Mahabbah
Kupu-kupu itu beterbanganDi taman bunga dalam hatikuMembungkus gundah hingga ia perlahan menghilangJauh ... tak lagi kembali padaku❤❤❤Usai mandi bersama. Aku dan Mas Fatih melaksanakan qiyamul lail hingga subuh datang. Begitu mendekati waktu subuh, suamiku itu berpamitan untuk pergi menuju mesjid."Adek salat di rumah saja, ya."Mas Fatih mengusap puncak kepalaku yang terbungkus mukenah. Kuanggukkan kepala padanya. Setuju."Nggih, Mas.""Jangan lupa, baca qur'an juga, ya."Mas Fatih menasehatiku lagi."Nggih, Mas."Ia bangkit. Melipat sajadah bekas tempat salatnya. Lalu merapikannya ke dalam lemari."Sebelum Mas masuk kamar. Adek jangan ke luar dulu, ya."Aku mengerutkan dahi. Tercenung sebentar. Kemudian mengangguk pelan."Nggih, Mas."Aku setuju saja pada suamiku itu. Karena aku percaya, ia punya alasan lain yang suPernah merasa janggal dengan sikap suami? Pernah merasa aneh seperti ada sesuatu yang disembunyikan? Ya, aku mengalaminya saat ini. Mas Fatih, entah kenapa ia seperti menyimpan sesuatu dariku. Saat kuketuk pintu kamar. Ia lantas mematikan panggilan di gawainya dengan cepat. Padahal, aku sangat penasaran dengan isi pembicaraannya. Apa yang ia bicarakan di gawainya itu.Meninggal?Pemakaman?Siapa ...?Aku mencoba bersikap biasa saja. Kulihat Mas Fatih mendekat. Tapi, dia tidak menyampaikan apapun padaku. Sikapnya lembut dan hangat seperti biasa. Meski di satu sisi aku merasa penasaran. Tapi, aku percaya saja. Karena aku sangat yakin. Mas Fatih punya alasan lain untuk tak membahas itu. Kucoba untuk berhusnudzhon. Barangkali temannya yang meninggal. Karena yang kutahu, rekan Mas Fatih cukup banyak. *** Usai mengikuti acara pengajian ibu-ibu. Aku bergegas menemui Bude Ningsih di kamar Kia. Kucari-cari
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (TQS Al-Mulk 1 dan 2) *** Tepat pukul empat subuh aku dan Mas Fatih tiba di stasiun Bandung. Udara di sini begitu dingin. Rasa-rasanya menembus ke dalam tulangku. Kabar duka yang Mas Fatih berikan di kereta. Sedikit banyak membuatku kepikiran. Di balik sikap lembutnya itu, ternyata ia bisa tegas juga. Saat menyikapi permintaan Mas Bram yang terakhir. Untuk bertemu denganku. Aku bersama Bude Ningsih berjalan di belakang. Sementara Mas Fatih menggendong Kia yang sedang tertidur. Barang-barang yang kami bawa dikemas dengan apik dalam koper. Kami tak sedikit pun merasa berat saat membawanya. Tinggal ditarik saja. "Di sini, dingin ya, Nduk," ucap Bude Ningsih. "Nggih, Bude. Beda banget sama di Surabaya
Aku terpejam dalam dekapan Mas Fatih. Begitu nyaman dan menenangkan. Aku tahu suamiku itu tak tidur. Ia hanya berniat menemaniku saja.Kurasakan jemarinya terus bergerak membelai rambutku. Menyisirnya dengan hati-hati. Mas Fatih bilang rambutku bagus, hitam dan halus. Ia terus saja memainkannya. Tak sia-sia aku rajin melakukan perawatan rambut. Mulai dari memakai lendir lidah buaya secara alami, juga vitamin yang kubeli di mini market. Hasilnya memang bagus. Aku mengakuinya. Sengaja kurawat seluruh bagian tubuhku untuk menyenangkan suami."Dek," panggil Mas Fatih tiba-tiba. Aku mendongak. "Nggih, Mas?" jawabku sambil menatap kedua matanya. "Kenapa nggak tidur-tidur? Kirain udah bobok hehe." Ia mengacak rambutku gemas. Aku tersenyum. "Susah tidur, Mas. Nggak biasa tidur jam segini." "Eum? Begitu?" Mas Fatih mendekatkan wajahnya. Membuat tak ada lagi jarak di antara wajah kami. Ia menyentuh lama. Menunjukka
Puas rasanya berkeliling. Udara yang sejuk ditambah langit yang sedang mendung. Membuatku betah berlama-lama di luaran. Hawa di sini benar-benar dingin. Berapa kali aku bergerak, sama sekali tak kurasakan keringat keluar. Kia dari tadi bermain di halaman rumput sintetis alun-alun Kota Bandung. Tentu saja ditemani Bude Ningsih. Sementara aku dan Mas Fatih duduk di pinggiran. Menunggui. Sambil sesekali menikmati jajanan yang tadi kami beli. "Mau lihat Kota Bandung dari atas, nggak?" bisik Mas Fatih. "Dari atas?" tanyaku.Mas Fatih mengangguk. Jari tangannya bergerak menunjuk ke arah dua buah menara di sisi kiri dan kanan mesjid."Terbuka untuk umum, Dek. Mau nggak?" tanyanya lagi. Kuanggukkan kepala. "Bude sama Kia diajak juga nggak?" tanyaku. "Boleh. Yuk."Mas Fatih berdiri lebih dulu. Ia mengulurkan tangannya. Kuraih cepat, menggenggam sambil berdiri. "Nduk, sini!" Kulambaikan
Kurasakan tebalnya selimut yang hangat membungkus rapat tubuh. Jemariku bergerak perlahan mengurai dekapan Mas Fatih. Lalu menyingkap selimut dan menuruni ranjang. Ingin ke kamar mandi. Kulirik jam di dinding kamar hotel. Hampir subuh rupanya. Kualihkan pandang ke arah Mas Fatih. Ia masih tertidur pulas. Sudah tak sempat untuk qiyamul lail. Nanti sajalah kubangunkan usai dari kamar mandi. Tak tega. Aku menggelengkan kepala sendiri. Teringat kejadian semalam. Umm ... manis sekali. *** Kupandangi wajah Mas Fatih yang sedang terpejam. Tangan kananku bergerak perlahan. Menyentuh puncak kepalanya. Kusisir hati-hati dengan jariku. Mas Fatih menggeliat. Ia mengerjapkan kedua matanya pelan. "Assalamualaikum, Mas," bisikku lirih. Mas Fatih tersenyum. Ia menahan gerakan tanganku yang sedang membelai rambut kepalanya. Lalu membimbing ke arah pipi. Meletakkan telapak tanganku di sana. "Wa alaikumussalam warahmatullah wabaraka
"Keharmonisan keluarga itu dibangun bersama-sama, bukan terbentuk dengan sendirinya. Artinya, butuh kerja sama antar anggota keluarga agar tujuan harmonis tercapai. Bukan justeru membuat jarak, karena hal tersebut bisa merusak ikatan yang sudah ada." Aku tercenung mendengar wejangan Mas Fatih. Kali ini kami sedang membahas tentang hubungan rumah tangga yang sehat. Seringnya diskusi menjadi pilihan saat sedang ada waktu duduk bersantai di luar rumah seperti ini. Sedangkan jika di dalam kamar, kami lebih sering mengkaji kitab bersama. Atau melakukan sesuatu yang membuat hubungan semakin menyatu. Kami masih duduk di depan teras rumah bibi. Kurasakan semilir angin yang cukup dingin menerpa kulit wajahku. Langit cerah bertabur bintang. Sesekali, dengung binatang malam terdengar bersahutan. Lalu kembali menghilang. Menyisakan keheningan. "Mas," panggilku setelah beberapa lama terdiam. "Iya, Dek?""Kebanyakan, kenapa saudara yang sudah menik
"Inamah bingung, Mas. Nanti ... kita akan tinggal di mana?" Akhirnya lepas sudah kalimat yang sejak lama kutahan. Sungguh, aku bingung menyikapi permintaan ibu mertua. Beliau jelas-jelas menginginkanku tinggal bersamanya. Sementara itu, Mas Fatih sudah memiliki rumah yang sengaja ia siapkan untukku. Di sana terdapat perpustakaan lengkap dengan beragam buku dan kitab. Kegundahanku semakin menjadi. Mengingat aku sudah memiliki rumah sendiri. Dekat dengan tempat usaha yang juga sudah lama kugeluti. "Adek maunya bagaimana?" tanya Mas Fatih sambil menutup bukunya. "Sebagai seorang istri, ya, wajib ikut kata suami. Inamah pinginnya tinggal di rumah yang Mas tunjukkan waktu itu.""Nah, tahu, kan? Mas juga sudah menyiapkan rumah untuk kita.""Trus, soal permintaan Ummi?""Ya, sesekali kita menginap di sana, Dek. Jadwal Ummi juga padat. Beliau pasti jarang di rumah. Adek tahu sendiri, kan. Gerak dakwah Ummi sama Abah seperti apa."
Semua barang sudah dikemas. Dalam koper yang sudah disediakan seperti kemarin saat kami berangkat. Hanya saja, kali ini ada banyak tambahannya. Karena oleh-oleh untuk keluarga di Surabaya. Begitu pun barang bawaan Maryam. Hari ini ia juga ikut serta. Pulang bersama kami. "Udah siap, Dek?" tanya Mas Fatih sambil merapikan koper. "Udah, Mas.""Alhamdulillah."Aku dan Mas Fatih melangkah bersama. Ke luar menuju ruang tengah. Semua sudah menunggui. *** "Nitip Maryam, ya. Jaga dia. Bibi percaya sama kalian." Bibi kembali mengucap hal yang sama padaku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Mas Fatih mengepaki barang ke bagasi. Sementara Kia dan Bude sudah duduk di dalam lebih dulu. "Iya, Bibi. Inamah ngerti kok." Aku tersenyum. Bibi kemudian memelukku lalu berganti memeluk Maryam. Kuperhatikan gadis itu. Ia memakai gamis warna coklat tua dengan kerudung kuning yang hampir senada. "Maryam duduknya di depan aja, ya. Dia gampang mabuk." Aku menoleh saat bibi bilang begitu pada Mas Fatih. M