“Kenapa Tante lancang mengangkat panggilan dari ponsel yang bukan milik Tante?”Aku kesal bukan hanya karena Tante Desi yang lancang mengangkat panggilan itu, tapi juga karena yang memanggil adalah orang yang sudah tidak ingin aku ijinkan masuk lagi dalam hidupku.Sudah selesai kemarin urusan kami. Kenapa juga masih coba menelpon lagi?Benar apa kata Ed. Sekali berbohong seharusnya aku tidak pernah percaya omongannya lagi.“Kenapa sih, Mila. Dia baik, kok!” tukas tante tiba-tiba.Aku menatapnya penuh selidik. Apa yang terjadi hingga wanita yang saat pernikahanku ini mengatainya tidak benar karena sudah menggagalkan pernikahan kami, akhirnya sekarang malah mengatakannya baik.Apa jangan-jangan tante memanfaatkan kesempatan ini lagi untuk kepentingannya?“Tante minta apa sama dia?” tanyaku terus terang.
“Ed, kenapa lama?” tanyaku beralih pada Ed.“Iya maaf, Sayang. Tadi ada Mbak ini yang nanya alamat, tidak tahunya dia tetangga baru kita. Jadi aku tumpangi sekalian.” Ed merangkulku dan menjelaskan kenapa tadi dia lama.“Benar, Bu. Saya ngotrak di perumahan ini juga, di depan situ. Baru hari ini akan menempati,” ujar wanita itu.“Bukannya di depan sana rumahnya Bu Ita?”Sejak kapan rumah di depan kosong dan dikontrakan?“Bukan yang itu, tapi sebelahnya, Bu,” ujarnya lagi.“Oh, Baik. Nama saya Mila, Mbak. Panggil Mila saja. Nama Mbak siapa? Manis ya?” tukasku yang tidak bisa menahan rasa penasaran apakah wanita itu yang bernama Manis.Seketika Ed melirikku heran.Astaga, kenapa aku tidak bisa bersabar sebentar sampai wanita itu menyebutkan namanya. malah begitu saja mengiranya yang bernama Manis. Iya kala
Ucapan Ed benar-benar membanting mental tante dengan begitu tepat.Aku yang tadi masih tidak tega karena kepikiran nasib paman dan sepupuku, jadi membenarkan sikap Ed.Wanita ini sudah datang memohon-mohon untuk ditolong, masih juga menghina-hina.Jadi, untuk apa juga merepotkan diri sendiri merawat ular, sama sekali tidak ada manfaatnya tapi malah mendapat racunnya.“Dasar keponakan durhaka! Begini kamu ketika melihat kami tidak punya apa-apa? Tidak punya rumah? Masih bisa kau tidur sementara paman dan sepupumu itu terlunta-lunta di jalan?” Tante Desi bangkit berkacak pinggang dan menunjuk-nunjukku.“Ya Allah, tante... kan tadi sudah Mila tawarin uang buat ngontrak. Ed juga enggak keberatan kok nyariin kontrakan.”“Helleh, berapapun uang yang kau tawarkan enggak akan sebanding dengan biaya pernikahan yang sudah aku keluarkan!”Wanita ini benar-benar...Uang pernikahan pun d
“Mila, kemarilah!” Ed menunjuk tempat sempit di sampingnya untuk memintaku berpindah ke tempat itu.Aku menggeleng memberi tanda masih ada satu temannya, tidak seharusnya memintaku duduk bersesak-sesakan bersamanya.Tapi dasaran pria satu ini, langsung saja menarik lenganku hingga mau tidak mau aku mengambil duduk berdesakan dengannya di sofa yang harusnya untuk satu orang itu.“Kau tidak mau berkenalan dengan Manis?” ujar Ed lagi yang membuatku meliriknya heran sekaligus kebingungan.Kenapa dia tiba-tiba menyinggung tentang Manis.Tidak sabar sekali ya membahasnya?Padahal masih ada temannya di sini, lho.Pasti Ed sudah tahu sejak pagi tadi aku sempat membaca nama Manis di ponselnya lalu jadi uring-uringan. Barusan aku juga menduga tetangga baru itu bernama Manis. Dan pria ini pasti mau menggodaku saja. “Apa sih, Ed?” gumamku lirih.“Ini lho, temanku yang tadi pagi telpon aku. Namanya Manis.” Ed menunjuk temannya.Tatapanku langsung tertuju pada pria berkulit gelap dengan postur
Aku sudah seperti wanita jalang yang tanpa malu mendesak pria untuk bercinta denganku.Tidak masalah ‘kan? Toh suamiku sendiri.Jemariku membuka kancing kemeja Ed, dan pria itu pasrah saja membiarkanku melucutinya.Tubuh tinggi menjulang dengan perut berotot dan dada yang membidang, seolah seni tuhan yang terpahat indah.Aku pernah membaca berapa orang mengumpakan keindahan tubuh pria sebagai Dewa Zeus. Tidak berlebihan juga bila aku membayangkan, mungkin seperti inilah yang mereka maksud. Ed pun merasa tidak adil kalau hanya dirinya yang dilucuti.Ditariknya resleting depan gaunku dan begitu terbuka, tangan besar itu langsung saja menelusup ke punggung dan melepas kaitan yang menghalangi kesenangannya menikmati dua benda favoritnya.“Ed, apa kita akan melakukannya di sini?” ujarku disela meresapi pijatan lembut Ed yang melenakan itu.Sesaat kulirik arah pintu depan yang sepertinya terbuka.Ed pasti lupa tidak menutupnya.“Ed, tutup dulu pintunya.”Aku yang tersadar langsung mendor
Pagi harinya, ketika menyiapkan sarapan untuk Ed, suara bel pintu terdengar.Kuintip dari tirai jendea dan melihat tetangga baruku itu yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya sedang berdiri menunggu pintu terbuka.Aku tidak tahu untuk apa dia sepagi ini bertamu ke rumah tetangga.“Selamat pagi, Bu?” sapanya sopan padaku saat kubuka pintu.“Pagi, Mbak Ririn. Panggil saja Mila.” sapaku balik sekalian mengoreksi ucapannya.“Oh. Maaf, saya sudah terbiasa memanggil begitu di kalangan tempat kerjaku. Jadi mohon maaf ya, Bu.”“Ou. Baiklah. Terserah juga, sih.” Aku menyerah.“Ada apa, Mbak?” kutanyakan tujuannya datang ke rumah pagi ini.Apa dia mau menumpang suamiku lagi?Oh. Kuharap dia punya sedikit segan untuk tidak menumpang suami orang terus.Bukannya tega, tapi kemungkinan untuk hal-hal yang tidak diinginkan itu bisa ada kalau pria dan wanita setiap hari jalan bareng.Apalagi suamiku yang gagah dan tampan itu pasti dengan mudah memikat para wanita.Aku belum bisa kalau cemburu. Hatiku
Voucher belanja itu berlaku besok sesuai juga dengan jadwal penerbangan yang sudah sepaket.Aku jadi ingin membeli sesuatu untuk persiapan besok. Kebetulan melihat status Sella yang sedang berbelanja di Mall dekat komplek rumah, aku segera mengiriminya pesan.[Udah belanja-belanja saja? Bukannya masih dua minggu lagi?] kirimku pesan mengomentari status Sella.Karena sedang online, Sella pun langsung menerimanya dan membalas. [Ibu rumtang, daripada nganggur ayok bantu aku sini!][Oke. Aku terbang, nih. Mau cari-cari sesuatu juga]Ed tadi bilang masih ngurus sedikit hal sekalian izin selama liburan. Jadi kukirim pesan padanya untuk sekedar memberitahunya bahwa aku keluar untuk belanja sebentar.Karena motor di pake Ed, aku memesan gojek saja. Ed juga tahu jarak mall dengan komplek perumahan kami tidak jauh. Masa dia masih marah kalau tahu aku pesan gojek. Berlebihan sekali sih kalau aku tidak boleh naik gojek.Sesampai di mall aku tidak langsung bertemu Sella. Hal itu kugunakan untuk
“Kenapa lama, Mila? Apa ada masalah?”Sella bertanya saat aku sudah balik dari toilet.“Enggak. Hanya sedikit antri tadi,” jawabku.Melirik dua orang yang di sana aku jadi resah. Tentang penyerangan Ramzi juga tentang niatnya yang ingin sekali lagi mendekatiku.“Sel. Kau tahu kabar Tania?” tanyaku tiba-tiba membahas Tania.Sella menatapku sesaat lalu ikut melirik Ramzi yang duduk di seberang sana.“Kenapa tiba-tiba bertanya Tania?” tanyanya penuh menelisik.“Tanya saja, sih. Kulihat Mas Ramzi tidak pernah bersamanya. Apa dia masih sakit dan belum sembuh?”“Aku dengar dari yang lain katanya dia dipulangkan ke Bandung pasca operasi pengangkatan kandungannya.”“Apa? Kandungannya diangkat?” Aku terkejut.Ya Allah kasihan sekali dia.“Iya, aku juga baru tahu dari group teman kampus. Tania koma setelah operasi pegangkatan kandungannya. Kemudian setelah itu kabarnya dia diceraikan Pak Ramzi dengan alasan tidak ada lagi bayi yang harus menjadi tanggung jawabnya.”“Oh. Bagaimana Mas Ramzi sete
Kukirim pesan pada Ed bahwa saat ini aku dan Mbak Lilis ada di pusat perbelanjaan di dekat kantornya.Ed mengirim pesan balik yang menyampaikan akan segera menyusulku.Di sana aku tidak sengaja bertemu dengan wanita yang waktu itu bersama Jessica. Seingatku namanya Sherin. Aku juga tidak lupa, dia bilang temannya Jessica.“Kau sedang berbelanja?” tanyaku basa-basi seteah dia duluan yang menyapaku.Kami duduk di resto dan mengobrol santai di sana sembari menikmati makanan yang kami pesan.“Iya, tadi aku dari kantor suamimu, mau tanya adakah lowongan pekerjaan di sana. Aku mau tinggal di Indonesia lagi saja,” ujar Sherina.Senyumnya ramah sekali. Penampilannya juga cantik dan elegan. Dia berteman dengan Jessica, pasti sedikit tahu tentangku dan Ed. Namun wanita ini masih tetap ramah. Sepertinya dia berbeda dengan Jessica.“Sebelum ini tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Di Prancis. Aku model di sana. Tapi usia semakin tua dan kalah saing dengan para model muda. Jadi sudah seharusnya aku m
Gala dan Meida senangnya minta ampun ketika papanya bilang minggu depan akan mengajak mereka jalan-jalan ke luar negri. Padahal libur sekolah masih sebulanan. Tapi Ed tidak mempermasalahkan hal itu.“Jangan terlalu keras, mereka masih TK. Enggak masalah juga,” ujarnya saat kuingatkan tentang jadwal sekolah mereka.“Takutnya sekolah tidak memberi izin, Sayang,” ujarku memberi alasan.“Anak-anak aku sendiri, ngapain juga minta izin?” tukasnya tidak begitu memikirkan hal ini.“Astaga, Papa...!” tukasku menanggapinya. Mungkin dia tidak serius. Tapi, ya sudahlah. Biar nanti kumintakan izin pada pihak sekolah kalau anak-anak lebih dulu libur panjang. Tidak mungkin juga ‘kan kalau mereka tidak memberi izin. Seandainya sampai pihak sekolah tidak memberi izin, baru ucapan Ed bisa dibenarkan.“Ma, nanti kita belanja jaket tebal, ya? Papa bilang sekarang sedang musim dingin di Eropa?” Meida sudah bingung sendiri dan membayangkan akan kedinginan kalau tidak punya jaket tebal.“Iya nanti kita bel
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant
“Ed, mama dan papa kan sudah berpisah. Tapi mengapa...?”Belum tuntas pertanyaanku, Ed sudah menerima panggilan dari rumah sakit.Aku tidak akan menganggunya dulu.Lalu kupikir, nanti akan kutanyakan saja pada Paman Prabowo. Ed selalu pelit untuk menyampaikan tentang keluarganya.Kebanyakan aku mengetahui banyak hal pun bukan darinya. Dia hanya kebagian membenarkan saja saat kukonformasi apa yang disampaikan orang lain.Lagipula sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Tante Atika. Nanti sekalian mengajak ibu dan Mbak Lilis juga anak-anak ke rumahnya.“Kau mau aku antar pulang?” tanyanya. Padahal kudengar tadi dia mau ke rumah sakit.“Ada apa di rumah sakit?” aku tidak menjawabi pertanyaannya, tapi malah balik bertanya.“Erik sudah sadar, dia mencariku.” “Oh, syukurlah, Ed. Apa kau akan ke sana?”“Ya, aku akan menengoknya sebentar. Aku antar kau pulang dulu.”“Rumah sakit lebih dekat, Ed. Jadi kita ke rumah sakit saja dan nanti baru mengantarku pulang kalau sudah selesai dari meneng
Jenazah Danio disemayamkan di rumah duka sebelum akhirnya diberangkatkan ke pemakaman keluarga.Kami baru datang ketika beberapa mobil pengantar jenazah sudah berjalan keluar dari rumah duka. Sam menghampiri mobil dan Ed membuka kaca jendela. Aku tidak tahu apa maksud percakapan mereka yang hanya sepotong-sepotong itu. Apapun itu pasti hanya mengenai prosesi pemakaman Danio.“Siap, Tuan!” Sam melaporkan.“Datang?”“Datang, Tuan.”“Oke, kita langsung ke sana!”Dan kami kembali meluncur ke pemakaman keluarga. Ed memberitahu bahwa meski dalam satu arah dan berdekatan, tapi makam keluarga Ed dan Danio berbeda tempat.Padahal kalau Danio itu masih adik neneknya Ed, seharusnya masih dalam satu keluarga dan dimakamkan di tempat yang sama, kan? Tapi mungkin akulah di sini yang kurang mengerti. Nantilah aku menanyakan pada Ed. Aku menggandeng lengan Ed dengan sedikit erat ketika memasuki areal pemakaman yang sepi dan sedikit rimbun dengan bunga kamboja itu.Untungnya sepanjang jalan setapak
“Ahaha, Papa kalau tidur memang suka begitu, Meida. Sama kan kayak Gala. Suka jatuh dari tempat tidur,” aku menyahuti pertanyaan bocah itu. Padahal Ed sudah melirikku seolah mengatakan tidak perlu menjawabnya agar tidak terlihat bohongnya.“Tapi kok baju mama dan papa di lepas. Meida lihat kok baju mama dan papa di lantai?”Tuh kan? Bocah itu akan terus bertanya karena merasa tidak puas dengan jawabanku sebelumnya.Kali ini Ed bukannya membantuku, tapi malah memakai headseatnya dan bangkit pura-pura menerima panggilan.Entahlah, apa itu beneran ada panggilan atau hanya kamuflasenya saja agar terhindar dari pertanyaan Meida?Kulihat Nur dengan sopan tidak bereaksi apapun mendegar celoteh bocah asuannya itu. Dia langsung memakaikan Meida bathrobe kecil lalu mengendongnya duduk di sebelahku dan ganti mengurus gala yang belum mau mentas dari kolam renang.Kuambil kesempatan itu untuk mengajak putriku masuk ke dalam kamar dengan alasan memandikannya dan mengganti bajunya. Setelah itu ak
“Enggak jadi minta dipijitin dulu?” Aku masih mengingatkannya saat leherku sudah penuh gigitan lembutnya.“Tanggung, Beb. Aku saja yang sekarang pijitin kamu,” ujarnya sembari melorotkan tali lingeri yang kugenakan untuk bisa menangkupkan kedua tangan besarnya itu pada dua bagian yang katanya semakin mantap itu. Sejak dulu aku memang rajin merawat diri, apalagi untuk suamiku yang ganteng dan selalu menjadi incaran para wanita diluar sana.Ed duduk bertumpu pada kedua lututnya dan kedua kakiku melingkar di pinggangnya, sedangkan tangan besar itu sudah ayik mengadon dua benda yang membusung itu dengan remasan lembut dan nyaman. Tanpa kuperintah, bibirku sudah meloloskan suara desah manjalita yang membuat pria itu lebih tergoda. Napasku sudah naik turun menggilai kenyamanan yang diberikannya. Otot-otoku mengejang perlahan di bawah pada kenikmatan nirwana. Tahu aku sudah dimabuk kepayang, Ed berlanjut melumat dua puncak itu bergantian, sedangkan satu tangannya malah diturunkan menelu
“Berani dia pulang ke Indonesia saat status hukumnya masih sebagai narapidana?” tanyaku pada Ed yang sudah rebahan di tempat tidur.Dia sudah datang beberapa waktu yang lalu, namun karena Meida merengek memintanya menemani mereka di kamar sebelum tidur, jadinya Ed melenyapkan rasa lelahnya sementara sampai dua bocah kecil itu bersedia tidur. “Kenapa?” tanya Ed yang bisa kukatakan kurang fokus saja dengan pembicaraan tentang Jessica. Mungkin dia lelah. Karenanya, aku menunda acara pijit-pijit yang sudah kami rencanakan tadi.“Apa kasus Jessica sudah tuntas?” tanyaku.“Informasi yang aku dengar Danio meminta pengacara untuk bernegosiasi dengan pihak keluarga anak-anak yang diculik. Mereka memilih menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.”“Hah?! Serius, Ed?” Aku jadi merasa tidak terima wanita itu bisa lolos begitu saja dari jerat hukum. Pasti Danio tidak hanya menawarkan tentang kekeluargaannya itu. Bisa jadi pria itu juga mengancam.“Ya sudahlah, bukan urusan kita juga ‘kan?”“Walau
“Innalillahi...” ucapku mendengar berita duka itu.Walau pria itu sudah kejam dan memiliki niat jahat pada kami, sebagai sesama manusia aku juga ikut prihatin.“Paman di rumah sakit, Tante?” tanyaku.“Iya, dia tentu juga harus mengurus semua perkara ini, Mila. Tadinya suamimu memintanya segera mengusut tentang pembunuhan papanya, tak dinyana, Danio sudah menghembuskan napas terakhir sebelum menerima hukumannya di pengadilan negara.”Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Danio saat pengejaran. Karena sebelumnya Danio tidak kenapa-kenapa. Dia melompat dari jendela dan berhasil melarikan diri. Lalu setelahnya aku tidak mengikuti beritanya lagi.Sorenya aku mengirim pesan pada Ed dengan alasan anak-anaknya merindukannya dan ingin melakukan video call.Ed tidak menolak dan langsung menghubungi balik anak-anak untuk melakukan vidio call.Kubiarkan saja dua bocah itu berkomunikasi dengan papanya. Aku hanya memperhatikan keduanya dari jauh saja. Sesekali melirik Ed di layar ponsel. Walau wajah