku memberi alasan.“Anak-anak aku sendiri, ngapain juga minta izin?” tukasnya tidak begitu memikirkan hal ini.“Astaga, Papa...!” tukasku menanggapinya. Mungkin dia tidak serius. Tapi, ya sudahlah. Biar nanti kumintakan izin pada pihak sekolah kalau anak-anak lebih dulu libur panjang. Tidak mungkin juga ‘kan kalau mereka tidak memberi izin. Seandainya sampai pihak sekolah tidak memberi izin, baru ucapan Ed bisa dibenarkan.“Ma, nanti kita belanja jaket tebal, ya? Papa bilang sekarang sedang musim dingin di Eropa?” Meida sudah bingung sendiri dan membayangkan akan kedinginan kalau tidak punya jaket tebal.“Iya nanti kita bel
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant
“Ed, mama dan papa kan sudah berpisah. Tapi mengapa...?”Belum tuntas pertanyaanku, Ed sudah menerima panggilan dari rumah sakit.Aku tidak akan menganggunya dulu.Lalu kupikir, nanti akan kutanyakan saja pada Paman Prabowo. Ed selalu pelit untuk menyampaikan tentang keluarganya.Kebanyakan aku mengetahui banyak hal pun bukan darinya. Dia hanya kebagian membenarkan saja saat kukonformasi apa yang disampaikan orang lain.Lagipula sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Tante Atika. Nanti sekalian mengajak ibu dan Mbak Lilis juga anak-anak ke rumahnya.“Kau mau aku antar pulang?” tanyanya. Padahal kudengar tadi dia mau ke rumah sakit.“Ada apa di rumah sakit?” aku tidak menjawabi pertanyaannya, tapi malah balik bertanya.“Erik sudah sadar, dia mencariku.” “Oh, syukurlah, Ed. Apa kau akan ke sana?”“Ya, aku akan menengoknya sebentar. Aku antar kau pulang dulu.”“Rumah sakit lebih dekat, Ed. Jadi kita ke rumah sakit saja dan nanti baru mengantarku pulang kalau sudah selesai dari meneng
Jenazah Danio disemayamkan di rumah duka sebelum akhirnya diberangkatkan ke pemakaman keluarga.Kami baru datang ketika beberapa mobil pengantar jenazah sudah berjalan keluar dari rumah duka. Sam menghampiri mobil dan Ed membuka kaca jendela. Aku tidak tahu apa maksud percakapan mereka yang hanya sepotong-sepotong itu. Apapun itu pasti hanya mengenai prosesi pemakaman Danio.“Siap, Tuan!” Sam melaporkan.“Datang?”“Datang, Tuan.”“Oke, kita langsung ke sana!”Dan kami kembali meluncur ke pemakaman keluarga. Ed memberitahu bahwa meski dalam satu arah dan berdekatan, tapi makam keluarga Ed dan Danio berbeda tempat.Padahal kalau Danio itu masih adik neneknya Ed, seharusnya masih dalam satu keluarga dan dimakamkan di tempat yang sama, kan? Tapi mungkin akulah di sini yang kurang mengerti. Nantilah aku menanyakan pada Ed. Aku menggandeng lengan Ed dengan sedikit erat ketika memasuki areal pemakaman yang sepi dan sedikit rimbun dengan bunga kamboja itu.Untungnya sepanjang jalan setapak
“Ahaha, Papa kalau tidur memang suka begitu, Meida. Sama kan kayak Gala. Suka jatuh dari tempat tidur,” aku menyahuti pertanyaan bocah itu. Padahal Ed sudah melirikku seolah mengatakan tidak perlu menjawabnya agar tidak terlihat bohongnya.“Tapi kok baju mama dan papa di lepas. Meida lihat kok baju mama dan papa di lantai?”Tuh kan? Bocah itu akan terus bertanya karena merasa tidak puas dengan jawabanku sebelumnya.Kali ini Ed bukannya membantuku, tapi malah memakai headseatnya dan bangkit pura-pura menerima panggilan.Entahlah, apa itu beneran ada panggilan atau hanya kamuflasenya saja agar terhindar dari pertanyaan Meida?Kulihat Nur dengan sopan tidak bereaksi apapun mendegar celoteh bocah asuannya itu. Dia langsung memakaikan Meida bathrobe kecil lalu mengendongnya duduk di sebelahku dan ganti mengurus gala yang belum mau mentas dari kolam renang.Kuambil kesempatan itu untuk mengajak putriku masuk ke dalam kamar dengan alasan memandikannya dan mengganti bajunya. Setelah itu ak
“Enggak jadi minta dipijitin dulu?” Aku masih mengingatkannya saat leherku sudah penuh gigitan lembutnya.“Tanggung, Beb. Aku saja yang sekarang pijitin kamu,” ujarnya sembari melorotkan tali lingeri yang kugenakan untuk bisa menangkupkan kedua tangan besarnya itu pada dua bagian yang katanya semakin mantap itu. Sejak dulu aku memang rajin merawat diri, apalagi untuk suamiku yang ganteng dan selalu menjadi incaran para wanita diluar sana.Ed duduk bertumpu pada kedua lututnya dan kedua kakiku melingkar di pinggangnya, sedangkan tangan besar itu sudah ayik mengadon dua benda yang membusung itu dengan remasan lembut dan nyaman. Tanpa kuperintah, bibirku sudah meloloskan suara desah manjalita yang membuat pria itu lebih tergoda. Napasku sudah naik turun menggilai kenyamanan yang diberikannya. Otot-otoku mengejang perlahan di bawah pada kenikmatan nirwana. Tahu aku sudah dimabuk kepayang, Ed berlanjut melumat dua puncak itu bergantian, sedangkan satu tangannya malah diturunkan menelu
“Berani dia pulang ke Indonesia saat status hukumnya masih sebagai narapidana?” tanyaku pada Ed yang sudah rebahan di tempat tidur.Dia sudah datang beberapa waktu yang lalu, namun karena Meida merengek memintanya menemani mereka di kamar sebelum tidur, jadinya Ed melenyapkan rasa lelahnya sementara sampai dua bocah kecil itu bersedia tidur. “Kenapa?” tanya Ed yang bisa kukatakan kurang fokus saja dengan pembicaraan tentang Jessica. Mungkin dia lelah. Karenanya, aku menunda acara pijit-pijit yang sudah kami rencanakan tadi.“Apa kasus Jessica sudah tuntas?” tanyaku.“Informasi yang aku dengar Danio meminta pengacara untuk bernegosiasi dengan pihak keluarga anak-anak yang diculik. Mereka memilih menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.”“Hah?! Serius, Ed?” Aku jadi merasa tidak terima wanita itu bisa lolos begitu saja dari jerat hukum. Pasti Danio tidak hanya menawarkan tentang kekeluargaannya itu. Bisa jadi pria itu juga mengancam.“Ya sudahlah, bukan urusan kita juga ‘kan?”“Walau
“Innalillahi...” ucapku mendengar berita duka itu.Walau pria itu sudah kejam dan memiliki niat jahat pada kami, sebagai sesama manusia aku juga ikut prihatin.“Paman di rumah sakit, Tante?” tanyaku.“Iya, dia tentu juga harus mengurus semua perkara ini, Mila. Tadinya suamimu memintanya segera mengusut tentang pembunuhan papanya, tak dinyana, Danio sudah menghembuskan napas terakhir sebelum menerima hukumannya di pengadilan negara.”Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Danio saat pengejaran. Karena sebelumnya Danio tidak kenapa-kenapa. Dia melompat dari jendela dan berhasil melarikan diri. Lalu setelahnya aku tidak mengikuti beritanya lagi.Sorenya aku mengirim pesan pada Ed dengan alasan anak-anaknya merindukannya dan ingin melakukan video call.Ed tidak menolak dan langsung menghubungi balik anak-anak untuk melakukan vidio call.Kubiarkan saja dua bocah itu berkomunikasi dengan papanya. Aku hanya memperhatikan keduanya dari jauh saja. Sesekali melirik Ed di layar ponsel. Walau wajah