"Tapi, bagaimana mungkin Fatih mau dengan Maryam. Melihat kondisi anak kami yang seperti itu."
"Inshaa Allah Fatih nggak menilai dari hal itu. Dia sudah percaya sama saya. Maryam jodoh yang tepat untuknya.""Apa nggak nanya langsung aja sama Fatih?""Enggak. Dia sudah setuju bahkan sebelum kami datang ke sini.""Alhamdulillah kalau seperti itu, mah."Terdengar tawa berderai dari arah ruang tamu. Jantungku berdebar kencang. Ah, aku tak salah dengar. Abah yai ke sini bukan sekadar silaturahmi. Tapi, membawa lamaran dari Gus Fatih untukku.Masih ingat betul kejadian itu. Dua tahun yang lalu. Tepatnya hari ini. Harusnya aku dan Gus Fatih menikah. Tapi, entah bagaimana bisa. Lelaki bercambang tipis itu kini memiliki tambatan hati. Seorang janda beranak satu menjadi labuhan hatinya. Padahal, Abah yai jelas-jelas melamarkannya untukku.Memuakkan!Aku benci dengan keadaan ini.- Tak ada yang lebih kuat dalam mempertahankan sebuah hubungan kecuali kepercayaan satu sama lain. Baik antara istri maupun suami. Karena percaya adalah modal untuk menjaga komitmen dalam berumah tangga. -*** Tirai ditutup. Inamah mencoba untuk mengendalikan perasaannya. Ia percaya pada suami. Tak akan ada celah untuk orang ke tiga di dalam rumah tangganya. Rasa bahagia mendominasi. Membuat pipinya bersemu merah. Tanpa sadar perutnya diusap sendiri. Akhirnya tumbuh pula benih yang selama ini ia nanti. Dari sang suami. Inamah berjalan menuju dapur. Membuatkan segelas air minum hangat bercampur madu dan geprekan jahe. Fatih sangat menyukai minuman itu. Selain menghangatkan, terkandung banyak khasiat di dalamnya. "Ummi, kapan dedek bayinya ke luar?" Pertanyaan Kia membuat gerakan Inamah yang tengah mengaduk larutan air minum terhenti. Ia sampai lupa bahwa puteri kecilnya tengah memperhatikan. "Ins
Dalam senyap. Mencoba bicara dengan sang pemilik hati. Berharap langkah yang ia tempuh tidak salah. Maryam dengan kealpaannya. Merutuki diri, berbuat layaknya perempuan hina. Meminta suami orang untuk menghalalkannya. Rasa yang menggebu membuat ia gelap mata. Berani menumphakan rasa malu. Mengelabuhi kebenaran, bahwa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Usai qiyamul lail, Maryam merangkak kembali ke atas ranjang. Ia tersenyum getir. Mengamati kaki sebelahnya yang tak normal. Ikhlas berusaha ia tanam, tapi adakalanya sedih masih mendominasi. Ia manusia dengan beragam sifat alami yang ada. Dilemparnya pandangan ke atas meja dekat ranjang. Sebuah map cokelat yang belum ia sentuh lagi. Perlahan hatinya tergerak untuk mendekat. Dibukanya dengan hati-hati map berwarna cokelat tersebut, pemberian Fatih tadi siang. "Bismollahirrahmaniirahiim." Marya membukanya. Bersandar punggung gadis itu di dinding dengan alas bantal berwarna putih. Ke
Hueeeekk!Huueeeekkk!Aku masih merasakan sesuatu yang ingin keluar dari dalam mulut. Ditambah rasa perut yang begah luar biasa. "Tolong ambilkan minyak angin, Mas." Gerakan Mas Fatih yang memijit tengkukku seketika berhenti. Ia tak bicara, berlalu saja meninggalkanku sesuai permintaan tadi."Ini, Dek."Disodorkannya sebuah botol berukuran mungil berisi cairan berwarna bening. Kubuka cepat tutupnya dan menuangkan beberapa tetes ke telapak tangan. Mengusap perlahan. Lantas mengolesnya ke beberapa bagian tubuhku. "Udah mendingan?" tanya Mas Fatih. Aku mengangguk. "Lumayan, Mas," jawabku. Sudah seminggu sejak kabar kehamilanku terdeteksi oleh dokter kandungan. Baru hari ini aku mengalami mual muntah. Sepertinya morning sickness baru saja terjadi. "Kenapa senyum-senyum, Dek?" tanya Mas Fatih. "Adek seneng, Mas. Mual muntah adalah respon tubuh atas perubahan hormon. Artinya janin berkembang."
[ Jika ada yang memberi kepastian, lantas kenapa mengharap yang tidak kunjung datang ] *** Aku tersenyum simpul membaca pesan dari Teh Inamah. Ia begitu peduli padaku. Teringat kejadian pasca kecelakaan. Saat Teh Inamah, Mas Fatih, juga Mas Khalid membesuk. Saat itu aku sedang berada di rumah sakit. Seperti biasa, Teh Inamah mengunjungi. Hanya dua hari saja, karena setelah itu ia sedang banyak pesanan, katanya. "Teteh lihat, dia lelaki yang baik," ujar Teh Inamah. "Siapa?" "Khalid." Aku terdiam. Kulirik sekilas, Teh Inamah tersenyum. "Benar kan?" tanyanya sambil mengangkat alis sebelah. Duh, aku ketahuan sedang meliriknya. Mana Teh Inamah tersenyum lagi. "Apa yang membuat Maryam ragu?" tanya Teh Inamah. Aku mengangkat wajah. Ragu atas niat baik Mas Khalid? Ah, rasanya tidak. Aku hanya sedang bimbang. Sedikit saja. Takut tak bisa membahagiakan lelaki shalih itu. Mengecewakan
Maryam terdiam. Duduk di bangku penumpang kereta api sebelah kanan. Di sisi kirinya ternyata adik Khalid yang bungsu. Diana namanya. Ya Allah, apakah Mas Khalid sengaja melakukan ini karena ia peduli padaku? Karena ia ingin menjaga agar keadaanku baik-baik saja? Maryam menelan saliva. Pikirannya lantas membayang wajah lelaki salih yang hendak mengkhitbah untuk yang kedua kalinya, Khalid. Maryam menoleh kembali. Sedikit malu-malu ia menatap ke arah tempat duduk Khalid. Ada yang berdesir sebentar. Lantas cepat-cepat Maryam beristigfar. Kereta malam melaju dengan kencang, lampu di gerbong sudah dimatikan secara otomatis. Wajah Khalid tak terlihat jelas, tapi hati memberi kode bahwa lelaki itu turut menatap ke arah yang sama. Bergeraknya kereta api membawa Maryam berlalu pergi. Seiring dengan hatinya yang kini hangat dirasai. Drrtttt! Drrrttttt! Gawai Maryam tiba-tiba saja bergetar. Gegas ia mengambil benda pipih di d
Maryam tersipu malu. Kedua pipinya merona merah tanpa blush on sekalipun. Ada yang bermekaran dalam hati pasca ia membaca pesan dari lelaki yang akan mengkhitbahnya. Ternyata, pria bernama Khalid itu begitu serius juga terkesan romantis. Berkali-kali Maryam mengipasi wajah dengan telapak tangan sendiri. Gugup. "Neng, sini!" seru mama ketika melihat Maryam di ambang pintu. Aneh karena melihat putrinya yang maju mundur sendiri. Antara akan keluar atau tidak. "Udah ditungguin," kata mama lagi. Baru sadar, bahwa putrinya sedang berada dalam masa malu-malu. Biasa, anak gadis saat akan dilamar akan bingung dan salah tingkah seperti Maryam kali ini. Maryam meninggakkan kamar. Dilihatnya ruang tamu sudah penuh. Ruangan yang berdinding putih itu bisa dibilang kecil, hanya mampu untuk menampung tak lebih dari dua puluh orang. Maryam mengintip sedikit di balik tirai pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu. Ia masih belum berani keluar. Disisirnya s
- Pov Maryam - **** [Apakah berhasil?]Aku tertawa membaca pesan dari Teh Inamah. Ada-ada saja. Kuletakkan kembali gawai milikku di sisi kanan ranjang. Sesekali kulihat ke arah bawah. Di mana Mas Khalid masih terpejam dalam tidurnya. Tidur di atas lantai beralaskan bed cover. Udara Lembang yang dingin pastilah menusuk-nusuk tulangnya. Maaf, Mas.Beberapa jam yang lalu kamar ini mendadak heboh. Gegara tikus yang entah dari mana datangnya bisa tiba di kamarku. Pandanganku beralih ke wajah Mas Khalid. Jika terpejam begitu, ia terlihat manis sekali. Lebih manis daripada saat bangun dan menatapku. Karena seiring tatapan yang ia berikan, rasa yang ada selalu saja muncul diselingi debar-debar tak biasa. Dia Mas Khalid. Lelaki yang kini telah menyandang status sebagai suamiku. Meski pernikahan ini belum sah di mata negara, tapi telah sah di mata agama. Ijab qabul yang terlaksana tadi, menjadi saksi. Bahwa kini aku harus berbakti pada lelaki it
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be