"Inamah bingung, Mas. Nanti ... kita akan tinggal di mana?"
Akhirnya lepas sudah kalimat yang sejak lama kutahan. Sungguh, aku bingung menyikapi permintaan ibu mertua. Beliau jelas-jelas menginginkanku tinggal bersamanya. Sementara itu, Mas Fatih sudah memiliki rumah yang sengaja ia siapkan untukku. Di sana terdapat perpustakaan lengkap dengan beragam buku dan kitab. Kegundahanku semakin menjadi. Mengingat aku sudah memiliki rumah sendiri. Dekat dengan tempat usaha yang juga sudah lama kugeluti."Adek maunya bagaimana?" tanya Mas Fatih sambil menutup bukunya."Sebagai seorang istri, ya, wajib ikut kata suami. Inamah pinginnya tinggal di rumah yang Mas tunjukkan waktu itu.""Nah, tahu, kan? Mas juga sudah menyiapkan rumah untuk kita.""Trus, soal permintaan Ummi?""Ya, sesekali kita menginap di sana, Dek. Jadwal Ummi juga padat. Beliau pasti jarang di rumah. Adek tahu sendiri, kan. Gerak dakwah Ummi sama Abah seperti apa."Semua barang sudah dikemas. Dalam koper yang sudah disediakan seperti kemarin saat kami berangkat. Hanya saja, kali ini ada banyak tambahannya. Karena oleh-oleh untuk keluarga di Surabaya. Begitu pun barang bawaan Maryam. Hari ini ia juga ikut serta. Pulang bersama kami. "Udah siap, Dek?" tanya Mas Fatih sambil merapikan koper. "Udah, Mas.""Alhamdulillah."Aku dan Mas Fatih melangkah bersama. Ke luar menuju ruang tengah. Semua sudah menunggui. *** "Nitip Maryam, ya. Jaga dia. Bibi percaya sama kalian." Bibi kembali mengucap hal yang sama padaku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Mas Fatih mengepaki barang ke bagasi. Sementara Kia dan Bude sudah duduk di dalam lebih dulu. "Iya, Bibi. Inamah ngerti kok." Aku tersenyum. Bibi kemudian memelukku lalu berganti memeluk Maryam. Kuperhatikan gadis itu. Ia memakai gamis warna coklat tua dengan kerudung kuning yang hampir senada. "Maryam duduknya di depan aja, ya. Dia gampang mabuk." Aku menoleh saat bibi bilang begitu pada Mas Fatih. M
"Tapi, bagaimana mungkin Fatih mau dengan Maryam. Melihat kondisi anak kami yang seperti itu.""Inshaa Allah Fatih nggak menilai dari hal itu. Dia sudah percaya sama saya. Maryam jodoh yang tepat untuknya." "Apa nggak nanya langsung aja sama Fatih?" "Enggak. Dia sudah setuju bahkan sebelum kami datang ke sini.""Alhamdulillah kalau seperti itu, mah."Terdengar tawa berderai dari arah ruang tamu. Jantungku berdebar kencang. Ah, aku tak salah dengar. Abah yai ke sini bukan sekadar silaturahmi. Tapi, membawa lamaran dari Gus Fatih untukku. Masih ingat betul kejadian itu. Dua tahun yang lalu. Tepatnya hari ini. Harusnya aku dan Gus Fatih menikah. Tapi, entah bagaimana bisa. Lelaki bercambang tipis itu kini memiliki tambatan hati. Seorang janda beranak satu menjadi labuhan hatinya. Padahal, Abah yai jelas-jelas melamarkannya untukku. Memuakkan!Aku benci dengan keadaan ini.
- Tak ada yang lebih kuat dalam mempertahankan sebuah hubungan kecuali kepercayaan satu sama lain. Baik antara istri maupun suami. Karena percaya adalah modal untuk menjaga komitmen dalam berumah tangga. -*** Tirai ditutup. Inamah mencoba untuk mengendalikan perasaannya. Ia percaya pada suami. Tak akan ada celah untuk orang ke tiga di dalam rumah tangganya. Rasa bahagia mendominasi. Membuat pipinya bersemu merah. Tanpa sadar perutnya diusap sendiri. Akhirnya tumbuh pula benih yang selama ini ia nanti. Dari sang suami. Inamah berjalan menuju dapur. Membuatkan segelas air minum hangat bercampur madu dan geprekan jahe. Fatih sangat menyukai minuman itu. Selain menghangatkan, terkandung banyak khasiat di dalamnya. "Ummi, kapan dedek bayinya ke luar?" Pertanyaan Kia membuat gerakan Inamah yang tengah mengaduk larutan air minum terhenti. Ia sampai lupa bahwa puteri kecilnya tengah memperhatikan. "Ins
Dalam senyap. Mencoba bicara dengan sang pemilik hati. Berharap langkah yang ia tempuh tidak salah. Maryam dengan kealpaannya. Merutuki diri, berbuat layaknya perempuan hina. Meminta suami orang untuk menghalalkannya. Rasa yang menggebu membuat ia gelap mata. Berani menumphakan rasa malu. Mengelabuhi kebenaran, bahwa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Usai qiyamul lail, Maryam merangkak kembali ke atas ranjang. Ia tersenyum getir. Mengamati kaki sebelahnya yang tak normal. Ikhlas berusaha ia tanam, tapi adakalanya sedih masih mendominasi. Ia manusia dengan beragam sifat alami yang ada. Dilemparnya pandangan ke atas meja dekat ranjang. Sebuah map cokelat yang belum ia sentuh lagi. Perlahan hatinya tergerak untuk mendekat. Dibukanya dengan hati-hati map berwarna cokelat tersebut, pemberian Fatih tadi siang. "Bismollahirrahmaniirahiim." Marya membukanya. Bersandar punggung gadis itu di dinding dengan alas bantal berwarna putih. Ke
Hueeeekk!Huueeeekkk!Aku masih merasakan sesuatu yang ingin keluar dari dalam mulut. Ditambah rasa perut yang begah luar biasa. "Tolong ambilkan minyak angin, Mas." Gerakan Mas Fatih yang memijit tengkukku seketika berhenti. Ia tak bicara, berlalu saja meninggalkanku sesuai permintaan tadi."Ini, Dek."Disodorkannya sebuah botol berukuran mungil berisi cairan berwarna bening. Kubuka cepat tutupnya dan menuangkan beberapa tetes ke telapak tangan. Mengusap perlahan. Lantas mengolesnya ke beberapa bagian tubuhku. "Udah mendingan?" tanya Mas Fatih. Aku mengangguk. "Lumayan, Mas," jawabku. Sudah seminggu sejak kabar kehamilanku terdeteksi oleh dokter kandungan. Baru hari ini aku mengalami mual muntah. Sepertinya morning sickness baru saja terjadi. "Kenapa senyum-senyum, Dek?" tanya Mas Fatih. "Adek seneng, Mas. Mual muntah adalah respon tubuh atas perubahan hormon. Artinya janin berkembang."
[ Jika ada yang memberi kepastian, lantas kenapa mengharap yang tidak kunjung datang ] *** Aku tersenyum simpul membaca pesan dari Teh Inamah. Ia begitu peduli padaku. Teringat kejadian pasca kecelakaan. Saat Teh Inamah, Mas Fatih, juga Mas Khalid membesuk. Saat itu aku sedang berada di rumah sakit. Seperti biasa, Teh Inamah mengunjungi. Hanya dua hari saja, karena setelah itu ia sedang banyak pesanan, katanya. "Teteh lihat, dia lelaki yang baik," ujar Teh Inamah. "Siapa?" "Khalid." Aku terdiam. Kulirik sekilas, Teh Inamah tersenyum. "Benar kan?" tanyanya sambil mengangkat alis sebelah. Duh, aku ketahuan sedang meliriknya. Mana Teh Inamah tersenyum lagi. "Apa yang membuat Maryam ragu?" tanya Teh Inamah. Aku mengangkat wajah. Ragu atas niat baik Mas Khalid? Ah, rasanya tidak. Aku hanya sedang bimbang. Sedikit saja. Takut tak bisa membahagiakan lelaki shalih itu. Mengecewakan
Maryam terdiam. Duduk di bangku penumpang kereta api sebelah kanan. Di sisi kirinya ternyata adik Khalid yang bungsu. Diana namanya. Ya Allah, apakah Mas Khalid sengaja melakukan ini karena ia peduli padaku? Karena ia ingin menjaga agar keadaanku baik-baik saja? Maryam menelan saliva. Pikirannya lantas membayang wajah lelaki salih yang hendak mengkhitbah untuk yang kedua kalinya, Khalid. Maryam menoleh kembali. Sedikit malu-malu ia menatap ke arah tempat duduk Khalid. Ada yang berdesir sebentar. Lantas cepat-cepat Maryam beristigfar. Kereta malam melaju dengan kencang, lampu di gerbong sudah dimatikan secara otomatis. Wajah Khalid tak terlihat jelas, tapi hati memberi kode bahwa lelaki itu turut menatap ke arah yang sama. Bergeraknya kereta api membawa Maryam berlalu pergi. Seiring dengan hatinya yang kini hangat dirasai. Drrtttt! Drrrttttt! Gawai Maryam tiba-tiba saja bergetar. Gegas ia mengambil benda pipih di d
Maryam tersipu malu. Kedua pipinya merona merah tanpa blush on sekalipun. Ada yang bermekaran dalam hati pasca ia membaca pesan dari lelaki yang akan mengkhitbahnya. Ternyata, pria bernama Khalid itu begitu serius juga terkesan romantis. Berkali-kali Maryam mengipasi wajah dengan telapak tangan sendiri. Gugup. "Neng, sini!" seru mama ketika melihat Maryam di ambang pintu. Aneh karena melihat putrinya yang maju mundur sendiri. Antara akan keluar atau tidak. "Udah ditungguin," kata mama lagi. Baru sadar, bahwa putrinya sedang berada dalam masa malu-malu. Biasa, anak gadis saat akan dilamar akan bingung dan salah tingkah seperti Maryam kali ini. Maryam meninggakkan kamar. Dilihatnya ruang tamu sudah penuh. Ruangan yang berdinding putih itu bisa dibilang kecil, hanya mampu untuk menampung tak lebih dari dua puluh orang. Maryam mengintip sedikit di balik tirai pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu. Ia masih belum berani keluar. Disisirnya s
Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin
Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg
Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi. "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be