Ibuku sudah kembali ke kampung sehari yang lalu dan rumah kembali terasa sepi. Ed juga sudah berangkat kerja. Seperti biasa rutinitasku sehari-hari adalah membereskan rumah. Memasak itupun kalau Ed bilang akan makan di rumah.
Menghindari rebahan kadang aku menyibukan diri berkebun atau olahraga tipis-tipis di rumah. Kalau sudah semua, biasanya pilihan terakhir mengusir kejemuan hanyalah menonton televisi.
Nantilah aku minta Ed mengizinkanku cari kerja. Tidak enak hanya nganggur di rumah.
Saat melihat televisi, tiba-tiba aku jadi terusik dengan kabar masalah Reva dengan Andra. Entah bagaimana kelanjutan kasus itu. Dengar-dengar, Reva sudah tidak muncul lagi di media sosial sejak kejadian itu.
Ed sudah memberiku saran agar tidak memperdulikannya. Paman juga tidak mengusikku lagi setelah Ed memintanya untuk tidak menggangguku dengan masalah yang sudah diciptakan istri dan keponakannya itu. Jadinya aku ikuti saran Ed saja dengan tidak kepo
“Mila, bisakah kita bertemu?”Mendengarnya membuatku membeku sesaat.Aku tidak lupa suara siapa itu.Perasaanku carut marut mendengarnya.Lalu daripada aku tidak bisa menguasai diriku, cepat-cepat kumatikan ponsel itu dan melemparnya di atas sofa.Astaga. Itu ‘kan suara Mas Ramzi? Untuk apa dia menghubungiku kembali? Bukankah dia sudah hidup bahagia bersama Tania. Apalagi sebentar lagi mereka akan memiliki seorang anak.“Tidak! Aku tidak mau lagi berhubungan dan terlibat apapun dengannya,” ucapku pada diri sendiri sambil mengatur napas, yang sesaat tadi sudah tidak karuan naik turun mendengar lagi suara yang dulu pernah begitu aku rindukan setiap hari.Namun, kejadian dia tidak datang di hari pernikahanku tentu tidak akan bisa aku lupakan seumur hidup. Layar ponsel kembali berkedip. Aku tidak meliriknya karena masih cemas bahwa itu adalah panggilan dari pria itu lagi.
“Hebat sekali dia, istrinya terkapar koma di rumah sakit sekarang mulai menghubungimu lagi?”Sella teringat tentang Ramzi yang menghubungiku, lalu kami membahasnya. Dia yang bersimpati atas gagalnya pernikahanku waktu itu, tentu saja tidak menyukai sikap Ramzi yang tanpa dosa tiba-tiba muncul ingin mengusikku.“Hati-hati, Mila. Kau seharusnya sudah tahu pria seperti apa dia setelah mengacaukan pernikahan kalian.” Sella mengingatkan.“Aku tidak lupa hal itu, Sel,” jawabku pasti.Sella benar, untuk apa juga Ramzi tiba-tiba menghubungiku saat ini setelah semuanya sudah berbeda dan masing-masing.Dia sudah menikah dengan Tania dan aku juga sudah mulai menemukan kebahagiaan dengan suamiku.Kemana saja dulu saat aku berkali-kali menghubunginya di detik-detik pernikahan kami sementara membiarkanku seperti orang bodoh yang ditertawakan banyak orang?&n
Ketika pagi menjelang, mendengar suara mobil di halaman aku buru-buru melipat sajadahku.Siapa yang pagi-pagi begini bertamu?Tidak mungkin juga Ed. Dia baru berangkat kemarin dan bilangnya bisa balik paling cepat 3 hari.Perlahan kuintip keadaan di luar dari tirai jendela. Sedikit takut jangan-jangan itu Mas Ramzi yang nekat datang karena panggilan dan pesannya tidak aku angkat.Tapi, bukan dia.Lagian darimana juga dia tahu aku tinggal di sini?Aku ini memang terlalu suka mengira-ngirakan sesuatu hal.Benar-benar sulit diubah.Itu kan Mas Sopir yang menjemput dan mengantar Ibu beberapa waktu yang lalu?Dari tempatku mengintip kulihat pria itu memencet bel untuk kesekian kalinya dan berdiri menungguku membuka pintu.Ada apa dia datang? Apa jangan-janga
“Dia bilang kau yang menyuruhnya datang, Ed.” Kujelaskan apa yang disampaikan sopir tadi.“Oh, benar. Maaf aku lupa hal itu. Sepagi tadi dia telpon mengingatkan bahwa aku belum memberinya tambahan ongkos yang kujanjikan. Lalu karena sekarang aku sedang di luar kota jadi kusuruh dia datang ke rumah untuk memintanya darimu. Kebetulan dia mau datang ke rumah, sekalian aku nitip pesan agar kau mengaktifkan ponselmu karena aku cemas kau ada apa-apa.” Ed menjelaskan dengan panjang dan terperinci.“Oh. Begitukah?” ujarku menghela puas dengan jawaban suamiku itu. Akhirnya terjawab juga yang sejak tadi membuatku heran.Benar dugaanku tadi, sopir itu memang datang untuk menagih kekurangan ongkos dari Ed.“Ya sudah kalau begitu, aku ambilkan uangnya dulu. Berapa?”Panggilan kami kuakhiri dulu lantaran aku harus segera mengambilkan uang untuk Mas Sopir itu. Tidak enak sejak tadi su
Aku tidak menghiraukan pesan-pesan yang dikirim Ramzi dan menyibukan diri dengan hal lain. Namun perasaanku tetap tidak enak saja hingga memutuskan untuk menghubungi Ed.Aku berpikir, kira-kira kalau aku menyampaikan pada Ed tentang pesan Ramzi untuk memintaku bertemu, apakah dia mau mengizinkanku?Sepertinya tidak mungkin,Tapi apa salahnya mencoba?[Ed, kalau tidak sedang menyetir, balas pesanku ya?] tulisku ke nomor ponsel Ed. Ini jam-jam sibuk. Pasti Ed sedang berjibaku dengan pekerjaannya.Lalu dengan hati-hati kukirimkan pesan yang sudah aku sunting lebih dari 10 kali.[Ed, Tania temanku mengalami kecelakaan. Temanku Sella mengajakku menjenguknya. Apa aku boleh melakukannya?]Itu salah satu pemberitahuan terselubung pada Ed bahwa aku akan bertemu dengan Ramzi. Ed sudah tahu bahwa Tania adalah temanku yang dinikahi Ramzi. Tentu jika aku mengunjunginya, Ed sudah bisa menebak bahwa kemungkinan Ramzi juga akan be
Sayangnya Sella sedang sibuk mengurus sesuatu sehingga aku tidak mungkin merepotkannya sekedar menemaniku menemui Ramzi di alamat yang sudah dia kirimkan kemarin.Aku merasa tegang hingga berkali-kali harus menghela napas dalam-dalam. Tapi sudah menjadi keputusanku untuk menemuinya.Menunggu pagi hingga beranjak sore, aku kemudian menyiapkan diri untuk pergi menemui mantan calon suamiku itu.Tadinya ingin memakai motor saja, tapi karena kafe itu ada di jalan utama yang sering ada razia kelengkapan motor, jadinya aku putuskan memesan taxi. Aku tidak mengurus SIM karena sebelumnya memang tidak punya motor.Sejak awal, Ed melarangku memakai ojek. Dia lebih menyarankanku memesan grab atau taxi saja. alasannya hanya demi keamanan saja.Taxi yang kupesan sudah datang. Dengan segera aku masuk ke dalam mobil itu. Ketika sudah di perjalanan menuju tempat janjian, hatiku benar-benar tidak tenang. Mungkin karena aku tidak memberitahu Ed tent
Tatapanku reflek membola mendengar ucapannya. Membuatku berdecih dalam hati karena muak dengan kata-katanya.Setelah sudah membuat hatiku hancur, masih pantaskah dia mengatakan hal itu?Sebagai pria yang sudah memiliki istri, apa dia tidak malu mengatakan kata rindu pada wanita yang juga sudah memiliki suami?“Aku harap Anda tidak lupa tujuan kita bertemu kali ini.” Dengan tegas kuingatkan hal itu padanya.“Tidak, aku tidak lupa, Mila!” sahutnya cepat.Sebelum melanjutkan Ramzi menghela napas mencoba mengatur diri untuk memulai apa yang ingin disampaikannya.“Pertama, aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi, Mila. Truly deeply sorry. Aku sama sekali tidak pernah berniat sebigini brengsek sampai harus meninggalkanmu di pesta pernikahan yang seharusnya kita jalani bersama.”Kuhela napas dalam karena sungguh pembicaraan ini sudah menyeret kenangan buruk itu kembali hingga membuatku merasakan betapa sakit hatiku saat itu.“Aku ke toilet sebentar,” ucapku.Karena takut aku tidak bisa me
“Lepasin, Mas!”Kuhentakkan tanganku dari Ramzi dengan sebal.“Aku sudah punya suami, Mas. Dan aku tidak mau dia berpikir macam-macam padaku karena mengetahui pertemuan ini. Jadi sudah cukupkan sampai di sini, karena kau juga seharusnya menunggui Tania yang sedang koma ‘kan?”Kukatakan hal ini agar Ramzi tidak terus menahanku dalam pembicaraan yang sudah tidak ada gunanya ini.Jelas-jelas tadi aku sudah mengatakan mengikhlaskan semua dan memaafkannya. Lalu apa lagi yang masih diinginkannya?“Baik, setelah ini sudah. Aku akan membiarkanmu pergi. Aku janji, Mila.” Ramzi memintaku duduk kembali.Terpaksa aku pun duduk kembali karena malu dilihat banyak orang seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.Hhg, bukan sepasang kekasih. Tapi, mantan sepasang kekasih."Bagaimana hubunganmu dengan suamimu? Apa dia pria baik-baik?"Ramzi ternyata malah membahas tentang rumah tanggaku.Aku menatapnya kesal karena buk