Terima kasih sudah mampir kakak-kakak! Mohon tinggalkan jejak ya, love you all...
“Kenapa tanganmu, Ed?” tanyaku sambil memeriksa lengan Ed.Goresan merah yang mengering itu terpampang nyata di kulit cerah Ed.Kutatap Ed dengan menelisik seketika teringat bahwa kemarin Ed pergi lagi setelah mengantarku. Lalu menyambungkan dengan cerita Sella tentang kejadian di kafe Alamanda meja no 7.Aku tidak berharap Ed seperti yang kusangkakan. Yang datang kembali menemui Ramzi dan menghajarnya di sana.Ed pernah hampir menghajar penjaga rumah Ramzi waktu itu, jadi aku pikir dia juga bisa melakukan hal yang sama pada Ramzi karena kesal. Aku hanya tidak mau suamiku terkena masalah dengan orang kaya. Karena seringnya kami yang kaum rendahan ini akan kalah di mata hukum. “Ini hanya luka gores, Mila. Kenapa kau seterkejut itu?” Ed menarik lengannya dari tanganku.“Gores kenapa? Kau berkelahi?” tanyaku belum-belum sudah menuduhnya.Ed menautkan tatapannya padaku, seolah heran mengapa aku mengiranya berkelahi.“Jangan menatapku begitu, Ed. Kau belum mengatakan padaku kemana kau
Manis? Teman atau siapa? Hatiku sudah resah saja melihat Ed buru-buru mengambil ponsel itu dan berjalan menjauh utuk mengangkatnya. Sebenarnya sangat penasaran, tapi aku tidak suka dibilang menguping kalau diam-diam mencari tempat yang dekat agar bisa mendengar percakapan Ed. Apalagi melihat Ed yang tampak tersenyum lebar bahagai berbicara di telpon, aku sudah berpikir yang bukan-bukan. Astaga... Pernah dihianati dan baru tahu setelah sekian lama, membuatku sedikit paranoid. Aku jadi tidak tenang dan seolah ada dorongan untuk harus menanyakannya. “Siapa, Ed?” Kusambut Ed dengan pertanyaan itu saat dia balik ke dalam. “Apa?” Ed melongo karena kurang fokus dengan pertanyaanku. Sesenang apa dia sampai aku mengajak bicara tidak didengarnya. “Oh, aku bertanya siapa yang menelpon? Apa kau terganggu karena aku bertanya demikian?” tanyaku sudah menjadi sedih saja. “Eng, dari teman. Memangnya kenapa?” jawab Ed lempeng tak memperdulikan ekspresiku. Pria itu justru berjalan melewati
“Kau tidak lupa ‘kan Mila. Tiga tahun SMA juga 4 tahun kuliahmu, tante yang biayain kamu. Tante yang numpangin hidup kamu di rumah tante yang tentu lebih besar dan mewah dari ini. Saat ini tantemu ini sedang kesusahan. Hanya butuh tumpangan beberapa hari saja sampai pamanmu bisa cari kontrakan murah. Tega sekali kamu, Mila...”Seperti biasa Tante Desi menggunakan senjata itu untuk membuatku terlihat seolah durhaka kalau menolak membantunya. Astaga... kalau sudah bicara dengan wanita ini semua jadi serba salah.Lalu daripada nanti malah berujung drama serial yang berbab-bab, kusanggupi saja untuk menelpon Ed dan membujuknya agar mengizinkan tanteku itu sementara tinggal di rumah.Mendengarku yang sudah mau menyanggupi, tante seketika terlihat senang. Dia menyeruput teh yang kusuguhkan hingga habis. Lalu mintaku menunjukan kamar kecil.Ed belum bisa kuhubungi. Aku mengiriminya pesan, [Ed. Tolong aku. Ini Tante Desi datang nangis-nangis minta tolong agar aku memintamu mengizinkannya
“Kenapa Tante lancang mengangkat panggilan dari ponsel yang bukan milik Tante?”Aku kesal bukan hanya karena Tante Desi yang lancang mengangkat panggilan itu, tapi juga karena yang memanggil adalah orang yang sudah tidak ingin aku ijinkan masuk lagi dalam hidupku.Sudah selesai kemarin urusan kami. Kenapa juga masih coba menelpon lagi?Benar apa kata Ed. Sekali berbohong seharusnya aku tidak pernah percaya omongannya lagi.“Kenapa sih, Mila. Dia baik, kok!” tukas tante tiba-tiba.Aku menatapnya penuh selidik. Apa yang terjadi hingga wanita yang saat pernikahanku ini mengatainya tidak benar karena sudah menggagalkan pernikahan kami, akhirnya sekarang malah mengatakannya baik.Apa jangan-jangan tante memanfaatkan kesempatan ini lagi untuk kepentingannya?“Tante minta apa sama dia?” tanyaku terus terang.
“Ed, kenapa lama?” tanyaku beralih pada Ed.“Iya maaf, Sayang. Tadi ada Mbak ini yang nanya alamat, tidak tahunya dia tetangga baru kita. Jadi aku tumpangi sekalian.” Ed merangkulku dan menjelaskan kenapa tadi dia lama.“Benar, Bu. Saya ngotrak di perumahan ini juga, di depan situ. Baru hari ini akan menempati,” ujar wanita itu.“Bukannya di depan sana rumahnya Bu Ita?”Sejak kapan rumah di depan kosong dan dikontrakan?“Bukan yang itu, tapi sebelahnya, Bu,” ujarnya lagi.“Oh, Baik. Nama saya Mila, Mbak. Panggil Mila saja. Nama Mbak siapa? Manis ya?” tukasku yang tidak bisa menahan rasa penasaran apakah wanita itu yang bernama Manis.Seketika Ed melirikku heran.Astaga, kenapa aku tidak bisa bersabar sebentar sampai wanita itu menyebutkan namanya. malah begitu saja mengiranya yang bernama Manis. Iya kala
Ucapan Ed benar-benar membanting mental tante dengan begitu tepat.Aku yang tadi masih tidak tega karena kepikiran nasib paman dan sepupuku, jadi membenarkan sikap Ed.Wanita ini sudah datang memohon-mohon untuk ditolong, masih juga menghina-hina.Jadi, untuk apa juga merepotkan diri sendiri merawat ular, sama sekali tidak ada manfaatnya tapi malah mendapat racunnya.“Dasar keponakan durhaka! Begini kamu ketika melihat kami tidak punya apa-apa? Tidak punya rumah? Masih bisa kau tidur sementara paman dan sepupumu itu terlunta-lunta di jalan?” Tante Desi bangkit berkacak pinggang dan menunjuk-nunjukku.“Ya Allah, tante... kan tadi sudah Mila tawarin uang buat ngontrak. Ed juga enggak keberatan kok nyariin kontrakan.”“Helleh, berapapun uang yang kau tawarkan enggak akan sebanding dengan biaya pernikahan yang sudah aku keluarkan!”Wanita ini benar-benar...Uang pernikahan pun d
“Mila, kemarilah!” Ed menunjuk tempat sempit di sampingnya untuk memintaku berpindah ke tempat itu.Aku menggeleng memberi tanda masih ada satu temannya, tidak seharusnya memintaku duduk bersesak-sesakan bersamanya.Tapi dasaran pria satu ini, langsung saja menarik lenganku hingga mau tidak mau aku mengambil duduk berdesakan dengannya di sofa yang harusnya untuk satu orang itu.“Kau tidak mau berkenalan dengan Manis?” ujar Ed lagi yang membuatku meliriknya heran sekaligus kebingungan.Kenapa dia tiba-tiba menyinggung tentang Manis.Tidak sabar sekali ya membahasnya?Padahal masih ada temannya di sini, lho.Pasti Ed sudah tahu sejak pagi tadi aku sempat membaca nama Manis di ponselnya lalu jadi uring-uringan. Barusan aku juga menduga tetangga baru itu bernama Manis. Dan pria ini pasti mau menggodaku saja. “Apa sih, Ed?” gumamku lirih.“Ini lho, temanku yang tadi pagi telpon aku. Namanya Manis.” Ed menunjuk temannya.Tatapanku langsung tertuju pada pria berkulit gelap dengan postur
Aku sudah seperti wanita jalang yang tanpa malu mendesak pria untuk bercinta denganku.Tidak masalah ‘kan? Toh suamiku sendiri.Jemariku membuka kancing kemeja Ed, dan pria itu pasrah saja membiarkanku melucutinya.Tubuh tinggi menjulang dengan perut berotot dan dada yang membidang, seolah seni tuhan yang terpahat indah.Aku pernah membaca berapa orang mengumpakan keindahan tubuh pria sebagai Dewa Zeus. Tidak berlebihan juga bila aku membayangkan, mungkin seperti inilah yang mereka maksud. Ed pun merasa tidak adil kalau hanya dirinya yang dilucuti.Ditariknya resleting depan gaunku dan begitu terbuka, tangan besar itu langsung saja menelusup ke punggung dan melepas kaitan yang menghalangi kesenangannya menikmati dua benda favoritnya.“Ed, apa kita akan melakukannya di sini?” ujarku disela meresapi pijatan lembut Ed yang melenakan itu.Sesaat kulirik arah pintu depan yang sepertinya terbuka.Ed pasti lupa tidak menutupnya.“Ed, tutup dulu pintunya.”Aku yang tersadar langsung mendor