Pagi harinya, ketika menyiapkan sarapan untuk Ed, suara bel pintu terdengar.Kuintip dari tirai jendea dan melihat tetangga baruku itu yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya sedang berdiri menunggu pintu terbuka.Aku tidak tahu untuk apa dia sepagi ini bertamu ke rumah tetangga.“Selamat pagi, Bu?” sapanya sopan padaku saat kubuka pintu.“Pagi, Mbak Ririn. Panggil saja Mila.” sapaku balik sekalian mengoreksi ucapannya.“Oh. Maaf, saya sudah terbiasa memanggil begitu di kalangan tempat kerjaku. Jadi mohon maaf ya, Bu.”“Ou. Baiklah. Terserah juga, sih.” Aku menyerah.“Ada apa, Mbak?” kutanyakan tujuannya datang ke rumah pagi ini.Apa dia mau menumpang suamiku lagi?Oh. Kuharap dia punya sedikit segan untuk tidak menumpang suami orang terus.Bukannya tega, tapi kemungkinan untuk hal-hal yang tidak diinginkan itu bisa ada kalau pria dan wanita setiap hari jalan bareng.Apalagi suamiku yang gagah dan tampan itu pasti dengan mudah memikat para wanita.Aku belum bisa kalau cemburu. Hatiku
Voucher belanja itu berlaku besok sesuai juga dengan jadwal penerbangan yang sudah sepaket.Aku jadi ingin membeli sesuatu untuk persiapan besok. Kebetulan melihat status Sella yang sedang berbelanja di Mall dekat komplek rumah, aku segera mengiriminya pesan.[Udah belanja-belanja saja? Bukannya masih dua minggu lagi?] kirimku pesan mengomentari status Sella.Karena sedang online, Sella pun langsung menerimanya dan membalas. [Ibu rumtang, daripada nganggur ayok bantu aku sini!][Oke. Aku terbang, nih. Mau cari-cari sesuatu juga]Ed tadi bilang masih ngurus sedikit hal sekalian izin selama liburan. Jadi kukirim pesan padanya untuk sekedar memberitahunya bahwa aku keluar untuk belanja sebentar.Karena motor di pake Ed, aku memesan gojek saja. Ed juga tahu jarak mall dengan komplek perumahan kami tidak jauh. Masa dia masih marah kalau tahu aku pesan gojek. Berlebihan sekali sih kalau aku tidak boleh naik gojek.Sesampai di mall aku tidak langsung bertemu Sella. Hal itu kugunakan untuk
“Kenapa lama, Mila? Apa ada masalah?”Sella bertanya saat aku sudah balik dari toilet.“Enggak. Hanya sedikit antri tadi,” jawabku.Melirik dua orang yang di sana aku jadi resah. Tentang penyerangan Ramzi juga tentang niatnya yang ingin sekali lagi mendekatiku.“Sel. Kau tahu kabar Tania?” tanyaku tiba-tiba membahas Tania.Sella menatapku sesaat lalu ikut melirik Ramzi yang duduk di seberang sana.“Kenapa tiba-tiba bertanya Tania?” tanyanya penuh menelisik.“Tanya saja, sih. Kulihat Mas Ramzi tidak pernah bersamanya. Apa dia masih sakit dan belum sembuh?”“Aku dengar dari yang lain katanya dia dipulangkan ke Bandung pasca operasi pengangkatan kandungannya.”“Apa? Kandungannya diangkat?” Aku terkejut.Ya Allah kasihan sekali dia.“Iya, aku juga baru tahu dari group teman kampus. Tania koma setelah operasi pegangkatan kandungannya. Kemudian setelah itu kabarnya dia diceraikan Pak Ramzi dengan alasan tidak ada lagi bayi yang harus menjadi tanggung jawabnya.”“Oh. Bagaimana Mas Ramzi sete
Aku bangun bahkan sebelum subuh karena teringat paling lambat jam 06.00 kami sudah harus di bandara untuk chek in penerbangan. Memastikan barang-barang yang sudah kupersiapkan sejak semalam tidak ada yang ketinggalan.Setelah mengeringkan rambutku, sedianya ingin segera menggenakan midi dress selututku yang sudah aku siapkan untuk kupakai saat berangkat.Tapi melihat Ed masih tidur lelap itu, aku segera membangunkannya. Pasalnya tengah malam dia baru balik ke kamar lagi.Aku tidak mengerti, pria ini sering terbangun setiap malam untuk pergi ke kamar lain dan membuka laptopnya.Saat aku memergoki dan menanyakan padanya mengapa malah membuka laptop tengah malam, Ed hanya menjawab tidak bisa tidur dan hanya butuh hiburan sebentar.Sekarang aku jadi sebal, karena kebiasaannya itu Ed jadi sulit kalau dibangunkan pagi-pagi begini.“Ayo Ed, kita nanti ketinggalan pesawat lho!” aku mengguncang bahu Ed dan reaksinya hanya mengeliat sebentar.Selalu seperti itu kalau aku membangunkannya terlalu
Kami berpelukan di sun lounger sambil melepas lelah setelah seharian wara-wiri ke tempat-tempat wisata. Suasana sunset yang romantis menjadi background yang indah, terpantul di atas permukaan kolam renang kaca yang ada di kamar hotel tempat kami menginap.Sedang syahdu-syahdunya, tiba-tiba tangan Ed menyelusup membelai perut rataku.“Apa di dalam sini sudah ada kecebong kecilku?” tukasnya.Aku terkekeh dengan tingkah konyolnya ini. Sejak kemarin pria ini selalu membahas tentang anak. Apa memang dia sungguh tidak sabar pengen punya anak?“Kau tidak lupa ‘kan aku baru selesai menstruasi seminggu yang lalu. Jadi belum ada di sini,” ujarku.“Kalau begitu harus menunggu berapa hari lagi agar hasil cocok tanam kita terlihat?”Aku mencubit pria ini karena terdengar geli dengan kata-katanya. Tapi, sebenarnya aku juga tidak masalah kalau harus punya anak lebih cepat. Setidaknya ada teman main di rumah kalau Ed sedang sibuk bekerja.“Ed, memangnya kau pengen anak laki-laki atau perempuan?” tan
Panggilan dari sebuah nomor mengusik kami yang sedang rebahan sambil menonton televisi.Setelah lelah beraktifitas berdua di kolam renang tadi, aku jadi merasa lelah. Bahkan hanya untuk mengangkat panggilan, rasanya malas sekali.Ed sepertinya yang bangkit memeriksa layar ponselku. Mungkin dia terganggu.“Hallo, siapa ini?” suara Ed bertanya.Aku masih belum menyadari sesuatu, hingga Ed kembali bersuara. “Sialan, jangan ganggu wanita orang atau hidupmu tidak tenang!”Mataku yang baru terpejam langsung terbuka lagi dengan membola. Pikiranku sudah terpaut pada Ramzi saja.Betapapun aku sudah memblokir nomornya, tetap saja dia bisa menghubungiku.Sedikit panik aku terbangun dan meminta ponselku dari Ed.“Ed? Siapa?” tanyaku cemas. Mudah-mudahan hanya salah sambung saja.Ed tidak berkata apa-apa, langsung menutup panggilan. Dia bahkan menonaktifkan ponselku kemudian melemparnya di atas tempat tidur.Aku seketika membeku cemas.“K-kenapa, Ed?” tanyaku.“Sebaiknya kau ganti nomor ponselm
Untung aku bisa membuatnya bersabar karena belum menuntaskan acara belanja-belanjaku.Sella sudah tahu aku liburan ke Bali, tidak enak saja kalau pas balik dia tanya oleh-oleh dan aku tidak membawakan apa-apa.Juga untuk Ririn yang sudah memberikan voucher liburan sultan ini, sekalian sambang ke rumah barunya.Melewati jajanan, aku melihat ada pie susu Bali. Aku jadi ingat paman dan dua sepupuku itu suka sekali pie susu Bali. Pernah dibawakan temannya Tante Desi dan sampai ribut gara-gara rebutan pia.Lihat, sampai begini pun aku masih juga memikirkan mereka.Kumasukan sekalian beberapa kotak pie ke keranjang belanjaku. Nanti biar aku minta paman atau anaknya itu yang ambil di rumahku.Itu pun kalau mereka mau. Kalau tidak, tetangga-tetangaku pun tidak menolak kalau aku bagi.“Belum selesai belanjanya?” tanya Ed yang sampai harus menyusulku ke dalam karena belum juga keluar.Biar saja. Ed sangat tidak suka belanja. Dia selalu di luar saat istrinya ini sibuk memilih-milih belanjaan
Meski Ed sudah terlihat biasa kembali seolah tidak pernah terjadi apapun. Itu tidak bisa berlaku untukku.Aku tipikal orang yang masih saja kepikiran sesuatu apalagi kalau merasa sudah membuat orang salah paham dan tersinggung.Sepanjang perjalanan hatiku resah. Entahlah, minumpun rasanya sulit ditelan.Aku sungguh marah pada sikap Ramzi yang sudah memutar balikan kata-kata. Bahwa aku datang kepadanya untuk memintakan Ed pekerjaan.Padahal yang terjadi malah sebaliknya. Ramzilah yang menawarkan pekerjaan untuk Ed dengan alasan sebagai rasa tanggung jawabnya sudah membuatku harus menikahi seorang sopir truk.Sepertinya aku memang tidak bisa mempercayai ucapannya lagi.Baru saja sampai di rumah kami, aku langsung masuk ke kamar. Tubuhku terasa lemas sekali. Membuatku langsung rebah di tempat tidur. Rasanya tubuhku capek sekali—bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaan Ed.“Kenapa, Sayang?”Karena melihatku masih memakai sepatu saat tiduran di tempat tidur. Ed dengan penuh pengertianny
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin