"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya.
"Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"
Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.
Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.
Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.
Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua sendiri. Bayangkan bagaimana perasaan Hana bila Letta memohon padanya untuk menikah dengan Evan. Memohon bahkan hingga meneteskan air mata.
Keterdiaman Hana menjadi jawaban bagi Evan. "Kamu pasti nggak bilang kalau kita nggak ngapa-ngapain kan? Kamu sengaja kan?" teriak Evan kesal.
"Jangan harap aku akan nikah sama kamu!" ucap Evan sebelum meninggalkan kamar Hana dan membanting pintunya.
***
"Promise me, you'll move on!" ucap Vio, sahabat Hana kala itu, sebelum berangkat melanjutkan kuliah di Negeri Paman Sam.
Hana mengangguk sambil tersenyum melepas kepergian sahabatnya.
Ingatannya akan masa itu membuat Hana menghela napas.
Bukannya ia tidak mencoba. Tapi tujuh tahun setelah ucapan Vio itu, Hana masih belum bisa menepati janjinya. Dan kini, ia seakan menyetorkan nyawanya dengan mengajak Vio makan siang bersama untuk menceritakan kejadian antara dirinya dengan Evan malam sebelumnya.
"Hai, Babe," sapa Vio yang baru memasuki tempat makan ala korea tempat Hana menunggu.
Hana berdiri dan memeluk sahabatnya itu.
Tanpa perlu bertanya apa pun, Vio bisa merasakan kalau Hana sedang ada masalah dan ingin menceritakan sesuatu. Tapi ia baru saja sampai, dan sepertinya makan sedikit cemilan adalah pilihan yang baik. Vio tahu sahabatnya itu tidak akan memiliki selera makan kalau sudah mulai berpikir berat.
"Udah pesen, Han?"
"Belum, nunggu lo dateng kan."
Vio kemudian memanggil pegawai tempat makan itu, memesan mozarella tteokbokki dan chicken gangjeong untuk menu pembuka mereka.
"Ke mana lo semalem? Padahal gue pengen main ke apartemen," tanya Vio memulai pembicaraan, tidak menyangka kalau semua permasalahan Hana bermula dari malam yang sedang dibicarakan Vio.
"Acara kantor," jawab Hana singkat. Sesungguhnya ia bingung harus mulai bercerita dari mana. Vio bisa tiba-tiba menjadi teman yang bertindak seperti kakaknya kalau tahu Hana disakiti.
"Ok, jangan cerita dulu. Gue prefer nunggu makanannya datang. Takut loe nggak mau makan abis cerita."
Hana terkekeh. "Kata lo life must go on kan, ya sesedih apa sih gue sampe nggak bisa makan."
"Nggak usah ngeles, Babe. Gue kenal lo bukan baru setahun dua tahun."
"Duh, Vi, kenapa sih lo nggak terlahir aja sebagai cowok. Kayaknya cuma lo deh yang bisa ngertiin gue."
Vio terkekeh. Mereka berdua memang sangat cocok, sejak saling mengenal di bangku SMP. Bukannya mereka tidak pernah bertengkar, tapi pertengkaran di antara mereka alih-alih membuat hubungan mereka merenggang, hubungan mereka semakin hari semakin dekat, layaknya saudara sendiri.
Setelah makanan yang mereka pesan datang dan Hana memakan beberapa suapan, barulah Vio mulai sesi interogasinya.
"So, mau cerita apa?"
Hana menatap Vio sesaat, kemudian menunduk. "Gue kepergok mamanya Evan tidur di kamar Evan."
Sedetik, dua detik, lima detik, Vio belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Vi ...."
"Gimana, gimana? How come? Loe tidur sama Evan? Dan ketahuan nyokapnya?" Vio memelankan suaranya, tahu kalau pembahasan mereka adalah hal yang tabu untuk didengarkan orang lain.
"Gue nggak tidur sama Evan. Ya maksud gue, gue sama dia cuma tidur di kamar dan kasur yang sama, tapi bener-bener nggak ngapa-ngapain."
"Dia normal nggak sih? Cowok mana yang kuat nahan godaan tidur sekamar sama lo?"
Hana memutar kedua bola matanya dengan malas. Julukannya sebagai bunga kampus dulu, masih saja menjadi bahan ledekan buat Vio. Padahal hal itu sudah lewat bertahun-tahun lalu.
Daripada membiarkan pikiran Vio menjadi liar, Hana mulai menjelaskan bagaimana awal mula kejadian yang membuatnya kini diliputi kekalutan.
Vio menghela napas setelah mendengar utuh cerita Hana. "Trus lo mau gimana? Beneran nikahin Evan? Dengan jadi asistennya aja, lo itu udah ibaratnya terjebak Han, apalagi nikah sama dia. Gue nggak rela lo nikah sama orang yang nggak cinta sama lo."
"Gue juga belum jawab iya ke Tante Letta. Tapi gue bener-bener nggak tega ngelihat Tante Letta nangis. Beliau udah gue anggap kayak pengganti nyokap gue."
"Nggak Han. Lo merasa berutang budi sama keluarga Cakrawangsa. Kalo lo memang nganggep Tante Letta pengganti nyokap lo, lo pasti bisa bilang ke beliau, apa yang lo mau atau apa yang lo nggak mau."
Hana menunduk. Iya, memang benar ia merasa berutang budi pada keluarga Cakrawangsa. Ia tahu kalau ayah dan ibunya tidak meninggalkannya dengan tangan kosong, artinya ada warisan yang memang disiapkan mereka berdua untuk Hana. Tapi selama ini, Hana tidak pernah sama sekali menggunakan warisan peninggalan orang tuanya untuk bertahan hidup. Keluarga Cakrawangsa lah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang dan mengurusnya, sampai setelah ia lulus kuliah, Ares menjabarkan semua harta peninggalan ayahnya, termasuk saham di perusahaan Cakrawangsa yang semakin hari semakin bertambah karena Ares selalu menukar dividen saham yang diterima Arya ke dalam bentuk saham.
"Gue tau lo masih cinta kan sama Evan?"
"Ih, kata siapa?"
Vio menatap Hana tanpa berkedip. "Ok, kalo lo udah nggak cinta sama dia, justru semakin parah nggak sih hubungan pernikahan kalian nantinya. Kalo lo masih cinta sama dia, at least lo masih mau bertahan dan berusaha membuat dia cinta juga sama lo. Lah kalo kalian berdua sama-sama nggak cinta, pernikahan macam apa yang mau kalian jalanin?"
Pertanyaan Vio hanya mengambang di udara. Hana sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa.
"Lo nggak mau nyoba sama abang gu? Gue pikir abang gue selevel sama Evan. Dan inget, kalian deket juga dari dulu. Meskipun gue nggak tau ya abang gue punya perasaan atau nggak ke lo karena dia setiap gue tanya nggak pernah jawab, tapi paling nggak potensi untuk bikin dia jatuh cinta sama lo lebih besar daripada Evan."
"Jangan gila lo, ngejual abang lo demi nyelesaiin masalah gue."
"Eh, gue sih suka rela ngejual abang gue ke lo, gue kasih gratis bahkan, atau lo mau dapet cashbak?"
"Vio, gue serius." Hana bersungut kesal kalau Vio mulai menjodoh-jodohkannya dengan kakaknya, Ibra.
Vio balas mendengus. Selama ini dia serius ketika menjodohkan kakaknya dengan Hana, karena entah mengapa feeling-nya mengatakan kalau kakaknya menyimpan rasa pada Hana sejak dulu. "Lagian Evan pasti nggak mau kan nikah sama lo?"
"Iya, justru karena itu, Tante Letta minta gue ngerahasiain dari Evan kalau semalem kita nggak ngapa-ngapain."
"Evan bener-bener nggak inget?"
"Iya, bahkan tadi pagi dia nanya lagi ke gue apa yang kita lakukan semalem."
Vio menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak beberapa kali.
Obrolan mereka terjeda ponsel Hana yang berbunyi, menandakan adanya pesan masuk.
Evan: Waktu jadi asisten Ayah, kamu kerja 24 jam/7 hari kan?
Evan: Pindahin mobilku, katanya ngehalangin mobil lain mau keluar
Hana mengernyit bingung membaca pesan Evan.
Evan: Tengok kiri, ambil kuncinya, buruan!
Setelah membaca pesan Evan yang terakhir, Hana refleks menoleh kiri. Terlihat Evan yang sedang duduk dengan sahabatnya, Kevin. Untung jarak mereka cukup jauh, Hana hampir yakin kalau Evan tidak mendegar pembicaraannya dengan Vio. Semoga saja tidak.
"Mau ke mana?" tanya Vio saat melihat Hana berdiri.
"Pindahin mobil Bos dulu," jawab Hana sambil menunjukkan chat dari Evan dan meninggalkan ponselnya di Vio.
Hana berjalan gontai menuju meja yang ditempati Evan dan Kevin. "Hai, Vin," sapa Hana singkat. Ia bahkan tidak mau repot-repot menyapa Evan. Tangannya kemudian terulur untuk mengambil kunci mobil yang ada di meja.
"Parah lo, Van. Kalau ternyata semalem lo memang ngapa-ngapain dia, trus dia hamil gimana?" Kevin cukup kesal mendengar cerita Evan, dan semakin kesal ketika Evan meminta Hana—yang tanpa sengaja berada di tempat yang sama, untuk memindahkan mobilnya.
Evan terdiam, lalu mengedikkan bahu. "Kalau pun gue bener-bener ngelakuinnya, nggak mungkin langsung hamil lah, Bro. Cuma sekali doang kan."
Kevin menghela napas dan menutup mulutnya karena Hana telah kembali dan tanpa berkata apa-apa meletakkan kunci mobil Evan di atas meja.
***
"Sialan! Mobil gue ditaro mana sih?" Evan mengumpat saat baru keluar restoran dan tidak menemukan keberadaan mobilnya, sementara perempuan yang tadi dimintanya memindahkan mobilnya telah pergi beberapa saat sebelumnya.
"Selamat pagi, Pak," ucap Hana sambil menunduk singkat saat melihat Evan melewati mejanya untuk masuk ke dalam ruangan.Evan tidak menjawab sapaan Hana, bahkan melemparkan senyuman pun tidak.Hana mengoceh tanpa suara melihat kelakuan Evan padanya."Mbak Hana kenapa?" tanya seorang cleaning service yang bertugas membersihkan lantai itu saat melihat mulut Hana komat-kamit.Hana mencebik kesal. "Tuh, bos songong," jawabnya singkat."Oh, bos yang baru ya, Mbak? Anaknya Pak Ares? Masa sih songong, Mbak? Pak Ares baik banget loh.""Nggak semua buah jatuh deket pohonnya, Mbak. Kali aja buahnya sebelum jatuh ke tanah udah kesundul sama jerapah, trus nggelundung jauh," jawab Hana asal.Cleaning service bernama Tina itu terbahak mendengar gerutuan Hana di pagi hari. "Tapi ganteng, Mbak. Wajar songong.""Ih." Hana makin berdecak kesal mendengar pujian Tina terhadap Evan. "Teori dari mana itu?"Mengabaikan Tina yang masih mengelap dispenser sambil terkekeh, Hana memilih mengetuk pintu ruangan Ev
"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya."Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya."Saya mau print out-nya," desak Evan.Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan."Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama."Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.Evan mend
"Han, ke ruangan saya!" perintah Evan melalui sambungan internal.Beberapa detik kemudian, Hana telah berdiri di hadapan Evan. "Ada apa, Pak?"Evan menelaah reaksi Hana. Apakah Hana masih marah padanya karena kejadian malam sebelumnya? Tapi rasa-rasanya ia tidak menemukan perbedaan berarti dari ekspresi Hana padanya. Tetap dingin."Saya nggak suka warna background power point yang kamu siapkan buat presentasi."Seriously? Warna background power point? Ingin rasanya Hana mengumpat. Hana selalu menggunakan warna netral dalam setiap presentasi yang ia siapkan, jadi ia harus mengganti dengan warna apa? Pink?"Pak Evan mau warna apa?""Terserah kamu. Pokoknya jangan ini.""Kalau terserah saya, mungkin saya akan ganti warna biru ini jadi pink atau merah darah. Pak Evan mau?"Evan mendesis kesal. Kenapa wanita di depannya itu selalu bisa membantahnya. Dan itu adalah hal yang paling dibencinya. "Ah udah lah. Nggak jadi.""Lah, labil!" gumam Hana yang ternyata didengar Evan."Kamu bilang apa b
Hana mengerjapkan matanya perlahan. Setelah matanya membuka sempurna, barulah Hana mengernyit bingung, pemandangan yang ada di depan matanya bukanlah dinding dan plafon kamarnya. Saat ia akan menggerakkan tangannya, sesuatu terasa menahan tangannya. Hana menoleh dan mendapati Azka yang tertidur di kursi yang ada di sebelah kasurnya sambil menggenggam tangannya."Udah bangun?" tanya Azka saat merasakan gerakan tangan Hana yang digenggamnya."Hmm ...." Hana hanya menjawabnya dengan gumaman. Kemudian ia teringat sesuatu. "Tante Rimbi nggak tau kan kalo aku masuk rumah sakit? Tante Letta? Om Ares?""Kamu beruntung, mama papaku, Tante Letta sama Om Ares, semua lagi ke Jogja ke tempat Mbah, coba kalo mereka di sini, udah penuh ini kamar."Hana terkekeh dan berusaha untuk mengubah posisinya."Kamu butuh sesuatu? Aku panggiling dokter ya?"Hana menggeleng. Dari jam dinding yang ada di kamar itu, ia tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan pastinya psikiaternya sudah tidak b
Vio kemudian menatap Hana, seakan meminta Hana mempertimbangkannya."Aku bakal ngasih tau orang tuaku apa yang terjadi kalau kamu nggak pulang ke rumah," ancam Evan.Hana menghela napas, lantas tersenyum sambil memegang tangan Vio. "Gue ke Menteng aja, nggak apa-apa.""Yang ada bukannya sembuh, malah makin parah," gumam Vio yang ternyata didengar Evan dan membuahkan cibiran dari Evan.***Hana berusaha memejamkan mata sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Evan. Berbicara dengan Evan adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkannya saat ini.Tapi sepertinya Evan tahu kalau Hana tidak benar-benar sedang tidur. "Aku nyuruh kamu tidur di rumah karena nggak pantes buat seorang cewek tidur di rumah laki-laki yang bukan keluarga," ucap Evan tiba-tiba. "Ayah sama Mama pasti juga bakal ngelarang kalau tau."Hana terpaksa membuka matanya. Keningnya berkerut memikirkan ucapan Evan. "Kita juga bukan keluarga by the way." Hana mendengkus kesal. "Aku udah nggak punya keluarga." Entah kenapa
"Hana nginep di sini, Van?" tanya Azka begitu memasuki kamar Evan.Azka yang baru tahu kalau Hana sudah keluar dari rumah sakit, langsung menghubungi Hana untuk menanyakan keadaannya. Saat Azka menawarkan diri ke apartemen wanita itu untuk membawakan apa yang dia butuhkan, tiba-tiba saja Hana berkata kalau dirinya menginap di Menteng.Karena ucapan Hana itu, Azka langsung mengarahkan mobilnya menuju Menteng di mana rumah om dan tantenya berada."Iya, Mas."Terlihat ekepresi lega dari Azka. Bagaimana pun juga, seruwet apa pun hubungan Evan dan Hana, Azka tentunya merasa lebih tenang kalau Hana tidak sendirian di apartemen."Kok mau? Biasanya kalo abis kambuh dia ngeyel buat tinggal di apartemen.""Aku ancem ngasih tau Mama sama Ayah."Azka mengangguk mengerti. "Dia udah minum obat?""Aku nggak ngecek, cuma pas tadi siang aja.""Ya udah, aku ke kamar dia dulu buat ngecek."Azka keluar dari kamar Evan, menaiki undakan tangga menuju kamar Hana. Yang tidak disadarinya, ternyata Evan mengik
"El, temen Kakak mau ke sini boleh?" tanya Hana pada Elga yang belum mau pergi dari kamar Hana karena khawatir.Hana tahu diri, meskipun ia sudah tinggal bertahun-tahun di rumah sebelum ia memutuskan tinggal sendiri di apartemen, tetap saja itu bukan rumahnya dan ia selalu meminta izin jika akan ada temannya yang datang, dari dulu selalu begitu, pun sekarang, tidak ada yang berubah."Boleh lah, Kak. Kenapa mesti nanya sih. Ini kan rumah Kak Hana juga."Hana tersenyum melihat Elga yang menjawabnya sambil asik menonton salah satu series di salah satu layanan streaming berbayar. Ia lantas membalas pesan Vio yang masuk belum lama ke ponselnya.Hana: Ok, Vi. Ke sini aja."Emang siapa Kak yang mau ke sini?" Mata Elga tertuju pada layar, tapi ia masih bisa membagi fokusnya dengan bertanya pada Hana."Vio.""Oh, Kak Vio." Elga memang sudah mengenal Vio dari dulu karena Vio adalah teman Hana yang paling sering datang ke rumah itu. Sepertinya hampir semua keluarganya mengenal Vio, kecuali Elaks
“Hana, kamu kok nggak bilang kalo sakit?” tanya Letta yang langsung menuju kamar Hana setelah mendapat informasi perihal sakitnya Hana dari Azka. “Kan Tante udah bilang, kalo ada apa-apa langsung hubungi Tante.”Hana tersenyum mendengar omelan dari wanita paruh baya yang dipanggilnya ‘Tante’ tapi dirasanya sebagai pengganti mamanya. “Kan di sini banyak yang jagain Hana, Tan.”Letta mendengkus, memang banyak yang menaruh perhatian pada Hana, buktinya Azka sampai menginap di rumahnya, dan di kamar Hana ada dua orang yang juga selalu mengkhawatirkan Hana, Vio dan Ibra. “Vio, Ibra, apa kabar? Lama nggak main ke sini?”“Baik Tante.” Keduanya menjawab bersamaan dan mengulurkan tangan untuk menyapa Letta dengan sopan.“Hana udah minum obat?” tanya Letta lagi. Dia tahu pasti dokter Erlin memberi Hana obat yang harus diminum selama beberapa waktu setelah PTSD-nya kambuh.“Yang pagi udah, Tan. Nanti yang siang kan setelah makan siang.”“Kamu lagi pengen makan sesuatu nggak? Tante bikinin ya,” t
Hana berjalan keluar dari kamarnya sambil mengusap mata saat bel apartemennya berbunyi nyaring. Dengan malas ia membuka pintu apartemennya, bahkan lupa bertanya siapa yang ada di depan pintu dan mengusik tidurnya.“Baru bangun?”Hana membelalakkan mata saat menatap Evan yang sudah rapi berdiri santai di depan pintu unit apartemennya. Oh, ralat, apartemen Ares, ayahnya Evan sendiri.“Kamu ngapain ke sini pagi-pagi?”“Disuruh Mama nganterin sarapan buat kamu sekalian sarapan bareng.”Hana masih berbicara dengan Evan dari sela pintu, belum memberikan akses lebih agar Evan bisa masuk. “Jangan ngada-ngada ah.”Evan lantas mengangkat tote bag berisi beberapa kotak makan yang memang tadi disiapkan mamanya. “Telepon Mama aja kalo nggak percaya.”Melihat raut wajah Evan yang sepertinya tidak berbohong, Hana membuka pintu lebih lebar, memberikan ruang agar Evan bisa masuk ke dalam apartemen.Hana tidak mengacuhkan keberadaan Evan dan memilih duduk di sofa. Sepertinya nyawanya belum benar-benar
Evan membuka laptopnya, menunggu e-mail masuk dari Ndaru yang akan mengirimkan file apk yang harus di-install-nya untuk bisa mengakses data di laptop milik Hana.E-mail dari Ndaru datang tidak lama kemudian. Ia menginstall file apk itu dengan langkah-langkah yang sudah disertakan Ndaru dalam e-mail-nya.Finished.Evan bernapas lega setelah mengklik sebuah kotak bertuliskan 'finished' yang menandakan aplikasinya siap ia gunakan. Ia hanya perlu menunggu Hana untuk menyalakan laptopnya.Ia berdiam diri di depan layar laptopnya selama sepuluh menit. Karena sepertinya Hana belum juga menyalakan laptopnya, Evan memilih mandi untuk menyegarkan badannya.Evan tidak bisa menikmati prosesi mandinya. Ia terlalu penasaran dengan apa yang akan ia temukan di dalam data yang ada di laptop Hana. Karena itu, dalam waktu sepuluh menit, ia sudah kembali mematung di depan layar laptopnya.-Access opened-Evan hampir saja berteriak saat mendapatkan notifikasi itu di layar laptopnya.Segera ia membuka fold
Tangan Evan menutup cepat aplikasi yang akhirnya selesai di-install-nya. Evan berusaha menguasai diri, mencari jawaban terbaik yang tidak akan membuat Hana curiga. “Sorry, aku numpang ngirim e-mail.”Hana mendelik kesal. “Ya kan bisa izin dulu, Van.”“Aku udah izin, kamu aja yang nggak denger, keasikan mandi ya.”“Mana ada? Aku nggak denger kamu izin ke aku.”Evan bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Hana, merapikan anak rambutnya yang masih basah dan berantakan. “Kamu nggak denger, Han.” Bukan pertanyaan yang disampaikan Evan, melainkan pernyataan, untuk meyakinkan Hana kalau ia lah yang tidak mendengar saat Evan meminta izin menggunakan laptopnya.“Kalo nggak percaya, kamu tanya Ribka besok. Tadi aku e-mail ke dia revisi laporan yang dia bikin waktu kamu sakit.”Hana terdiam, baginya masih ada yang mengganjal. “Kan bisa besok, harus banget jam segini ngirimnya?”“Ya kan mumpung aku inget, padahal ini udah mau kukirim dari tadi pagi, malah lupa. Makanya aku ngirim sekarang mum
“Van, ini terlalu berisiko.”“Kamu pasti paham kan, Han, yang namanya high risk high return?” balas Evan.Siang itu, Hana mengantarkan proposal yang dibuat oleh Tim II yang ada di Divisi Pengembangan Usaha. Hana telah menyusun pro kontra dari proposal itu untuk diperiksa Evan. Ia tidak akan melakukannya kalau proposal yang diberikan dari beberapa Tim yang ada di bawah Evan cukup rasional.“Tapi ini bukannya high risk high return lagi, Van. Ini tuh too good to be true.”“Ya udah, nanti saya pelajari lagi. Tapi setelah nanti saya bikin keputusan, itu final ya, nggak bisa diubah lagi.”Hana mengacak rambutnya dengan frustasi. “Aku akan bilang ke Om Ares kalo proposal semacam ini kamu lolosin.”Evan berdiri dari duduknya. Ia melangkah ringan ke arah Hana yang duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Ia lantas menunduk, kedua tangannya meraih pinggiran kursi dan memutar kursi yang diduduki Hana agar menghadapnya.“Kenapa? Kamu takut aku berhasil menunjukkan kemampuanku?”Wajah Evan yan
“Sore, Yah,” ucap Evan setelah membuka pintu ruang kerja ayahnya.“Masuk, Van. Eh, Hana ikut juga.”“Evan yang minta ikut, Om. Aku balik aja nggak apa-apa sih, masih banyak yang mesti kukerjain.”“Di sini aja, Om cuma mau ngobrol yang enteng-enteng aja kok.”Evan mendelik kesal ke arah Hana.Hana membalas tatapan Evan dengan bingung. “Kenapa?”“Katamu kalau sama Ayah di kantor kamu tetep pake panggilan resmi meskipun cuma berdua.”Hana terdiam. Toh sudah ketahuan kalau ia bohong.Ares terkekeh. “Mana ada. Kalo lagi nggak ada orang lain, ya manggil biasa aja kayak di rumah.” Ia kemudian mengajak Evan dan Hana duduk di sofa yang ada di tengah ruangannya. “Gimana kerjaan, Van?”“Yah, so far sih masih bisa handle, Yah. Lagian Hana ngebantuin banget kok.” Evan melirik ke arah Hana yang terlihat menegang setelah ia mengucapkannya.“Hana memang nggak perlu diragukan lagi kerjanya, Van. Itu lah dulu yang bikin Ayah sama ayahnya Hana bisa handle perusahaan ini. Ayahnya Hana itu cerdas dan bert
Mata Hana masih membuka sempurna, terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan Evan. ia mendorong Evan sekuat tenaganya dan untungnya berhasil.Setelah Evan mundur, sekilas Hana melihat Evan yang mengangkat salah satu sudut bibirnya seakan tersenyum.Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Evan. Tidak terlalu keras memang, karena Hana mengontrol tenaganya. Andai yang melakukannya orang lain, mungkin Hana akan mengerahkan semua tenaganya.Tanpa berkata apa-apa lagi, Hana melangkah keluar dari ruangan Evan.Hana memejamkan mata sambil mengatur napasnya sesaat setelah ia menutup pintu ruangan Evan.Tina—cleaning service—yang mengamati tingkah Hana mengernyitkan dahi karena bingung. “Mbak Hana kenapa? Kok mukanya merah banget?”“Nggak apa-apa, agak gerah aja.” Menyadari keberadaan Tina yang tak jauh darinya, membuat Hana melenggang anggun menuju mejanya, seakan-akan tidak ada yang terjadi.“AC ruangan Pak Evan kurang dingin ya, Mbak? Apa perlu minta orang AC buat dateng Mbak?”“Nggak usah. Pak
Ibra: Han, aku udah di parkiran ya.Hana: Ok, aku turun Bang.Hana melirik pintu ruangan Evan yang belum terbuka lagi sejak Evan membantingnya. ‘Ah udah lah, udah gede ini, bisa cari makan sendiri,’ batinnya.“Sorry, Bang. Lama ya nunggunya? Liftnya suka rame kalo jam istirahat,” ucapnya begitu memasuki mobil yang dikendarai Ibra.“Nggak kok. Ready? Mau makan di mana?”Hana melirik Ibra takut-takut. “Junk food boleh nggak?”Ibra balas melirik Hana sambil mulai menekan pedal gasnya. “Kamu beneran pengen junk food? Nggak bisa diganggu gugat?”“Sebenernya aku pengen waffle ice cream-nya.”“Ya udah kalo gitu. Yang penting sarapan sama makan malammu makanan sehat kan?” Ibra memastikan sekali lagi, walaupun sebenarnya masa pemulihan Hana ini tidak ada hubungannya dengan kondisi fisik, karena yang harus dipulihkannya adalah kondisi mentalnya.“Jelas makan sehat lah, Bang. Kan di rumah Tante Letta.”“Oh iya bener. Kamu kapan balik ke apartemen?”“Belum nanya lagi bolehnya kapan. Sebenernya ak
Hana berdiri dengan resah saat akan berangkat ke kantor. Di dekatnya, Evan dan ayahnya sama-sama sedang bersiap. Tapi Hana tahu kalau masing-masing dari mereka akan membawa mobil sendiri untuk mempermudah mobilitas. Lalu ia harus ikut siapa? Sementara mobilnya sendiri ada di apartemen.Dulu, saat ia menjadi asisten Ares, jelas ia akan ikut mobil Ares. Tapi kini ia adalah asisten Evan. Dan yang lebih mengesalkan baginya, ia tidak punya keberanian untuk meminta tumpangan kepada Evan. ‘Apa pesen taksi online aja ya? Atau naik KRL aja?’ batinnya bingung.“Yah, ini kopinya.” Letta muncul dari pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah dengan membawa tumbler berisi kopi kesukaan suaminya.Ares mengucapkan terima kasih kemudian mengecup singkat puncak kepala istrinya sebelum ia melangkah ke dalam mobil.“Hana, sana, kok kamu masih bengong,” ucap Letta.Belum sempat Hana menjawab, Ares menimpali ucapan istrinya. “Hana kan sekarang asistennya Evan. Ya Hana sama Evan lah, Ma.”“Oh iya
Evan mendengkus kesal. Kenapa tidak ada satu pun orang yang mempercayainya? Saat menatap ayahnya yang sedang menyesap kopi di depannya, barulah ia ingat sesuatu yang pernah ingin disampaikannya, namun kesempatannya selalu tidak tepat.“Yah, Ayah kan paling anti sama perjodohan. Kenapa sekarang Ayah kesannya kayak ngebiarin Mama jodohin aku sama Hana? Ayah nggak bisa bantu aku buat ngubah keputusan Mama?”Ares menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Ya, ia memang menentang yang namanya perjodohah. Karena itu, ia tidak pernah berniat untuk mencarikan anak-anaknya jodoh apalagi demi urusan bisnis.“Ayah sama Mama bukan lagi jodohin kamu, Van. Ayah sama Mama lagi ngajarin kamu arti kata tanggung jawab. Kamu udah tidur sama Hana, apa nggak ada keinginan dari kamu buat bertanggung jawab? Apa ini hasil yang Ayah sama Mama ajarkan ke kamu?”Evan terdiam, ia belum pernah melihat raut kekecewaan dari ayahnya selama ini. Pun saat ia memilih menjalankan bisnis kecil-kecilannya sendiri,