Sepi dan tak terawat.
Itulah yang kurasakan begitu masuk ke dalam rumah Mas Bram. Tak banyak perabot yang ia miliki. Bahkan, televisinya jauh dari yang kupunya di rumah. Apalagi, tak kulihat Mbak Lastri keluar meski sudah lima menit kami duduk. Hanya Mas Bram dan Hasan saja. Suguhan pun berupa air minum tanpa ada cemilan apapun. Bukan tengah mengoreksi kehidupannya sekarang, tapi Mas Bram seakan hidup dalam kesedihan."Kamu apa kabar, Dek?" tanya Mas Bram."Alhamdulillah baik, Mas. Kamu sendiri apa kabar?" tanyaku balik."Baik, Dek."Mas Bram menjawab pertanyaanku, tapi kedua matanya fokus pada Kia. Aku tahu, ia ingin sekali mendekat pada putrinya, tapi entah kenapa Kia justeru tak mau turun. Hanya duduk diam memeluk erat lengan kiriku."Mbak Lastri mana?" tanyaku."Lastri ... Dia, sudah tidak ada, Dek."Degh!"Maksudnya, Mas?" tanyaku terkejut.Mas Bram mengangkat wajah. Ia mengangguk pDuduk dengan khidmat. Berbalut baju pengantin berwarna putih. Dengan peci yang juga berwarna senada. Muhammad Al-Fatih. Ia telah siap mengucapkan ijab qabul di depan penghulu. Inamah sudah tak memiliki siapapun untuk menjadi walinya. Maka, pernikahan yang kedua ini. Ia menggunakan wali hakim sebagai ganti Bapaknya. Para sesepuh dan pimpinan pondok pesantren As-Salam telah hadir. Sengaja diundang datang lebih awal sebagai saksi ijab qobul dan tamu kehormatan. Dekorasi pelaminan yang berkonsep syar'i. Memisahkan tamu pria dan wanita. Harusnya memang seperti itu. Tersekat oleh hijab. Kain panjang yang tak hanya menutup, namun juga membatasi. Duduk gelisah dengan hati berdebar-debar dirasakan oleh Fatih. Meski ia berusaha trnang, tetap saja. Kali ini adalah yang pertama baginya dan berharap juga sebagai yang terakhir. Fatih menarik napas dalam. Memejam sebentar untuk mengumpulkan keberanian. Samar, terlihat ada senyum yang terukir di bib
Ada yang patah, tapi bukan ranting. Ada yang pecah, tapi bukan gelas dan ada yang remuk, tapi bukan guci.Tak cukup beribu kata untuk mendeskripsikan betapa kini hati Bram hancur berserakan. Genangan air di pelupuk matanya perlahan luruh. Saat bertemu pandang dengan kedua mata Inamah. Hanya sekejap. Tak sampai semenit. Karena Inamah merunduk lalu duduk di depan penghulu. Meraih bolpoin yang tergeletak di atas meja lalu membawanya dalam genggaman. Inamah lantas menandatangani surat-surat penting. Bukti pernikahan. Bram mengatur napas. Menetralkan irama jantungnya yang seakan patah-patah. Sampai ia tersadar saat sentuhan lembut menggoyangkan kelingking jemarinya. Hasan memanggil. "Kenapa, Nak?"Hasan menggeleng. Ia melihat ada sisa air di sudut mata Bram. Barangkali teringat dengan almarhum ibunya. Usai menandatangani buku nikah. Inamah kembali masuk ke dalam rumah. Meninggalkan tempat ijab qobul untuk selanjutnya ber
Hingga pukul empat sore. Tamu yang datang masih lumayan banyak. Aku bersama Bu Nyai juga beberapa saudarinya yang lain. Ada Ummi Shafa dan Aira. Juga Mbak Hana, istri Mas Fadhil. Mbak Hana. Selisih dua tahun denganku. Ia seumuran dengan Mas Fadhil, cantik dan berkulit putih. Kata Ummi Shafa, ia masih ada hubungan kerabat keluarga jauh. Jodoh itu memang unik. Ia bisa datang dari mana saja. Salah satunya bisa berasal dari kalangan kerabat keluarga sendiri.Kulihat Bu Nyai dan Ummi Shafa sedang berbincang panjang. Perempuan yang telah menjadi mertuaju itu menyuruh untuk memanggil beliau dengan sebutan Ummi, tapi berhubung aku belum terbiasa jadi tak enak sendiri mengucapkannya. "Nduk, kamu sudah makan belum?" tanya Bu Nyai. Aku menggeleng pelan. "Nanti saja, Bu, eh, Ummi.""Nggak lapar apa?"Aku menggeleng. Bagaimana bisa lapar kalau sedang bahagia seperti ini. Aku bahkan lupa kapan terakhir aku memasukkan makanan ke dalam mulu
Rintik hujan perlahan turun. Membasahi atap genting yang mengering. Di dalam kamar, Inamah baru saja selesai menunaikan salat Isya. Sementara Fatih, ia masih di mesjid. Melaksanakan salat Isya berjamaah.Malam ini, adalah malam pertama bagi Inamah bersama Fatih sebagai sepasang suami istri. Inamah sudah meminta izin. Ia akan mendatangi kamar pengantinnya saat pukul sembilan malam. Sebelum waktu itu tiba. Ia akan bersama dengan Kia dan Bude Ningsih. Bagaimanapun juga, Kia masih menjadi prioritas utama Inamah. Tak berubah meski telah menyandang status sebagai seorang istri.Inamah merapikan hijabnya sebelum kemudian ia melangkah pergi menuju kamar Kia dan Bude Ningsih. *** "Assalamualaikum," ucap Inamah begitu masuk ke dalam kamar Kia. "Wa alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh." Jawaban salam terdengar dari dalam. Inamah terkejut. Saat melihat bukan hanya Bude Ningsih saja yang bersama Kia. Melainkan ada Bu Nyai.
Hampir jam sepuluh malam dan aku baru tiba di rumah Abah Yai. Hatiku masih berbunga-bunga, merasakan begitu banyak bahagia yang datang bertumpuk-tumpuk. Tentu saja karena Mas Fatih dengan sifat romantisnya yang cukup tinggi. Terjawab sudah rasa penasaranku. Kenapa Mas Fatih membawaku malam-malam begini. Ia bilang karena waktunya mepet. Besok kami kembali sibuk menerima tamu undangan yang datang. Ditambah sorenya, aku dan suamiku itu akan melakukan perjalanan jauh. Menuju Kota Bandung. Katanya ada kejutan yang sudah Mas Fatih siapkan di sana. Mendengar kata kejutan saja, hatiku sangat bahagia. "Dek," panggil Mas Fatih. Ketika beberapa langkah lagi kami memasuki kamar. "Nggih, Mas?""Salat dulu, yuk!" ajaknya. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya. ***Aku menyiapkan tempat salat. Di dalam kamar kami, dekat dengan tempat peraduan. Kamar Mas Fatih memiliki kamar mandi di dalam, juga sebuah ruangan kecil ya
Mahabbah Kupu-kupu itu beterbanganDi taman bunga dalam hatikuMembungkus gundah hingga ia perlahan menghilangJauh ... tak lagi kembali padaku❤❤❤Usai mandi bersama. Aku dan Mas Fatih melaksanakan qiyamul lail hingga subuh datang. Begitu mendekati waktu subuh, suamiku itu berpamitan untuk pergi menuju mesjid. "Adek salat di rumah saja, ya." Mas Fatih mengusap puncak kepalaku yang terbungkus mukenah. Kuanggukkan kepala padanya. Setuju. "Nggih, Mas." "Jangan lupa, baca qur'an juga, ya."Mas Fatih menasehatiku lagi. "Nggih, Mas." Ia bangkit. Melipat sajadah bekas tempat salatnya. Lalu merapikannya ke dalam lemari. "Sebelum Mas masuk kamar. Adek jangan ke luar dulu, ya." Aku mengerutkan dahi. Tercenung sebentar. Kemudian mengangguk pelan. "Nggih, Mas." Aku setuju saja pada suamiku itu. Karena aku percaya, ia punya alasan lain yang su
Pernah merasa janggal dengan sikap suami? Pernah merasa aneh seperti ada sesuatu yang disembunyikan? Ya, aku mengalaminya saat ini. Mas Fatih, entah kenapa ia seperti menyimpan sesuatu dariku. Saat kuketuk pintu kamar. Ia lantas mematikan panggilan di gawainya dengan cepat. Padahal, aku sangat penasaran dengan isi pembicaraannya. Apa yang ia bicarakan di gawainya itu.Meninggal?Pemakaman?Siapa ...?Aku mencoba bersikap biasa saja. Kulihat Mas Fatih mendekat. Tapi, dia tidak menyampaikan apapun padaku. Sikapnya lembut dan hangat seperti biasa. Meski di satu sisi aku merasa penasaran. Tapi, aku percaya saja. Karena aku sangat yakin. Mas Fatih punya alasan lain untuk tak membahas itu. Kucoba untuk berhusnudzhon. Barangkali temannya yang meninggal. Karena yang kutahu, rekan Mas Fatih cukup banyak. *** Usai mengikuti acara pengajian ibu-ibu. Aku bergegas menemui Bude Ningsih di kamar Kia. Kucari-cari
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (TQS Al-Mulk 1 dan 2) *** Tepat pukul empat subuh aku dan Mas Fatih tiba di stasiun Bandung. Udara di sini begitu dingin. Rasa-rasanya menembus ke dalam tulangku. Kabar duka yang Mas Fatih berikan di kereta. Sedikit banyak membuatku kepikiran. Di balik sikap lembutnya itu, ternyata ia bisa tegas juga. Saat menyikapi permintaan Mas Bram yang terakhir. Untuk bertemu denganku. Aku bersama Bude Ningsih berjalan di belakang. Sementara Mas Fatih menggendong Kia yang sedang tertidur. Barang-barang yang kami bawa dikemas dengan apik dalam koper. Kami tak sedikit pun merasa berat saat membawanya. Tinggal ditarik saja. "Di sini, dingin ya, Nduk," ucap Bude Ningsih. "Nggih, Bude. Beda banget sama di Surabaya
Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin
Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg
Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi. "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be