Bergabung dengan perusahaan sang ayah dengan mengubur mimpinya bukanlah impian Evan Gale Cakrawangsa. Apalagi ditambah dengan adanya asisten yang terlihat lebih pintar dan berpengalaman darinya. Bodohnya, Evan menarik tangan asistennya ke dalam kamar, saat tengah malam, usai acara pengangkatannya sebagai Direktur Pengembangan Usaha. Seakan tidak cukup dengan semua penderitaannya, sang mama meminta Evan bertanggung jawab dan menikahi asistennya sendiri. Dihantui kecerdasan dan kedekatan asistennya dengan seorang pengusaha yang mmerupakan saingan bisnis perusahaannya, Evan berniat menguak akal bulus asistennya dengan membuat asistennya itu jatuh cinta padanya. Hana yang harus jatuh cinta kepadanya. Sementara ... jatuh cinta pada Hana Anandira tidak pernah ada dalam rencananya.
View More“Orang-orang kayak pada ngelihatin kita deh.”Hana yang berjalan selangkah di belakang Evan mengedarkan pandangannya dengan awas. Ia yang selama dua hari belakangan tinggal di kediaman keluarga Cakrawangsa, pagi itu berangkat bersama Evan, tentu saja mereka terlihat memasuki lobby kantor bersama.Tapi, bukankah itu hal yang wajar? Jabatannya adalah asisten, bukan sekretaris. Dan hal itu sudah berlangsung lama, sejak ia menjadi asisten Antares Cakrawangsa, ia juga sering berangkat bersama dengan atasannya yang merangkap calon mertuanya saat ini.“Masa?” Evan ikut mengedarkan pandangan, dan setiap orang yang bertemu tatap dengannya langsung menunduk hormat.Anehnya, Evan malah berbalik dan memperhatikan wajah Hana dengan seksama, yang membuat Hana salah tingkah.“Ini di lobby.” Hana mengingatkan Evan agar tidak melakukan tindakan aneh.“Ngecek aja, jangan-jangan masih ada bentol-bentolnya makanya pada ngelihatin.”Hana mendengus kesal dan memberikan kode agar Evan melanjutkan langkahnya
“Mau ditraktir di mana lo?” Meskipun Evan sebenarnya malas menanggapi temannya yang satu itu, tapi Evan lebih memilih mengiakan permintaannya daripada suatu hari Arfindo akan mengungkit-ungkit lagi, dan lebih parahnya meminta ditraktir Hana seorang diri.“Bandar Djakarta yuk.” Arfindo tidak benar-benar minta ditraktir. Ia hanya ingin memastikan apa yang didengarnya baru saja benar. Sepanjang yang ia tahu, Evan masih belum bisa move on dari Melinda, karena itu di pertemuan mereka yang terakhir, Arfindo masih berusaha menjodohkan Evan dengan Melinda.“Tempat lain aja lah, Hana nggak bisa makan cumi.”“Alergi?”“Iya, tempat yang lain aja.”“Semua seafood atau cumi doang nih alerginya?”“Cumi doang.”“Kan banyak seafood yang lain, ada udang, ada kepiting, ikan juga ada.”“Buat jaga-jaga sih mending nggak usah makan seafood.”Hana memperhatikan perdebatan kedua orang di depannya dengan jengah. Kenapa tidak ada satu pun di antara dua lelaki itu yang menanyakan pendapatnya.“Ehem!” Hana memb
“Kamu maafin aku begitu aja?”Keduanya masih melanjutkan pembicaraan serius mereka di coffee shop yang untungnya tidak terlalu banyak pengunjung. Ditambah lagi, Hana memang sengaja mencari tempat di pojok agar tidak ada yang mencuri dengar pembicaraan mereka.Bagaimana pun juga membicarakan skandal dan masalah keperawanan di tempat umum bukanlah hal yang lazim. Tapi Hana juga tidak mau mengambil risiko dengan berbicara berdua di apartemennya.“Kamu nggak mau dimaafin begitu aja? Mau dapet syarat dulu sebelum dimaafin?”“Bukan gitu. Tapi … kesalahanku besar banget kan. Aku bahkan sampe benci dan malu sama diriku sendiri. Kamu bisa bayangin kalo orang tuaku tau apa yang kulakukan ke kamu? Bisa-bisa aku dicoret dari kartu keluarga setelah babak belur dihajar Ayah sama Mama.”Hana terdiam, kalau dilihat dari satu sisi, kesalahan Evan memang sebesar itu. Evan hampir merenggut kesuciannya, hanya karena kecemburuan yang terlalu besar. Tapi ia juga sadar kalau ia yang mengizinkan Evan mulai m
“Ngapain kita di sini?” tanya Hana bingung.“Ayo turun, kita perlu bicara kan.”Hana menggeleng tegas. “Aku nggak mau ngomong di sini.”“Terus di mana? Di sini kan privasi kita terjaga.” Apartemen Hana menjadi satu-satunya tempat yang bisa dipikirkan Evan. Jadi, ia mengarahkan mobilnya menuju apartemen Hana dan memarkirkan mobilnya dengan sempurna, sebelum mendapat penolakan dari wanita di sampingnya itu.Lagi-lagi Hana menggeleng. “Aku nggak mau berduaan sama kamu di tempat sepi, apalagi tertutup.”“Aku nggak bakal ngapa-ngapain. Janji. Maaf, yang waktu itu—” Evan menyugar rambutnya dengan frustasi.Hana tetap bergeming, bahkan tidak melepaskan pengait seat belt-nya."Trus kita mau ngomong di mana, Sayang?""Nggak usah manggil-manggil 'Sayang'!" Hana masih denial, tidak ingin begitu saja luluh hanya dengan satu kalimat cinta yang diucapkan Evan."Ya udah, mau ke mana kalo gitu? Mau ngomong di kantor?"Dengan dagunya, Hana menunjuk coffee shop yang ada di tower lain."Oh, mau sambil n
“Masuk!” pekik Evan saat mendengar pintu ruang kerjanya diketuk seseorang.Beberapa detik kemudian, Evan menoleh karena orang yang baru saja memasuki ruangannya tidak kunjung bicara.“Han?” Saat Evan tiba, kursi kerja Hana masih kosong, hingga ia mengira wanita itu akan izin lagi hari itu.“Aku mau ngasih jadwal kamu hari ini.”Evan terdiam. Bisa dilihatnya raut wajah Hana yang pucat, ditambah lagi gesture-nya yang seolah siaga, berdiri tidak terlalu jauh dari pintu, tidak seperti biasanya.“Kamu udah enakan? Kok udah masuk?”Pertanyaan bodoh sebenarnya kalau Evan sadar. Hari sebelumnya Hana pasti izin bukan karena tidak enak badan, melainkan karena kejadian di kamar hotel yang mungkin masih mengganggu pikirannya.“Aku penderita PTSD kalo kamu lupa, dan penderita PTSD punya tendensi untuk menyakiti diri sendiri, itu yang sedang aku lakukan.” Entah ucapan itu benar atau tidak, tapi memang menyakitkan untuk Hana, bahkan sekadar untuk menatap lelaki di depannya itu.Evan menghela napas,
Intro lagu dari Sam Smith yang berjudul Too Good at Goodbyes mengalun pelan dari ponsel Hana. Sengaja ia meletakkan ponselnya di ruang makan sementara ia berada di sofa ruang tamu, hanya untuk mencegahnya menghubungi Evan terlebih dulu, sebelum ia bisa menenangkan diri.Dengan malas, Hana memaksakan kakinya untuk melangkah menuju meja makan, sekadar untuk mengetahui siapa yang meneleponnya berulang sejak tadi.Elga. Hana setidaknya merasa tenang begitu melihat caller id yang muncul di layar ponselnya."Ya, El?""Kak, lama banget ngangkatnya." Suara Elga terdengar sedikit kesal."Sorry, tadi Kakak di depan TV. Kenapa?""Mas Evan nitip pesen, katanya barang-barang Kak Hana yang mau dibawa ke rumah baru kalian, udah bisa mulai di-packing."Hana mengernyit bingung. Ia benar-benar belum mengerti ke mana arah pikiran Evan. Evan masih mau melanjutkan pernikahan mereka?"Kak?" Elga memanggil Hana sekali lagi karena tidak mendengar sahutan dari Hana."Iya iya, nanti kakak packing. Masmu udah p
"Meeting kali," jawab Hana berusaha mengalihkan pembicaraan."Iya, meeting. Mempertemukan apa yang perlu dipertemukan.""Apa sih, Van? Kamu udah beres-beresnya? Aku mau beres-beres juga, biar kita bisa cepet pulang."Evan mengerucutkan bibir. "Bisa check out besok siang loh padahal. Sayang nggak sih kamar hotelnya? Mending dipake dulu.""Aku sih lebih sayang nyawamu daripada kamar hotel.""Hah? Apa hubungannya sama nyawaku?""Iya, kalo kita nggak balik, nanti malem pasti Om sama Tante nyamperin ke sini, siap nendang kamu."Evan terkekeh, membiarkan Hana bangkit dari posisinya meskipun rasanya tak ingin. Evan melirik sebentar ke arah ponselnya yang ia letakkan di atas nakas kemudian menatap ke arah Hana. 'Kamu punyaku, Han.'Setelah berhasil melepaskan diri dari Evan, Hana melangkah menuju kulkas mini yang berada di dalam kabinet bawah televisi. Evan hanya bisa menatap Hana dengan bigung. Untuk apa wanita itu tiba-tiba membuka kulkas setelah bangun tidur.Masih dengan mengenakan kemeja
-Group Whatsapp E3H (Evan Elaksi Elga Hana)-Elaksi: Aku baru jalan dari BogorElaksi: Ada yang masih kurang? Biar aku minta stafku buat ngurusEvan: Udah, kamu fokus aja nyetir, jangan mikirin yang di siniEvan: Kan mas udah nyuruh orang buat ngerjainElga: Aku udah di kamar hotel sama Kak HanaEvan: Mas udah di lobbyEvan: Mas naik ke kamar sekarang gapapa kan?Elga: Ok, udah ready kok Kak HanaEvan: Yaaa, telatElga: Bilangin Mama nihElaksi menggeleng-gelengkan kepala melihat chat group yang hanya berisikan dirinya, kedua saudaranya, dan beberapa hari sebelumnya Evan menambahkan Hana ke dalam whatsapp group itu.Harusnya, Elaksi mengurus segala hal yang berkaitan dengan pernikahan kakaknya, tapi sayang untuk kali ini ia tidak bisa membantu karena ada salah satu kliennya di Bogor yang mendadak memajukan tanggal pernikahan, dan ternyata bentrok dengan persiapan foto prewedding kakaknya.Evan juga menolak saat Elaksi menunjuk stafnya untuk membantu Evan dan Hana. “Cuma foto prewed do
“Udah cakep, Han,” ledek Letta yang melihat calon menantunya masih terpekur di depan cermin.Pagi itu, kediaman keluarga Cakrawangsa sudah disibukkan dengan persiapan acara keluarga untuk syukuran sekaligus mendoakan kelancaran rencana pernikahan Evan dan Hana.“Tante butuh bantuan? Bentar lagi aku turun kok,” ucap Hana yang merasa tidak enak karena sejak pagi semua orang melarangnya untuk ikut membantu persiapan acara.Letta menggeleng. “Udah banyak yang bantuin, makanan juga pake catering kan, kita tinggal nunggu keluarga dateng aja.”“Tante, semuanya dateng ya, Tan?” Hana terlihat cukup resah. Sebenarnya ,Hana sudah mengenal semua anggota keluarga Evan, baik dari pihak mamanya ataupun ayahnya. Tapi tetap saja, ia gelisah. Apalagi keluarga dari pihak ayah Evan adalah keluarga besar.“Deg-degan ya? Kamu kan udah kenal mereka semua.”Hana mencoba tersenyum walau tetap saja tidak bisa menutupi rasa gelisahnya.“Ada yang mau Tante omongin. Lebih tepatnya, Tante mau ngasih peringatan ke
"Evan, senyum dong. Kamu kayak mau dibawa ke tiang gantungan," ucap mamanya berusaha mencairkan suasana tegang di kamar hotel itu.Hari ini, Evan harus mengubur semua mimpinya, meninggalkan usaha yang dirintisnya demi memenuhi permintaan orang tuanya untuk terjun ke dalam perusahaan keluarga ayahnya."Ma ...." Masih ada waktu, mungkin ia masih bisa meyakinkan mamanya untuk membatalkan permintaan mamanya itu."Evan, maafin Mama ya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kalo aja ayahmu masih muda, Mama nggak akan minta kamu buat ngelakuin yang sebenernya nggak kamu suka. Maafin Mama ya, Van."Melihat sudut mata mamanya yang sudah basah, tangan Evan langsung menggenggam tangan mamanya. "Nggak apa-apa, Ma. Aku ... coba ngerti. Ini tanggung jawabku sebagai anak sulung."Evan mencoba tersenyum di depan mamanya, walau hatinya juga hancur."Hei, Van! Kamu apain Mama kamu sampe matanya berkaca-kaca?" tanya ayahnya panik begitu keluar dari kamar mandi."Posesif," ledek Evan saat melihat kebucinan...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments