Panggilan dari sebuah nomor mengusik kami yang sedang rebahan sambil menonton televisi.Setelah lelah beraktifitas berdua di kolam renang tadi, aku jadi merasa lelah. Bahkan hanya untuk mengangkat panggilan, rasanya malas sekali.Ed sepertinya yang bangkit memeriksa layar ponselku. Mungkin dia terganggu.“Hallo, siapa ini?” suara Ed bertanya.Aku masih belum menyadari sesuatu, hingga Ed kembali bersuara. “Sialan, jangan ganggu wanita orang atau hidupmu tidak tenang!”Mataku yang baru terpejam langsung terbuka lagi dengan membola. Pikiranku sudah terpaut pada Ramzi saja.Betapapun aku sudah memblokir nomornya, tetap saja dia bisa menghubungiku.Sedikit panik aku terbangun dan meminta ponselku dari Ed.“Ed? Siapa?” tanyaku cemas. Mudah-mudahan hanya salah sambung saja.Ed tidak berkata apa-apa, langsung menutup panggilan. Dia bahkan menonaktifkan ponselku kemudian melemparnya di atas tempat tidur.Aku seketika membeku cemas.“K-kenapa, Ed?” tanyaku.“Sebaiknya kau ganti nomor ponselm
Untung aku bisa membuatnya bersabar karena belum menuntaskan acara belanja-belanjaku.Sella sudah tahu aku liburan ke Bali, tidak enak saja kalau pas balik dia tanya oleh-oleh dan aku tidak membawakan apa-apa.Juga untuk Ririn yang sudah memberikan voucher liburan sultan ini, sekalian sambang ke rumah barunya.Melewati jajanan, aku melihat ada pie susu Bali. Aku jadi ingat paman dan dua sepupuku itu suka sekali pie susu Bali. Pernah dibawakan temannya Tante Desi dan sampai ribut gara-gara rebutan pia.Lihat, sampai begini pun aku masih juga memikirkan mereka.Kumasukan sekalian beberapa kotak pie ke keranjang belanjaku. Nanti biar aku minta paman atau anaknya itu yang ambil di rumahku.Itu pun kalau mereka mau. Kalau tidak, tetangga-tetangaku pun tidak menolak kalau aku bagi.“Belum selesai belanjanya?” tanya Ed yang sampai harus menyusulku ke dalam karena belum juga keluar.Biar saja. Ed sangat tidak suka belanja. Dia selalu di luar saat istrinya ini sibuk memilih-milih belanjaan
Meski Ed sudah terlihat biasa kembali seolah tidak pernah terjadi apapun. Itu tidak bisa berlaku untukku.Aku tipikal orang yang masih saja kepikiran sesuatu apalagi kalau merasa sudah membuat orang salah paham dan tersinggung.Sepanjang perjalanan hatiku resah. Entahlah, minumpun rasanya sulit ditelan.Aku sungguh marah pada sikap Ramzi yang sudah memutar balikan kata-kata. Bahwa aku datang kepadanya untuk memintakan Ed pekerjaan.Padahal yang terjadi malah sebaliknya. Ramzilah yang menawarkan pekerjaan untuk Ed dengan alasan sebagai rasa tanggung jawabnya sudah membuatku harus menikahi seorang sopir truk.Sepertinya aku memang tidak bisa mempercayai ucapannya lagi.Baru saja sampai di rumah kami, aku langsung masuk ke kamar. Tubuhku terasa lemas sekali. Membuatku langsung rebah di tempat tidur. Rasanya tubuhku capek sekali—bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaan Ed.“Kenapa, Sayang?”Karena melihatku masih memakai sepatu saat tiduran di tempat tidur. Ed dengan penuh pengertianny
Seusai mengantar Sella sampai depan rumah, aku balik lagi ke dalam. Berpapasan dengan Ed yang sudah memakai jaket kulitnya.“Kemana Sayang?” tanyaku.“Aku ambil pick up dulu , ya?” tukasnya menghampiri motor.Baru datang juga langsung ambil pick up. Tapi ya sudahlah. Dia juga perlu mobil kalau ke mana-mana.“Hati-hati ya, Ed?” tuturku.“Kamu balik istirahat sana. Tidak perlu beres-beres rumah dan capek-capekan. Biar lekas sehat lagi!”Ed bertutur demikian pasti tahu karena aku tidak bisa diam kalau di rumah. Apalagi baru balik setelah beberapa hari dan rumah tidak tersentuh tanganku sama sekali. “Baik, Ed. Kamu juga langsung balik ya. Besok saja mulai kerjanya.”Ed mengangguk dan berlalu pergi dengan motornya.Aku kembali ke dalam. Melihat kotak pie susu di meja, aku jadi ingat belum menghubungi paman agar meminta anaknya mengambil pie itu. Begitu kuhubungi nomor ponselnya, kebetulan yang menggangkat langsung anaknya.“Roni, sekolahmu libur?” tanyaku berbasa-basi pada sepupuku itu.
“Ramzi?!”Aku segera bangkit ketika Ramzi dengan santainya malah duduk di sampingku.“Kenapa, Mila?” Ramzi menatapku dengan sedih.“Sebegitu tidak sukakah dirimu ada di sampingku? Apa kau sudah melupakan beberapa waktu yang lalu, saat rela menungguku selesai kelas dan duduk berdua bersamaku di taman?”“Maaf, aku tidak mengingat-ingat hal itu lagi!” ujarku tampak dingin.Mungkin terkesan tidak sopan karena langsung ngeluyur pergi meninggalkannya yang masih ingin bicara denganku.Tapi, dia juga tidak sopan. Tanpa permisi begitu saja duduk di sampingku. Meski ini juga kursi umum, tetaplah ada etika. Apalagi aku ini wanita yang bersuami dan dia laki-laki beristri.Berjalan menjauh, ternyata Ramzi membuntutiku juga.Sungguh ini sangat tidak nyaman.“Ramzi, please! Bukankah kau bilang setela
Saat awal-awal mengenal Ed, dia memang selalu menggodaku. Jadi aku tahunya dia pria play boy.Tapi setelah menikah dengannya, Ed tidak seperti itu. Temannya juga mengatakan bahwa Ed sudah tidak lagi play boy.Karenanya kusangkal Ramzi tentang Ed yang katanya saat ini ada di hotel bersama perempuan penghibur.Ed sedang bekerja, bukannya malah bersenang-senang dengan wanita lain. “Kau tidak percaya kalau Ed saat ini sedang bersenang-senang dengan seorang wanita di hotel?” Ramzi mengulang pertayaannya.“Tentu saja tidak!” sahutku cepat.“Bagaimana kau sangat percaya padanya?”“Karena aku tahu bagaimana suamiku. Dia tidak akan melakukan hal ini padaku.”“Kau tidak cukup hanya mengatakan tidak, tapi kau harus membuktikannya. Kalau ucapanku ini salah, kau bisa melakukan apapun padaku. Aku tidak akan mengganggumu.”“B-bagaimana aku membuktikann
“Kau tidak mungkin pulang ke rumah suamimu itu 'kan?" ujar Ramzi setelah kami sudah di mobilnya lagi dan keluar dari tempat yang membuat dadaku sesak ini.Aku tidak menjawab, tidak bisa berpikir harus ke mana?Aku memang tidak mungkin kembali ke rumah Ed setelah nyata-nyata melihat skandalnya itu.Setidaknya aku mau menenangkan diriku dulu. Dan sepertinya itu tidak akan sebentar.Kerumah Tante Desi, itu tidak mungkin.Saat ini mereka sedang dalam musibah? Paman juga masih di rumah sakit. Kalaupun dalam kondisi normal, Tante Desi tidak akan mau menerimaku kembali. Aku juga tidak punya banyak teman. Satu-satunya teman yang kini dekat denganku hanya Sella. Sebentar lagi dia akan menikah dan minggu-minggu ini adalah masa repot-repotnya mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tidak mungkin menganggunya.Sungguh kalau sudah begini betapa nelangsanya hidupku. Merasa sendiri dan tidak punya siapa-siapa lagi. Membuat hatiku teriris perih, kenapa Ed juga begitu tega padaku?“Turunkan aku di san
“Ibu, kapan Ibu datang? Bolehkah aku ikut pulang?”Suaraku parau menyahuti sapaan ibu dalam panggilan itu.Sudah kuusahakan agar wanita ini tidak mencemaskanku, tapi ternyata mendengar suaranya, pertahananku ambrol juga.“Mila ada apa, Nak?” Suara Ibu seketika khawatir.Aku tidak bisa langsung menjawab. Tangisku pecah dan dadaku bergemuruh hebat.Perasaan terluka, sakit hati dan kecewa tidak bisa kubendung lagi.Sudah sekuat tenaga ingin kuhentikan tapi tidak bisa.Aku tahu Ibu pasti akan lebih sedih mendengarku seperti ini. Lalu bagaimana lagi, aku benar-benar tidak tahan.Siapa orang yang bisa percaya dengan semua ini?Baru kemarin kami pulang liburan dengan perasaan bahagia tidak terkira. Kemudian, mendengar tangisanku yang sampai tergugu begini, hati ibuku pasti tersayat pedih.Tidak heran kalau kemudian kudengar Ibu ikut menangis.“Ada apa lagi ini, Mila. Apa yang membuatmu menangis begini, Nak?”Kuhela napas panjang berkali-kali baru kukumpulkan ketegaran diri kembali.“Maaf,
Kukirim pesan pada Ed bahwa saat ini aku dan Mbak Lilis ada di pusat perbelanjaan di dekat kantornya.Ed mengirim pesan balik yang menyampaikan akan segera menyusulku.Di sana aku tidak sengaja bertemu dengan wanita yang waktu itu bersama Jessica. Seingatku namanya Sherin. Aku juga tidak lupa, dia bilang temannya Jessica.“Kau sedang berbelanja?” tanyaku basa-basi seteah dia duluan yang menyapaku.Kami duduk di resto dan mengobrol santai di sana sembari menikmati makanan yang kami pesan.“Iya, tadi aku dari kantor suamimu, mau tanya adakah lowongan pekerjaan di sana. Aku mau tinggal di Indonesia lagi saja,” ujar Sherina.Senyumnya ramah sekali. Penampilannya juga cantik dan elegan. Dia berteman dengan Jessica, pasti sedikit tahu tentangku dan Ed. Namun wanita ini masih tetap ramah. Sepertinya dia berbeda dengan Jessica.“Sebelum ini tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Di Prancis. Aku model di sana. Tapi usia semakin tua dan kalah saing dengan para model muda. Jadi sudah seharusnya aku m
Gala dan Meida senangnya minta ampun ketika papanya bilang minggu depan akan mengajak mereka jalan-jalan ke luar negri. Padahal libur sekolah masih sebulanan. Tapi Ed tidak mempermasalahkan hal itu.“Jangan terlalu keras, mereka masih TK. Enggak masalah juga,” ujarnya saat kuingatkan tentang jadwal sekolah mereka.“Takutnya sekolah tidak memberi izin, Sayang,” ujarku memberi alasan.“Anak-anak aku sendiri, ngapain juga minta izin?” tukasnya tidak begitu memikirkan hal ini.“Astaga, Papa...!” tukasku menanggapinya. Mungkin dia tidak serius. Tapi, ya sudahlah. Biar nanti kumintakan izin pada pihak sekolah kalau anak-anak lebih dulu libur panjang. Tidak mungkin juga ‘kan kalau mereka tidak memberi izin. Seandainya sampai pihak sekolah tidak memberi izin, baru ucapan Ed bisa dibenarkan.“Ma, nanti kita belanja jaket tebal, ya? Papa bilang sekarang sedang musim dingin di Eropa?” Meida sudah bingung sendiri dan membayangkan akan kedinginan kalau tidak punya jaket tebal.“Iya nanti kita bel
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant
“Ed, mama dan papa kan sudah berpisah. Tapi mengapa...?”Belum tuntas pertanyaanku, Ed sudah menerima panggilan dari rumah sakit.Aku tidak akan menganggunya dulu.Lalu kupikir, nanti akan kutanyakan saja pada Paman Prabowo. Ed selalu pelit untuk menyampaikan tentang keluarganya.Kebanyakan aku mengetahui banyak hal pun bukan darinya. Dia hanya kebagian membenarkan saja saat kukonformasi apa yang disampaikan orang lain.Lagipula sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Tante Atika. Nanti sekalian mengajak ibu dan Mbak Lilis juga anak-anak ke rumahnya.“Kau mau aku antar pulang?” tanyanya. Padahal kudengar tadi dia mau ke rumah sakit.“Ada apa di rumah sakit?” aku tidak menjawabi pertanyaannya, tapi malah balik bertanya.“Erik sudah sadar, dia mencariku.” “Oh, syukurlah, Ed. Apa kau akan ke sana?”“Ya, aku akan menengoknya sebentar. Aku antar kau pulang dulu.”“Rumah sakit lebih dekat, Ed. Jadi kita ke rumah sakit saja dan nanti baru mengantarku pulang kalau sudah selesai dari meneng
Jenazah Danio disemayamkan di rumah duka sebelum akhirnya diberangkatkan ke pemakaman keluarga.Kami baru datang ketika beberapa mobil pengantar jenazah sudah berjalan keluar dari rumah duka. Sam menghampiri mobil dan Ed membuka kaca jendela. Aku tidak tahu apa maksud percakapan mereka yang hanya sepotong-sepotong itu. Apapun itu pasti hanya mengenai prosesi pemakaman Danio.“Siap, Tuan!” Sam melaporkan.“Datang?”“Datang, Tuan.”“Oke, kita langsung ke sana!”Dan kami kembali meluncur ke pemakaman keluarga. Ed memberitahu bahwa meski dalam satu arah dan berdekatan, tapi makam keluarga Ed dan Danio berbeda tempat.Padahal kalau Danio itu masih adik neneknya Ed, seharusnya masih dalam satu keluarga dan dimakamkan di tempat yang sama, kan? Tapi mungkin akulah di sini yang kurang mengerti. Nantilah aku menanyakan pada Ed. Aku menggandeng lengan Ed dengan sedikit erat ketika memasuki areal pemakaman yang sepi dan sedikit rimbun dengan bunga kamboja itu.Untungnya sepanjang jalan setapak
“Ahaha, Papa kalau tidur memang suka begitu, Meida. Sama kan kayak Gala. Suka jatuh dari tempat tidur,” aku menyahuti pertanyaan bocah itu. Padahal Ed sudah melirikku seolah mengatakan tidak perlu menjawabnya agar tidak terlihat bohongnya.“Tapi kok baju mama dan papa di lepas. Meida lihat kok baju mama dan papa di lantai?”Tuh kan? Bocah itu akan terus bertanya karena merasa tidak puas dengan jawabanku sebelumnya.Kali ini Ed bukannya membantuku, tapi malah memakai headseatnya dan bangkit pura-pura menerima panggilan.Entahlah, apa itu beneran ada panggilan atau hanya kamuflasenya saja agar terhindar dari pertanyaan Meida?Kulihat Nur dengan sopan tidak bereaksi apapun mendegar celoteh bocah asuannya itu. Dia langsung memakaikan Meida bathrobe kecil lalu mengendongnya duduk di sebelahku dan ganti mengurus gala yang belum mau mentas dari kolam renang.Kuambil kesempatan itu untuk mengajak putriku masuk ke dalam kamar dengan alasan memandikannya dan mengganti bajunya. Setelah itu ak
“Enggak jadi minta dipijitin dulu?” Aku masih mengingatkannya saat leherku sudah penuh gigitan lembutnya.“Tanggung, Beb. Aku saja yang sekarang pijitin kamu,” ujarnya sembari melorotkan tali lingeri yang kugenakan untuk bisa menangkupkan kedua tangan besarnya itu pada dua bagian yang katanya semakin mantap itu. Sejak dulu aku memang rajin merawat diri, apalagi untuk suamiku yang ganteng dan selalu menjadi incaran para wanita diluar sana.Ed duduk bertumpu pada kedua lututnya dan kedua kakiku melingkar di pinggangnya, sedangkan tangan besar itu sudah ayik mengadon dua benda yang membusung itu dengan remasan lembut dan nyaman. Tanpa kuperintah, bibirku sudah meloloskan suara desah manjalita yang membuat pria itu lebih tergoda. Napasku sudah naik turun menggilai kenyamanan yang diberikannya. Otot-otoku mengejang perlahan di bawah pada kenikmatan nirwana. Tahu aku sudah dimabuk kepayang, Ed berlanjut melumat dua puncak itu bergantian, sedangkan satu tangannya malah diturunkan menelu
“Berani dia pulang ke Indonesia saat status hukumnya masih sebagai narapidana?” tanyaku pada Ed yang sudah rebahan di tempat tidur.Dia sudah datang beberapa waktu yang lalu, namun karena Meida merengek memintanya menemani mereka di kamar sebelum tidur, jadinya Ed melenyapkan rasa lelahnya sementara sampai dua bocah kecil itu bersedia tidur. “Kenapa?” tanya Ed yang bisa kukatakan kurang fokus saja dengan pembicaraan tentang Jessica. Mungkin dia lelah. Karenanya, aku menunda acara pijit-pijit yang sudah kami rencanakan tadi.“Apa kasus Jessica sudah tuntas?” tanyaku.“Informasi yang aku dengar Danio meminta pengacara untuk bernegosiasi dengan pihak keluarga anak-anak yang diculik. Mereka memilih menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.”“Hah?! Serius, Ed?” Aku jadi merasa tidak terima wanita itu bisa lolos begitu saja dari jerat hukum. Pasti Danio tidak hanya menawarkan tentang kekeluargaannya itu. Bisa jadi pria itu juga mengancam.“Ya sudahlah, bukan urusan kita juga ‘kan?”“Walau
“Innalillahi...” ucapku mendengar berita duka itu.Walau pria itu sudah kejam dan memiliki niat jahat pada kami, sebagai sesama manusia aku juga ikut prihatin.“Paman di rumah sakit, Tante?” tanyaku.“Iya, dia tentu juga harus mengurus semua perkara ini, Mila. Tadinya suamimu memintanya segera mengusut tentang pembunuhan papanya, tak dinyana, Danio sudah menghembuskan napas terakhir sebelum menerima hukumannya di pengadilan negara.”Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Danio saat pengejaran. Karena sebelumnya Danio tidak kenapa-kenapa. Dia melompat dari jendela dan berhasil melarikan diri. Lalu setelahnya aku tidak mengikuti beritanya lagi.Sorenya aku mengirim pesan pada Ed dengan alasan anak-anaknya merindukannya dan ingin melakukan video call.Ed tidak menolak dan langsung menghubungi balik anak-anak untuk melakukan vidio call.Kubiarkan saja dua bocah itu berkomunikasi dengan papanya. Aku hanya memperhatikan keduanya dari jauh saja. Sesekali melirik Ed di layar ponsel. Walau wajah