“Kenapa lama, Mila? Apa ada masalah?”Sella bertanya saat aku sudah balik dari toilet.“Enggak. Hanya sedikit antri tadi,” jawabku.Melirik dua orang yang di sana aku jadi resah. Tentang penyerangan Ramzi juga tentang niatnya yang ingin sekali lagi mendekatiku.“Sel. Kau tahu kabar Tania?” tanyaku tiba-tiba membahas Tania.Sella menatapku sesaat lalu ikut melirik Ramzi yang duduk di seberang sana.“Kenapa tiba-tiba bertanya Tania?” tanyanya penuh menelisik.“Tanya saja, sih. Kulihat Mas Ramzi tidak pernah bersamanya. Apa dia masih sakit dan belum sembuh?”“Aku dengar dari yang lain katanya dia dipulangkan ke Bandung pasca operasi pengangkatan kandungannya.”“Apa? Kandungannya diangkat?” Aku terkejut.Ya Allah kasihan sekali dia.“Iya, aku juga baru tahu dari group teman kampus. Tania koma setelah operasi pegangkatan kandungannya. Kemudian setelah itu kabarnya dia diceraikan Pak Ramzi dengan alasan tidak ada lagi bayi yang harus menjadi tanggung jawabnya.”“Oh. Bagaimana Mas Ramzi sete
Aku bangun bahkan sebelum subuh karena teringat paling lambat jam 06.00 kami sudah harus di bandara untuk chek in penerbangan. Memastikan barang-barang yang sudah kupersiapkan sejak semalam tidak ada yang ketinggalan.Setelah mengeringkan rambutku, sedianya ingin segera menggenakan midi dress selututku yang sudah aku siapkan untuk kupakai saat berangkat.Tapi melihat Ed masih tidur lelap itu, aku segera membangunkannya. Pasalnya tengah malam dia baru balik ke kamar lagi.Aku tidak mengerti, pria ini sering terbangun setiap malam untuk pergi ke kamar lain dan membuka laptopnya.Saat aku memergoki dan menanyakan padanya mengapa malah membuka laptop tengah malam, Ed hanya menjawab tidak bisa tidur dan hanya butuh hiburan sebentar.Sekarang aku jadi sebal, karena kebiasaannya itu Ed jadi sulit kalau dibangunkan pagi-pagi begini.“Ayo Ed, kita nanti ketinggalan pesawat lho!” aku mengguncang bahu Ed dan reaksinya hanya mengeliat sebentar.Selalu seperti itu kalau aku membangunkannya terlalu
Kami berpelukan di sun lounger sambil melepas lelah setelah seharian wara-wiri ke tempat-tempat wisata. Suasana sunset yang romantis menjadi background yang indah, terpantul di atas permukaan kolam renang kaca yang ada di kamar hotel tempat kami menginap.Sedang syahdu-syahdunya, tiba-tiba tangan Ed menyelusup membelai perut rataku.“Apa di dalam sini sudah ada kecebong kecilku?” tukasnya.Aku terkekeh dengan tingkah konyolnya ini. Sejak kemarin pria ini selalu membahas tentang anak. Apa memang dia sungguh tidak sabar pengen punya anak?“Kau tidak lupa ‘kan aku baru selesai menstruasi seminggu yang lalu. Jadi belum ada di sini,” ujarku.“Kalau begitu harus menunggu berapa hari lagi agar hasil cocok tanam kita terlihat?”Aku mencubit pria ini karena terdengar geli dengan kata-katanya. Tapi, sebenarnya aku juga tidak masalah kalau harus punya anak lebih cepat. Setidaknya ada teman main di rumah kalau Ed sedang sibuk bekerja.“Ed, memangnya kau pengen anak laki-laki atau perempuan?” tan
Panggilan dari sebuah nomor mengusik kami yang sedang rebahan sambil menonton televisi.Setelah lelah beraktifitas berdua di kolam renang tadi, aku jadi merasa lelah. Bahkan hanya untuk mengangkat panggilan, rasanya malas sekali.Ed sepertinya yang bangkit memeriksa layar ponselku. Mungkin dia terganggu.“Hallo, siapa ini?” suara Ed bertanya.Aku masih belum menyadari sesuatu, hingga Ed kembali bersuara. “Sialan, jangan ganggu wanita orang atau hidupmu tidak tenang!”Mataku yang baru terpejam langsung terbuka lagi dengan membola. Pikiranku sudah terpaut pada Ramzi saja.Betapapun aku sudah memblokir nomornya, tetap saja dia bisa menghubungiku.Sedikit panik aku terbangun dan meminta ponselku dari Ed.“Ed? Siapa?” tanyaku cemas. Mudah-mudahan hanya salah sambung saja.Ed tidak berkata apa-apa, langsung menutup panggilan. Dia bahkan menonaktifkan ponselku kemudian melemparnya di atas tempat tidur.Aku seketika membeku cemas.“K-kenapa, Ed?” tanyaku.“Sebaiknya kau ganti nomor ponselm
Untung aku bisa membuatnya bersabar karena belum menuntaskan acara belanja-belanjaku.Sella sudah tahu aku liburan ke Bali, tidak enak saja kalau pas balik dia tanya oleh-oleh dan aku tidak membawakan apa-apa.Juga untuk Ririn yang sudah memberikan voucher liburan sultan ini, sekalian sambang ke rumah barunya.Melewati jajanan, aku melihat ada pie susu Bali. Aku jadi ingat paman dan dua sepupuku itu suka sekali pie susu Bali. Pernah dibawakan temannya Tante Desi dan sampai ribut gara-gara rebutan pia.Lihat, sampai begini pun aku masih juga memikirkan mereka.Kumasukan sekalian beberapa kotak pie ke keranjang belanjaku. Nanti biar aku minta paman atau anaknya itu yang ambil di rumahku.Itu pun kalau mereka mau. Kalau tidak, tetangga-tetangaku pun tidak menolak kalau aku bagi.“Belum selesai belanjanya?” tanya Ed yang sampai harus menyusulku ke dalam karena belum juga keluar.Biar saja. Ed sangat tidak suka belanja. Dia selalu di luar saat istrinya ini sibuk memilih-milih belanjaan
Meski Ed sudah terlihat biasa kembali seolah tidak pernah terjadi apapun. Itu tidak bisa berlaku untukku.Aku tipikal orang yang masih saja kepikiran sesuatu apalagi kalau merasa sudah membuat orang salah paham dan tersinggung.Sepanjang perjalanan hatiku resah. Entahlah, minumpun rasanya sulit ditelan.Aku sungguh marah pada sikap Ramzi yang sudah memutar balikan kata-kata. Bahwa aku datang kepadanya untuk memintakan Ed pekerjaan.Padahal yang terjadi malah sebaliknya. Ramzilah yang menawarkan pekerjaan untuk Ed dengan alasan sebagai rasa tanggung jawabnya sudah membuatku harus menikahi seorang sopir truk.Sepertinya aku memang tidak bisa mempercayai ucapannya lagi.Baru saja sampai di rumah kami, aku langsung masuk ke kamar. Tubuhku terasa lemas sekali. Membuatku langsung rebah di tempat tidur. Rasanya tubuhku capek sekali—bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaan Ed.“Kenapa, Sayang?”Karena melihatku masih memakai sepatu saat tiduran di tempat tidur. Ed dengan penuh pengertianny
Seusai mengantar Sella sampai depan rumah, aku balik lagi ke dalam. Berpapasan dengan Ed yang sudah memakai jaket kulitnya.“Kemana Sayang?” tanyaku.“Aku ambil pick up dulu , ya?” tukasnya menghampiri motor.Baru datang juga langsung ambil pick up. Tapi ya sudahlah. Dia juga perlu mobil kalau ke mana-mana.“Hati-hati ya, Ed?” tuturku.“Kamu balik istirahat sana. Tidak perlu beres-beres rumah dan capek-capekan. Biar lekas sehat lagi!”Ed bertutur demikian pasti tahu karena aku tidak bisa diam kalau di rumah. Apalagi baru balik setelah beberapa hari dan rumah tidak tersentuh tanganku sama sekali. “Baik, Ed. Kamu juga langsung balik ya. Besok saja mulai kerjanya.”Ed mengangguk dan berlalu pergi dengan motornya.Aku kembali ke dalam. Melihat kotak pie susu di meja, aku jadi ingat belum menghubungi paman agar meminta anaknya mengambil pie itu. Begitu kuhubungi nomor ponselnya, kebetulan yang menggangkat langsung anaknya.“Roni, sekolahmu libur?” tanyaku berbasa-basi pada sepupuku itu.
“Ramzi?!”Aku segera bangkit ketika Ramzi dengan santainya malah duduk di sampingku.“Kenapa, Mila?” Ramzi menatapku dengan sedih.“Sebegitu tidak sukakah dirimu ada di sampingku? Apa kau sudah melupakan beberapa waktu yang lalu, saat rela menungguku selesai kelas dan duduk berdua bersamaku di taman?”“Maaf, aku tidak mengingat-ingat hal itu lagi!” ujarku tampak dingin.Mungkin terkesan tidak sopan karena langsung ngeluyur pergi meninggalkannya yang masih ingin bicara denganku.Tapi, dia juga tidak sopan. Tanpa permisi begitu saja duduk di sampingku. Meski ini juga kursi umum, tetaplah ada etika. Apalagi aku ini wanita yang bersuami dan dia laki-laki beristri.Berjalan menjauh, ternyata Ramzi membuntutiku juga.Sungguh ini sangat tidak nyaman.“Ramzi, please! Bukankah kau bilang setela
Kukirim pesan pada Ed bahwa saat ini aku dan Mbak Lilis ada di pusat perbelanjaan di dekat kantornya.Ed mengirim pesan balik yang menyampaikan akan segera menyusulku.Di sana aku tidak sengaja bertemu dengan wanita yang waktu itu bersama Jessica. Seingatku namanya Sherin. Aku juga tidak lupa, dia bilang temannya Jessica.“Kau sedang berbelanja?” tanyaku basa-basi seteah dia duluan yang menyapaku.Kami duduk di resto dan mengobrol santai di sana sembari menikmati makanan yang kami pesan.“Iya, tadi aku dari kantor suamimu, mau tanya adakah lowongan pekerjaan di sana. Aku mau tinggal di Indonesia lagi saja,” ujar Sherina.Senyumnya ramah sekali. Penampilannya juga cantik dan elegan. Dia berteman dengan Jessica, pasti sedikit tahu tentangku dan Ed. Namun wanita ini masih tetap ramah. Sepertinya dia berbeda dengan Jessica.“Sebelum ini tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Di Prancis. Aku model di sana. Tapi usia semakin tua dan kalah saing dengan para model muda. Jadi sudah seharusnya aku m
Gala dan Meida senangnya minta ampun ketika papanya bilang minggu depan akan mengajak mereka jalan-jalan ke luar negri. Padahal libur sekolah masih sebulanan. Tapi Ed tidak mempermasalahkan hal itu.“Jangan terlalu keras, mereka masih TK. Enggak masalah juga,” ujarnya saat kuingatkan tentang jadwal sekolah mereka.“Takutnya sekolah tidak memberi izin, Sayang,” ujarku memberi alasan.“Anak-anak aku sendiri, ngapain juga minta izin?” tukasnya tidak begitu memikirkan hal ini.“Astaga, Papa...!” tukasku menanggapinya. Mungkin dia tidak serius. Tapi, ya sudahlah. Biar nanti kumintakan izin pada pihak sekolah kalau anak-anak lebih dulu libur panjang. Tidak mungkin juga ‘kan kalau mereka tidak memberi izin. Seandainya sampai pihak sekolah tidak memberi izin, baru ucapan Ed bisa dibenarkan.“Ma, nanti kita belanja jaket tebal, ya? Papa bilang sekarang sedang musim dingin di Eropa?” Meida sudah bingung sendiri dan membayangkan akan kedinginan kalau tidak punya jaket tebal.“Iya nanti kita bel
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant
“Ed, mama dan papa kan sudah berpisah. Tapi mengapa...?”Belum tuntas pertanyaanku, Ed sudah menerima panggilan dari rumah sakit.Aku tidak akan menganggunya dulu.Lalu kupikir, nanti akan kutanyakan saja pada Paman Prabowo. Ed selalu pelit untuk menyampaikan tentang keluarganya.Kebanyakan aku mengetahui banyak hal pun bukan darinya. Dia hanya kebagian membenarkan saja saat kukonformasi apa yang disampaikan orang lain.Lagipula sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Tante Atika. Nanti sekalian mengajak ibu dan Mbak Lilis juga anak-anak ke rumahnya.“Kau mau aku antar pulang?” tanyanya. Padahal kudengar tadi dia mau ke rumah sakit.“Ada apa di rumah sakit?” aku tidak menjawabi pertanyaannya, tapi malah balik bertanya.“Erik sudah sadar, dia mencariku.” “Oh, syukurlah, Ed. Apa kau akan ke sana?”“Ya, aku akan menengoknya sebentar. Aku antar kau pulang dulu.”“Rumah sakit lebih dekat, Ed. Jadi kita ke rumah sakit saja dan nanti baru mengantarku pulang kalau sudah selesai dari meneng
Jenazah Danio disemayamkan di rumah duka sebelum akhirnya diberangkatkan ke pemakaman keluarga.Kami baru datang ketika beberapa mobil pengantar jenazah sudah berjalan keluar dari rumah duka. Sam menghampiri mobil dan Ed membuka kaca jendela. Aku tidak tahu apa maksud percakapan mereka yang hanya sepotong-sepotong itu. Apapun itu pasti hanya mengenai prosesi pemakaman Danio.“Siap, Tuan!” Sam melaporkan.“Datang?”“Datang, Tuan.”“Oke, kita langsung ke sana!”Dan kami kembali meluncur ke pemakaman keluarga. Ed memberitahu bahwa meski dalam satu arah dan berdekatan, tapi makam keluarga Ed dan Danio berbeda tempat.Padahal kalau Danio itu masih adik neneknya Ed, seharusnya masih dalam satu keluarga dan dimakamkan di tempat yang sama, kan? Tapi mungkin akulah di sini yang kurang mengerti. Nantilah aku menanyakan pada Ed. Aku menggandeng lengan Ed dengan sedikit erat ketika memasuki areal pemakaman yang sepi dan sedikit rimbun dengan bunga kamboja itu.Untungnya sepanjang jalan setapak
“Ahaha, Papa kalau tidur memang suka begitu, Meida. Sama kan kayak Gala. Suka jatuh dari tempat tidur,” aku menyahuti pertanyaan bocah itu. Padahal Ed sudah melirikku seolah mengatakan tidak perlu menjawabnya agar tidak terlihat bohongnya.“Tapi kok baju mama dan papa di lepas. Meida lihat kok baju mama dan papa di lantai?”Tuh kan? Bocah itu akan terus bertanya karena merasa tidak puas dengan jawabanku sebelumnya.Kali ini Ed bukannya membantuku, tapi malah memakai headseatnya dan bangkit pura-pura menerima panggilan.Entahlah, apa itu beneran ada panggilan atau hanya kamuflasenya saja agar terhindar dari pertanyaan Meida?Kulihat Nur dengan sopan tidak bereaksi apapun mendegar celoteh bocah asuannya itu. Dia langsung memakaikan Meida bathrobe kecil lalu mengendongnya duduk di sebelahku dan ganti mengurus gala yang belum mau mentas dari kolam renang.Kuambil kesempatan itu untuk mengajak putriku masuk ke dalam kamar dengan alasan memandikannya dan mengganti bajunya. Setelah itu ak
“Enggak jadi minta dipijitin dulu?” Aku masih mengingatkannya saat leherku sudah penuh gigitan lembutnya.“Tanggung, Beb. Aku saja yang sekarang pijitin kamu,” ujarnya sembari melorotkan tali lingeri yang kugenakan untuk bisa menangkupkan kedua tangan besarnya itu pada dua bagian yang katanya semakin mantap itu. Sejak dulu aku memang rajin merawat diri, apalagi untuk suamiku yang ganteng dan selalu menjadi incaran para wanita diluar sana.Ed duduk bertumpu pada kedua lututnya dan kedua kakiku melingkar di pinggangnya, sedangkan tangan besar itu sudah ayik mengadon dua benda yang membusung itu dengan remasan lembut dan nyaman. Tanpa kuperintah, bibirku sudah meloloskan suara desah manjalita yang membuat pria itu lebih tergoda. Napasku sudah naik turun menggilai kenyamanan yang diberikannya. Otot-otoku mengejang perlahan di bawah pada kenikmatan nirwana. Tahu aku sudah dimabuk kepayang, Ed berlanjut melumat dua puncak itu bergantian, sedangkan satu tangannya malah diturunkan menelu
“Berani dia pulang ke Indonesia saat status hukumnya masih sebagai narapidana?” tanyaku pada Ed yang sudah rebahan di tempat tidur.Dia sudah datang beberapa waktu yang lalu, namun karena Meida merengek memintanya menemani mereka di kamar sebelum tidur, jadinya Ed melenyapkan rasa lelahnya sementara sampai dua bocah kecil itu bersedia tidur. “Kenapa?” tanya Ed yang bisa kukatakan kurang fokus saja dengan pembicaraan tentang Jessica. Mungkin dia lelah. Karenanya, aku menunda acara pijit-pijit yang sudah kami rencanakan tadi.“Apa kasus Jessica sudah tuntas?” tanyaku.“Informasi yang aku dengar Danio meminta pengacara untuk bernegosiasi dengan pihak keluarga anak-anak yang diculik. Mereka memilih menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.”“Hah?! Serius, Ed?” Aku jadi merasa tidak terima wanita itu bisa lolos begitu saja dari jerat hukum. Pasti Danio tidak hanya menawarkan tentang kekeluargaannya itu. Bisa jadi pria itu juga mengancam.“Ya sudahlah, bukan urusan kita juga ‘kan?”“Walau
“Innalillahi...” ucapku mendengar berita duka itu.Walau pria itu sudah kejam dan memiliki niat jahat pada kami, sebagai sesama manusia aku juga ikut prihatin.“Paman di rumah sakit, Tante?” tanyaku.“Iya, dia tentu juga harus mengurus semua perkara ini, Mila. Tadinya suamimu memintanya segera mengusut tentang pembunuhan papanya, tak dinyana, Danio sudah menghembuskan napas terakhir sebelum menerima hukumannya di pengadilan negara.”Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Danio saat pengejaran. Karena sebelumnya Danio tidak kenapa-kenapa. Dia melompat dari jendela dan berhasil melarikan diri. Lalu setelahnya aku tidak mengikuti beritanya lagi.Sorenya aku mengirim pesan pada Ed dengan alasan anak-anaknya merindukannya dan ingin melakukan video call.Ed tidak menolak dan langsung menghubungi balik anak-anak untuk melakukan vidio call.Kubiarkan saja dua bocah itu berkomunikasi dengan papanya. Aku hanya memperhatikan keduanya dari jauh saja. Sesekali melirik Ed di layar ponsel. Walau wajah