Puas rasanya berkeliling. Udara yang sejuk ditambah langit yang sedang mendung. Membuatku betah berlama-lama di luaran. Hawa di sini benar-benar dingin. Berapa kali aku bergerak, sama sekali tak kurasakan keringat keluar.
Kia dari tadi bermain di halaman rumput sintetis alun-alun Kota Bandung. Tentu saja ditemani Bude Ningsih. Sementara aku dan Mas Fatih duduk di pinggiran. Menunggui. Sambil sesekali menikmati jajanan yang tadi kami beli."Mau lihat Kota Bandung dari atas, nggak?" bisik Mas Fatih."Dari atas?" tanyaku.Mas Fatih mengangguk. Jari tangannya bergerak menunjuk ke arah dua buah menara di sisi kiri dan kanan mesjid."Terbuka untuk umum, Dek. Mau nggak?" tanyanya lagi.Kuanggukkan kepala."Bude sama Kia diajak juga nggak?" tanyaku."Boleh. Yuk."Mas Fatih berdiri lebih dulu. Ia mengulurkan tangannya. Kuraih cepat, menggenggam sambil berdiri."Nduk, sini!"KulambaikanKurasakan tebalnya selimut yang hangat membungkus rapat tubuh. Jemariku bergerak perlahan mengurai dekapan Mas Fatih. Lalu menyingkap selimut dan menuruni ranjang. Ingin ke kamar mandi. Kulirik jam di dinding kamar hotel. Hampir subuh rupanya. Kualihkan pandang ke arah Mas Fatih. Ia masih tertidur pulas. Sudah tak sempat untuk qiyamul lail. Nanti sajalah kubangunkan usai dari kamar mandi. Tak tega. Aku menggelengkan kepala sendiri. Teringat kejadian semalam. Umm ... manis sekali. *** Kupandangi wajah Mas Fatih yang sedang terpejam. Tangan kananku bergerak perlahan. Menyentuh puncak kepalanya. Kusisir hati-hati dengan jariku. Mas Fatih menggeliat. Ia mengerjapkan kedua matanya pelan. "Assalamualaikum, Mas," bisikku lirih. Mas Fatih tersenyum. Ia menahan gerakan tanganku yang sedang membelai rambut kepalanya. Lalu membimbing ke arah pipi. Meletakkan telapak tanganku di sana. "Wa alaikumussalam warahmatullah wabaraka
"Keharmonisan keluarga itu dibangun bersama-sama, bukan terbentuk dengan sendirinya. Artinya, butuh kerja sama antar anggota keluarga agar tujuan harmonis tercapai. Bukan justeru membuat jarak, karena hal tersebut bisa merusak ikatan yang sudah ada." Aku tercenung mendengar wejangan Mas Fatih. Kali ini kami sedang membahas tentang hubungan rumah tangga yang sehat. Seringnya diskusi menjadi pilihan saat sedang ada waktu duduk bersantai di luar rumah seperti ini. Sedangkan jika di dalam kamar, kami lebih sering mengkaji kitab bersama. Atau melakukan sesuatu yang membuat hubungan semakin menyatu. Kami masih duduk di depan teras rumah bibi. Kurasakan semilir angin yang cukup dingin menerpa kulit wajahku. Langit cerah bertabur bintang. Sesekali, dengung binatang malam terdengar bersahutan. Lalu kembali menghilang. Menyisakan keheningan. "Mas," panggilku setelah beberapa lama terdiam. "Iya, Dek?""Kebanyakan, kenapa saudara yang sudah menik
"Inamah bingung, Mas. Nanti ... kita akan tinggal di mana?" Akhirnya lepas sudah kalimat yang sejak lama kutahan. Sungguh, aku bingung menyikapi permintaan ibu mertua. Beliau jelas-jelas menginginkanku tinggal bersamanya. Sementara itu, Mas Fatih sudah memiliki rumah yang sengaja ia siapkan untukku. Di sana terdapat perpustakaan lengkap dengan beragam buku dan kitab. Kegundahanku semakin menjadi. Mengingat aku sudah memiliki rumah sendiri. Dekat dengan tempat usaha yang juga sudah lama kugeluti. "Adek maunya bagaimana?" tanya Mas Fatih sambil menutup bukunya. "Sebagai seorang istri, ya, wajib ikut kata suami. Inamah pinginnya tinggal di rumah yang Mas tunjukkan waktu itu.""Nah, tahu, kan? Mas juga sudah menyiapkan rumah untuk kita.""Trus, soal permintaan Ummi?""Ya, sesekali kita menginap di sana, Dek. Jadwal Ummi juga padat. Beliau pasti jarang di rumah. Adek tahu sendiri, kan. Gerak dakwah Ummi sama Abah seperti apa."
Semua barang sudah dikemas. Dalam koper yang sudah disediakan seperti kemarin saat kami berangkat. Hanya saja, kali ini ada banyak tambahannya. Karena oleh-oleh untuk keluarga di Surabaya. Begitu pun barang bawaan Maryam. Hari ini ia juga ikut serta. Pulang bersama kami. "Udah siap, Dek?" tanya Mas Fatih sambil merapikan koper. "Udah, Mas.""Alhamdulillah."Aku dan Mas Fatih melangkah bersama. Ke luar menuju ruang tengah. Semua sudah menunggui. *** "Nitip Maryam, ya. Jaga dia. Bibi percaya sama kalian." Bibi kembali mengucap hal yang sama padaku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Mas Fatih mengepaki barang ke bagasi. Sementara Kia dan Bude sudah duduk di dalam lebih dulu. "Iya, Bibi. Inamah ngerti kok." Aku tersenyum. Bibi kemudian memelukku lalu berganti memeluk Maryam. Kuperhatikan gadis itu. Ia memakai gamis warna coklat tua dengan kerudung kuning yang hampir senada. "Maryam duduknya di depan aja, ya. Dia gampang mabuk." Aku menoleh saat bibi bilang begitu pada Mas Fatih. M
"Tapi, bagaimana mungkin Fatih mau dengan Maryam. Melihat kondisi anak kami yang seperti itu.""Inshaa Allah Fatih nggak menilai dari hal itu. Dia sudah percaya sama saya. Maryam jodoh yang tepat untuknya." "Apa nggak nanya langsung aja sama Fatih?" "Enggak. Dia sudah setuju bahkan sebelum kami datang ke sini.""Alhamdulillah kalau seperti itu, mah."Terdengar tawa berderai dari arah ruang tamu. Jantungku berdebar kencang. Ah, aku tak salah dengar. Abah yai ke sini bukan sekadar silaturahmi. Tapi, membawa lamaran dari Gus Fatih untukku. Masih ingat betul kejadian itu. Dua tahun yang lalu. Tepatnya hari ini. Harusnya aku dan Gus Fatih menikah. Tapi, entah bagaimana bisa. Lelaki bercambang tipis itu kini memiliki tambatan hati. Seorang janda beranak satu menjadi labuhan hatinya. Padahal, Abah yai jelas-jelas melamarkannya untukku. Memuakkan!Aku benci dengan keadaan ini.
- Tak ada yang lebih kuat dalam mempertahankan sebuah hubungan kecuali kepercayaan satu sama lain. Baik antara istri maupun suami. Karena percaya adalah modal untuk menjaga komitmen dalam berumah tangga. -*** Tirai ditutup. Inamah mencoba untuk mengendalikan perasaannya. Ia percaya pada suami. Tak akan ada celah untuk orang ke tiga di dalam rumah tangganya. Rasa bahagia mendominasi. Membuat pipinya bersemu merah. Tanpa sadar perutnya diusap sendiri. Akhirnya tumbuh pula benih yang selama ini ia nanti. Dari sang suami. Inamah berjalan menuju dapur. Membuatkan segelas air minum hangat bercampur madu dan geprekan jahe. Fatih sangat menyukai minuman itu. Selain menghangatkan, terkandung banyak khasiat di dalamnya. "Ummi, kapan dedek bayinya ke luar?" Pertanyaan Kia membuat gerakan Inamah yang tengah mengaduk larutan air minum terhenti. Ia sampai lupa bahwa puteri kecilnya tengah memperhatikan. "Ins
Dalam senyap. Mencoba bicara dengan sang pemilik hati. Berharap langkah yang ia tempuh tidak salah. Maryam dengan kealpaannya. Merutuki diri, berbuat layaknya perempuan hina. Meminta suami orang untuk menghalalkannya. Rasa yang menggebu membuat ia gelap mata. Berani menumphakan rasa malu. Mengelabuhi kebenaran, bahwa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Usai qiyamul lail, Maryam merangkak kembali ke atas ranjang. Ia tersenyum getir. Mengamati kaki sebelahnya yang tak normal. Ikhlas berusaha ia tanam, tapi adakalanya sedih masih mendominasi. Ia manusia dengan beragam sifat alami yang ada. Dilemparnya pandangan ke atas meja dekat ranjang. Sebuah map cokelat yang belum ia sentuh lagi. Perlahan hatinya tergerak untuk mendekat. Dibukanya dengan hati-hati map berwarna cokelat tersebut, pemberian Fatih tadi siang. "Bismollahirrahmaniirahiim." Marya membukanya. Bersandar punggung gadis itu di dinding dengan alas bantal berwarna putih. Ke
Hueeeekk!Huueeeekkk!Aku masih merasakan sesuatu yang ingin keluar dari dalam mulut. Ditambah rasa perut yang begah luar biasa. "Tolong ambilkan minyak angin, Mas." Gerakan Mas Fatih yang memijit tengkukku seketika berhenti. Ia tak bicara, berlalu saja meninggalkanku sesuai permintaan tadi."Ini, Dek."Disodorkannya sebuah botol berukuran mungil berisi cairan berwarna bening. Kubuka cepat tutupnya dan menuangkan beberapa tetes ke telapak tangan. Mengusap perlahan. Lantas mengolesnya ke beberapa bagian tubuhku. "Udah mendingan?" tanya Mas Fatih. Aku mengangguk. "Lumayan, Mas," jawabku. Sudah seminggu sejak kabar kehamilanku terdeteksi oleh dokter kandungan. Baru hari ini aku mengalami mual muntah. Sepertinya morning sickness baru saja terjadi. "Kenapa senyum-senyum, Dek?" tanya Mas Fatih. "Adek seneng, Mas. Mual muntah adalah respon tubuh atas perubahan hormon. Artinya janin berkembang."