"Selamat pagi, Pak," ucap Hana sambil menunduk singkat saat melihat Evan melewati mejanya untuk masuk ke dalam ruangan.
Evan tidak menjawab sapaan Hana, bahkan melemparkan senyuman pun tidak.
Hana mengoceh tanpa suara melihat kelakuan Evan padanya.
"Mbak Hana kenapa?" tanya seorang cleaning service yang bertugas membersihkan lantai itu saat melihat mulut Hana komat-kamit.
Hana mencebik kesal. "Tuh, bos songong," jawabnya singkat.
"Oh, bos yang baru ya, Mbak? Anaknya Pak Ares? Masa sih songong, Mbak? Pak Ares baik banget loh."
"Nggak semua buah jatuh deket pohonnya, Mbak. Kali aja buahnya sebelum jatuh ke tanah udah kesundul sama jerapah, trus nggelundung jauh," jawab Hana asal.
Cleaning service bernama Tina itu terbahak mendengar gerutuan Hana di pagi hari. "Tapi ganteng, Mbak. Wajar songong."
"Ih." Hana makin berdecak kesal mendengar pujian Tina terhadap Evan. "Teori dari mana itu?"
Mengabaikan Tina yang masih mengelap dispenser sambil terkekeh, Hana memilih mengetuk pintu ruangan Evan untuk memberitahukan jadwal Evan hari itu.
Setelah beberapa kali ketukan dan terdengar suara Evan mempersilakan, baru lah Hana masuk. Dengan tab yang ada di tangannya, Hana mulai menjelaskan jadwal Evan. "Hari ini Pak Evan harus briefing sama pegawai Divisi Pengembangan Usaha. Setelah makan siang meeting dengan Divisi Strategi Pemasaran."
Evan melirik Hana sekilas. "Han, mamaku nanyain masalah pernikahan kita lagi. Kapan sih kamu mau jujur kalo kita nggak ngelakuin apa-apa?" sembur Evan tiba-tiba.
Hana yang semula menatap tab-nya, kini mengalihkan pandangannya pada Evan.
"Kamu seyakin itu kalo kita nggak ngelakuin apa-apa malam itu?"
Evan menatap Hana dengan tatapan tidak percaya. Dia ingat saat pagi itu Hana mengatakan pada mamanya kalau mereka tidak melakukan apa pun. Apa memang dia melakukan sesuatu pada Hana?
"See? Kamu sendiri aja nggak yakin apa yang udah kita lakukan. Gimana Tante Letta bisa yakin. Apalagi waktu itu Tante Letta ngelihat ini." Hana lantas menarik kerah kemajanya sisi kanan hingga lehernya terekspos.
Evan membeku di tempat saat melihat bekas yang ... diciptakannya?
"Nggak mungkin aku yang ninggalin bekas itu!" ucap Evan kasar.
Dengkusan kembali keluar dari Hana. Ia yang tadinya ingin menolak permintaan Letta untuk menikah dengan Evan, kini justru ingin mengiakan. 'Calm down Han, inhale ... exhale ....’ perintahnya pada diri sendiri.
"Bukan kewajibanku untuk bikin kamu percaya. Jam sepuluh di ruang meeting lantai ini." Hana mengingatkan sekali lagi jadwal Evan, kemudian memilih berlalu dari hadapan Evan. Daripada emosinya naik saat hari masih pagi.
***
Pagi itu, Evan memimpin briefing untuk semua stafnya setelah membaca bahan yang disiapkan Hana. Harus diakuinya, apa yang dikerjakan Hana memang nyaris sempurna. Pantas saja ayahnya mengangkat Hana sebagai asisten.
Bahan meeting yang disiapkan Hana cukup simple tapi menarik. Bahkan untuk Evan yang baru saja bergabung dengan Divisi Pengembangan Usaha, detail yang diberikan Hana bisa membantunya untuk memahami lebih cepat tugas dan fungsi divisi itu.
Tapi harga dirinya masih terlalu tinggi untuk mengucapkan 'terima kasih' pada wanita itu. 'Memang tugasnya kan?'
Hana mengetuk kembali ruangan Evan. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang dan Evan belum juga keluar dari ruangannya. Artinya, Hana yang harus menyiapkan makan siang untuk Evan. Hal ini yang dilakukan Hana saat dulu menjadi asisten Ares.
"Sudah jam makan siang, Pak. Pak Evan mau disiapkan apa?"
"Mulai detik ini, jangan masuk ruangan saya kalau bukan untuk urusan pekerjaan!" perintah Evan.
Hana terkesiap, tetapi beberapa detik kemudian bisa mengendalikan diri. "Baik, Pak," jawabnya singkat kemudian pergi dari ruangan Evan.
Kembali ke mejanya, Hana hampir saja menggebrak meja, andai tidak ingat kalau tidak jauh dari ruangannya, terdapat ruangan pegawai tata usaha, yang mungkin bisa mendengar apa yang dilakukannya.
Beruntung, getaran ponselnya membuat perhatian Hana teralihkan.
Ibra: Han, aku lagi meeting di deket Cakrawangsa
Ibra: Lagi sibuk nggak?
Ibra: Kalo lagi nggak sibuk, makan siang bareng yuk
Hana segera mengetikkan balasannya. Persetan dengan Evan yang tidak makan siang.
Hana: Nggak sibuk kok. Ketemu di mana, Bang?
Beberapa detik kemudian, balasan Ibra kembali muncul.
Ibra: Aku jemput kamu, udah di parkiran nih =)
Hana: Hah? Oke oke aku turun.
Hana menatap pintu ruangan Evan beberapa detik, kemudian membatalkan niatnya untuk izin keluar. "Katanya cuma urusan kerjaan kan baru boleh masuk ruangannya. Fine." Ia kemudian melangkah tergesa menemui Ibra yang sudah menunggunya.
Semula Hana berniat untuk menghampiri mobil Ibra yang sudah dihapalnya, walaupun ia harus mencari dulu di sebelah mana lelaki itu memarkirkan mobilnya, tapi Ibra melarangnya. Ibra meminta Hana untuk menunggu di lobby sementara Ibra akan menjemputnya di area drop off depan lobby.
"Hai, Bang," sapa Hana setelah masuk ke dalam mobil Ibra dan sibuk mengenakan safety belt. "Baru kelar meeting?"
"Iya."
"Emang nggak disediain makan siang di tempat meeting?"
"Disediain sih. Tapi pengen udon. Makanya ngajak kamu. Mau nggak makan udon?"
"Mau. Kan Bang Ibra tau aku pemakan segala. Nggak ngajak Vio?"
"Vio lagi ke Jakarta Utara, ketemu klien di sana. Keburu laper kalo nunggu dia."
Hana tersenyum mengerti. Ibra yang juga kakak dari sahabatnya ini selalu memperlakukannya layaknya adik sendiri. Kalau ia membelikan Vio suatu barang, pasti Hana juga dibelikannya. Kalau Vio tidak bisa menemaninya ke suatu tempat, pasti Hana yang akan diajaknya.
Bersama lelaki itu, Hana seperti memiliki kakak, rasanya mirip saat ia baru tinggal di kediaman Cakrawangsa, saat Evan memperlakukannya seperti adik, belasan tahun lalu.
"Bang, boleh mampir di Pooki Bbang dulu nggak?" pinta Hana saat mereka baru saja memasuki Kokas.
"Sekarang? Nanti kamu jadi kenyang, nggak makan udon dong."
"Nggak, aku makannya nanti di kantor kok. Beli sekarang aja mumpung lewat maksudku, daripada nanti mesti muter lagi."
"Ok, ok." Ibra menuruti permintaan Hana yang ingin menyantap cemilan asal Korea itu.
Setelahnya, baru lah keduanya menuju tujuan utama mereka.
"Kamu duduk aja, Han. Biar aku yang mesenin. Kayak biasa kan?" Ibra menghentikan langkahnya di depan salah satu restoran udon.
"Kasian Bang Ibra ngantri sendiri."
"Nggak apa-apa, kamu cari tempat aja. Kalo nggak gitu, kita malah nggak dapet tempat duduk."
Hana mengalah, mencari tempat duduk yang untungnya masih tersisa.
Sekitar lima belas menit kemudian, Ibra datang dengan membawa nampan berisi Niku Udon kesukaan Hana dan Abura Udon untuknya.
Hana sempat menatap lesu ke arah nampan karena tidak ada Kakiage kesukaannya. Ibra memperhatikan reaksi Hana lantas mengacak rambutnya. "Kakiagenya nanti dianter, habis tadi stock-nya, masih digoreng."
Senyuman langsung teruntai di bibir Hana. "Hampir aja aku mau jalan ke sana pesen sendiri."
Ibra hanya terkekeh melihat kelakuan Hana. "Ya nggak mungkin aku lupa sama kesukaanmu, Han."
"Laper banget, Bang? Kelamaan nungguin di Pooki Bbang tadi ya, maaf ya." Hana merasa bersalah karena membuat Ibra menunda laparnya demi menuruti kemauannya.
"Nggak apa-apa. Udah, kamu makan dulu."
Interaksi keduanya tidak luput dari tatapan dua orang yang menunggu di area waiting list karena kehabisan tempat untuk duduk di dalam restoran itu.
"Van, itu Hana bukan? Yang sama Hana itu bukannya Ibra, Direktur di Wasesa Group?" tanya Darel yang juga menjabat sebagai Direktur Keuangan di salah satu anak perusahaan Cakrawangsa.
Evan menoleh ke arah yang ditunjuk Darel. Matanya membulat sempurna menyaksikan pemandangan itu.
Bukan karena apa yang Hana lakukan dengan pasangan makan siangnya itu, melainkan karena sosok lelaki yang makan siang bersama Hana adalah Ibra Aji Wasesa, penerus Wasesa Group yang merupakan pesaing dari Cakrawangsa Group.
"Are you kidding me?" Asisten yang paling dipercayai ayahnya tengah makan siang dengan pesaing bisnis perusahaannya.
"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya."Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya."Saya mau print out-nya," desak Evan.Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan."Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama."Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.Evan mend
"Han, ke ruangan saya!" perintah Evan melalui sambungan internal.Beberapa detik kemudian, Hana telah berdiri di hadapan Evan. "Ada apa, Pak?"Evan menelaah reaksi Hana. Apakah Hana masih marah padanya karena kejadian malam sebelumnya? Tapi rasa-rasanya ia tidak menemukan perbedaan berarti dari ekspresi Hana padanya. Tetap dingin."Saya nggak suka warna background power point yang kamu siapkan buat presentasi."Seriously? Warna background power point? Ingin rasanya Hana mengumpat. Hana selalu menggunakan warna netral dalam setiap presentasi yang ia siapkan, jadi ia harus mengganti dengan warna apa? Pink?"Pak Evan mau warna apa?""Terserah kamu. Pokoknya jangan ini.""Kalau terserah saya, mungkin saya akan ganti warna biru ini jadi pink atau merah darah. Pak Evan mau?"Evan mendesis kesal. Kenapa wanita di depannya itu selalu bisa membantahnya. Dan itu adalah hal yang paling dibencinya. "Ah udah lah. Nggak jadi.""Lah, labil!" gumam Hana yang ternyata didengar Evan."Kamu bilang apa b
Hana mengerjapkan matanya perlahan. Setelah matanya membuka sempurna, barulah Hana mengernyit bingung, pemandangan yang ada di depan matanya bukanlah dinding dan plafon kamarnya. Saat ia akan menggerakkan tangannya, sesuatu terasa menahan tangannya. Hana menoleh dan mendapati Azka yang tertidur di kursi yang ada di sebelah kasurnya sambil menggenggam tangannya."Udah bangun?" tanya Azka saat merasakan gerakan tangan Hana yang digenggamnya."Hmm ...." Hana hanya menjawabnya dengan gumaman. Kemudian ia teringat sesuatu. "Tante Rimbi nggak tau kan kalo aku masuk rumah sakit? Tante Letta? Om Ares?""Kamu beruntung, mama papaku, Tante Letta sama Om Ares, semua lagi ke Jogja ke tempat Mbah, coba kalo mereka di sini, udah penuh ini kamar."Hana terkekeh dan berusaha untuk mengubah posisinya."Kamu butuh sesuatu? Aku panggiling dokter ya?"Hana menggeleng. Dari jam dinding yang ada di kamar itu, ia tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan pastinya psikiaternya sudah tidak b
Vio kemudian menatap Hana, seakan meminta Hana mempertimbangkannya."Aku bakal ngasih tau orang tuaku apa yang terjadi kalau kamu nggak pulang ke rumah," ancam Evan.Hana menghela napas, lantas tersenyum sambil memegang tangan Vio. "Gue ke Menteng aja, nggak apa-apa.""Yang ada bukannya sembuh, malah makin parah," gumam Vio yang ternyata didengar Evan dan membuahkan cibiran dari Evan.***Hana berusaha memejamkan mata sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Evan. Berbicara dengan Evan adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkannya saat ini.Tapi sepertinya Evan tahu kalau Hana tidak benar-benar sedang tidur. "Aku nyuruh kamu tidur di rumah karena nggak pantes buat seorang cewek tidur di rumah laki-laki yang bukan keluarga," ucap Evan tiba-tiba. "Ayah sama Mama pasti juga bakal ngelarang kalau tau."Hana terpaksa membuka matanya. Keningnya berkerut memikirkan ucapan Evan. "Kita juga bukan keluarga by the way." Hana mendengkus kesal. "Aku udah nggak punya keluarga." Entah kenapa
"Hana nginep di sini, Van?" tanya Azka begitu memasuki kamar Evan.Azka yang baru tahu kalau Hana sudah keluar dari rumah sakit, langsung menghubungi Hana untuk menanyakan keadaannya. Saat Azka menawarkan diri ke apartemen wanita itu untuk membawakan apa yang dia butuhkan, tiba-tiba saja Hana berkata kalau dirinya menginap di Menteng.Karena ucapan Hana itu, Azka langsung mengarahkan mobilnya menuju Menteng di mana rumah om dan tantenya berada."Iya, Mas."Terlihat ekepresi lega dari Azka. Bagaimana pun juga, seruwet apa pun hubungan Evan dan Hana, Azka tentunya merasa lebih tenang kalau Hana tidak sendirian di apartemen."Kok mau? Biasanya kalo abis kambuh dia ngeyel buat tinggal di apartemen.""Aku ancem ngasih tau Mama sama Ayah."Azka mengangguk mengerti. "Dia udah minum obat?""Aku nggak ngecek, cuma pas tadi siang aja.""Ya udah, aku ke kamar dia dulu buat ngecek."Azka keluar dari kamar Evan, menaiki undakan tangga menuju kamar Hana. Yang tidak disadarinya, ternyata Evan mengik
"El, temen Kakak mau ke sini boleh?" tanya Hana pada Elga yang belum mau pergi dari kamar Hana karena khawatir.Hana tahu diri, meskipun ia sudah tinggal bertahun-tahun di rumah sebelum ia memutuskan tinggal sendiri di apartemen, tetap saja itu bukan rumahnya dan ia selalu meminta izin jika akan ada temannya yang datang, dari dulu selalu begitu, pun sekarang, tidak ada yang berubah."Boleh lah, Kak. Kenapa mesti nanya sih. Ini kan rumah Kak Hana juga."Hana tersenyum melihat Elga yang menjawabnya sambil asik menonton salah satu series di salah satu layanan streaming berbayar. Ia lantas membalas pesan Vio yang masuk belum lama ke ponselnya.Hana: Ok, Vi. Ke sini aja."Emang siapa Kak yang mau ke sini?" Mata Elga tertuju pada layar, tapi ia masih bisa membagi fokusnya dengan bertanya pada Hana."Vio.""Oh, Kak Vio." Elga memang sudah mengenal Vio dari dulu karena Vio adalah teman Hana yang paling sering datang ke rumah itu. Sepertinya hampir semua keluarganya mengenal Vio, kecuali Elaks
“Hana, kamu kok nggak bilang kalo sakit?” tanya Letta yang langsung menuju kamar Hana setelah mendapat informasi perihal sakitnya Hana dari Azka. “Kan Tante udah bilang, kalo ada apa-apa langsung hubungi Tante.”Hana tersenyum mendengar omelan dari wanita paruh baya yang dipanggilnya ‘Tante’ tapi dirasanya sebagai pengganti mamanya. “Kan di sini banyak yang jagain Hana, Tan.”Letta mendengkus, memang banyak yang menaruh perhatian pada Hana, buktinya Azka sampai menginap di rumahnya, dan di kamar Hana ada dua orang yang juga selalu mengkhawatirkan Hana, Vio dan Ibra. “Vio, Ibra, apa kabar? Lama nggak main ke sini?”“Baik Tante.” Keduanya menjawab bersamaan dan mengulurkan tangan untuk menyapa Letta dengan sopan.“Hana udah minum obat?” tanya Letta lagi. Dia tahu pasti dokter Erlin memberi Hana obat yang harus diminum selama beberapa waktu setelah PTSD-nya kambuh.“Yang pagi udah, Tan. Nanti yang siang kan setelah makan siang.”“Kamu lagi pengen makan sesuatu nggak? Tante bikinin ya,” t
Evan mendengkus kesal. Kenapa tidak ada satu pun orang yang mempercayainya? Saat menatap ayahnya yang sedang menyesap kopi di depannya, barulah ia ingat sesuatu yang pernah ingin disampaikannya, namun kesempatannya selalu tidak tepat.“Yah, Ayah kan paling anti sama perjodohan. Kenapa sekarang Ayah kesannya kayak ngebiarin Mama jodohin aku sama Hana? Ayah nggak bisa bantu aku buat ngubah keputusan Mama?”Ares menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Ya, ia memang menentang yang namanya perjodohah. Karena itu, ia tidak pernah berniat untuk mencarikan anak-anaknya jodoh apalagi demi urusan bisnis.“Ayah sama Mama bukan lagi jodohin kamu, Van. Ayah sama Mama lagi ngajarin kamu arti kata tanggung jawab. Kamu udah tidur sama Hana, apa nggak ada keinginan dari kamu buat bertanggung jawab? Apa ini hasil yang Ayah sama Mama ajarkan ke kamu?”Evan terdiam, ia belum pernah melihat raut kekecewaan dari ayahnya selama ini. Pun saat ia memilih menjalankan bisnis kecil-kecilannya sendiri,
"Van, kamu lagi nyetir, mending matiin aja video call-nya. Bahaya.""Kamu nggak apa-apa? Kenapa nggak nelepon aku pas dia dateng tadi?""Kamu mau ketemu dia?""Bukan gitu, Sayang. Aku kan jadi nggak bisa ngelindungin kamu. Bentar ya, aku udah mau nyampe."Evan mematikan sambungan video call-nya, meninggalkan Hana yang bingung saat mendengar Evan hampir sampai di tujuan. 'Nggak mungkin udah sampe kantor kan? Cepet banget.'"Sayang."Hana menoleh dengan kaget ke arah pintu kamar yang baru saja dibuka."Kok balik?""Ya aku nggak bisa tenang lah. Tadi aku langsung puter balik pas dapet telepon dari Bibi. Tapi macet banget pas mau puter baliknya. Maaf ya, lama. Kamu nggak apa-apa?" Evan menarik Hana ke dalam pelukannya, mengusapi punggungnya pelan. "Nggak ada omongan dia yang bener. Jangan ada yang dimasukin ke hati ya.""Kamu denger semuanya?""Hmm. Aku makin cinta sama kamu. Rasanya pengen tepuk tangan waktu kamu bales semua omongan nggak benernya."***"Kamu yakin ngelakuin ini, Van?""
Hana tahu kalau tidak sopan langsung bertanya seperti itu kepada tamu yang datang ke rumahnya. Tapi boleh kan ia membuat pengecualian untuk wanita itu? Ini rumahnya, dia punya kuasa sebenarnya untuk menerima atau mengusir tamu.Wanita yang dengan tenang duduk di sofa itu menyunggingkan senyumannya. Di atas meja terlihat satu keranjang buah, entah dalam rangka apa dia membawanya, sebagai tanda empati atau sebaliknya, sebagai tanda berbahagia."Aku cuma mau jenguk, katanya kamu baru keluar dari rumah sakit.""Makasih, kalo tujuanmu buat bener-bener jenguk. Tapi aku udah sehat.""Kamu memang udah sehat, tapi ... sayang banget ya ... calon anak Evan--""Sebenernya tujuan kamu apa, Mel? Aku tau kamu ke sini bukan buat jenguk. Kalo kamu mau jenguk aku, bisa pas ada suamiku kan? Sekalian kalo kamu mau nyoba deketin dia lagi."Melinda tersenyum pongah. "Gimana rasanya kehilangan yang seharusnya jadi milik kamu?""Aku memang kehilangan calon bayiku dan Evan, tapi masih ada rasa bahagia, sengga
"Sayang, udah tiga hari kita di sini, nggak mau balik ke rumah kita?" tanya Evan saat Hana merapikan dasinya sebelum berangkat ke kantor.Hana masih belum banyak bicara pada Evan, walau tetap menjawab apa yang Evan tanyakan. Tidur mereka pun masih terpisah, hanya kadang Hana masuk ke kamar Evan jika memang ada sesuatu yang harus diurusnya seperti merapikan pakaian kerja Evan atau mencari barang yang tidak bisa ditemukan Evan."Ya udah, nanti malem kita balik ke rumah.""Beneran? Nggak apa-apa? Kalo kamu masih mau di sini dulu nggak apa-apa juga kok.""Iya, nanti malem pulang aja."Beberapa hari ini Hana memperhatikan keluarga Evan yang masih memberikan silent treatment pada Evan. Semakin lama, rasanya semakin tidak tega melihatnya. Lagipula ia tidak mau mengumbar hubungan rumah tangganya lebih lama lagi. Sepertinya orang tua Evan pun mulai gelisah karena ia dan Evan masih seperti berada di dunia yang berbeda."Nanti abis makan malem kalo gitu ya."Hana mengangguk samar. "Aku ... kapan
Baru kali ini Evan mengalami makan malam tanpa suara obrolan.Keluarganya bukannya tidak tahu adab dengan banyak bicara saat prosesi makan berlangsung. Tapi karena kesibukan masing-masing anggota keluarganya, makan bersama tidak pernah diisi dengan keheningan. Minimal ada Elga yang selalu mengoceh, menceritakan apa saja yang menarik menurutnya.Namun malam itu, semua orang sepertinya sedang sakit gigi atau sariawan. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu dalam ruang makan yang luasnya bisa untuk dijadikan lapangan futsal itu.Ia pun tidak berani memulai percakapan, melihat mama dan ayahnya yang masih jelas-jelas memendam kemarahan padanya."Makan yang banyak, Han." Kalimat pertama yang terucap di ruang makan itu keluar dari Letta yang gelisah melihat Hana hanya mengaduk makanan di piringnya."Iya, Ma." Hana mulai memakan makanan di atas piringnya karena tidak ingin melihat tatapan cemas dari yang lainnya."Mau makan di kamar aja? Nanti aku anter ke kamar," ujar Evan lirih.Sebelum
"Sayang, kamu ngomong apa sih?""Mungkin kalo Melinda yang jadi istrimu—""Hana!" sela Evan yang kini memejamkan matanya, berusaha untuk mengatur emosinya. "Han, apa yang kamu lihat waktu itu nggak seperti yang kamu pikirin. Please, sekarang yang penting kamu sehat dulu. Nggak usah mikir yang nggak-nggak."Hana ingin menyahuti Evan, tapi pintu ruang rawat inapnya terbuka. Ayah mertuanya masuk sambil menyunggingkan senyumannya."Gimana, Han? Perlu Ayah panggilin dokter? Kata Mama dokter belum ngecek lagi ke sini setelah kamu bangun?"Hana membalas perhatian ayah mertuanya dengan sebuah senyuman, meski sangat sulit rasanya untuk tersenyum di kondisinya saat ini. "Nggak apa-apa kok, Yah. Biar nunggu jadwalnya dokter visit aja."Ares melirik Evan dengan tatapan yang sama sejak ia menampar anaknya itu. "Kamu sehat dulu ya, Han. Kalo udah sehat, kamu boleh minta penjelasan ke Evan, kamu boleh marah sama Evan, bahkan kalau kamu mau minta cerai pun, ayah nggak akan menghalangi. Di keluarga Ca
Hening.Tidak ada yang berbicara selama perjalanan dari rumah Evan ke rumah sakit.Ares memang marah pada anaknya, tapi sifat kebapakannya tidak juga luntur. Nyatanya ia menunggu Evan di dalam mobil, setelah memberi tahu kalau Hana berada di rumah sakit."Yah, kondisi Hana ...?" Evan melirik ayahnya yang fokus menyetir, menatapnya beberapa detik dan tidak mampu melanjutkan kalimatnya."Nanti kamu tanya sendiri. Itu juga kalo Hana mau nemuin kamu."***"Han." Letta memanggil Hana yang baru saja membuka matanya. Sudah beberapa jam ini ia tertidur di bawah kontrol obat penenang. "Ada yang terasa sakit? Mama panggilin dokter ya."Hana menggeleng pelan. "Nggak usah, Ma."Melihat gerakan Hana yang seperti ingin duduk, Letta bergegas membantunya. "Tiduran aja, Han. Ranjangnya otomatis kok.""Oh, iya, Ma." Hana kembali merebahkan diri dan tak lama kemudian bagian atas ranjangnya terasa bergerak naik setelah Letta menekan beberapa tombol di samping ranjang."Kak Azka mana, Ma?""Lagi ke kantin
Letta berlari di sepanjang koridor rumah sakit setelah mendengar kabar dari Azka. Suaminya juga sedang dalam perjalanan ke rumah sakit tapi terjebak kemacetan demonstran yang terjadi di depan salah satu kantor kementerian."Gimana, Ka?" tanya Letta yang melihat Azka duduk lemas di salah satu kursi ruang tunggu."Dokter belum keluar, Tan.""Kamu udah berhasil hubungin Evan? Nomor hpnya nggak aktif." Letta benar-benar bingung dengan situasi yang terjadi. Mengapa Hana ada di Jakarta dan Evan masih di Lombok? Belum lagi ponsel Evan yang tidak bisa dihubungi sejak Letta mendapat kabar kondisi Hana dari Azka.Beruntung Azka datang ke rumah Hana pagi itu, kalau tidak, Letta tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Hana. Hanya ada dua ART di rumah itu dan semuanya perempuan. Siapa yang bisa membawa Hana ke rumah sakit dalam keadaan merintih kesakitan. Menunggu ambulance atau pertolongan dari kelaurganya tentu saja membutuhkan waktu lebih lama lagi."Masih nggak aktif hpnya, Tan," jawab A
Dante Coffee, hanya tempat itu yang kini menarik perhatian Hana. Tempatnya tidak terlalu luas, ada beberapa pengunjung di dalam dan masih ada tempat kosong di sudut coffee shop itu.Ia melangkah masuk, memesan minuman hangat selagi menunggu jadwal penerbangannya.Jangan tanyakan perasaannya saat ini.Hampa.Bahkan air mata tak kunjung ingin keluar dari sudut matanya. Padahal ia membayangkan kelegaannya jika air matanya bisa keluar saat itu juga.Hana berjalan menuju counter saat namanya dipanggil. Di tangannya kini ada secangkir cappuccino yang mengepul. Lumayan untuk Hana menghangatkan telapak tangannya yang mulai kedinginan, pasalnya ia hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans, tanpa sempat berpikir mengambil cardigan dari dalam koper. Biasanya ia tidak memerlukan cardigan karena selalu ada Evan yang siap memeluknya.Lagi-lagi Hana tersenyum nanar, lelaki yang tiba-tiba saja muncul dipikirkannya saat ini, nyatanya tengah memeluk wanita lain. Apa yang bisa ia harapkan?Se
Hana mengerjap pelan, kepalanya berat, dan kakinya masih pegal, rasanya seperti ia baru saja selesai latihan tae kwon do. Ia meraba-raba sisi kasur di sebelahnya, namun tidak menemukan keberadaan suaminya.'Mungkin di kamar mandi,' pikirnya.Ia kembali memejamkan mata, dan terlelap.Entah pukul berapa saat itu, yang jelas suara telepon internal di dalam kamar yang berbunyi nyaring membuat Hana terbangun. Ia mencoba meraih gagang telepon yang ada di atas nakas."Halo," jawabnya dengan suara serak khas orang bangun tidur."Han, lo tidur? Sorry, sorry.""Ada apa, Fin?" tanya Hana setelah yakin kalau suara di seberang sambungan telepon adalah suara Arfindo."Lo sama Evan nggak mau jalan-jalan gitu, lihat sunset mungkin? Gue gabut nih di kamar sendirian, nggak apa-apa deh gue jadi obat nyamuk kalian. Nggak enak banget sumpah, masa sampe Lombok cuma ngerem di kamar.""Hah? Lihat sunset?" Padahal Hana kira saat itu sudah pagi, tapi Arfindo mengajaknya melihat sunset? Ia lantas mengecek ponsel