"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya.
"Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya.
"Saya mau print out-nya," desak Evan.
Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan.
"Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.
Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama.
"Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.
Evan mendengkus kesal. "Sialan! Dia ngatain gue moody!" umpatnya setelah Hana meninggalkan ruangannya.
Evan meletakkan kembali print out yang diberikan Hana karena memang sebenarnya dia sudah membaca bahan meeting dengan Direktur Strategi Pemasaran via email yang dikirimkan Hana, ia hanya ingin mengerjai Hana saja.
Setengah jam kemudian, Hana mengetuk kembali ruangan Evan dan mengingatkannya untuk segera bersiap karena Direktur Strategi Pemasaran pun sudah menuju ruang rapat.
Evan dengan langkah lebarnya berjalan di depan, dengan Hana yang mengekorinya beberapa langkah di belakang. Begini lah posisi yang seharusnya menurut Evan. Seorang bawahan harusnya berdiri beberapa langkah di belakang atasan.
Indra, Direktur Strategi Pemasaran tiba hampir bersamaan dengan Evan. Evan yang sudah pernah bertemu dengan lelaki paruh baya itu menjabat tangannya sebelum mengambil posisi duduk. Yang tidak disangkanya, Indra menyempatkan untuk berbasa-basi dengan Hana. Evan bisa melihat ada rasa tidak nyaman dari Hana tapi wanita itu bisa menguasai keadaan dengan baik, tanpa membuat Indra marah atau merasa canggung.
Meeting yang berlangsung sekitar dua jam itu membuat Evan sedikit pusing dan ingin segera kembali ke dalam ruangannya. Sebelum ia beranjak, Evan masih sempat mendengar Indra mengatakan sesuatu pada Hana.
"Han, nanti kalau ada yang perlu diklarifikasi dari divisi saya, langsung kontak saya ya."
Hana tersenyum tipis lalu menjawab, "Nanti saya kontak Mbak Sita, Pak. Kan nggak mungkin saya ganggu kesibukan Pak Indra."
Indra kemudian terkekeh karena lagi-lagi mendapat penolakan secara halus dari Hana.
‘Murahan’.
Itu yang dipikirkan Evan saat melihat Hana masih bisa melemparkan senyumnya pada pria paruh baya yang seumuran ayahnya dan jelas-jelas sejak tadi menggodanya.
Hana melirik jam tangannya yang sudah menunjuk pukul empat sore. Sudah saatnya pulang, tapi Evan belum juga keluar dari ruangannya. Hana menimbang-nimbang apakah dirinya perlu izin terlebih dulu atau tidak. Apakah izin pulang masuk kriteria yang bagi Evan menjadi alasan pembenaran untuk Hana mengetuk ruangan Evan?
Tapi Hana juga yakin Evan akan mengamuk kalau ia tidak menemukan Hana stand by di tempatnya saat ia membutuhkan sesuatu.
Setelah menghela napas beberapa kali, dengan keengganan maksimal, Hana akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu ruang kerja Evan.
"Saya izin pulang ya, Pak, udah jam empat," ucap Hana.
Tanpa mendongak dari layar komputernya, Evan berdecak kasar. "Asisten mana yang pulang duluan sementara atasannya masih berkutat dengan kerjaan?"
"Hari ini saja, Pak. Saya minta izin pulang lebih dulu dari Pak Evan. Saya ada acara."
"Sama siapa?" tanya Evan yang kini menatap Hana dengan penasaran. "Sama Direktur Wasesa Group? Atau Direktur Strategi Pemasaran Cakrawangsa? Wah, kamu pasti sombong ya, bisa deket sama orang-orang penting."
Mendengar ucapan Evan yang kentara sekali menyiratkan ejekan, membuat Hana mengepalkan tangannya. "Van, aku bener-bener harus pulang cepet."
"Ini di kantor, bukannya kita udah sepakat, kita harus menghormati jabatan masing-masing. Rasanya nggak enak kamu manggil saya hanya dengan nama."
Hana mencoba mengatur deru napasnya yang sudah mulai tidak teratur. Ingin rasanya ia menarik kerah baju lelaki di hadapannya itu dan menamparnya dengan keras.
"Saya masih baru di sini, masih banyak yang perlu saya pelajari. Kamu harus stand by."
Tanpa menjawab ucapan Evan, Hana berlalu dan membanting pintu ruangan Evan dengan cukup kencang. Ia harus menemukan tempat lain di mana tidak ada orang yang melihatnya, saat ini sudut matanya telah basah, air matanya hampir tumpah, dan ia tidak ingin seorang pun melihatnya, terutama Evan.
Hana masuk ke dalam bilik kamar mandi. Untung saja sebagian besar pegawai sudah pulang, jadi ia bisa sedikit berlama-lama di dalam bilik kamar mandi itu untuk menuntaskan tangisnya.
Ia tidak akan memohon pada Evan seandainya hari itu bukan hari spesial untuknya.
Belasan tahun ia merayakan hari spesial itu seorang diri dan kini ia terpaksa melewatkan hari spesial itu.
"Selamat hari lahir, Ma. Maaf hari ini Hana nggak bisa masakin makanan kesukaan Mama," ucapnya lagi sambil menahan tangis.
Setiap tahunnya Hana selalu melewatkan dua hari terpenting di hidupnya untuk melakukan hal-hal yang disukai ayah dan mamanya. Pertama, hari lahir mamanya, dan kedua, hari lahir ayahnya. Di dua hari spesial itu, Hana akan masak makanan kesukaan ayah dan mamanya, kemudian melihat-lihat lagi album foto keluarganya beserta video-video yang direkam ayahnya semasa hidup.
Hana kembali ke mejanya setelah berhasil menghilangkan jejak-jejak tangisnya. Beberapa pegawai yang hendak pulang menyapanya saat melihat Hana masih berkutat di depan komputer.
Hana mendengkus kesal, setelah berjam-jam ia duduk di kursinya, tidak sekali pun Evan memanggilnya. Lalu untuk apa dia duduk di sana dan melewatkan hari lahir mamanya.
***
"Azka, anterin ini ke apartemen Hana!" perintah Rimbi pada anaknya.
Rimbi, yang merupakan kakak dari Letta—mama Evan—dan juga sahabat dari almarhumah Shanti—almarhumah mama Hana—tahu pasti kalau Hana akan menyendiri di apartemennya seperti biasanya. Kalau ada segelintir orang yang masih mengingat hari lahir Shanti, itu adalah Rimbi dan Letta.
Azka tiba-tiba teringat hari lahir almarhumah mama dari Hana setelah mamanya menyerahkan paper bag yang berisi satu kotak saus daging lada hitam dan dua toples nastar untuk diberikan pada Hana. "Hari lahir Tante Shanti ya, Ma?"
Rimbi mengangguk.
"Ya udah, aku anterin dulu," Azka kemudian pamit pada mamanya dan segera melajukan mobilnya menuju apartemen di kawasan Kuningan.
Saat Azka tiba di parkiran apartemen Hana, waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Azka yakin Hana sudah berada di apartemennya, karena itu Azka langsung turun dari mobil dan menunggu Hana di lobby sembari ia mencoba menelepon Hana.
"Halo, Ka," sapa Hana saat menyadari siapa yang meneleponnya.
"Turun gih Han, aku di lobby, Mama nyuruh aku nganterin sesuatu buat kamu."
"Lobby? Lobby apartemen?"
"Iya lah, lobby mana lagi?" Azka tergelak mendengar suara bingung dari Hana.
"Tapi aku masih di kantor, Ka. Kamu titipin aja ke penjaga di bawah ya."
"Hah? Kamu masih di kantor? Kamu nggak lupa hari ini hari apa kan?"
Terdengar helaan napas dari Hana. "Nggak, Ka. Lagi ada kerjaan aja," jawab Hana lirih.
"Ok, kalo gitu. Aku jemput kamu ke kantor." Setelah mengucapkannya, Azka langsung menutup teleponnya dan kembali menuju mobil dengan membawa tentengan dari mamanya. Ia agak yakin kalau Evan yang menahan hana di kantor hingga malam. Ia tahu bagaimana tabiat adik sepupunya. Karena itu, ia menghubungi orang lain untuk meminta bantuan.
"Halo, Tante."
"Kenapa, Ka?"
"Tante, Tante Letta inget kan hari ini hari apa? Tapi Hana masih ada di kantor, Tante."
"Hah? Hana masih di kantor? Evan memang belum pulang juga sih. Ya udah tante telepon Evan dulu biar nyuruh Hana pulang."
"Makasih ya, Tan. Ini aku lagi dalam perjalanan ke kantor Om Ares buat jemput Hana."
"Iya, iya, tante pastiin begitu kamu nyampe sana, Hana udah ada di lobby kantor."
***
Dering ponsel Evan membuat lelaki itu menghentikan apa yang dikerjakannya. "Iya, Ma? Aku masih di kantor."
"Mama tau. Suruh Hana pulang sekarang!" perintah Letta dengan nada dingin.
"Mama gimana sih, mana ada asisten pulang sebelum bosnya," jawab Evan sambil terkekeh.
"Evan! Hari ini hari lahir mamanya Hana. Yang dipunya Hana cuma kenangan sama mamanya. Mama nggak mau tau, kamu suruh Hana pulang sekarang juga!"
Evan terdiam setelah mendengar kata-kata mamanya, pantas saja tadi Hana membanting pintu saat ia tidak mengizinkannya pulang. Ia lantas merapikan barang-barangnya dan berniat pulang sekaligus menyuruh Hana pulang.
Saat keluar dari ruangannya, Evan menemukan Hana yang termenung di depan komputernya. "Han, kamu boleh pulang," ucapnya kemudian berlalu menuju lift.
Dalam beberapa detik saja, setelah mendengar ucapan Evan, Hana sudah berlari menuju lift dan beruntung, Evan masih menahan lift khusus VIP itu untuk Hana.
Tidak ada kata yang mampu diucapkan Hana, bahkan untuk sekadar berterima kasih, hatinya masih terlalu kesal dengan Evan, jadi ia memiliih diam.
"Mau kuanter?" tanya Evan.
"Nggak, makasih. Azka jemput aku," jawab Hana.
"Kamu mau ngapain memangnya?" tanya Evan penasaran. Apa yang harus dirayakan di hari lahir seseorang yang sudah tenang di alam lain?
"Harusnya aku bisa masakin makanan kesukaan mama, trus ngelihat album foto keluargaku, nonton video yang direkam ayahku. Aku cuma takut lupa sama orang tuaku. Kamu nggak tau rasanya takut ngelupain orang yang kamu sayang. Gara-gara kamu aku ngelewatin salah satu hari spesial dalam hidupku." Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, pintu lift terbuka dan Hana berlari menuju Azka yang sedang menunggunya.
"Han, ke ruangan saya!" perintah Evan melalui sambungan internal.Beberapa detik kemudian, Hana telah berdiri di hadapan Evan. "Ada apa, Pak?"Evan menelaah reaksi Hana. Apakah Hana masih marah padanya karena kejadian malam sebelumnya? Tapi rasa-rasanya ia tidak menemukan perbedaan berarti dari ekspresi Hana padanya. Tetap dingin."Saya nggak suka warna background power point yang kamu siapkan buat presentasi."Seriously? Warna background power point? Ingin rasanya Hana mengumpat. Hana selalu menggunakan warna netral dalam setiap presentasi yang ia siapkan, jadi ia harus mengganti dengan warna apa? Pink?"Pak Evan mau warna apa?""Terserah kamu. Pokoknya jangan ini.""Kalau terserah saya, mungkin saya akan ganti warna biru ini jadi pink atau merah darah. Pak Evan mau?"Evan mendesis kesal. Kenapa wanita di depannya itu selalu bisa membantahnya. Dan itu adalah hal yang paling dibencinya. "Ah udah lah. Nggak jadi.""Lah, labil!" gumam Hana yang ternyata didengar Evan."Kamu bilang apa b
Hana mengerjapkan matanya perlahan. Setelah matanya membuka sempurna, barulah Hana mengernyit bingung, pemandangan yang ada di depan matanya bukanlah dinding dan plafon kamarnya. Saat ia akan menggerakkan tangannya, sesuatu terasa menahan tangannya. Hana menoleh dan mendapati Azka yang tertidur di kursi yang ada di sebelah kasurnya sambil menggenggam tangannya."Udah bangun?" tanya Azka saat merasakan gerakan tangan Hana yang digenggamnya."Hmm ...." Hana hanya menjawabnya dengan gumaman. Kemudian ia teringat sesuatu. "Tante Rimbi nggak tau kan kalo aku masuk rumah sakit? Tante Letta? Om Ares?""Kamu beruntung, mama papaku, Tante Letta sama Om Ares, semua lagi ke Jogja ke tempat Mbah, coba kalo mereka di sini, udah penuh ini kamar."Hana terkekeh dan berusaha untuk mengubah posisinya."Kamu butuh sesuatu? Aku panggiling dokter ya?"Hana menggeleng. Dari jam dinding yang ada di kamar itu, ia tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan pastinya psikiaternya sudah tidak b
Vio kemudian menatap Hana, seakan meminta Hana mempertimbangkannya."Aku bakal ngasih tau orang tuaku apa yang terjadi kalau kamu nggak pulang ke rumah," ancam Evan.Hana menghela napas, lantas tersenyum sambil memegang tangan Vio. "Gue ke Menteng aja, nggak apa-apa.""Yang ada bukannya sembuh, malah makin parah," gumam Vio yang ternyata didengar Evan dan membuahkan cibiran dari Evan.***Hana berusaha memejamkan mata sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Evan. Berbicara dengan Evan adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkannya saat ini.Tapi sepertinya Evan tahu kalau Hana tidak benar-benar sedang tidur. "Aku nyuruh kamu tidur di rumah karena nggak pantes buat seorang cewek tidur di rumah laki-laki yang bukan keluarga," ucap Evan tiba-tiba. "Ayah sama Mama pasti juga bakal ngelarang kalau tau."Hana terpaksa membuka matanya. Keningnya berkerut memikirkan ucapan Evan. "Kita juga bukan keluarga by the way." Hana mendengkus kesal. "Aku udah nggak punya keluarga." Entah kenapa
"Hana nginep di sini, Van?" tanya Azka begitu memasuki kamar Evan.Azka yang baru tahu kalau Hana sudah keluar dari rumah sakit, langsung menghubungi Hana untuk menanyakan keadaannya. Saat Azka menawarkan diri ke apartemen wanita itu untuk membawakan apa yang dia butuhkan, tiba-tiba saja Hana berkata kalau dirinya menginap di Menteng.Karena ucapan Hana itu, Azka langsung mengarahkan mobilnya menuju Menteng di mana rumah om dan tantenya berada."Iya, Mas."Terlihat ekepresi lega dari Azka. Bagaimana pun juga, seruwet apa pun hubungan Evan dan Hana, Azka tentunya merasa lebih tenang kalau Hana tidak sendirian di apartemen."Kok mau? Biasanya kalo abis kambuh dia ngeyel buat tinggal di apartemen.""Aku ancem ngasih tau Mama sama Ayah."Azka mengangguk mengerti. "Dia udah minum obat?""Aku nggak ngecek, cuma pas tadi siang aja.""Ya udah, aku ke kamar dia dulu buat ngecek."Azka keluar dari kamar Evan, menaiki undakan tangga menuju kamar Hana. Yang tidak disadarinya, ternyata Evan mengik
"El, temen Kakak mau ke sini boleh?" tanya Hana pada Elga yang belum mau pergi dari kamar Hana karena khawatir.Hana tahu diri, meskipun ia sudah tinggal bertahun-tahun di rumah sebelum ia memutuskan tinggal sendiri di apartemen, tetap saja itu bukan rumahnya dan ia selalu meminta izin jika akan ada temannya yang datang, dari dulu selalu begitu, pun sekarang, tidak ada yang berubah."Boleh lah, Kak. Kenapa mesti nanya sih. Ini kan rumah Kak Hana juga."Hana tersenyum melihat Elga yang menjawabnya sambil asik menonton salah satu series di salah satu layanan streaming berbayar. Ia lantas membalas pesan Vio yang masuk belum lama ke ponselnya.Hana: Ok, Vi. Ke sini aja."Emang siapa Kak yang mau ke sini?" Mata Elga tertuju pada layar, tapi ia masih bisa membagi fokusnya dengan bertanya pada Hana."Vio.""Oh, Kak Vio." Elga memang sudah mengenal Vio dari dulu karena Vio adalah teman Hana yang paling sering datang ke rumah itu. Sepertinya hampir semua keluarganya mengenal Vio, kecuali Elaks
“Hana, kamu kok nggak bilang kalo sakit?” tanya Letta yang langsung menuju kamar Hana setelah mendapat informasi perihal sakitnya Hana dari Azka. “Kan Tante udah bilang, kalo ada apa-apa langsung hubungi Tante.”Hana tersenyum mendengar omelan dari wanita paruh baya yang dipanggilnya ‘Tante’ tapi dirasanya sebagai pengganti mamanya. “Kan di sini banyak yang jagain Hana, Tan.”Letta mendengkus, memang banyak yang menaruh perhatian pada Hana, buktinya Azka sampai menginap di rumahnya, dan di kamar Hana ada dua orang yang juga selalu mengkhawatirkan Hana, Vio dan Ibra. “Vio, Ibra, apa kabar? Lama nggak main ke sini?”“Baik Tante.” Keduanya menjawab bersamaan dan mengulurkan tangan untuk menyapa Letta dengan sopan.“Hana udah minum obat?” tanya Letta lagi. Dia tahu pasti dokter Erlin memberi Hana obat yang harus diminum selama beberapa waktu setelah PTSD-nya kambuh.“Yang pagi udah, Tan. Nanti yang siang kan setelah makan siang.”“Kamu lagi pengen makan sesuatu nggak? Tante bikinin ya,” t
Evan mendengkus kesal. Kenapa tidak ada satu pun orang yang mempercayainya? Saat menatap ayahnya yang sedang menyesap kopi di depannya, barulah ia ingat sesuatu yang pernah ingin disampaikannya, namun kesempatannya selalu tidak tepat.“Yah, Ayah kan paling anti sama perjodohan. Kenapa sekarang Ayah kesannya kayak ngebiarin Mama jodohin aku sama Hana? Ayah nggak bisa bantu aku buat ngubah keputusan Mama?”Ares menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Ya, ia memang menentang yang namanya perjodohah. Karena itu, ia tidak pernah berniat untuk mencarikan anak-anaknya jodoh apalagi demi urusan bisnis.“Ayah sama Mama bukan lagi jodohin kamu, Van. Ayah sama Mama lagi ngajarin kamu arti kata tanggung jawab. Kamu udah tidur sama Hana, apa nggak ada keinginan dari kamu buat bertanggung jawab? Apa ini hasil yang Ayah sama Mama ajarkan ke kamu?”Evan terdiam, ia belum pernah melihat raut kekecewaan dari ayahnya selama ini. Pun saat ia memilih menjalankan bisnis kecil-kecilannya sendiri,
Hana berdiri dengan resah saat akan berangkat ke kantor. Di dekatnya, Evan dan ayahnya sama-sama sedang bersiap. Tapi Hana tahu kalau masing-masing dari mereka akan membawa mobil sendiri untuk mempermudah mobilitas. Lalu ia harus ikut siapa? Sementara mobilnya sendiri ada di apartemen.Dulu, saat ia menjadi asisten Ares, jelas ia akan ikut mobil Ares. Tapi kini ia adalah asisten Evan. Dan yang lebih mengesalkan baginya, ia tidak punya keberanian untuk meminta tumpangan kepada Evan. ‘Apa pesen taksi online aja ya? Atau naik KRL aja?’ batinnya bingung.“Yah, ini kopinya.” Letta muncul dari pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah dengan membawa tumbler berisi kopi kesukaan suaminya.Ares mengucapkan terima kasih kemudian mengecup singkat puncak kepala istrinya sebelum ia melangkah ke dalam mobil.“Hana, sana, kok kamu masih bengong,” ucap Letta.Belum sempat Hana menjawab, Ares menimpali ucapan istrinya. “Hana kan sekarang asistennya Evan. Ya Hana sama Evan lah, Ma.”“Oh iya
Hana berjalan keluar dari kamarnya sambil mengusap mata saat bel apartemennya berbunyi nyaring. Dengan malas ia membuka pintu apartemennya, bahkan lupa bertanya siapa yang ada di depan pintu dan mengusik tidurnya.“Baru bangun?”Hana membelalakkan mata saat menatap Evan yang sudah rapi berdiri santai di depan pintu unit apartemennya. Oh, ralat, apartemen Ares, ayahnya Evan sendiri.“Kamu ngapain ke sini pagi-pagi?”“Disuruh Mama nganterin sarapan buat kamu sekalian sarapan bareng.”Hana masih berbicara dengan Evan dari sela pintu, belum memberikan akses lebih agar Evan bisa masuk. “Jangan ngada-ngada ah.”Evan lantas mengangkat tote bag berisi beberapa kotak makan yang memang tadi disiapkan mamanya. “Telepon Mama aja kalo nggak percaya.”Melihat raut wajah Evan yang sepertinya tidak berbohong, Hana membuka pintu lebih lebar, memberikan ruang agar Evan bisa masuk ke dalam apartemen.Hana tidak mengacuhkan keberadaan Evan dan memilih duduk di sofa. Sepertinya nyawanya belum benar-benar
Evan membuka laptopnya, menunggu e-mail masuk dari Ndaru yang akan mengirimkan file apk yang harus di-install-nya untuk bisa mengakses data di laptop milik Hana.E-mail dari Ndaru datang tidak lama kemudian. Ia menginstall file apk itu dengan langkah-langkah yang sudah disertakan Ndaru dalam e-mail-nya.Finished.Evan bernapas lega setelah mengklik sebuah kotak bertuliskan 'finished' yang menandakan aplikasinya siap ia gunakan. Ia hanya perlu menunggu Hana untuk menyalakan laptopnya.Ia berdiam diri di depan layar laptopnya selama sepuluh menit. Karena sepertinya Hana belum juga menyalakan laptopnya, Evan memilih mandi untuk menyegarkan badannya.Evan tidak bisa menikmati prosesi mandinya. Ia terlalu penasaran dengan apa yang akan ia temukan di dalam data yang ada di laptop Hana. Karena itu, dalam waktu sepuluh menit, ia sudah kembali mematung di depan layar laptopnya.-Access opened-Evan hampir saja berteriak saat mendapatkan notifikasi itu di layar laptopnya.Segera ia membuka fold
Tangan Evan menutup cepat aplikasi yang akhirnya selesai di-install-nya. Evan berusaha menguasai diri, mencari jawaban terbaik yang tidak akan membuat Hana curiga. “Sorry, aku numpang ngirim e-mail.”Hana mendelik kesal. “Ya kan bisa izin dulu, Van.”“Aku udah izin, kamu aja yang nggak denger, keasikan mandi ya.”“Mana ada? Aku nggak denger kamu izin ke aku.”Evan bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Hana, merapikan anak rambutnya yang masih basah dan berantakan. “Kamu nggak denger, Han.” Bukan pertanyaan yang disampaikan Evan, melainkan pernyataan, untuk meyakinkan Hana kalau ia lah yang tidak mendengar saat Evan meminta izin menggunakan laptopnya.“Kalo nggak percaya, kamu tanya Ribka besok. Tadi aku e-mail ke dia revisi laporan yang dia bikin waktu kamu sakit.”Hana terdiam, baginya masih ada yang mengganjal. “Kan bisa besok, harus banget jam segini ngirimnya?”“Ya kan mumpung aku inget, padahal ini udah mau kukirim dari tadi pagi, malah lupa. Makanya aku ngirim sekarang mum
“Van, ini terlalu berisiko.”“Kamu pasti paham kan, Han, yang namanya high risk high return?” balas Evan.Siang itu, Hana mengantarkan proposal yang dibuat oleh Tim II yang ada di Divisi Pengembangan Usaha. Hana telah menyusun pro kontra dari proposal itu untuk diperiksa Evan. Ia tidak akan melakukannya kalau proposal yang diberikan dari beberapa Tim yang ada di bawah Evan cukup rasional.“Tapi ini bukannya high risk high return lagi, Van. Ini tuh too good to be true.”“Ya udah, nanti saya pelajari lagi. Tapi setelah nanti saya bikin keputusan, itu final ya, nggak bisa diubah lagi.”Hana mengacak rambutnya dengan frustasi. “Aku akan bilang ke Om Ares kalo proposal semacam ini kamu lolosin.”Evan berdiri dari duduknya. Ia melangkah ringan ke arah Hana yang duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Ia lantas menunduk, kedua tangannya meraih pinggiran kursi dan memutar kursi yang diduduki Hana agar menghadapnya.“Kenapa? Kamu takut aku berhasil menunjukkan kemampuanku?”Wajah Evan yan
“Sore, Yah,” ucap Evan setelah membuka pintu ruang kerja ayahnya.“Masuk, Van. Eh, Hana ikut juga.”“Evan yang minta ikut, Om. Aku balik aja nggak apa-apa sih, masih banyak yang mesti kukerjain.”“Di sini aja, Om cuma mau ngobrol yang enteng-enteng aja kok.”Evan mendelik kesal ke arah Hana.Hana membalas tatapan Evan dengan bingung. “Kenapa?”“Katamu kalau sama Ayah di kantor kamu tetep pake panggilan resmi meskipun cuma berdua.”Hana terdiam. Toh sudah ketahuan kalau ia bohong.Ares terkekeh. “Mana ada. Kalo lagi nggak ada orang lain, ya manggil biasa aja kayak di rumah.” Ia kemudian mengajak Evan dan Hana duduk di sofa yang ada di tengah ruangannya. “Gimana kerjaan, Van?”“Yah, so far sih masih bisa handle, Yah. Lagian Hana ngebantuin banget kok.” Evan melirik ke arah Hana yang terlihat menegang setelah ia mengucapkannya.“Hana memang nggak perlu diragukan lagi kerjanya, Van. Itu lah dulu yang bikin Ayah sama ayahnya Hana bisa handle perusahaan ini. Ayahnya Hana itu cerdas dan bert
Mata Hana masih membuka sempurna, terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan Evan. ia mendorong Evan sekuat tenaganya dan untungnya berhasil.Setelah Evan mundur, sekilas Hana melihat Evan yang mengangkat salah satu sudut bibirnya seakan tersenyum.Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Evan. Tidak terlalu keras memang, karena Hana mengontrol tenaganya. Andai yang melakukannya orang lain, mungkin Hana akan mengerahkan semua tenaganya.Tanpa berkata apa-apa lagi, Hana melangkah keluar dari ruangan Evan.Hana memejamkan mata sambil mengatur napasnya sesaat setelah ia menutup pintu ruangan Evan.Tina—cleaning service—yang mengamati tingkah Hana mengernyitkan dahi karena bingung. “Mbak Hana kenapa? Kok mukanya merah banget?”“Nggak apa-apa, agak gerah aja.” Menyadari keberadaan Tina yang tak jauh darinya, membuat Hana melenggang anggun menuju mejanya, seakan-akan tidak ada yang terjadi.“AC ruangan Pak Evan kurang dingin ya, Mbak? Apa perlu minta orang AC buat dateng Mbak?”“Nggak usah. Pak
Ibra: Han, aku udah di parkiran ya.Hana: Ok, aku turun Bang.Hana melirik pintu ruangan Evan yang belum terbuka lagi sejak Evan membantingnya. ‘Ah udah lah, udah gede ini, bisa cari makan sendiri,’ batinnya.“Sorry, Bang. Lama ya nunggunya? Liftnya suka rame kalo jam istirahat,” ucapnya begitu memasuki mobil yang dikendarai Ibra.“Nggak kok. Ready? Mau makan di mana?”Hana melirik Ibra takut-takut. “Junk food boleh nggak?”Ibra balas melirik Hana sambil mulai menekan pedal gasnya. “Kamu beneran pengen junk food? Nggak bisa diganggu gugat?”“Sebenernya aku pengen waffle ice cream-nya.”“Ya udah kalo gitu. Yang penting sarapan sama makan malammu makanan sehat kan?” Ibra memastikan sekali lagi, walaupun sebenarnya masa pemulihan Hana ini tidak ada hubungannya dengan kondisi fisik, karena yang harus dipulihkannya adalah kondisi mentalnya.“Jelas makan sehat lah, Bang. Kan di rumah Tante Letta.”“Oh iya bener. Kamu kapan balik ke apartemen?”“Belum nanya lagi bolehnya kapan. Sebenernya ak
Hana berdiri dengan resah saat akan berangkat ke kantor. Di dekatnya, Evan dan ayahnya sama-sama sedang bersiap. Tapi Hana tahu kalau masing-masing dari mereka akan membawa mobil sendiri untuk mempermudah mobilitas. Lalu ia harus ikut siapa? Sementara mobilnya sendiri ada di apartemen.Dulu, saat ia menjadi asisten Ares, jelas ia akan ikut mobil Ares. Tapi kini ia adalah asisten Evan. Dan yang lebih mengesalkan baginya, ia tidak punya keberanian untuk meminta tumpangan kepada Evan. ‘Apa pesen taksi online aja ya? Atau naik KRL aja?’ batinnya bingung.“Yah, ini kopinya.” Letta muncul dari pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah dengan membawa tumbler berisi kopi kesukaan suaminya.Ares mengucapkan terima kasih kemudian mengecup singkat puncak kepala istrinya sebelum ia melangkah ke dalam mobil.“Hana, sana, kok kamu masih bengong,” ucap Letta.Belum sempat Hana menjawab, Ares menimpali ucapan istrinya. “Hana kan sekarang asistennya Evan. Ya Hana sama Evan lah, Ma.”“Oh iya
Evan mendengkus kesal. Kenapa tidak ada satu pun orang yang mempercayainya? Saat menatap ayahnya yang sedang menyesap kopi di depannya, barulah ia ingat sesuatu yang pernah ingin disampaikannya, namun kesempatannya selalu tidak tepat.“Yah, Ayah kan paling anti sama perjodohan. Kenapa sekarang Ayah kesannya kayak ngebiarin Mama jodohin aku sama Hana? Ayah nggak bisa bantu aku buat ngubah keputusan Mama?”Ares menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Ya, ia memang menentang yang namanya perjodohah. Karena itu, ia tidak pernah berniat untuk mencarikan anak-anaknya jodoh apalagi demi urusan bisnis.“Ayah sama Mama bukan lagi jodohin kamu, Van. Ayah sama Mama lagi ngajarin kamu arti kata tanggung jawab. Kamu udah tidur sama Hana, apa nggak ada keinginan dari kamu buat bertanggung jawab? Apa ini hasil yang Ayah sama Mama ajarkan ke kamu?”Evan terdiam, ia belum pernah melihat raut kekecewaan dari ayahnya selama ini. Pun saat ia memilih menjalankan bisnis kecil-kecilannya sendiri,