Bergabung dengan perusahaan sang ayah dengan mengubur mimpinya bukanlah impian Evan Gale Cakrawangsa. Apalagi ditambah dengan adanya asisten yang terlihat lebih pintar dan berpengalaman darinya. Bodohnya, Evan menarik tangan asistennya ke dalam kamar, saat tengah malam, usai acara pengangkatannya sebagai Direktur Pengembangan Usaha. Seakan tidak cukup dengan semua penderitaannya, sang mama meminta Evan bertanggung jawab dan menikahi asistennya sendiri. Dihantui kecerdasan dan kedekatan asistennya dengan seorang pengusaha yang mmerupakan saingan bisnis perusahaannya, Evan berniat menguak akal bulus asistennya dengan membuat asistennya itu jatuh cinta padanya. Hana yang harus jatuh cinta kepadanya. Sementara ... jatuh cinta pada Hana Anandira tidak pernah ada dalam rencananya.
Lihat lebih banyak“Sore, Yah,” ucap Evan setelah membuka pintu ruang kerja ayahnya.“Masuk, Van. Eh, Hana ikut juga.”“Evan yang minta ikut, Om. Aku balik aja nggak apa-apa sih, masih banyak yang mesti kukerjain.”“Di sini aja, Om cuma mau ngobrol yang enteng-enteng aja kok.”Evan mendelik kesal ke arah Hana.Hana membalas tatapan Evan dengan bingung. “Kenapa?”“Katamu kalau sama Ayah di kantor kamu tetep pake panggilan resmi meskipun cuma berdua.”Hana terdiam. Toh sudah ketahuan kalau ia bohong.Ares terkekeh. “Mana ada. Kalo lagi nggak ada orang lain, ya manggil biasa aja kayak di rumah.” Ia kemudian mengajak Evan dan Hana duduk di sofa yang ada di tengah ruangannya. “Gimana kerjaan, Van?”“Yah, so far sih masih bisa handle, Yah. Lagian Hana ngebantuin banget kok.” Evan melirik ke arah Hana yang terlihat menegang setelah ia mengucapkannya.“Hana memang nggak perlu diragukan lagi kerjanya, Van. Itu lah dulu yang bikin Ayah sama ayahnya Hana bisa handle perusahaan ini. Ayahnya Hana itu cerdas dan bert
Mata Hana masih membuka sempurna, terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan Evan. ia mendorong Evan sekuat tenaganya dan untungnya berhasil.Setelah Evan mundur, sekilas Hana melihat Evan yang mengangkat salah satu sudut bibirnya seakan tersenyum.Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Evan. Tidak terlalu keras memang, karena Hana mengontrol tenaganya. Andai yang melakukannya orang lain, mungkin Hana akan mengerahkan semua tenaganya.Tanpa berkata apa-apa lagi, Hana melangkah keluar dari ruangan Evan.Hana memejamkan mata sambil mengatur napasnya sesaat setelah ia menutup pintu ruangan Evan.Tina—cleaning service—yang mengamati tingkah Hana mengernyitkan dahi karena bingung. “Mbak Hana kenapa? Kok mukanya merah banget?”“Nggak apa-apa, agak gerah aja.” Menyadari keberadaan Tina yang tak jauh darinya, membuat Hana melenggang anggun menuju mejanya, seakan-akan tidak ada yang terjadi.“AC ruangan Pak Evan kurang dingin ya, Mbak? Apa perlu minta orang AC buat dateng Mbak?”“Nggak usah. Pak
Ibra: Han, aku udah di parkiran ya.Hana: Ok, aku turun Bang.Hana melirik pintu ruangan Evan yang belum terbuka lagi sejak Evan membantingnya. ‘Ah udah lah, udah gede ini, bisa cari makan sendiri,’ batinnya.“Sorry, Bang. Lama ya nunggunya? Liftnya suka rame kalo jam istirahat,” ucapnya begitu memasuki mobil yang dikendarai Ibra.“Nggak kok. Ready? Mau makan di mana?”Hana melirik Ibra takut-takut. “Junk food boleh nggak?”Ibra balas melirik Hana sambil mulai menekan pedal gasnya. “Kamu beneran pengen junk food? Nggak bisa diganggu gugat?”“Sebenernya aku pengen waffle ice cream-nya.”“Ya udah kalo gitu. Yang penting sarapan sama makan malammu makanan sehat kan?” Ibra memastikan sekali lagi, walaupun sebenarnya masa pemulihan Hana ini tidak ada hubungannya dengan kondisi fisik, karena yang harus dipulihkannya adalah kondisi mentalnya.“Jelas makan sehat lah, Bang. Kan di rumah Tante Letta.”“Oh iya bener. Kamu kapan balik ke apartemen?”“Belum nanya lagi bolehnya kapan. Sebenernya ak
Hana berdiri dengan resah saat akan berangkat ke kantor. Di dekatnya, Evan dan ayahnya sama-sama sedang bersiap. Tapi Hana tahu kalau masing-masing dari mereka akan membawa mobil sendiri untuk mempermudah mobilitas. Lalu ia harus ikut siapa? Sementara mobilnya sendiri ada di apartemen.Dulu, saat ia menjadi asisten Ares, jelas ia akan ikut mobil Ares. Tapi kini ia adalah asisten Evan. Dan yang lebih mengesalkan baginya, ia tidak punya keberanian untuk meminta tumpangan kepada Evan. ‘Apa pesen taksi online aja ya? Atau naik KRL aja?’ batinnya bingung.“Yah, ini kopinya.” Letta muncul dari pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah dengan membawa tumbler berisi kopi kesukaan suaminya.Ares mengucapkan terima kasih kemudian mengecup singkat puncak kepala istrinya sebelum ia melangkah ke dalam mobil.“Hana, sana, kok kamu masih bengong,” ucap Letta.Belum sempat Hana menjawab, Ares menimpali ucapan istrinya. “Hana kan sekarang asistennya Evan. Ya Hana sama Evan lah, Ma.”“Oh iya
Evan mendengkus kesal. Kenapa tidak ada satu pun orang yang mempercayainya? Saat menatap ayahnya yang sedang menyesap kopi di depannya, barulah ia ingat sesuatu yang pernah ingin disampaikannya, namun kesempatannya selalu tidak tepat.“Yah, Ayah kan paling anti sama perjodohan. Kenapa sekarang Ayah kesannya kayak ngebiarin Mama jodohin aku sama Hana? Ayah nggak bisa bantu aku buat ngubah keputusan Mama?”Ares menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Ya, ia memang menentang yang namanya perjodohah. Karena itu, ia tidak pernah berniat untuk mencarikan anak-anaknya jodoh apalagi demi urusan bisnis.“Ayah sama Mama bukan lagi jodohin kamu, Van. Ayah sama Mama lagi ngajarin kamu arti kata tanggung jawab. Kamu udah tidur sama Hana, apa nggak ada keinginan dari kamu buat bertanggung jawab? Apa ini hasil yang Ayah sama Mama ajarkan ke kamu?”Evan terdiam, ia belum pernah melihat raut kekecewaan dari ayahnya selama ini. Pun saat ia memilih menjalankan bisnis kecil-kecilannya sendiri,
“Hana, kamu kok nggak bilang kalo sakit?” tanya Letta yang langsung menuju kamar Hana setelah mendapat informasi perihal sakitnya Hana dari Azka. “Kan Tante udah bilang, kalo ada apa-apa langsung hubungi Tante.”Hana tersenyum mendengar omelan dari wanita paruh baya yang dipanggilnya ‘Tante’ tapi dirasanya sebagai pengganti mamanya. “Kan di sini banyak yang jagain Hana, Tan.”Letta mendengkus, memang banyak yang menaruh perhatian pada Hana, buktinya Azka sampai menginap di rumahnya, dan di kamar Hana ada dua orang yang juga selalu mengkhawatirkan Hana, Vio dan Ibra. “Vio, Ibra, apa kabar? Lama nggak main ke sini?”“Baik Tante.” Keduanya menjawab bersamaan dan mengulurkan tangan untuk menyapa Letta dengan sopan.“Hana udah minum obat?” tanya Letta lagi. Dia tahu pasti dokter Erlin memberi Hana obat yang harus diminum selama beberapa waktu setelah PTSD-nya kambuh.“Yang pagi udah, Tan. Nanti yang siang kan setelah makan siang.”“Kamu lagi pengen makan sesuatu nggak? Tante bikinin ya,” t
"El, temen Kakak mau ke sini boleh?" tanya Hana pada Elga yang belum mau pergi dari kamar Hana karena khawatir.Hana tahu diri, meskipun ia sudah tinggal bertahun-tahun di rumah sebelum ia memutuskan tinggal sendiri di apartemen, tetap saja itu bukan rumahnya dan ia selalu meminta izin jika akan ada temannya yang datang, dari dulu selalu begitu, pun sekarang, tidak ada yang berubah."Boleh lah, Kak. Kenapa mesti nanya sih. Ini kan rumah Kak Hana juga."Hana tersenyum melihat Elga yang menjawabnya sambil asik menonton salah satu series di salah satu layanan streaming berbayar. Ia lantas membalas pesan Vio yang masuk belum lama ke ponselnya.Hana: Ok, Vi. Ke sini aja."Emang siapa Kak yang mau ke sini?" Mata Elga tertuju pada layar, tapi ia masih bisa membagi fokusnya dengan bertanya pada Hana."Vio.""Oh, Kak Vio." Elga memang sudah mengenal Vio dari dulu karena Vio adalah teman Hana yang paling sering datang ke rumah itu. Sepertinya hampir semua keluarganya mengenal Vio, kecuali Elaks
"Hana nginep di sini, Van?" tanya Azka begitu memasuki kamar Evan.Azka yang baru tahu kalau Hana sudah keluar dari rumah sakit, langsung menghubungi Hana untuk menanyakan keadaannya. Saat Azka menawarkan diri ke apartemen wanita itu untuk membawakan apa yang dia butuhkan, tiba-tiba saja Hana berkata kalau dirinya menginap di Menteng.Karena ucapan Hana itu, Azka langsung mengarahkan mobilnya menuju Menteng di mana rumah om dan tantenya berada."Iya, Mas."Terlihat ekepresi lega dari Azka. Bagaimana pun juga, seruwet apa pun hubungan Evan dan Hana, Azka tentunya merasa lebih tenang kalau Hana tidak sendirian di apartemen."Kok mau? Biasanya kalo abis kambuh dia ngeyel buat tinggal di apartemen.""Aku ancem ngasih tau Mama sama Ayah."Azka mengangguk mengerti. "Dia udah minum obat?""Aku nggak ngecek, cuma pas tadi siang aja.""Ya udah, aku ke kamar dia dulu buat ngecek."Azka keluar dari kamar Evan, menaiki undakan tangga menuju kamar Hana. Yang tidak disadarinya, ternyata Evan mengik
Vio kemudian menatap Hana, seakan meminta Hana mempertimbangkannya."Aku bakal ngasih tau orang tuaku apa yang terjadi kalau kamu nggak pulang ke rumah," ancam Evan.Hana menghela napas, lantas tersenyum sambil memegang tangan Vio. "Gue ke Menteng aja, nggak apa-apa.""Yang ada bukannya sembuh, malah makin parah," gumam Vio yang ternyata didengar Evan dan membuahkan cibiran dari Evan.***Hana berusaha memejamkan mata sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Evan. Berbicara dengan Evan adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkannya saat ini.Tapi sepertinya Evan tahu kalau Hana tidak benar-benar sedang tidur. "Aku nyuruh kamu tidur di rumah karena nggak pantes buat seorang cewek tidur di rumah laki-laki yang bukan keluarga," ucap Evan tiba-tiba. "Ayah sama Mama pasti juga bakal ngelarang kalau tau."Hana terpaksa membuka matanya. Keningnya berkerut memikirkan ucapan Evan. "Kita juga bukan keluarga by the way." Hana mendengkus kesal. "Aku udah nggak punya keluarga." Entah kenapa
"Evan, senyum dong. Kamu kayak mau dibawa ke tiang gantungan," ucap mamanya berusaha mencairkan suasana tegang di kamar hotel itu.Hari ini, Evan harus mengubur semua mimpinya, meninggalkan usaha yang dirintisnya demi memenuhi permintaan orang tuanya untuk terjun ke dalam perusahaan keluarga ayahnya."Ma ...." Masih ada waktu, mungkin ia masih bisa meyakinkan mamanya untuk membatalkan permintaan mamanya itu."Evan, maafin Mama ya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kalo aja ayahmu masih muda, Mama nggak akan minta kamu buat ngelakuin yang sebenernya nggak kamu suka. Maafin Mama ya, Van."Melihat sudut mata mamanya yang sudah basah, tangan Evan langsung menggenggam tangan mamanya. "Nggak apa-apa, Ma. Aku ... coba ngerti. Ini tanggung jawabku sebagai anak sulung."Evan mencoba tersenyum di depan mamanya, walau hatinya juga hancur."Hei, Van! Kamu apain Mama kamu sampe matanya berkaca-kaca?" tanya ayahnya panik begitu keluar dari kamar mandi."Posesif," ledek Evan saat melihat kebucinan...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen