Bahagia itu, selalu datang dengan caranya sendiri. Aku bukan bicara tentang lamaran yang telah Mas Fatih lakukan padaku. Tapi, aku bicara tentang rasa bahagia yang entah sejak kapan telah hilang bersama luka lama. Meski sayatan itu perlahan mengering, tetap saja bekasnya tak mudah untuk hilang.
Jika bukan karena Kia. Mungkin, akan lebih lama lagi bagiku untuk bisa sembuh dari percaya pada seorang laki-laki."Jadi, nanti kalau Ummi menikah, Kia punya Ayah?" tanya putri kecilku suatu hari. Aku mengangguk pelan. "Kalau begitu, Kia pingin Ummi menikah. Biar Kia punya Ayah," tambahnya.***Sehari pasca lamaran itu. Aku tetap menjalankan kegiatanku. Berjualan di kedai rumah makan bersama Bude Ningsih. Hari pernikahan telah ditetapkan. Dua minggu dari sekarang. Mungkin, jika aku belum pernah menikah sebelumnya. Hari-hari menjelang pernikahan saat ini, tentulah menjadi hari yang paling mendebarkan. Atau bahkan, ingin untuk disegerak"Kenapa mata Ummi berair? Ummi sedih?""Enggak, Sayang.""Tapi, kenapa mata Ummi berair begini?"Kia mengusap sudut mataku. Kubalas perlakuan Kia dengan mendekap erat tubuhnya. "Ummi bahagia, Sayang," ujarku pelan. "Kia juga bahagia. Kata Nenek, Kia mau punya Abah baru hehe."Kia terkekeh. Sementara aku, mendadak jadi malu sendiri. Teringat hari pernikahanku yang tinggal seminggu lagi.Surat undangan telah dicetak. Mas Fatih yang mengantarnya sendiri padaku. Tentu saja di kedai, bukan di rumah. Karena tak ingin timbul fitnah di antara aku dan dia. Meski Bude Ningsih selalu menemani, tapi, aku tak nyaman saja jika berinteraksi di rumah. Bu Nyai sering menghubungiku via telepon. Menanyai perkembanganku tentang persiapan menuju pernikahan. Padahal, aku tak banyak mempersiapkan apa-apa. Hanya rajin merawat diri saja. Meski tak lagi muda ditambah statusku yang janda. Aku harus tetap menjaga bentuk dan aroma tubuh. Karena ingin memberi yang terbaik untuk suamiku nanti. Bu Nyai juga berp
Sepi dan tak terawat. Itulah yang kurasakan begitu masuk ke dalam rumah Mas Bram. Tak banyak perabot yang ia miliki. Bahkan, televisinya jauh dari yang kupunya di rumah. Apalagi, tak kulihat Mbak Lastri keluar meski sudah lima menit kami duduk. Hanya Mas Bram dan Hasan saja. Suguhan pun berupa air minum tanpa ada cemilan apapun. Bukan tengah mengoreksi kehidupannya sekarang, tapi Mas Bram seakan hidup dalam kesedihan. "Kamu apa kabar, Dek?" tanya Mas Bram. "Alhamdulillah baik, Mas. Kamu sendiri apa kabar?" tanyaku balik."Baik, Dek." Mas Bram menjawab pertanyaanku, tapi kedua matanya fokus pada Kia. Aku tahu, ia ingin sekali mendekat pada putrinya, tapi entah kenapa Kia justeru tak mau turun. Hanya duduk diam memeluk erat lengan kiriku. "Mbak Lastri mana?" tanyaku. "Lastri ... Dia, sudah tidak ada, Dek."Degh!"Maksudnya, Mas?" tanyaku terkejut. Mas Bram mengangkat wajah. Ia mengangguk p
Duduk dengan khidmat. Berbalut baju pengantin berwarna putih. Dengan peci yang juga berwarna senada. Muhammad Al-Fatih. Ia telah siap mengucapkan ijab qabul di depan penghulu. Inamah sudah tak memiliki siapapun untuk menjadi walinya. Maka, pernikahan yang kedua ini. Ia menggunakan wali hakim sebagai ganti Bapaknya. Para sesepuh dan pimpinan pondok pesantren As-Salam telah hadir. Sengaja diundang datang lebih awal sebagai saksi ijab qobul dan tamu kehormatan. Dekorasi pelaminan yang berkonsep syar'i. Memisahkan tamu pria dan wanita. Harusnya memang seperti itu. Tersekat oleh hijab. Kain panjang yang tak hanya menutup, namun juga membatasi. Duduk gelisah dengan hati berdebar-debar dirasakan oleh Fatih. Meski ia berusaha trnang, tetap saja. Kali ini adalah yang pertama baginya dan berharap juga sebagai yang terakhir. Fatih menarik napas dalam. Memejam sebentar untuk mengumpulkan keberanian. Samar, terlihat ada senyum yang terukir di bib
Ada yang patah, tapi bukan ranting. Ada yang pecah, tapi bukan gelas dan ada yang remuk, tapi bukan guci.Tak cukup beribu kata untuk mendeskripsikan betapa kini hati Bram hancur berserakan. Genangan air di pelupuk matanya perlahan luruh. Saat bertemu pandang dengan kedua mata Inamah. Hanya sekejap. Tak sampai semenit. Karena Inamah merunduk lalu duduk di depan penghulu. Meraih bolpoin yang tergeletak di atas meja lalu membawanya dalam genggaman. Inamah lantas menandatangani surat-surat penting. Bukti pernikahan. Bram mengatur napas. Menetralkan irama jantungnya yang seakan patah-patah. Sampai ia tersadar saat sentuhan lembut menggoyangkan kelingking jemarinya. Hasan memanggil. "Kenapa, Nak?"Hasan menggeleng. Ia melihat ada sisa air di sudut mata Bram. Barangkali teringat dengan almarhum ibunya. Usai menandatangani buku nikah. Inamah kembali masuk ke dalam rumah. Meninggalkan tempat ijab qobul untuk selanjutnya ber
Hingga pukul empat sore. Tamu yang datang masih lumayan banyak. Aku bersama Bu Nyai juga beberapa saudarinya yang lain. Ada Ummi Shafa dan Aira. Juga Mbak Hana, istri Mas Fadhil. Mbak Hana. Selisih dua tahun denganku. Ia seumuran dengan Mas Fadhil, cantik dan berkulit putih. Kata Ummi Shafa, ia masih ada hubungan kerabat keluarga jauh. Jodoh itu memang unik. Ia bisa datang dari mana saja. Salah satunya bisa berasal dari kalangan kerabat keluarga sendiri.Kulihat Bu Nyai dan Ummi Shafa sedang berbincang panjang. Perempuan yang telah menjadi mertuaju itu menyuruh untuk memanggil beliau dengan sebutan Ummi, tapi berhubung aku belum terbiasa jadi tak enak sendiri mengucapkannya. "Nduk, kamu sudah makan belum?" tanya Bu Nyai. Aku menggeleng pelan. "Nanti saja, Bu, eh, Ummi.""Nggak lapar apa?"Aku menggeleng. Bagaimana bisa lapar kalau sedang bahagia seperti ini. Aku bahkan lupa kapan terakhir aku memasukkan makanan ke dalam mulu
Rintik hujan perlahan turun. Membasahi atap genting yang mengering. Di dalam kamar, Inamah baru saja selesai menunaikan salat Isya. Sementara Fatih, ia masih di mesjid. Melaksanakan salat Isya berjamaah.Malam ini, adalah malam pertama bagi Inamah bersama Fatih sebagai sepasang suami istri. Inamah sudah meminta izin. Ia akan mendatangi kamar pengantinnya saat pukul sembilan malam. Sebelum waktu itu tiba. Ia akan bersama dengan Kia dan Bude Ningsih. Bagaimanapun juga, Kia masih menjadi prioritas utama Inamah. Tak berubah meski telah menyandang status sebagai seorang istri.Inamah merapikan hijabnya sebelum kemudian ia melangkah pergi menuju kamar Kia dan Bude Ningsih. *** "Assalamualaikum," ucap Inamah begitu masuk ke dalam kamar Kia. "Wa alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh." Jawaban salam terdengar dari dalam. Inamah terkejut. Saat melihat bukan hanya Bude Ningsih saja yang bersama Kia. Melainkan ada Bu Nyai.
Hampir jam sepuluh malam dan aku baru tiba di rumah Abah Yai. Hatiku masih berbunga-bunga, merasakan begitu banyak bahagia yang datang bertumpuk-tumpuk. Tentu saja karena Mas Fatih dengan sifat romantisnya yang cukup tinggi. Terjawab sudah rasa penasaranku. Kenapa Mas Fatih membawaku malam-malam begini. Ia bilang karena waktunya mepet. Besok kami kembali sibuk menerima tamu undangan yang datang. Ditambah sorenya, aku dan suamiku itu akan melakukan perjalanan jauh. Menuju Kota Bandung. Katanya ada kejutan yang sudah Mas Fatih siapkan di sana. Mendengar kata kejutan saja, hatiku sangat bahagia. "Dek," panggil Mas Fatih. Ketika beberapa langkah lagi kami memasuki kamar. "Nggih, Mas?""Salat dulu, yuk!" ajaknya. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya. ***Aku menyiapkan tempat salat. Di dalam kamar kami, dekat dengan tempat peraduan. Kamar Mas Fatih memiliki kamar mandi di dalam, juga sebuah ruangan kecil ya
Mahabbah Kupu-kupu itu beterbanganDi taman bunga dalam hatikuMembungkus gundah hingga ia perlahan menghilangJauh ... tak lagi kembali padaku❤❤❤Usai mandi bersama. Aku dan Mas Fatih melaksanakan qiyamul lail hingga subuh datang. Begitu mendekati waktu subuh, suamiku itu berpamitan untuk pergi menuju mesjid. "Adek salat di rumah saja, ya." Mas Fatih mengusap puncak kepalaku yang terbungkus mukenah. Kuanggukkan kepala padanya. Setuju. "Nggih, Mas." "Jangan lupa, baca qur'an juga, ya."Mas Fatih menasehatiku lagi. "Nggih, Mas." Ia bangkit. Melipat sajadah bekas tempat salatnya. Lalu merapikannya ke dalam lemari. "Sebelum Mas masuk kamar. Adek jangan ke luar dulu, ya." Aku mengerutkan dahi. Tercenung sebentar. Kemudian mengangguk pelan. "Nggih, Mas." Aku setuju saja pada suamiku itu. Karena aku percaya, ia punya alasan lain yang su