Letta mematung di depan pintu, sebelum akhirnya berhasil menguasai diri dan berjalan ke arah kasur untuk menyeret anaknya agar bangun. Sementara Hana yang kini telah berdiri dengan hanya mengenakan kemeja Evan, menambah pemandangan yang membuat Letta menghela napas.
"Evan!" Letta memukul betis Evan yang sedang tengkurap, berkali-kali, karena hanya itu area yang bisa dijangkau Letta.
Meskipun Evan sering berolah raga, terutama pergi ke gym, hingga otot-ototnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana liatnya, pukulan mamanya yang merupakan pemegang sabuk hitam tae kwon do dan mantan atlet tae kwon do saat SMA tidak perlu ditanya lagi kekuatannya.
Evan langsung berteriak pada pukulan kedua, dan masih terus berteriak karena mamanya belum berhenti memukulnya. Pada akhrinya, entah di pukulan yang ke berapa, Evan tidak kuat lagi dan bangkit dari posisinya. Ia berdiri di atas kasur mengambil jarak sejauh mungkin dari mamanya.
"Mama kenapa sih?" tanya Evan bersungut. Tidak biasanya mamanya membangunkannya dengan cara kasar seperti itu.
Letta tidak sanggup menjawab anaknya yang sedang playing victim, seakan-akan tidak bersalah dan tersakiti karenanya. Mata Letta melirik keberadaan Hana yang berdiri ketakutan di dekat kasur.
Evan kemudian mengikuti arah lirikan mamanya dan matanya membulat sempurna saat melihat Hana berada di kamarnya, hanya mengenakan kemejanya. "What the .... Ngapain kamu di sini?"
"Hana, kamu kembali ke kamarmu, bersih-bersih dulu, nanti temuin Tante sama Om di rumah depan."
Hana yang masih menunduk ketakutan berusaha mengeluarkan penjelasannya. "Aku sama Evan nggak ngapa-ngapain, Tan. Sumpah."
Letta menghela napas berat. "Nanti aja kamu jelasinnya. Sekarang kamu bersih-bersih dulu, mumpung nggak ada Elaksi sama ART di rumah ini, jadi kamu bisa ke kamarmu tanpa ada yang ngelihat."
Evan masih menggeleng-gelengkan kepala, beberapa kali mengerjapkan mata, berusaha mengorek memorinya semalam. Tapi nihil, ia tidak ingat apa pun. Terakhir yang dia ingat saat ia naik ke dalam mobil. And the rest is history.
Begitu melihat Hana keluar dari kamarnya, Evan langsung mendekat ke arah mamanya, menahan tangan mamanya yang sudah terangkat lagi, entah untuk menghajar bagian tubuhnya yang mana kali ini. "Ma, aku nggak ngapa-ngapain. Beneran."
"Terus kenapa ada Hana di kamarmu? Siapa pun yang ngelihat juga pasti tau apa yang kalian lakukan semalam."
"Nggak, Ma. Buktinya—"
"Apa buktinya?" tantang Letta.
"Tadi, Hana masih pake baju. Aku juga masih pake—" Evan menunduk dan mengamati dirinya yang hanya mengenakan celana dalam. beberapa detik kemudian ia menyadari kaos dan celana yang dikenakannya berserakan di lantai, bersama dengan dress pesta yang dikenakan Hana. "Lagian Hana tadi juga bilang kan kalo kita nggak ngapa-ngapain."
Kepala Letta rasanya hampir meledak. Bersyukur ia yang membangunkan Evan dan masuk ke kamarnya, ia tidak tahu apa jadinya Evan, kalau Ares yang masuk dan menemukan apa yang tadi dilihatnya. Mungkin sekarang Evan sudah diseret untuk diceburkan ke kolam renang agar pikiran anaknya itu sedikit waras.
"Bersih-bersih sana! Mama tunggu di ruang kerja Ayah!" perintah Letta sambil berlalu pergi dengan mengelus dadanya.
***
Hana masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai 3, dan betapa kagetnya ia saat membuka pintu kamarnya, tumpukan kerdus terlihat menggunung di sisi kamarnya, belum lagi ada tumpukan koper lama dan beberapa tas yang terlihat usang. Jangan lupakan jemuran besi rusak yang kini ada di atas ranjangnya, bahkan kasurnya sudah diposisikan berdiri seakan tidak ada yang menempati kamar itu.
Ia hampir saja mengumpat kalau tidak ingat ada masalah lebih besar lagi yang harus dihadapinya. Hana berjalan gontai ke arah lemari, untungnya baju-bajunya masih aman berada di tempatnya, ia tidak bisa membayangkan kalau bajunya juga menjadi sasaran Evan dan Elaksi, apa yang akan dikenakannya untuk menghadapi persidangan dari Letta dan Ares, dua orang yang sangat disayangi dan dihormatinya.
***
Saat sarapan, semuanya berlangsung seperti biasa. Orang tuanya diam, sama sekali tidak bicara, Evan yakin itu karena keberadaan kedua adiknya hingga ayah dan mamanya memilih diam, menutupi kejadian yang Evan yakin ayahnya juga sudah tahu dari cerita mamanya.
Dibanding itu, Evan lebih ingin mengumpati Hana yang tidak ikut hadir saat sarapan, membuatnya merasa ketakutan seorang diri. Padahal mamanya sudah meminta ART untuk memanggil Hana, tapi ART yang disuruh memanggil Hana kembali dengan tangan kosong, mengatakan kalau Hana sudah sarapan roti yang ada di dapur rumah belakang. 'Sialan! Mau selamat sendiri.' batinnya saat mengetahui alasan yang Hana buat.
Evan berdiri gamang di depan ruang kerja ayahnya. Sebentar lagi adalah persidangan yang sesungguhnya. Sampai detik sebelum ia memegang handle pintu ruang kerja ayahnya, Evan masih berusaha mengingat apa yang terjadi semalam, dan akhirnya menelan kenyataan pahit, kalau ia tidak bisa mengingat apa pun.
Evan masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali, sambil menunduk, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah. Ia sampai bingung harus duduk di mana, melihat ayahnya duduk di kursi kerjanya, sementara mamanya membelakanginya, bersedekap sambil bersandar di meja kerja ayahnya.
"Yah, Ma. Aku bisa jelasin—"
Belum selesai Evan mengatakan satu kalimat utuh, sebuah buku hard cover tebal melayang ke arahnya, untungnya ia berhasil bergeser ke kiri selangkah, kalau tidak, buku itu pasti telak mengenai wajahnya.
"Ayah nggak pernah ngajarin kamu ngerusak anak gadis orang, Van. Apalagi itu Hana, anak almarhum sahabat Ayah." Emosi Ares sudah sampai di ubun-ubun. "Ayah malu sama almarhum Arya, Van. Dia sahabat Ayah yang bantuin Ayah, tapi Ayah nggak bisa jaga anaknya." Ares menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak.
Letta yang melihat suaminya dalam keadaan emosi langsung megusap pelan pundak Ares, lalu berbalik untuk menghadapi anaknya yang membuatnya dan suaminya pagi itu meradang. "Nikahi Hana."
Hanya satu kalimat yang diucapkan mamanya, tapi rasanya Evan seperti baru saja loncat dari jembatan cinta di Pulau Tidung. Rasanya sama, jantungnya mencelos.
"Tapi, Ma, kan mama denger sendiri tadi, Hana bilang kita nggak ngapa-ngapain."
"Tapi Mama belum denger dari kamu kalau kalian nggak ngapa-ngapain."
Evan menghela napas. Kenapa ingatannya yang biasanya cemerlang, kali ini keruh seperti lumpur.
"Berapa banyak kamu minum semalam?" tanya Ares yang mendapat laporan dari supir yang mengantar Evan semalam, kalau Evan benar-benar teler di mobil, dan Hana juga terlihat sedikit mabuk walaupun masih bisa mengontrol dirinya.
Evan menunduk. Minum alkohol bukan lah hal yang bisa ditolerir di keluarganya. "Empat ... atau lima gelas." jawabnya pelan dan terbata.
"Bagus. Semua larangan dari Ayah sama Mama kamu langgar dalam semalam." ucap Ares dingin.
"Aku minta maaf untuk itu, Yah, Ma. Tapi ... aku bener-bener nggak ingat ngapa-ngapain sama Hana, harusnya nggak perlu diperpanjang—”
Buku kedua kini melayang lagi ke arahnya dan mengenai pundaknya, untungnya buku kedua ini tidak setebal buku pertama yang melayang sebelumnya.
"Keluar kamu! Panggil Hana!"
Setelah perintah tegas dari mamanya, Evan berjalan cepat menuju kamar Hana. Mungkin ia bisa sedikit mendapat pencerahan apa yang terjadi malam sebelumnya.
Ia mengetuk kamar Hana yang sekitar sebulan belakangan dijadikannya gudang. "Hana!" panggilnya tidak sabaran dari luar.
Hana membuka pintu sambil menatap kesal ke arah Evan. "Apa?"
"Semalam kita ngapain? Nggak ngapa-ngapain kan?" tanyanya sambil menekan kedua pundak Hana dan mendorongnya ke dinding.
Hana membalas tatapan Evan dengan sama tajamnya. "Kamu nggak inget?"
"Kak, ngerasa aneh nggak sih sama suasana makan tadi?" tanya Elga yang mengekori Elaksi menuju kamarnya usai sarapan."Aneh gimana?" Elaksi memang paling cuek di antara tiga bersaudara itu, karenanya ia tidak memperhatikan hal-hal detail seperti adiknya, Elga yang berbeda delapan tahun darinya itu."Mama sama Ayah kayak kelihatan tegang gitu. Trus Mas Evan kayak ketakutan gitu, nunduk terus. Apa Mas Evan ngelakuin kesalahan ya, Kak?""Ya ampun, El. Mas Evan udah sedewasa itu, bukan anak sekolahan lagi yang ketahuan nilainya jelek atau cabut dari sekolah. Kesalahan apa yang bisa bikin dia ketakutan kayak asumsimu? Tidur sama cewek?""Hush! Kakak ah. Ngomongnya itu loh."Elaksi terbahak melihat adiknya yang bergidik ngeri sambil merebahkan diri di kasurnya.Di keluarga Cakrawangsa, tidak mengenal istilah seks sebelum menikah. Ares dan Letta selalu mengajarkan kepada mereka untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Ares tahu hal itu sulit, di zaman sekarang yang serba bebas, apalagi jik
"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya."Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua se
"Selamat pagi, Pak," ucap Hana sambil menunduk singkat saat melihat Evan melewati mejanya untuk masuk ke dalam ruangan.Evan tidak menjawab sapaan Hana, bahkan melemparkan senyuman pun tidak.Hana mengoceh tanpa suara melihat kelakuan Evan padanya."Mbak Hana kenapa?" tanya seorang cleaning service yang bertugas membersihkan lantai itu saat melihat mulut Hana komat-kamit.Hana mencebik kesal. "Tuh, bos songong," jawabnya singkat."Oh, bos yang baru ya, Mbak? Anaknya Pak Ares? Masa sih songong, Mbak? Pak Ares baik banget loh.""Nggak semua buah jatuh deket pohonnya, Mbak. Kali aja buahnya sebelum jatuh ke tanah udah kesundul sama jerapah, trus nggelundung jauh," jawab Hana asal.Cleaning service bernama Tina itu terbahak mendengar gerutuan Hana di pagi hari. "Tapi ganteng, Mbak. Wajar songong.""Ih." Hana makin berdecak kesal mendengar pujian Tina terhadap Evan. "Teori dari mana itu?"Mengabaikan Tina yang masih mengelap dispenser sambil terkekeh, Hana memilih mengetuk pintu ruangan Ev
"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya."Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya."Saya mau print out-nya," desak Evan.Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan."Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama."Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.Evan mend
"Han, ke ruangan saya!" perintah Evan melalui sambungan internal.Beberapa detik kemudian, Hana telah berdiri di hadapan Evan. "Ada apa, Pak?"Evan menelaah reaksi Hana. Apakah Hana masih marah padanya karena kejadian malam sebelumnya? Tapi rasa-rasanya ia tidak menemukan perbedaan berarti dari ekspresi Hana padanya. Tetap dingin."Saya nggak suka warna background power point yang kamu siapkan buat presentasi."Seriously? Warna background power point? Ingin rasanya Hana mengumpat. Hana selalu menggunakan warna netral dalam setiap presentasi yang ia siapkan, jadi ia harus mengganti dengan warna apa? Pink?"Pak Evan mau warna apa?""Terserah kamu. Pokoknya jangan ini.""Kalau terserah saya, mungkin saya akan ganti warna biru ini jadi pink atau merah darah. Pak Evan mau?"Evan mendesis kesal. Kenapa wanita di depannya itu selalu bisa membantahnya. Dan itu adalah hal yang paling dibencinya. "Ah udah lah. Nggak jadi.""Lah, labil!" gumam Hana yang ternyata didengar Evan."Kamu bilang apa b
Hana mengerjapkan matanya perlahan. Setelah matanya membuka sempurna, barulah Hana mengernyit bingung, pemandangan yang ada di depan matanya bukanlah dinding dan plafon kamarnya. Saat ia akan menggerakkan tangannya, sesuatu terasa menahan tangannya. Hana menoleh dan mendapati Azka yang tertidur di kursi yang ada di sebelah kasurnya sambil menggenggam tangannya."Udah bangun?" tanya Azka saat merasakan gerakan tangan Hana yang digenggamnya."Hmm ...." Hana hanya menjawabnya dengan gumaman. Kemudian ia teringat sesuatu. "Tante Rimbi nggak tau kan kalo aku masuk rumah sakit? Tante Letta? Om Ares?""Kamu beruntung, mama papaku, Tante Letta sama Om Ares, semua lagi ke Jogja ke tempat Mbah, coba kalo mereka di sini, udah penuh ini kamar."Hana terkekeh dan berusaha untuk mengubah posisinya."Kamu butuh sesuatu? Aku panggiling dokter ya?"Hana menggeleng. Dari jam dinding yang ada di kamar itu, ia tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan pastinya psikiaternya sudah tidak b
Vio kemudian menatap Hana, seakan meminta Hana mempertimbangkannya."Aku bakal ngasih tau orang tuaku apa yang terjadi kalau kamu nggak pulang ke rumah," ancam Evan.Hana menghela napas, lantas tersenyum sambil memegang tangan Vio. "Gue ke Menteng aja, nggak apa-apa.""Yang ada bukannya sembuh, malah makin parah," gumam Vio yang ternyata didengar Evan dan membuahkan cibiran dari Evan.***Hana berusaha memejamkan mata sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Evan. Berbicara dengan Evan adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkannya saat ini.Tapi sepertinya Evan tahu kalau Hana tidak benar-benar sedang tidur. "Aku nyuruh kamu tidur di rumah karena nggak pantes buat seorang cewek tidur di rumah laki-laki yang bukan keluarga," ucap Evan tiba-tiba. "Ayah sama Mama pasti juga bakal ngelarang kalau tau."Hana terpaksa membuka matanya. Keningnya berkerut memikirkan ucapan Evan. "Kita juga bukan keluarga by the way." Hana mendengkus kesal. "Aku udah nggak punya keluarga." Entah kenapa
"Hana nginep di sini, Van?" tanya Azka begitu memasuki kamar Evan.Azka yang baru tahu kalau Hana sudah keluar dari rumah sakit, langsung menghubungi Hana untuk menanyakan keadaannya. Saat Azka menawarkan diri ke apartemen wanita itu untuk membawakan apa yang dia butuhkan, tiba-tiba saja Hana berkata kalau dirinya menginap di Menteng.Karena ucapan Hana itu, Azka langsung mengarahkan mobilnya menuju Menteng di mana rumah om dan tantenya berada."Iya, Mas."Terlihat ekepresi lega dari Azka. Bagaimana pun juga, seruwet apa pun hubungan Evan dan Hana, Azka tentunya merasa lebih tenang kalau Hana tidak sendirian di apartemen."Kok mau? Biasanya kalo abis kambuh dia ngeyel buat tinggal di apartemen.""Aku ancem ngasih tau Mama sama Ayah."Azka mengangguk mengerti. "Dia udah minum obat?""Aku nggak ngecek, cuma pas tadi siang aja.""Ya udah, aku ke kamar dia dulu buat ngecek."Azka keluar dari kamar Evan, menaiki undakan tangga menuju kamar Hana. Yang tidak disadarinya, ternyata Evan mengik
"Han."Sapaan seorang lelaki yang berdiri di depan meja kerjanya membuat Hana langsung mendongak."Eh, Fin, udah nyampe?" Beberapa jam sebelumnya memang Hana mendapat pesan dari Arfindo yang ingin mengatur janji temu dengan Evan. Karena jadwal Evan hanya kosong di saat jam istirahat, maka Hana membuat jadwal temu mereka saat makan siang."Nggak apa-apa nih aku makan siang sama Evan? Kamu gimana?"Hana tersenyum penuh arti. "Aku yang makasih malah. Kalo kamu nggak dateng, nggak mungkin si bos mau ditinggal, padahal kan kadang aku pengen makan bareng sama temen kantorku yang lain.""Dasar, si posesif.""Ayo, kuanter sekalian aku pamit." Hana berjalan terlebih dulu lalu mengetuk pintu ruang kerja Evan."Mas, udah dateng nih tamunya," ucap Hana sambil menunjukkan senyum tanpa rasa bersalahnya. Bisa dilihatnya wajah Evan yang tertekuk karena kesal.Tanpa menunggu dipersilakan, Arfindo langsung mengambil posisi duduk di sofa yang ada di tengah ruangan."Aku makan di luar sama Ribka ya. Nant
Hana mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan retina matanya dengan pencahayaan temaram di dalam kamar yang baru beberapa kali ditempatinya itu.Evan ikut bangun saat menyadari gerakan Hana yang bangkit dari tidurnya. "Udah bangun?""Mau bantu Mama."Malam sepulang dari rumah Azka, mereka berdua memutuskan menginap di rumah orang tua Evan. Mumpung weekend, pikir mereka.Dan karena kelelahan, keduanya langsung terlelap di kamar Evan setelah ritual bersih-bersih singkat."Udah ada banyak ART yang bantu Mama.""Ya tapi kan Mama masak kalo pagi, masa aku nggak bantuin.""Mama bakal lebih seneng kalo kamu melakukan sesuatu di pagi hari daripada bantuin Mama masak.""Apa?""Bikinin cucu untuk Mama."Hana mencibir niat terselubung Evan di balik kata-katanya."Beneran, kalo nggak percaya tanya sendiri ke Mama.""Masa yang begituan ditanyain ke Mama."Evan terkekeh melihat rona merah yang muncul di pipi Hana tanpa aba-aba. "Eh, Sayang, aku mau nanya sampe lupa. Kita udah dua bulan nikah, tapi ka
"Serius lo, Han?" Vio menatap Hana dengan rasa tidak percayanya.Hari sabtu itu, keduanya memutuskan untuk bertemu dan makan siang di Sop Konro Karebosi Kelapa Gading. Vio yang kebetulan baru saja bertemu klien di daerah Rawamangun mengajak Hana untuk makan siang bersama, dan beruntungnya dia, Azka sedang berkunjung ke rumah Evan dan Hana. Kalau tidak, mana mungkin Evan akan melepaskan Hana untuk keluar di hari sabtu tanpa dirinya."Gue udah nggak bisa bedain sih, antara belum bisa move on atau terobsesi.""Terobsesi sih kayaknya. Kalo belum bisa move on itu kayak lo selama ini ke Evan."Hana yang sedang menyesap es palubutung tiba-tiba saja tersedak mendengar kenyataan yang diutarakan Vio. Kenapa dia baru menyadarinya?"Bener kan?" ledek Vio. "Lo setelah jatuh cinta sama Evan, yang entah tahun kapan itu kejadiannya, sama sekali nggak berminat jalin hubungan sama orang lain karena perasaan lo cuma buat dia. Tapi kan bukan berarti lo jadi dengan nggak tau malunya deketin Evan atau beru
-Jamuan makan malam sebelumnya-Melinda menatap nanar kepergian Evan dari hadapannya. Bahkan setelah ia memohon dan merendahkan harga dirinya seperti itu pun, Evan tetap memilih kembali pada Hana.Pandangannya mulai berkabut, beberapa saat lagi orang tuanya tiba. Entah apa yang bisa dijadikannya sebagai alasan pembenaran ketidakhadiran Evan, orang yang sangat ingin ditemui orang tuanya.Bukan tanpa alasan orang tua Melinda mengupayakan segala cara untuk dapat datang di acara malam itu. Pasalnya Evan sudah tidak pernah lagi menyambangi kediaman mereka dan Melinda selalu saja berkilah ketika orang tuanya bertanya."Mel." Suara itu berhasil membuyarkan lamunan Melinda.Tepat beberapa menit setelah Evan menghilang dari pandangannya, orang tuanya yang malam itu mengenakan pakaian batik yang serasi, tiba di restoran."Evan mana?" Tak berbasa-basi, papanya langsung menanyakan calon menantu yang selalu dibanggakannya."Evan ... ada urusan, Pa," jawab Melinda sambil menunduk."Ikut Papa, ada y
"Sayang." Evan hanya bisa bernapas lega setelah memasuki kamar dan melihat Hana berada di teras kamar sambil memandangi view di depannya yang langsung menyajikan pemandangan laut. Setidaknya Hana benar-benar menunggunya dan tidak meninggalkannya pergi begitu saja karena marah."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Hana sengaja bertanya dengan satire. Ia benar-benar memosisikan diri sebagai asisten, seperti yang disebutkan Evan sebelumnya. Tidak lebih dari tiga detik Hana menatap Evan dan detik selanjutnya ia kembali menatap lautan. Melihat lautan jauh lebih menenangkan untuknya saat ini daripada menatap suami yang hanya mengakuinya sebagai asisten.Tanpa berkata apa-apa lagi, Evan memeluk istrinya dari belakang, mencoba menyampaikan permintaan maaf melalui gesture-nya. Lebih dari semenit Evan menunggu Hana berbicara, tapi tak juga mendengar sepatah kata pun dari bibir manis yang selalu digilainya itu."Maaf. Mau denger penjelasanku?"Hana mengangguk. "Tapi sambil duduk, aku nggak mau kamu
"Han, udah bangun?"Hana memang sudah bangun sejak sekitar setengah jam sebelumnya. Karena ia masih merasakan pening walau tidak separah sebelumnya, Hana memilih duduk sambil bersandar pada headboard ranjang."Kok kamu udah balik?"Evan tidak menjawab pertanyaan istrinya dan memilih membuka kemejanya hingga menyisakan kaos yang mencetak bentuk tubuhnya. "Kamu udah makan?""Belum, tapi udah pesen tadi, nunggu dateng."Evan mendekat pada istrinya, memegang kening istrinya yang tentu saja dalam suhu normal, karena sebelum pergi pun suhu tubuh istrinya normal, hanya pusing tiba-tiba itu yang membuat istrinya mengeluh."Pusingnya gimana?" tanya Evan sambil ikut masuk ke dalam selimut dan duduk di samping Hana, bersandar pada headboard ranjang, dengan tangannya yang terulur ke belakang tengkuk Hana untuk membuat wanita itu bersandar padanya."Udah nggak sepusing tadi. Tinggal sisanya aja dikit.""Ke dokter aja yuk, mumpung masih belum terlalu malam."Hana menghela napas berat. "Buat nyusul
Hana tampaknya harus banyak-banyak bersyukur. Dua hari menghabiskan waktu di Lombok, Melinda sama sekali tidak bertingkah. Pun begitu dengan suaminya yang kini jangankan menggodanya dengan mendekati Melinda, setiap Evan dan Melinda dalam ruangan atau forum yang sama, Evan selalu menjaga jaraknya.Evan dan Hana bahkan sempat menghabiskan waktu berdua untuk berjalan-jalan di beberapa pantai yang berada di daerah Lombok Selatan, sebagai pengganti honeymoon yang sampai saat itu belum juga terlaksana."Mas, aku nggak ikut makan di resto ya, badanku nggak enak, nanti aku pesen makanan ke kamar aja." Hana memijat pelipisnya karena kepalanya mendadak pusing setelah mereka pulang dari lokasi proyek.Evan yang semula berniat untuk mandi, membatalkan niatnya dan duduk di samping istrinya, menggantikan tangan Hana untuk memijat pelipisnya. "Pusing banget? Masuk angin ya? Mau ke dokter?"Hana mengernyitkan keningnya setiap sakit di kepalanya terasa menyiksanya. "Kayaknya kepanasan tadi di lokasi p
Seperti de javu, Evan dan Hana berada di bandara, dengan Arfindo dan Melinda yang sudah menunggu mereka di dekat area check in."Kalo penganten baru tu emang lengket gini terus ya?" tanya Arfindo sambil menggeleng-gelengkan kepala."Cobain aja sana, biar tau rasanya nggak bisa jauh sama istri," balas Evan."Ck! Kamu nggak risih Han dikekepin terus sama Evan?""Nggak lah, masa dikekepin suami risih.""Shit! Paket lengkap banget suami istri ini," umpat Arfindo.Bukan tanpa alasan Arfindo sejak awal menyindir kemesraan mereka. Ia hanya ingin membuka mata Melinda kalau kesempatan untuknya sudah tertutup, dengan cara yang lebih halus.Sayangnya, Melinda tidak acuh dengan apa yang sedang diusahakan Arfindo. Ia juga tidak ingin melihat pemandangan mesra yang tersaji di depannya. Jadilah yang dilakukannya hanya bermain ponsel dan menyesap kopi dari cup berlogo sebuah merk franchise coffee shop yang terkenal yang berada di tangannya."Kalian mau duluan masuk ke ruang tunggu? Gue mau nemenin Ha
Dengan perlahan, Evan mendorong Hana ke dinding setelah mengunci pintu kamar.Kepulangan mereka di siang hari tentu saja membuat dua ART di rumah mereka kebingungan. Tapi melihat keduanya yang tergesa masuk ke kamar dan mengunci pintu, kedua ART mereka hanya bisa mengulum senyum.Tangan Evan bergerak cepat membuka blazer yang dikenakan Hana dan menjatuhkannya ke dekat kakinya. Begitu juga dengan blouse tanpa lengan dan celana panjang yang dikenakan istrinya. Ia seperti sudah terlatih menanggalkan itu semua dalam waktu singkat.Sementara Hana masih berkutat dengan kancing baju suaminya yang sialnya terasa sangat sulit dilepaskan karena tangannya yang bergetar.Evan menikmati waktunya, membiarkan istrinya berlatih menanggalkan pakaiannya. Ia tersenyum simpul sambil memandang lantai tempat baju Hana berserakan. Istrinya tidak akan mengomel di tengah pemanasan mereka hanya karena Evan meletakkan baju sembarangan kan?Napas keduanya yang tersengal menjadi bukti betapa mereka merindukan sat