"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya.
"Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"
Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.
Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.
Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.
Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua sendiri. Bayangkan bagaimana perasaan Hana bila Letta memohon padanya untuk menikah dengan Evan. Memohon bahkan hingga meneteskan air mata.
Keterdiaman Hana menjadi jawaban bagi Evan. "Kamu pasti nggak bilang kalau kita nggak ngapa-ngapain kan? Kamu sengaja kan?" teriak Evan kesal.
"Jangan harap aku akan nikah sama kamu!" ucap Evan sebelum meninggalkan kamar Hana dan membanting pintunya.
***
"Promise me, you'll move on!" ucap Vio, sahabat Hana kala itu, sebelum berangkat melanjutkan kuliah di Negeri Paman Sam.
Hana mengangguk sambil tersenyum melepas kepergian sahabatnya.
Ingatannya akan masa itu membuat Hana menghela napas.
Bukannya ia tidak mencoba. Tapi tujuh tahun setelah ucapan Vio itu, Hana masih belum bisa menepati janjinya. Dan kini, ia seakan menyetorkan nyawanya dengan mengajak Vio makan siang bersama untuk menceritakan kejadian antara dirinya dengan Evan malam sebelumnya.
"Hai, Babe," sapa Vio yang baru memasuki tempat makan ala korea tempat Hana menunggu.
Hana berdiri dan memeluk sahabatnya itu.
Tanpa perlu bertanya apa pun, Vio bisa merasakan kalau Hana sedang ada masalah dan ingin menceritakan sesuatu. Tapi ia baru saja sampai, dan sepertinya makan sedikit cemilan adalah pilihan yang baik. Vio tahu sahabatnya itu tidak akan memiliki selera makan kalau sudah mulai berpikir berat.
"Udah pesen, Han?"
"Belum, nunggu lo dateng kan."
Vio kemudian memanggil pegawai tempat makan itu, memesan mozarella tteokbokki dan chicken gangjeong untuk menu pembuka mereka.
"Ke mana lo semalem? Padahal gue pengen main ke apartemen," tanya Vio memulai pembicaraan, tidak menyangka kalau semua permasalahan Hana bermula dari malam yang sedang dibicarakan Vio.
"Acara kantor," jawab Hana singkat. Sesungguhnya ia bingung harus mulai bercerita dari mana. Vio bisa tiba-tiba menjadi teman yang bertindak seperti kakaknya kalau tahu Hana disakiti.
"Ok, jangan cerita dulu. Gue prefer nunggu makanannya datang. Takut loe nggak mau makan abis cerita."
Hana terkekeh. "Kata lo life must go on kan, ya sesedih apa sih gue sampe nggak bisa makan."
"Nggak usah ngeles, Babe. Gue kenal lo bukan baru setahun dua tahun."
"Duh, Vi, kenapa sih lo nggak terlahir aja sebagai cowok. Kayaknya cuma lo deh yang bisa ngertiin gue."
Vio terkekeh. Mereka berdua memang sangat cocok, sejak saling mengenal di bangku SMP. Bukannya mereka tidak pernah bertengkar, tapi pertengkaran di antara mereka alih-alih membuat hubungan mereka merenggang, hubungan mereka semakin hari semakin dekat, layaknya saudara sendiri.
Setelah makanan yang mereka pesan datang dan Hana memakan beberapa suapan, barulah Vio mulai sesi interogasinya.
"So, mau cerita apa?"
Hana menatap Vio sesaat, kemudian menunduk. "Gue kepergok mamanya Evan tidur di kamar Evan."
Sedetik, dua detik, lima detik, Vio belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Vi ...."
"Gimana, gimana? How come? Loe tidur sama Evan? Dan ketahuan nyokapnya?" Vio memelankan suaranya, tahu kalau pembahasan mereka adalah hal yang tabu untuk didengarkan orang lain.
"Gue nggak tidur sama Evan. Ya maksud gue, gue sama dia cuma tidur di kamar dan kasur yang sama, tapi bener-bener nggak ngapa-ngapain."
"Dia normal nggak sih? Cowok mana yang kuat nahan godaan tidur sekamar sama lo?"
Hana memutar kedua bola matanya dengan malas. Julukannya sebagai bunga kampus dulu, masih saja menjadi bahan ledekan buat Vio. Padahal hal itu sudah lewat bertahun-tahun lalu.
Daripada membiarkan pikiran Vio menjadi liar, Hana mulai menjelaskan bagaimana awal mula kejadian yang membuatnya kini diliputi kekalutan.
Vio menghela napas setelah mendengar utuh cerita Hana. "Trus lo mau gimana? Beneran nikahin Evan? Dengan jadi asistennya aja, lo itu udah ibaratnya terjebak Han, apalagi nikah sama dia. Gue nggak rela lo nikah sama orang yang nggak cinta sama lo."
"Gue juga belum jawab iya ke Tante Letta. Tapi gue bener-bener nggak tega ngelihat Tante Letta nangis. Beliau udah gue anggap kayak pengganti nyokap gue."
"Nggak Han. Lo merasa berutang budi sama keluarga Cakrawangsa. Kalo lo memang nganggep Tante Letta pengganti nyokap lo, lo pasti bisa bilang ke beliau, apa yang lo mau atau apa yang lo nggak mau."
Hana menunduk. Iya, memang benar ia merasa berutang budi pada keluarga Cakrawangsa. Ia tahu kalau ayah dan ibunya tidak meninggalkannya dengan tangan kosong, artinya ada warisan yang memang disiapkan mereka berdua untuk Hana. Tapi selama ini, Hana tidak pernah sama sekali menggunakan warisan peninggalan orang tuanya untuk bertahan hidup. Keluarga Cakrawangsa lah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang dan mengurusnya, sampai setelah ia lulus kuliah, Ares menjabarkan semua harta peninggalan ayahnya, termasuk saham di perusahaan Cakrawangsa yang semakin hari semakin bertambah karena Ares selalu menukar dividen saham yang diterima Arya ke dalam bentuk saham.
"Gue tau lo masih cinta kan sama Evan?"
"Ih, kata siapa?"
Vio menatap Hana tanpa berkedip. "Ok, kalo lo udah nggak cinta sama dia, justru semakin parah nggak sih hubungan pernikahan kalian nantinya. Kalo lo masih cinta sama dia, at least lo masih mau bertahan dan berusaha membuat dia cinta juga sama lo. Lah kalo kalian berdua sama-sama nggak cinta, pernikahan macam apa yang mau kalian jalanin?"
Pertanyaan Vio hanya mengambang di udara. Hana sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa.
"Lo nggak mau nyoba sama abang gu? Gue pikir abang gue selevel sama Evan. Dan inget, kalian deket juga dari dulu. Meskipun gue nggak tau ya abang gue punya perasaan atau nggak ke lo karena dia setiap gue tanya nggak pernah jawab, tapi paling nggak potensi untuk bikin dia jatuh cinta sama lo lebih besar daripada Evan."
"Jangan gila lo, ngejual abang lo demi nyelesaiin masalah gue."
"Eh, gue sih suka rela ngejual abang gue ke lo, gue kasih gratis bahkan, atau lo mau dapet cashbak?"
"Vio, gue serius." Hana bersungut kesal kalau Vio mulai menjodoh-jodohkannya dengan kakaknya, Ibra.
Vio balas mendengus. Selama ini dia serius ketika menjodohkan kakaknya dengan Hana, karena entah mengapa feeling-nya mengatakan kalau kakaknya menyimpan rasa pada Hana sejak dulu. "Lagian Evan pasti nggak mau kan nikah sama lo?"
"Iya, justru karena itu, Tante Letta minta gue ngerahasiain dari Evan kalau semalem kita nggak ngapa-ngapain."
"Evan bener-bener nggak inget?"
"Iya, bahkan tadi pagi dia nanya lagi ke gue apa yang kita lakukan semalem."
Vio menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak beberapa kali.
Obrolan mereka terjeda ponsel Hana yang berbunyi, menandakan adanya pesan masuk.
Evan: Waktu jadi asisten Ayah, kamu kerja 24 jam/7 hari kan?
Evan: Pindahin mobilku, katanya ngehalangin mobil lain mau keluar
Hana mengernyit bingung membaca pesan Evan.
Evan: Tengok kiri, ambil kuncinya, buruan!
Setelah membaca pesan Evan yang terakhir, Hana refleks menoleh kiri. Terlihat Evan yang sedang duduk dengan sahabatnya, Kevin. Untung jarak mereka cukup jauh, Hana hampir yakin kalau Evan tidak mendegar pembicaraannya dengan Vio. Semoga saja tidak.
"Mau ke mana?" tanya Vio saat melihat Hana berdiri.
"Pindahin mobil Bos dulu," jawab Hana sambil menunjukkan chat dari Evan dan meninggalkan ponselnya di Vio.
Hana berjalan gontai menuju meja yang ditempati Evan dan Kevin. "Hai, Vin," sapa Hana singkat. Ia bahkan tidak mau repot-repot menyapa Evan. Tangannya kemudian terulur untuk mengambil kunci mobil yang ada di meja.
"Parah lo, Van. Kalau ternyata semalem lo memang ngapa-ngapain dia, trus dia hamil gimana?" Kevin cukup kesal mendengar cerita Evan, dan semakin kesal ketika Evan meminta Hana—yang tanpa sengaja berada di tempat yang sama, untuk memindahkan mobilnya.
Evan terdiam, lalu mengedikkan bahu. "Kalau pun gue bener-bener ngelakuinnya, nggak mungkin langsung hamil lah, Bro. Cuma sekali doang kan."
Kevin menghela napas dan menutup mulutnya karena Hana telah kembali dan tanpa berkata apa-apa meletakkan kunci mobil Evan di atas meja.
***
"Sialan! Mobil gue ditaro mana sih?" Evan mengumpat saat baru keluar restoran dan tidak menemukan keberadaan mobilnya, sementara perempuan yang tadi dimintanya memindahkan mobilnya telah pergi beberapa saat sebelumnya.
"Selamat pagi, Pak," ucap Hana sambil menunduk singkat saat melihat Evan melewati mejanya untuk masuk ke dalam ruangan.Evan tidak menjawab sapaan Hana, bahkan melemparkan senyuman pun tidak.Hana mengoceh tanpa suara melihat kelakuan Evan padanya."Mbak Hana kenapa?" tanya seorang cleaning service yang bertugas membersihkan lantai itu saat melihat mulut Hana komat-kamit.Hana mencebik kesal. "Tuh, bos songong," jawabnya singkat."Oh, bos yang baru ya, Mbak? Anaknya Pak Ares? Masa sih songong, Mbak? Pak Ares baik banget loh.""Nggak semua buah jatuh deket pohonnya, Mbak. Kali aja buahnya sebelum jatuh ke tanah udah kesundul sama jerapah, trus nggelundung jauh," jawab Hana asal.Cleaning service bernama Tina itu terbahak mendengar gerutuan Hana di pagi hari. "Tapi ganteng, Mbak. Wajar songong.""Ih." Hana makin berdecak kesal mendengar pujian Tina terhadap Evan. "Teori dari mana itu?"Mengabaikan Tina yang masih mengelap dispenser sambil terkekeh, Hana memilih mengetuk pintu ruangan Ev
"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya."Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya."Saya mau print out-nya," desak Evan.Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan."Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama."Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.Evan mend
"Han, ke ruangan saya!" perintah Evan melalui sambungan internal.Beberapa detik kemudian, Hana telah berdiri di hadapan Evan. "Ada apa, Pak?"Evan menelaah reaksi Hana. Apakah Hana masih marah padanya karena kejadian malam sebelumnya? Tapi rasa-rasanya ia tidak menemukan perbedaan berarti dari ekspresi Hana padanya. Tetap dingin."Saya nggak suka warna background power point yang kamu siapkan buat presentasi."Seriously? Warna background power point? Ingin rasanya Hana mengumpat. Hana selalu menggunakan warna netral dalam setiap presentasi yang ia siapkan, jadi ia harus mengganti dengan warna apa? Pink?"Pak Evan mau warna apa?""Terserah kamu. Pokoknya jangan ini.""Kalau terserah saya, mungkin saya akan ganti warna biru ini jadi pink atau merah darah. Pak Evan mau?"Evan mendesis kesal. Kenapa wanita di depannya itu selalu bisa membantahnya. Dan itu adalah hal yang paling dibencinya. "Ah udah lah. Nggak jadi.""Lah, labil!" gumam Hana yang ternyata didengar Evan."Kamu bilang apa b
Hana mengerjapkan matanya perlahan. Setelah matanya membuka sempurna, barulah Hana mengernyit bingung, pemandangan yang ada di depan matanya bukanlah dinding dan plafon kamarnya. Saat ia akan menggerakkan tangannya, sesuatu terasa menahan tangannya. Hana menoleh dan mendapati Azka yang tertidur di kursi yang ada di sebelah kasurnya sambil menggenggam tangannya."Udah bangun?" tanya Azka saat merasakan gerakan tangan Hana yang digenggamnya."Hmm ...." Hana hanya menjawabnya dengan gumaman. Kemudian ia teringat sesuatu. "Tante Rimbi nggak tau kan kalo aku masuk rumah sakit? Tante Letta? Om Ares?""Kamu beruntung, mama papaku, Tante Letta sama Om Ares, semua lagi ke Jogja ke tempat Mbah, coba kalo mereka di sini, udah penuh ini kamar."Hana terkekeh dan berusaha untuk mengubah posisinya."Kamu butuh sesuatu? Aku panggiling dokter ya?"Hana menggeleng. Dari jam dinding yang ada di kamar itu, ia tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan pastinya psikiaternya sudah tidak b
Vio kemudian menatap Hana, seakan meminta Hana mempertimbangkannya."Aku bakal ngasih tau orang tuaku apa yang terjadi kalau kamu nggak pulang ke rumah," ancam Evan.Hana menghela napas, lantas tersenyum sambil memegang tangan Vio. "Gue ke Menteng aja, nggak apa-apa.""Yang ada bukannya sembuh, malah makin parah," gumam Vio yang ternyata didengar Evan dan membuahkan cibiran dari Evan.***Hana berusaha memejamkan mata sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Evan. Berbicara dengan Evan adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkannya saat ini.Tapi sepertinya Evan tahu kalau Hana tidak benar-benar sedang tidur. "Aku nyuruh kamu tidur di rumah karena nggak pantes buat seorang cewek tidur di rumah laki-laki yang bukan keluarga," ucap Evan tiba-tiba. "Ayah sama Mama pasti juga bakal ngelarang kalau tau."Hana terpaksa membuka matanya. Keningnya berkerut memikirkan ucapan Evan. "Kita juga bukan keluarga by the way." Hana mendengkus kesal. "Aku udah nggak punya keluarga." Entah kenapa
"Hana nginep di sini, Van?" tanya Azka begitu memasuki kamar Evan.Azka yang baru tahu kalau Hana sudah keluar dari rumah sakit, langsung menghubungi Hana untuk menanyakan keadaannya. Saat Azka menawarkan diri ke apartemen wanita itu untuk membawakan apa yang dia butuhkan, tiba-tiba saja Hana berkata kalau dirinya menginap di Menteng.Karena ucapan Hana itu, Azka langsung mengarahkan mobilnya menuju Menteng di mana rumah om dan tantenya berada."Iya, Mas."Terlihat ekepresi lega dari Azka. Bagaimana pun juga, seruwet apa pun hubungan Evan dan Hana, Azka tentunya merasa lebih tenang kalau Hana tidak sendirian di apartemen."Kok mau? Biasanya kalo abis kambuh dia ngeyel buat tinggal di apartemen.""Aku ancem ngasih tau Mama sama Ayah."Azka mengangguk mengerti. "Dia udah minum obat?""Aku nggak ngecek, cuma pas tadi siang aja.""Ya udah, aku ke kamar dia dulu buat ngecek."Azka keluar dari kamar Evan, menaiki undakan tangga menuju kamar Hana. Yang tidak disadarinya, ternyata Evan mengik
"El, temen Kakak mau ke sini boleh?" tanya Hana pada Elga yang belum mau pergi dari kamar Hana karena khawatir.Hana tahu diri, meskipun ia sudah tinggal bertahun-tahun di rumah sebelum ia memutuskan tinggal sendiri di apartemen, tetap saja itu bukan rumahnya dan ia selalu meminta izin jika akan ada temannya yang datang, dari dulu selalu begitu, pun sekarang, tidak ada yang berubah."Boleh lah, Kak. Kenapa mesti nanya sih. Ini kan rumah Kak Hana juga."Hana tersenyum melihat Elga yang menjawabnya sambil asik menonton salah satu series di salah satu layanan streaming berbayar. Ia lantas membalas pesan Vio yang masuk belum lama ke ponselnya.Hana: Ok, Vi. Ke sini aja."Emang siapa Kak yang mau ke sini?" Mata Elga tertuju pada layar, tapi ia masih bisa membagi fokusnya dengan bertanya pada Hana."Vio.""Oh, Kak Vio." Elga memang sudah mengenal Vio dari dulu karena Vio adalah teman Hana yang paling sering datang ke rumah itu. Sepertinya hampir semua keluarganya mengenal Vio, kecuali Elaks
“Hana, kamu kok nggak bilang kalo sakit?” tanya Letta yang langsung menuju kamar Hana setelah mendapat informasi perihal sakitnya Hana dari Azka. “Kan Tante udah bilang, kalo ada apa-apa langsung hubungi Tante.”Hana tersenyum mendengar omelan dari wanita paruh baya yang dipanggilnya ‘Tante’ tapi dirasanya sebagai pengganti mamanya. “Kan di sini banyak yang jagain Hana, Tan.”Letta mendengkus, memang banyak yang menaruh perhatian pada Hana, buktinya Azka sampai menginap di rumahnya, dan di kamar Hana ada dua orang yang juga selalu mengkhawatirkan Hana, Vio dan Ibra. “Vio, Ibra, apa kabar? Lama nggak main ke sini?”“Baik Tante.” Keduanya menjawab bersamaan dan mengulurkan tangan untuk menyapa Letta dengan sopan.“Hana udah minum obat?” tanya Letta lagi. Dia tahu pasti dokter Erlin memberi Hana obat yang harus diminum selama beberapa waktu setelah PTSD-nya kambuh.“Yang pagi udah, Tan. Nanti yang siang kan setelah makan siang.”“Kamu lagi pengen makan sesuatu nggak? Tante bikinin ya,” t
"Han."Sapaan seorang lelaki yang berdiri di depan meja kerjanya membuat Hana langsung mendongak."Eh, Fin, udah nyampe?" Beberapa jam sebelumnya memang Hana mendapat pesan dari Arfindo yang ingin mengatur janji temu dengan Evan. Karena jadwal Evan hanya kosong di saat jam istirahat, maka Hana membuat jadwal temu mereka saat makan siang."Nggak apa-apa nih aku makan siang sama Evan? Kamu gimana?"Hana tersenyum penuh arti. "Aku yang makasih malah. Kalo kamu nggak dateng, nggak mungkin si bos mau ditinggal, padahal kan kadang aku pengen makan bareng sama temen kantorku yang lain.""Dasar, si posesif.""Ayo, kuanter sekalian aku pamit." Hana berjalan terlebih dulu lalu mengetuk pintu ruang kerja Evan."Mas, udah dateng nih tamunya," ucap Hana sambil menunjukkan senyum tanpa rasa bersalahnya. Bisa dilihatnya wajah Evan yang tertekuk karena kesal.Tanpa menunggu dipersilakan, Arfindo langsung mengambil posisi duduk di sofa yang ada di tengah ruangan."Aku makan di luar sama Ribka ya. Nant
Hana mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan retina matanya dengan pencahayaan temaram di dalam kamar yang baru beberapa kali ditempatinya itu.Evan ikut bangun saat menyadari gerakan Hana yang bangkit dari tidurnya. "Udah bangun?""Mau bantu Mama."Malam sepulang dari rumah Azka, mereka berdua memutuskan menginap di rumah orang tua Evan. Mumpung weekend, pikir mereka.Dan karena kelelahan, keduanya langsung terlelap di kamar Evan setelah ritual bersih-bersih singkat."Udah ada banyak ART yang bantu Mama.""Ya tapi kan Mama masak kalo pagi, masa aku nggak bantuin.""Mama bakal lebih seneng kalo kamu melakukan sesuatu di pagi hari daripada bantuin Mama masak.""Apa?""Bikinin cucu untuk Mama."Hana mencibir niat terselubung Evan di balik kata-katanya."Beneran, kalo nggak percaya tanya sendiri ke Mama.""Masa yang begituan ditanyain ke Mama."Evan terkekeh melihat rona merah yang muncul di pipi Hana tanpa aba-aba. "Eh, Sayang, aku mau nanya sampe lupa. Kita udah dua bulan nikah, tapi ka
"Serius lo, Han?" Vio menatap Hana dengan rasa tidak percayanya.Hari sabtu itu, keduanya memutuskan untuk bertemu dan makan siang di Sop Konro Karebosi Kelapa Gading. Vio yang kebetulan baru saja bertemu klien di daerah Rawamangun mengajak Hana untuk makan siang bersama, dan beruntungnya dia, Azka sedang berkunjung ke rumah Evan dan Hana. Kalau tidak, mana mungkin Evan akan melepaskan Hana untuk keluar di hari sabtu tanpa dirinya."Gue udah nggak bisa bedain sih, antara belum bisa move on atau terobsesi.""Terobsesi sih kayaknya. Kalo belum bisa move on itu kayak lo selama ini ke Evan."Hana yang sedang menyesap es palubutung tiba-tiba saja tersedak mendengar kenyataan yang diutarakan Vio. Kenapa dia baru menyadarinya?"Bener kan?" ledek Vio. "Lo setelah jatuh cinta sama Evan, yang entah tahun kapan itu kejadiannya, sama sekali nggak berminat jalin hubungan sama orang lain karena perasaan lo cuma buat dia. Tapi kan bukan berarti lo jadi dengan nggak tau malunya deketin Evan atau beru
-Jamuan makan malam sebelumnya-Melinda menatap nanar kepergian Evan dari hadapannya. Bahkan setelah ia memohon dan merendahkan harga dirinya seperti itu pun, Evan tetap memilih kembali pada Hana.Pandangannya mulai berkabut, beberapa saat lagi orang tuanya tiba. Entah apa yang bisa dijadikannya sebagai alasan pembenaran ketidakhadiran Evan, orang yang sangat ingin ditemui orang tuanya.Bukan tanpa alasan orang tua Melinda mengupayakan segala cara untuk dapat datang di acara malam itu. Pasalnya Evan sudah tidak pernah lagi menyambangi kediaman mereka dan Melinda selalu saja berkilah ketika orang tuanya bertanya."Mel." Suara itu berhasil membuyarkan lamunan Melinda.Tepat beberapa menit setelah Evan menghilang dari pandangannya, orang tuanya yang malam itu mengenakan pakaian batik yang serasi, tiba di restoran."Evan mana?" Tak berbasa-basi, papanya langsung menanyakan calon menantu yang selalu dibanggakannya."Evan ... ada urusan, Pa," jawab Melinda sambil menunduk."Ikut Papa, ada y
"Sayang." Evan hanya bisa bernapas lega setelah memasuki kamar dan melihat Hana berada di teras kamar sambil memandangi view di depannya yang langsung menyajikan pemandangan laut. Setidaknya Hana benar-benar menunggunya dan tidak meninggalkannya pergi begitu saja karena marah."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Hana sengaja bertanya dengan satire. Ia benar-benar memosisikan diri sebagai asisten, seperti yang disebutkan Evan sebelumnya. Tidak lebih dari tiga detik Hana menatap Evan dan detik selanjutnya ia kembali menatap lautan. Melihat lautan jauh lebih menenangkan untuknya saat ini daripada menatap suami yang hanya mengakuinya sebagai asisten.Tanpa berkata apa-apa lagi, Evan memeluk istrinya dari belakang, mencoba menyampaikan permintaan maaf melalui gesture-nya. Lebih dari semenit Evan menunggu Hana berbicara, tapi tak juga mendengar sepatah kata pun dari bibir manis yang selalu digilainya itu."Maaf. Mau denger penjelasanku?"Hana mengangguk. "Tapi sambil duduk, aku nggak mau kamu
"Han, udah bangun?"Hana memang sudah bangun sejak sekitar setengah jam sebelumnya. Karena ia masih merasakan pening walau tidak separah sebelumnya, Hana memilih duduk sambil bersandar pada headboard ranjang."Kok kamu udah balik?"Evan tidak menjawab pertanyaan istrinya dan memilih membuka kemejanya hingga menyisakan kaos yang mencetak bentuk tubuhnya. "Kamu udah makan?""Belum, tapi udah pesen tadi, nunggu dateng."Evan mendekat pada istrinya, memegang kening istrinya yang tentu saja dalam suhu normal, karena sebelum pergi pun suhu tubuh istrinya normal, hanya pusing tiba-tiba itu yang membuat istrinya mengeluh."Pusingnya gimana?" tanya Evan sambil ikut masuk ke dalam selimut dan duduk di samping Hana, bersandar pada headboard ranjang, dengan tangannya yang terulur ke belakang tengkuk Hana untuk membuat wanita itu bersandar padanya."Udah nggak sepusing tadi. Tinggal sisanya aja dikit.""Ke dokter aja yuk, mumpung masih belum terlalu malam."Hana menghela napas berat. "Buat nyusul
Hana tampaknya harus banyak-banyak bersyukur. Dua hari menghabiskan waktu di Lombok, Melinda sama sekali tidak bertingkah. Pun begitu dengan suaminya yang kini jangankan menggodanya dengan mendekati Melinda, setiap Evan dan Melinda dalam ruangan atau forum yang sama, Evan selalu menjaga jaraknya.Evan dan Hana bahkan sempat menghabiskan waktu berdua untuk berjalan-jalan di beberapa pantai yang berada di daerah Lombok Selatan, sebagai pengganti honeymoon yang sampai saat itu belum juga terlaksana."Mas, aku nggak ikut makan di resto ya, badanku nggak enak, nanti aku pesen makanan ke kamar aja." Hana memijat pelipisnya karena kepalanya mendadak pusing setelah mereka pulang dari lokasi proyek.Evan yang semula berniat untuk mandi, membatalkan niatnya dan duduk di samping istrinya, menggantikan tangan Hana untuk memijat pelipisnya. "Pusing banget? Masuk angin ya? Mau ke dokter?"Hana mengernyitkan keningnya setiap sakit di kepalanya terasa menyiksanya. "Kayaknya kepanasan tadi di lokasi p
Seperti de javu, Evan dan Hana berada di bandara, dengan Arfindo dan Melinda yang sudah menunggu mereka di dekat area check in."Kalo penganten baru tu emang lengket gini terus ya?" tanya Arfindo sambil menggeleng-gelengkan kepala."Cobain aja sana, biar tau rasanya nggak bisa jauh sama istri," balas Evan."Ck! Kamu nggak risih Han dikekepin terus sama Evan?""Nggak lah, masa dikekepin suami risih.""Shit! Paket lengkap banget suami istri ini," umpat Arfindo.Bukan tanpa alasan Arfindo sejak awal menyindir kemesraan mereka. Ia hanya ingin membuka mata Melinda kalau kesempatan untuknya sudah tertutup, dengan cara yang lebih halus.Sayangnya, Melinda tidak acuh dengan apa yang sedang diusahakan Arfindo. Ia juga tidak ingin melihat pemandangan mesra yang tersaji di depannya. Jadilah yang dilakukannya hanya bermain ponsel dan menyesap kopi dari cup berlogo sebuah merk franchise coffee shop yang terkenal yang berada di tangannya."Kalian mau duluan masuk ke ruang tunggu? Gue mau nemenin Ha
Dengan perlahan, Evan mendorong Hana ke dinding setelah mengunci pintu kamar.Kepulangan mereka di siang hari tentu saja membuat dua ART di rumah mereka kebingungan. Tapi melihat keduanya yang tergesa masuk ke kamar dan mengunci pintu, kedua ART mereka hanya bisa mengulum senyum.Tangan Evan bergerak cepat membuka blazer yang dikenakan Hana dan menjatuhkannya ke dekat kakinya. Begitu juga dengan blouse tanpa lengan dan celana panjang yang dikenakan istrinya. Ia seperti sudah terlatih menanggalkan itu semua dalam waktu singkat.Sementara Hana masih berkutat dengan kancing baju suaminya yang sialnya terasa sangat sulit dilepaskan karena tangannya yang bergetar.Evan menikmati waktunya, membiarkan istrinya berlatih menanggalkan pakaiannya. Ia tersenyum simpul sambil memandang lantai tempat baju Hana berserakan. Istrinya tidak akan mengomel di tengah pemanasan mereka hanya karena Evan meletakkan baju sembarangan kan?Napas keduanya yang tersengal menjadi bukti betapa mereka merindukan sat