Kami berpelukan di sun lounger sambil melepas lelah setelah seharian wara-wiri ke tempat-tempat wisata. Suasana sunset yang romantis menjadi background yang indah, terpantul di atas permukaan kolam renang kaca yang ada di kamar hotel tempat kami menginap.Sedang syahdu-syahdunya, tiba-tiba tangan Ed menyelusup membelai perut rataku.“Apa di dalam sini sudah ada kecebong kecilku?” tukasnya.Aku terkekeh dengan tingkah konyolnya ini. Sejak kemarin pria ini selalu membahas tentang anak. Apa memang dia sungguh tidak sabar pengen punya anak?“Kau tidak lupa ‘kan aku baru selesai menstruasi seminggu yang lalu. Jadi belum ada di sini,” ujarku.“Kalau begitu harus menunggu berapa hari lagi agar hasil cocok tanam kita terlihat?”Aku mencubit pria ini karena terdengar geli dengan kata-katanya. Tapi, sebenarnya aku juga tidak masalah kalau harus punya anak lebih cepat. Setidaknya ada teman main di rumah kalau Ed sedang sibuk bekerja.“Ed, memangnya kau pengen anak laki-laki atau perempuan?” tan
Panggilan dari sebuah nomor mengusik kami yang sedang rebahan sambil menonton televisi.Setelah lelah beraktifitas berdua di kolam renang tadi, aku jadi merasa lelah. Bahkan hanya untuk mengangkat panggilan, rasanya malas sekali.Ed sepertinya yang bangkit memeriksa layar ponselku. Mungkin dia terganggu.“Hallo, siapa ini?” suara Ed bertanya.Aku masih belum menyadari sesuatu, hingga Ed kembali bersuara. “Sialan, jangan ganggu wanita orang atau hidupmu tidak tenang!”Mataku yang baru terpejam langsung terbuka lagi dengan membola. Pikiranku sudah terpaut pada Ramzi saja.Betapapun aku sudah memblokir nomornya, tetap saja dia bisa menghubungiku.Sedikit panik aku terbangun dan meminta ponselku dari Ed.“Ed? Siapa?” tanyaku cemas. Mudah-mudahan hanya salah sambung saja.Ed tidak berkata apa-apa, langsung menutup panggilan. Dia bahkan menonaktifkan ponselku kemudian melemparnya di atas tempat tidur.Aku seketika membeku cemas.“K-kenapa, Ed?” tanyaku.“Sebaiknya kau ganti nomor ponselm
Untung aku bisa membuatnya bersabar karena belum menuntaskan acara belanja-belanjaku.Sella sudah tahu aku liburan ke Bali, tidak enak saja kalau pas balik dia tanya oleh-oleh dan aku tidak membawakan apa-apa.Juga untuk Ririn yang sudah memberikan voucher liburan sultan ini, sekalian sambang ke rumah barunya.Melewati jajanan, aku melihat ada pie susu Bali. Aku jadi ingat paman dan dua sepupuku itu suka sekali pie susu Bali. Pernah dibawakan temannya Tante Desi dan sampai ribut gara-gara rebutan pia.Lihat, sampai begini pun aku masih juga memikirkan mereka.Kumasukan sekalian beberapa kotak pie ke keranjang belanjaku. Nanti biar aku minta paman atau anaknya itu yang ambil di rumahku.Itu pun kalau mereka mau. Kalau tidak, tetangga-tetangaku pun tidak menolak kalau aku bagi.“Belum selesai belanjanya?” tanya Ed yang sampai harus menyusulku ke dalam karena belum juga keluar.Biar saja. Ed sangat tidak suka belanja. Dia selalu di luar saat istrinya ini sibuk memilih-milih belanjaan
Meski Ed sudah terlihat biasa kembali seolah tidak pernah terjadi apapun. Itu tidak bisa berlaku untukku.Aku tipikal orang yang masih saja kepikiran sesuatu apalagi kalau merasa sudah membuat orang salah paham dan tersinggung.Sepanjang perjalanan hatiku resah. Entahlah, minumpun rasanya sulit ditelan.Aku sungguh marah pada sikap Ramzi yang sudah memutar balikan kata-kata. Bahwa aku datang kepadanya untuk memintakan Ed pekerjaan.Padahal yang terjadi malah sebaliknya. Ramzilah yang menawarkan pekerjaan untuk Ed dengan alasan sebagai rasa tanggung jawabnya sudah membuatku harus menikahi seorang sopir truk.Sepertinya aku memang tidak bisa mempercayai ucapannya lagi.Baru saja sampai di rumah kami, aku langsung masuk ke kamar. Tubuhku terasa lemas sekali. Membuatku langsung rebah di tempat tidur. Rasanya tubuhku capek sekali—bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaan Ed.“Kenapa, Sayang?”Karena melihatku masih memakai sepatu saat tiduran di tempat tidur. Ed dengan penuh pengertianny
Seusai mengantar Sella sampai depan rumah, aku balik lagi ke dalam. Berpapasan dengan Ed yang sudah memakai jaket kulitnya.“Kemana Sayang?” tanyaku.“Aku ambil pick up dulu , ya?” tukasnya menghampiri motor.Baru datang juga langsung ambil pick up. Tapi ya sudahlah. Dia juga perlu mobil kalau ke mana-mana.“Hati-hati ya, Ed?” tuturku.“Kamu balik istirahat sana. Tidak perlu beres-beres rumah dan capek-capekan. Biar lekas sehat lagi!”Ed bertutur demikian pasti tahu karena aku tidak bisa diam kalau di rumah. Apalagi baru balik setelah beberapa hari dan rumah tidak tersentuh tanganku sama sekali. “Baik, Ed. Kamu juga langsung balik ya. Besok saja mulai kerjanya.”Ed mengangguk dan berlalu pergi dengan motornya.Aku kembali ke dalam. Melihat kotak pie susu di meja, aku jadi ingat belum menghubungi paman agar meminta anaknya mengambil pie itu. Begitu kuhubungi nomor ponselnya, kebetulan yang menggangkat langsung anaknya.“Roni, sekolahmu libur?” tanyaku berbasa-basi pada sepupuku itu.
“Ramzi?!”Aku segera bangkit ketika Ramzi dengan santainya malah duduk di sampingku.“Kenapa, Mila?” Ramzi menatapku dengan sedih.“Sebegitu tidak sukakah dirimu ada di sampingku? Apa kau sudah melupakan beberapa waktu yang lalu, saat rela menungguku selesai kelas dan duduk berdua bersamaku di taman?”“Maaf, aku tidak mengingat-ingat hal itu lagi!” ujarku tampak dingin.Mungkin terkesan tidak sopan karena langsung ngeluyur pergi meninggalkannya yang masih ingin bicara denganku.Tapi, dia juga tidak sopan. Tanpa permisi begitu saja duduk di sampingku. Meski ini juga kursi umum, tetaplah ada etika. Apalagi aku ini wanita yang bersuami dan dia laki-laki beristri.Berjalan menjauh, ternyata Ramzi membuntutiku juga.Sungguh ini sangat tidak nyaman.“Ramzi, please! Bukankah kau bilang setela
Saat awal-awal mengenal Ed, dia memang selalu menggodaku. Jadi aku tahunya dia pria play boy.Tapi setelah menikah dengannya, Ed tidak seperti itu. Temannya juga mengatakan bahwa Ed sudah tidak lagi play boy.Karenanya kusangkal Ramzi tentang Ed yang katanya saat ini ada di hotel bersama perempuan penghibur.Ed sedang bekerja, bukannya malah bersenang-senang dengan wanita lain. “Kau tidak percaya kalau Ed saat ini sedang bersenang-senang dengan seorang wanita di hotel?” Ramzi mengulang pertayaannya.“Tentu saja tidak!” sahutku cepat.“Bagaimana kau sangat percaya padanya?”“Karena aku tahu bagaimana suamiku. Dia tidak akan melakukan hal ini padaku.”“Kau tidak cukup hanya mengatakan tidak, tapi kau harus membuktikannya. Kalau ucapanku ini salah, kau bisa melakukan apapun padaku. Aku tidak akan mengganggumu.”“B-bagaimana aku membuktikann
“Kau tidak mungkin pulang ke rumah suamimu itu 'kan?" ujar Ramzi setelah kami sudah di mobilnya lagi dan keluar dari tempat yang membuat dadaku sesak ini.Aku tidak menjawab, tidak bisa berpikir harus ke mana?Aku memang tidak mungkin kembali ke rumah Ed setelah nyata-nyata melihat skandalnya itu.Setidaknya aku mau menenangkan diriku dulu. Dan sepertinya itu tidak akan sebentar.Kerumah Tante Desi, itu tidak mungkin.Saat ini mereka sedang dalam musibah? Paman juga masih di rumah sakit. Kalaupun dalam kondisi normal, Tante Desi tidak akan mau menerimaku kembali. Aku juga tidak punya banyak teman. Satu-satunya teman yang kini dekat denganku hanya Sella. Sebentar lagi dia akan menikah dan minggu-minggu ini adalah masa repot-repotnya mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tidak mungkin menganggunya.Sungguh kalau sudah begini betapa nelangsanya hidupku. Merasa sendiri dan tidak punya siapa-siapa lagi. Membuat hatiku teriris perih, kenapa Ed juga begitu tega padaku?“Turunkan aku di san
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin