Hatiku tidak tenang...Sejak tadi resah memikirkan kenapa tiba-tiba Ed pergi lagi padahal baru pulang.Aku yakin tadi dia belum sempat mampir ke rumah dan langsung ke kafe Alamanda. Dia bahkan memakai motor sport milik temannya untuk menyusulku.Jika sekarang langsung pergi lagi, jangan salahkan aku kalau bertanya, sebesar apa kemarahannya hingga enggan sekedar memberitahuku kemana dia pergi?Oh. Kenapa aku masih bertanya hal itu?Sudah tentu Ed kesal dan marah besaar padaku.Suami jungkir balik sibuk kerja lalu pulang-pulang mendapati istrinya malah menemui pria lain—siapa coba yang tidak marah?Apalagi yang kutemui bukan sekedar teman, melainkan pria yang seharusnya menikahiku di hari aku dan Ed menikah.Ed pria yang tulus dan mencintaiku. Akulah yang memintanya menikahiku. Lalu dengan suka rela dia menikahiku dan menerimaku apa adanya.Jadi, aku harus bisa menerima jika kemudian dirinya—yang sudah melakukan banyak hal padaku—bisa sekecewa itu mengetahuiku bertemu dengan Ramz
Selepas subuh, tubuhku yang terasa remuk redam langsung limbung di atas kasur yang tidak lagi memakai sprei itu.Tadi kuambil sprei yang penuh jejak-jejak pergulatan yang hebohan itu, dan aku bahkan belum sempat menggantinya.Aku lelah dan masih butuh memulihkan tenaga dulu yang sudah kugunakan bertempur bersama suamiku.Melakukan ibadah yang katanya pahalanya sama dengan menumpas kafir. Saat aku membuka mataku, semuanya sudah terang benderang. Jendela juga sudah tersibak dan anehnya sprei pun sudah berganti.Apa Ed yang tadi menggantinya saat aku tertidur?Bagaimana bahkan aku sama sekali tidak terusik saat Ed melakukannya?Aku bergegas berjingkat namun suara panggilan dari nakas menahanku untuk melihat sejenak.Dari Sella...“Hallo, Sel?” sapaku dengan nada bantal.“Kamu baru bangun tidur, Mila?” Sella terdengar keheranan. “Apa kamu sakit?”“Eng, iya, maklum musim pancaroba,” ujarku pura-pura demi tidak merasa malu pada Sella sesiang ini baru bangun.“Oh, ya. Ada apa ya, Sel?” k
“Kenapa tanganmu, Ed?” tanyaku sambil memeriksa lengan Ed.Goresan merah yang mengering itu terpampang nyata di kulit cerah Ed.Kutatap Ed dengan menelisik seketika teringat bahwa kemarin Ed pergi lagi setelah mengantarku. Lalu menyambungkan dengan cerita Sella tentang kejadian di kafe Alamanda meja no 7.Aku tidak berharap Ed seperti yang kusangkakan. Yang datang kembali menemui Ramzi dan menghajarnya di sana.Ed pernah hampir menghajar penjaga rumah Ramzi waktu itu, jadi aku pikir dia juga bisa melakukan hal yang sama pada Ramzi karena kesal. Aku hanya tidak mau suamiku terkena masalah dengan orang kaya. Karena seringnya kami yang kaum rendahan ini akan kalah di mata hukum. “Ini hanya luka gores, Mila. Kenapa kau seterkejut itu?” Ed menarik lengannya dari tanganku.“Gores kenapa? Kau berkelahi?” tanyaku belum-belum sudah menuduhnya.Ed menautkan tatapannya padaku, seolah heran mengapa aku mengiranya berkelahi.“Jangan menatapku begitu, Ed. Kau belum mengatakan padaku kemana kau
Manis? Teman atau siapa? Hatiku sudah resah saja melihat Ed buru-buru mengambil ponsel itu dan berjalan menjauh utuk mengangkatnya. Sebenarnya sangat penasaran, tapi aku tidak suka dibilang menguping kalau diam-diam mencari tempat yang dekat agar bisa mendengar percakapan Ed. Apalagi melihat Ed yang tampak tersenyum lebar bahagai berbicara di telpon, aku sudah berpikir yang bukan-bukan. Astaga... Pernah dihianati dan baru tahu setelah sekian lama, membuatku sedikit paranoid. Aku jadi tidak tenang dan seolah ada dorongan untuk harus menanyakannya. “Siapa, Ed?” Kusambut Ed dengan pertanyaan itu saat dia balik ke dalam. “Apa?” Ed melongo karena kurang fokus dengan pertanyaanku. Sesenang apa dia sampai aku mengajak bicara tidak didengarnya. “Oh, aku bertanya siapa yang menelpon? Apa kau terganggu karena aku bertanya demikian?” tanyaku sudah menjadi sedih saja. “Eng, dari teman. Memangnya kenapa?” jawab Ed lempeng tak memperdulikan ekspresiku. Pria itu justru berjalan melewati
“Kau tidak lupa ‘kan Mila. Tiga tahun SMA juga 4 tahun kuliahmu, tante yang biayain kamu. Tante yang numpangin hidup kamu di rumah tante yang tentu lebih besar dan mewah dari ini. Saat ini tantemu ini sedang kesusahan. Hanya butuh tumpangan beberapa hari saja sampai pamanmu bisa cari kontrakan murah. Tega sekali kamu, Mila...”Seperti biasa Tante Desi menggunakan senjata itu untuk membuatku terlihat seolah durhaka kalau menolak membantunya. Astaga... kalau sudah bicara dengan wanita ini semua jadi serba salah.Lalu daripada nanti malah berujung drama serial yang berbab-bab, kusanggupi saja untuk menelpon Ed dan membujuknya agar mengizinkan tanteku itu sementara tinggal di rumah.Mendengarku yang sudah mau menyanggupi, tante seketika terlihat senang. Dia menyeruput teh yang kusuguhkan hingga habis. Lalu mintaku menunjukan kamar kecil.Ed belum bisa kuhubungi. Aku mengiriminya pesan, [Ed. Tolong aku. Ini Tante Desi datang nangis-nangis minta tolong agar aku memintamu mengizinkannya
“Kenapa Tante lancang mengangkat panggilan dari ponsel yang bukan milik Tante?”Aku kesal bukan hanya karena Tante Desi yang lancang mengangkat panggilan itu, tapi juga karena yang memanggil adalah orang yang sudah tidak ingin aku ijinkan masuk lagi dalam hidupku.Sudah selesai kemarin urusan kami. Kenapa juga masih coba menelpon lagi?Benar apa kata Ed. Sekali berbohong seharusnya aku tidak pernah percaya omongannya lagi.“Kenapa sih, Mila. Dia baik, kok!” tukas tante tiba-tiba.Aku menatapnya penuh selidik. Apa yang terjadi hingga wanita yang saat pernikahanku ini mengatainya tidak benar karena sudah menggagalkan pernikahan kami, akhirnya sekarang malah mengatakannya baik.Apa jangan-jangan tante memanfaatkan kesempatan ini lagi untuk kepentingannya?“Tante minta apa sama dia?” tanyaku terus terang.
“Ed, kenapa lama?” tanyaku beralih pada Ed.“Iya maaf, Sayang. Tadi ada Mbak ini yang nanya alamat, tidak tahunya dia tetangga baru kita. Jadi aku tumpangi sekalian.” Ed merangkulku dan menjelaskan kenapa tadi dia lama.“Benar, Bu. Saya ngotrak di perumahan ini juga, di depan situ. Baru hari ini akan menempati,” ujar wanita itu.“Bukannya di depan sana rumahnya Bu Ita?”Sejak kapan rumah di depan kosong dan dikontrakan?“Bukan yang itu, tapi sebelahnya, Bu,” ujarnya lagi.“Oh, Baik. Nama saya Mila, Mbak. Panggil Mila saja. Nama Mbak siapa? Manis ya?” tukasku yang tidak bisa menahan rasa penasaran apakah wanita itu yang bernama Manis.Seketika Ed melirikku heran.Astaga, kenapa aku tidak bisa bersabar sebentar sampai wanita itu menyebutkan namanya. malah begitu saja mengiranya yang bernama Manis. Iya kala
Ucapan Ed benar-benar membanting mental tante dengan begitu tepat.Aku yang tadi masih tidak tega karena kepikiran nasib paman dan sepupuku, jadi membenarkan sikap Ed.Wanita ini sudah datang memohon-mohon untuk ditolong, masih juga menghina-hina.Jadi, untuk apa juga merepotkan diri sendiri merawat ular, sama sekali tidak ada manfaatnya tapi malah mendapat racunnya.“Dasar keponakan durhaka! Begini kamu ketika melihat kami tidak punya apa-apa? Tidak punya rumah? Masih bisa kau tidur sementara paman dan sepupumu itu terlunta-lunta di jalan?” Tante Desi bangkit berkacak pinggang dan menunjuk-nunjukku.“Ya Allah, tante... kan tadi sudah Mila tawarin uang buat ngontrak. Ed juga enggak keberatan kok nyariin kontrakan.”“Helleh, berapapun uang yang kau tawarkan enggak akan sebanding dengan biaya pernikahan yang sudah aku keluarkan!”Wanita ini benar-benar...Uang pernikahan pun d