Aku tidak menghiraukan pesan-pesan yang dikirim Ramzi dan menyibukan diri dengan hal lain. Namun perasaanku tetap tidak enak saja hingga memutuskan untuk menghubungi Ed.
Aku berpikir, kira-kira kalau aku menyampaikan pada Ed tentang pesan Ramzi untuk memintaku bertemu, apakah dia mau mengizinkanku?
Sepertinya tidak mungkin,
Tapi apa salahnya mencoba?
[Ed, kalau tidak sedang menyetir, balas pesanku ya?] tulisku ke nomor ponsel Ed. Ini jam-jam sibuk. Pasti Ed sedang berjibaku dengan pekerjaannya.
Lalu dengan hati-hati kukirimkan pesan yang sudah aku sunting lebih dari 10 kali.
[Ed, Tania temanku mengalami kecelakaan. Temanku Sella mengajakku menjenguknya. Apa aku boleh melakukannya?]
Itu salah satu pemberitahuan terselubung pada Ed bahwa aku akan bertemu dengan Ramzi. Ed sudah tahu bahwa Tania adalah temanku yang dinikahi Ramzi. Tentu jika aku mengunjunginya, Ed sudah bisa menebak bahwa kemungkinan Ramzi juga akan be
Sayangnya Sella sedang sibuk mengurus sesuatu sehingga aku tidak mungkin merepotkannya sekedar menemaniku menemui Ramzi di alamat yang sudah dia kirimkan kemarin.Aku merasa tegang hingga berkali-kali harus menghela napas dalam-dalam. Tapi sudah menjadi keputusanku untuk menemuinya.Menunggu pagi hingga beranjak sore, aku kemudian menyiapkan diri untuk pergi menemui mantan calon suamiku itu.Tadinya ingin memakai motor saja, tapi karena kafe itu ada di jalan utama yang sering ada razia kelengkapan motor, jadinya aku putuskan memesan taxi. Aku tidak mengurus SIM karena sebelumnya memang tidak punya motor.Sejak awal, Ed melarangku memakai ojek. Dia lebih menyarankanku memesan grab atau taxi saja. alasannya hanya demi keamanan saja.Taxi yang kupesan sudah datang. Dengan segera aku masuk ke dalam mobil itu. Ketika sudah di perjalanan menuju tempat janjian, hatiku benar-benar tidak tenang. Mungkin karena aku tidak memberitahu Ed tent
Tatapanku reflek membola mendengar ucapannya. Membuatku berdecih dalam hati karena muak dengan kata-katanya.Setelah sudah membuat hatiku hancur, masih pantaskah dia mengatakan hal itu?Sebagai pria yang sudah memiliki istri, apa dia tidak malu mengatakan kata rindu pada wanita yang juga sudah memiliki suami?“Aku harap Anda tidak lupa tujuan kita bertemu kali ini.” Dengan tegas kuingatkan hal itu padanya.“Tidak, aku tidak lupa, Mila!” sahutnya cepat.Sebelum melanjutkan Ramzi menghela napas mencoba mengatur diri untuk memulai apa yang ingin disampaikannya.“Pertama, aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi, Mila. Truly deeply sorry. Aku sama sekali tidak pernah berniat sebigini brengsek sampai harus meninggalkanmu di pesta pernikahan yang seharusnya kita jalani bersama.”Kuhela napas dalam karena sungguh pembicaraan ini sudah menyeret kenangan buruk itu kembali hingga membuatku merasakan betapa sakit hatiku saat itu.“Aku ke toilet sebentar,” ucapku.Karena takut aku tidak bisa me
“Lepasin, Mas!”Kuhentakkan tanganku dari Ramzi dengan sebal.“Aku sudah punya suami, Mas. Dan aku tidak mau dia berpikir macam-macam padaku karena mengetahui pertemuan ini. Jadi sudah cukupkan sampai di sini, karena kau juga seharusnya menunggui Tania yang sedang koma ‘kan?”Kukatakan hal ini agar Ramzi tidak terus menahanku dalam pembicaraan yang sudah tidak ada gunanya ini.Jelas-jelas tadi aku sudah mengatakan mengikhlaskan semua dan memaafkannya. Lalu apa lagi yang masih diinginkannya?“Baik, setelah ini sudah. Aku akan membiarkanmu pergi. Aku janji, Mila.” Ramzi memintaku duduk kembali.Terpaksa aku pun duduk kembali karena malu dilihat banyak orang seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.Hhg, bukan sepasang kekasih. Tapi, mantan sepasang kekasih."Bagaimana hubunganmu dengan suamimu? Apa dia pria baik-baik?"Ramzi ternyata malah membahas tentang rumah tanggaku.Aku menatapnya kesal karena buk
“Sudah selesai urusannya, Sayang?”Deg!Apa itu suara Ed?Bukankah dia bilang masih besok baru sampai rumah.Bagaimana dia ada di sini?Perlahan kubalikan badanku.Seketika darahku berhenti mengalir melihat sosok pria itu duduk di depan kafe dengan rokok masih menyala di ujung jarinya.Aku baru tahu kalau Ed perokok. Selama ini aku sama sekali tidak melihatnya merokok di depanku.“Ed? K-kau di sini?” tanyaku gelagapan. Aku sudah seperti orang yang ketahuan selingkuh saja.Bahkan karena saking gugupnya aku sampai menjatuhkan kartu nama yang diberikan Ramzi padaku tadi.Ed memperhatikan hal itu, lalu mematikan rokoknya di asbak dan bangkit mengambil benda itu sebelum aku sempat mengambilnya.Astaga...Ed pasti membaca nama yang tertera di kartu nama itu.Kenapa juga tadi aku mengambil kartu nama itu?Apa Ed akan salah paham padaku?“Milikmu?”Ed menyodorkan kartu nama itu setelah sekilas membacanya.Di balik sikap tenangnya, aku tahu sorot mata Ed sedang menyembunyikan kekecewaannya
Hatiku tidak tenang...Sejak tadi resah memikirkan kenapa tiba-tiba Ed pergi lagi padahal baru pulang.Aku yakin tadi dia belum sempat mampir ke rumah dan langsung ke kafe Alamanda. Dia bahkan memakai motor sport milik temannya untuk menyusulku.Jika sekarang langsung pergi lagi, jangan salahkan aku kalau bertanya, sebesar apa kemarahannya hingga enggan sekedar memberitahuku kemana dia pergi?Oh. Kenapa aku masih bertanya hal itu?Sudah tentu Ed kesal dan marah besaar padaku.Suami jungkir balik sibuk kerja lalu pulang-pulang mendapati istrinya malah menemui pria lain—siapa coba yang tidak marah?Apalagi yang kutemui bukan sekedar teman, melainkan pria yang seharusnya menikahiku di hari aku dan Ed menikah.Ed pria yang tulus dan mencintaiku. Akulah yang memintanya menikahiku. Lalu dengan suka rela dia menikahiku dan menerimaku apa adanya.Jadi, aku harus bisa menerima jika kemudian dirinya—yang sudah melakukan banyak hal padaku—bisa sekecewa itu mengetahuiku bertemu dengan Ramz
Selepas subuh, tubuhku yang terasa remuk redam langsung limbung di atas kasur yang tidak lagi memakai sprei itu.Tadi kuambil sprei yang penuh jejak-jejak pergulatan yang hebohan itu, dan aku bahkan belum sempat menggantinya.Aku lelah dan masih butuh memulihkan tenaga dulu yang sudah kugunakan bertempur bersama suamiku.Melakukan ibadah yang katanya pahalanya sama dengan menumpas kafir. Saat aku membuka mataku, semuanya sudah terang benderang. Jendela juga sudah tersibak dan anehnya sprei pun sudah berganti.Apa Ed yang tadi menggantinya saat aku tertidur?Bagaimana bahkan aku sama sekali tidak terusik saat Ed melakukannya?Aku bergegas berjingkat namun suara panggilan dari nakas menahanku untuk melihat sejenak.Dari Sella...“Hallo, Sel?” sapaku dengan nada bantal.“Kamu baru bangun tidur, Mila?” Sella terdengar keheranan. “Apa kamu sakit?”“Eng, iya, maklum musim pancaroba,” ujarku pura-pura demi tidak merasa malu pada Sella sesiang ini baru bangun.“Oh, ya. Ada apa ya, Sel?” k
“Kenapa tanganmu, Ed?” tanyaku sambil memeriksa lengan Ed.Goresan merah yang mengering itu terpampang nyata di kulit cerah Ed.Kutatap Ed dengan menelisik seketika teringat bahwa kemarin Ed pergi lagi setelah mengantarku. Lalu menyambungkan dengan cerita Sella tentang kejadian di kafe Alamanda meja no 7.Aku tidak berharap Ed seperti yang kusangkakan. Yang datang kembali menemui Ramzi dan menghajarnya di sana.Ed pernah hampir menghajar penjaga rumah Ramzi waktu itu, jadi aku pikir dia juga bisa melakukan hal yang sama pada Ramzi karena kesal. Aku hanya tidak mau suamiku terkena masalah dengan orang kaya. Karena seringnya kami yang kaum rendahan ini akan kalah di mata hukum. “Ini hanya luka gores, Mila. Kenapa kau seterkejut itu?” Ed menarik lengannya dari tanganku.“Gores kenapa? Kau berkelahi?” tanyaku belum-belum sudah menuduhnya.Ed menautkan tatapannya padaku, seolah heran mengapa aku mengiranya berkelahi.“Jangan menatapku begitu, Ed. Kau belum mengatakan padaku kemana kau
Manis? Teman atau siapa? Hatiku sudah resah saja melihat Ed buru-buru mengambil ponsel itu dan berjalan menjauh utuk mengangkatnya. Sebenarnya sangat penasaran, tapi aku tidak suka dibilang menguping kalau diam-diam mencari tempat yang dekat agar bisa mendengar percakapan Ed. Apalagi melihat Ed yang tampak tersenyum lebar bahagai berbicara di telpon, aku sudah berpikir yang bukan-bukan. Astaga... Pernah dihianati dan baru tahu setelah sekian lama, membuatku sedikit paranoid. Aku jadi tidak tenang dan seolah ada dorongan untuk harus menanyakannya. “Siapa, Ed?” Kusambut Ed dengan pertanyaan itu saat dia balik ke dalam. “Apa?” Ed melongo karena kurang fokus dengan pertanyaanku. Sesenang apa dia sampai aku mengajak bicara tidak didengarnya. “Oh, aku bertanya siapa yang menelpon? Apa kau terganggu karena aku bertanya demikian?” tanyaku sudah menjadi sedih saja. “Eng, dari teman. Memangnya kenapa?” jawab Ed lempeng tak memperdulikan ekspresiku. Pria itu justru berjalan melewati
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin