"Evan!" Hana menatap Evan yang bersandar pada dinding, berusaha untuk berdiri tegap walaupun kesulitan.
"Panggil ... aku 'Pak'!" ucap Evan dengan nada yang menyiratkan kalau dia sudah benar-benar mabuk.
"Kita udah di rumah, Van. Aku nggak perlu manggil kamu 'Pak'. Oh please, Van. Aku juga pusing banget gara-gara kamu paksa minum."
Evan terkekeh, kemudian menatap Hana tanpa berkedip. "Bohong!"
"Aku mau balik ke kamarku," ucap Hana tegas. Kepalanya semakin berdenyut dan matanya hampir menutup karena kantuknya tidak tertahan lagi. Hana lantas melangkah, mengabaikan Evan dengan segala ucapannya yang mulai tidak masuk akal.
Tapi lagi-lagi Evan menariknya, kali ini hingga ke arah kasur dan mendorong Hana dengan cukup keras.
Hana menggeram kesal. Namun sepertinya Evan tidak memperhatikannya.
"Kamu asistenku," ucapnya sambil menyeringai dan menahan tangan Hana.
Meskipun Evan sedang mabuk, tapi tenaganya nyatanya masih bisa untuk mendorong dan menahan Hana dengan posisi mengungkungnya di atas kasur. Hana tahu kalau ia tidak akan sanggup melawan tenaga Evan. Tapi ia benar-benar benci melihat sorot mata Evan yang seperti ini, sorot mata meremehkannya.
"Terus kenapa kalo aku asistenmu?"
"Sleep with me."
Hana sangat menyayangkan tangannya yang dicekal oleh Evan dengan kencang, andaikan tidak, ia pasti sudah menampar Evan dengan tangannya.
Evan kembali menyeringai, menunjukkan keangkuhannya karena berhasil mengendalikan Hana. Tapi bukan Hana kalau hanya diam diperlakukan seperti itu. Dengan perasaan kesal yang sudah sampai ubun-ubun, Hana membenturkan kepalanya ke kepala Evan agar lelaki itu menjauh darinya.
"Bitch!" Evan mengerang kesakitan sambil memegang dahinya yang terasa sakit akibat hantaman yang baru diterimanya. Dan bukan Evan kalau ia mengalah setelah diperlakukan seperti itu. Evan kembali merangsek maju, kali ini bukan hanya mencengkeram tangan Hana, tapi tubuhnya juga ikut menindih tubuh wanita itu agar ia tidak bisa berkutit.
"Evan!" Hana sudah tidak peduli kalau pun nantinya orang-orang di rumah itu akan terbangun, setidaknya akan ada orang lain yang cukup waras untuk menghentikan pergulatan mereka.
"Gimana rasanya kalau kamu harus ngelihat orang yang kamu benci setiap hari?" Evan menatap Hana tajam. Sebenci itu Evan pada wanita yang kini berada di bawahnya, sampai-sampai ia merasa muak hanya dengan membayangkan setiap hari akan bersamanya.
'Dan gimana rasanya kalau kamu mencintai seseorang yang menghabiskan setiap detiknya untuk membencimu?' Tentu saja pertanyaan itu hanya ditelan Hana sendiri. Ia tidak akan pernah menyampaikannya pada lelaki di atasnya itu.
"Aku mau hancurin kamu." Evan mulai menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hana. "Mungkin dimulai dari sini," ucapnya berbisik.
Mata Hana membulat sempurna. Ia bergerak gelisah, mencoba keluar dari siksaan yang diberikan Evan. Sampai akhirnya pertahanannya runtuh, air mata mengalir dari sudut matanya.
Saat Evan tersengal kehabisan napas dan mengangkat wajahnya dari ceruk leher Hana, barulah ia melihat air mata Hana. Evan melepaskan cengkeramannya di tangan Hana dengan menghentaknya kasar. Ia lantas berguling agar tidak lagi menindih Hana.
Hana yang merasa terbebas dari kungkungan Evan, seketika duduk dan merapikan pakaiannya. Baru saja Hana akan berdiri, Evan kembali menarik tangan Hana. "Tidur aja di sini, gue nggak akan ngapa-ngapain."
Hana mengernyit. Apa yang dipikirkan Evan? Tidak mungkin Hana masih mau berada di ruangan yang sama dengan Evan setelah apa yang dilakukan Evan padanya. "Kamarku di atas, kenapa aku harus tidur di sini?" Hana mencoba melepaskan cengkeraman tangan Evan, yang tentu saja gagal.
"Kamarmu kujadiin gudang karena kamu sudah sebulan lebih nggak ke sini."
"What?"
Evan mengabaikan tatapan tidak terima dari Hana. Ia berjalan ke pintu, menguncinya, dan mencabut kuncinya. Ia lalu berjalan ke walk in closet, dengan cueknya melepas kemejanya dan menggantinya dengan kaos. Usai keluar dari walk in closet, masih dengan berjalan sempoyongan, ia berniat melompat ke kasur, tapi tiba-tiba ia melihat Hana yang masih mengenakan dress pesta. Setelah menghela napas pelan, Evan mengambil sebuah kemejanya dan melemparkannya pada Hana.
Hana tertegun melihat kemeja di tangannya, dan beralih melihat Evan yang sudah tidur tengkurap di kasurnya. "Kunci kamarnya?"
***
"Mas, Evan semalem pulang jam berapa ya? Aku nggak denger dia pas pulang." Letta yang masih mengerjap-ngerjapkan matanya langsung teringat anaknya yang baru ia jebloskan ke sesuatu bernama 'tanggung jawab'.
Ares masih merenggangkan ototnya sambil menarik kembali istrinya ke dalam pelukannya. "Nggak tau. Biarin aja, udah gede kok."
"Ya nggak gitu, Mas. Kesannya kita nggak peduli banget. Abis minta dia masuk perusahaan, terus kita tinggal begitu aja, bahkan nggak nanyain gimana dia semalem berbaur sama rekan bisnis kita."
"Ada Hana, Ta. Tenang aja."
"Iya sih. Hmm, Mas, kamu nggak mau jodohin Hana sama Evan aja?" tanya Letta iseng, padahal ia tahu kalau suaminya paling anti dengan yang namanya perjodohan karena trauma masa lalunya.
Saat itu, ia menjalin hubungan dengan Letta, tapi karena suatu hal, Papa dari Letta tidak setuju dan menjodohkan Letta dengan Ezra, anak asuhnya yang sangat ia percaya.
Ares hanya mendelik kesal ke arah istrinya dan Letta langsung menutup mulut sambil tergelak.
"Iya, iya, nggak ada perjodohan. Tapi itu Evan nggak pernah punya pacar loh, Mas. Apa kamu nggak takut kalau dia--"
"Apa?" tanya Ares menyela ucapan Letta.
"Evan terakhir pacaran udah lama banget. Anak kita masih suka lawan jenis kan, Mas?"
Ares menghela napas berat. "Anak kita itu suka gunung, laut, hutan, sungai, gua, gimana mau dapet cewek? Kamu siap-siap aja kalo nanti dia bawa calon istri dari daerah yang namanya nggak pernah kamu denger, misalnya ... Fakfak, Baubau."
"Apa sih, Mas!" Letta mengerucutkan bibir. "Aku sih yang penting dia bawa cewek, bukan cowok. Ya udah, aku mau ngecek Evan dulu."
Ares menggeleng melihat kelakuan istrinya. Evan sudah berusia lebih dari seperempat abad, dan istrinya itu masih mencemaskannya seakan-akan Evan masih anak SD. Walau memang benar kelakuan Evan yang paling mengkhawatirkan dibanding anak-anaknya yang lain—Elaksi dan Elga. Apalagi Evan satu-satunya anak laki-laki di keluarga mereka, mungkin karena itu istrinya menaruh harapan besar pada Evan untuk bisa meneruskan perusahaan dan menjaga adik-adiknya nanti ketika mereka sudah tidak ada.
Letta berjalan menuju rumah belakang, masih sambil sesekali menguap. Sepagi itu, biasanya kedua anak perempuannya, Elaksi dan Elga sudah pergi jogging keluar rumah. Hobby yang sudah dijalani keduanya bertahun-tahun. Berarti di rumah belakang tinggal ada Evan, karena ART yang tidur di rumah belakang pun sudah menjalankan pekerjaannya.
Tiba di depan pintu kamar anaknya, Letta mengetuknya beberapa kali tapi tidak ada sahutan dari dalam. Letta kemudian meraih handle pintu, berusaha membukanya, tapi ternyata tidak bisa karena Evan menguncinya.
"Anak ini, ngapain sih kamarnya pake dikunci." Letta berjalan ke arah ruang kerja yang ada di rumah itu, di sana ia menyimpan kunci cadangan untuk setiap ruangan. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, Letta bergegas kembali menuju kamar Evan.
"Evan, bangun!" teriak Letta sambil membuka pintu kamar anaknya.
Tapi bukan Evan yang terbangun, melainkan seorang perempuan yang sangat dikenalnya, yang mengusap matanya beberapa kali kemudian terperanjat saat melihat Letta berdiri di depan pintu kamar. "Tante?"
Letta mematung di depan pintu, sebelum akhirnya berhasil menguasai diri dan berjalan ke arah kasur untuk menyeret anaknya agar bangun. Sementara Hana yang kini telah berdiri dengan hanya mengenakan kemeja Evan, menambah pemandangan yang membuat Letta menghela napas."Evan!" Letta memukul betis Evan yang sedang tengkurap, berkali-kali, karena hanya itu area yang bisa dijangkau Letta.Meskipun Evan sering berolah raga, terutama pergi ke gym, hingga otot-ototnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana liatnya, pukulan mamanya yang merupakan pemegang sabuk hitam tae kwon do dan mantan atlet tae kwon do saat SMA tidak perlu ditanya lagi kekuatannya.Evan langsung berteriak pada pukulan kedua, dan masih terus berteriak karena mamanya belum berhenti memukulnya. Pada akhrinya, entah di pukulan yang ke berapa, Evan tidak kuat lagi dan bangkit dari posisinya. Ia berdiri di atas kasur mengambil jarak sejauh mungkin dari mamanya."Mama kenapa sih?" tanya Evan bersungut. Tidak biasanya mamanya memban
"Kak, ngerasa aneh nggak sih sama suasana makan tadi?" tanya Elga yang mengekori Elaksi menuju kamarnya usai sarapan."Aneh gimana?" Elaksi memang paling cuek di antara tiga bersaudara itu, karenanya ia tidak memperhatikan hal-hal detail seperti adiknya, Elga yang berbeda delapan tahun darinya itu."Mama sama Ayah kayak kelihatan tegang gitu. Trus Mas Evan kayak ketakutan gitu, nunduk terus. Apa Mas Evan ngelakuin kesalahan ya, Kak?""Ya ampun, El. Mas Evan udah sedewasa itu, bukan anak sekolahan lagi yang ketahuan nilainya jelek atau cabut dari sekolah. Kesalahan apa yang bisa bikin dia ketakutan kayak asumsimu? Tidur sama cewek?""Hush! Kakak ah. Ngomongnya itu loh."Elaksi terbahak melihat adiknya yang bergidik ngeri sambil merebahkan diri di kasurnya.Di keluarga Cakrawangsa, tidak mengenal istilah seks sebelum menikah. Ares dan Letta selalu mengajarkan kepada mereka untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Ares tahu hal itu sulit, di zaman sekarang yang serba bebas, apalagi jik
"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya."Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua se
"Selamat pagi, Pak," ucap Hana sambil menunduk singkat saat melihat Evan melewati mejanya untuk masuk ke dalam ruangan.Evan tidak menjawab sapaan Hana, bahkan melemparkan senyuman pun tidak.Hana mengoceh tanpa suara melihat kelakuan Evan padanya."Mbak Hana kenapa?" tanya seorang cleaning service yang bertugas membersihkan lantai itu saat melihat mulut Hana komat-kamit.Hana mencebik kesal. "Tuh, bos songong," jawabnya singkat."Oh, bos yang baru ya, Mbak? Anaknya Pak Ares? Masa sih songong, Mbak? Pak Ares baik banget loh.""Nggak semua buah jatuh deket pohonnya, Mbak. Kali aja buahnya sebelum jatuh ke tanah udah kesundul sama jerapah, trus nggelundung jauh," jawab Hana asal.Cleaning service bernama Tina itu terbahak mendengar gerutuan Hana di pagi hari. "Tapi ganteng, Mbak. Wajar songong.""Ih." Hana makin berdecak kesal mendengar pujian Tina terhadap Evan. "Teori dari mana itu?"Mengabaikan Tina yang masih mengelap dispenser sambil terkekeh, Hana memilih mengetuk pintu ruangan Ev
"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya."Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya."Saya mau print out-nya," desak Evan.Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan."Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama."Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.Evan mend
"Han, ke ruangan saya!" perintah Evan melalui sambungan internal.Beberapa detik kemudian, Hana telah berdiri di hadapan Evan. "Ada apa, Pak?"Evan menelaah reaksi Hana. Apakah Hana masih marah padanya karena kejadian malam sebelumnya? Tapi rasa-rasanya ia tidak menemukan perbedaan berarti dari ekspresi Hana padanya. Tetap dingin."Saya nggak suka warna background power point yang kamu siapkan buat presentasi."Seriously? Warna background power point? Ingin rasanya Hana mengumpat. Hana selalu menggunakan warna netral dalam setiap presentasi yang ia siapkan, jadi ia harus mengganti dengan warna apa? Pink?"Pak Evan mau warna apa?""Terserah kamu. Pokoknya jangan ini.""Kalau terserah saya, mungkin saya akan ganti warna biru ini jadi pink atau merah darah. Pak Evan mau?"Evan mendesis kesal. Kenapa wanita di depannya itu selalu bisa membantahnya. Dan itu adalah hal yang paling dibencinya. "Ah udah lah. Nggak jadi.""Lah, labil!" gumam Hana yang ternyata didengar Evan."Kamu bilang apa b
Hana mengerjapkan matanya perlahan. Setelah matanya membuka sempurna, barulah Hana mengernyit bingung, pemandangan yang ada di depan matanya bukanlah dinding dan plafon kamarnya. Saat ia akan menggerakkan tangannya, sesuatu terasa menahan tangannya. Hana menoleh dan mendapati Azka yang tertidur di kursi yang ada di sebelah kasurnya sambil menggenggam tangannya."Udah bangun?" tanya Azka saat merasakan gerakan tangan Hana yang digenggamnya."Hmm ...." Hana hanya menjawabnya dengan gumaman. Kemudian ia teringat sesuatu. "Tante Rimbi nggak tau kan kalo aku masuk rumah sakit? Tante Letta? Om Ares?""Kamu beruntung, mama papaku, Tante Letta sama Om Ares, semua lagi ke Jogja ke tempat Mbah, coba kalo mereka di sini, udah penuh ini kamar."Hana terkekeh dan berusaha untuk mengubah posisinya."Kamu butuh sesuatu? Aku panggiling dokter ya?"Hana menggeleng. Dari jam dinding yang ada di kamar itu, ia tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan pastinya psikiaternya sudah tidak b
Vio kemudian menatap Hana, seakan meminta Hana mempertimbangkannya."Aku bakal ngasih tau orang tuaku apa yang terjadi kalau kamu nggak pulang ke rumah," ancam Evan.Hana menghela napas, lantas tersenyum sambil memegang tangan Vio. "Gue ke Menteng aja, nggak apa-apa.""Yang ada bukannya sembuh, malah makin parah," gumam Vio yang ternyata didengar Evan dan membuahkan cibiran dari Evan.***Hana berusaha memejamkan mata sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Evan. Berbicara dengan Evan adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkannya saat ini.Tapi sepertinya Evan tahu kalau Hana tidak benar-benar sedang tidur. "Aku nyuruh kamu tidur di rumah karena nggak pantes buat seorang cewek tidur di rumah laki-laki yang bukan keluarga," ucap Evan tiba-tiba. "Ayah sama Mama pasti juga bakal ngelarang kalau tau."Hana terpaksa membuka matanya. Keningnya berkerut memikirkan ucapan Evan. "Kita juga bukan keluarga by the way." Hana mendengkus kesal. "Aku udah nggak punya keluarga." Entah kenapa
"Van, kamu lagi nyetir, mending matiin aja video call-nya. Bahaya.""Kamu nggak apa-apa? Kenapa nggak nelepon aku pas dia dateng tadi?""Kamu mau ketemu dia?""Bukan gitu, Sayang. Aku kan jadi nggak bisa ngelindungin kamu. Bentar ya, aku udah mau nyampe."Evan mematikan sambungan video call-nya, meninggalkan Hana yang bingung saat mendengar Evan hampir sampai di tujuan. 'Nggak mungkin udah sampe kantor kan? Cepet banget.'"Sayang."Hana menoleh dengan kaget ke arah pintu kamar yang baru saja dibuka."Kok balik?""Ya aku nggak bisa tenang lah. Tadi aku langsung puter balik pas dapet telepon dari Bibi. Tapi macet banget pas mau puter baliknya. Maaf ya, lama. Kamu nggak apa-apa?" Evan menarik Hana ke dalam pelukannya, mengusapi punggungnya pelan. "Nggak ada omongan dia yang bener. Jangan ada yang dimasukin ke hati ya.""Kamu denger semuanya?""Hmm. Aku makin cinta sama kamu. Rasanya pengen tepuk tangan waktu kamu bales semua omongan nggak benernya."***"Kamu yakin ngelakuin ini, Van?""
Hana tahu kalau tidak sopan langsung bertanya seperti itu kepada tamu yang datang ke rumahnya. Tapi boleh kan ia membuat pengecualian untuk wanita itu? Ini rumahnya, dia punya kuasa sebenarnya untuk menerima atau mengusir tamu.Wanita yang dengan tenang duduk di sofa itu menyunggingkan senyumannya. Di atas meja terlihat satu keranjang buah, entah dalam rangka apa dia membawanya, sebagai tanda empati atau sebaliknya, sebagai tanda berbahagia."Aku cuma mau jenguk, katanya kamu baru keluar dari rumah sakit.""Makasih, kalo tujuanmu buat bener-bener jenguk. Tapi aku udah sehat.""Kamu memang udah sehat, tapi ... sayang banget ya ... calon anak Evan--""Sebenernya tujuan kamu apa, Mel? Aku tau kamu ke sini bukan buat jenguk. Kalo kamu mau jenguk aku, bisa pas ada suamiku kan? Sekalian kalo kamu mau nyoba deketin dia lagi."Melinda tersenyum pongah. "Gimana rasanya kehilangan yang seharusnya jadi milik kamu?""Aku memang kehilangan calon bayiku dan Evan, tapi masih ada rasa bahagia, sengga
"Sayang, udah tiga hari kita di sini, nggak mau balik ke rumah kita?" tanya Evan saat Hana merapikan dasinya sebelum berangkat ke kantor.Hana masih belum banyak bicara pada Evan, walau tetap menjawab apa yang Evan tanyakan. Tidur mereka pun masih terpisah, hanya kadang Hana masuk ke kamar Evan jika memang ada sesuatu yang harus diurusnya seperti merapikan pakaian kerja Evan atau mencari barang yang tidak bisa ditemukan Evan."Ya udah, nanti malem kita balik ke rumah.""Beneran? Nggak apa-apa? Kalo kamu masih mau di sini dulu nggak apa-apa juga kok.""Iya, nanti malem pulang aja."Beberapa hari ini Hana memperhatikan keluarga Evan yang masih memberikan silent treatment pada Evan. Semakin lama, rasanya semakin tidak tega melihatnya. Lagipula ia tidak mau mengumbar hubungan rumah tangganya lebih lama lagi. Sepertinya orang tua Evan pun mulai gelisah karena ia dan Evan masih seperti berada di dunia yang berbeda."Nanti abis makan malem kalo gitu ya."Hana mengangguk samar. "Aku ... kapan
Baru kali ini Evan mengalami makan malam tanpa suara obrolan.Keluarganya bukannya tidak tahu adab dengan banyak bicara saat prosesi makan berlangsung. Tapi karena kesibukan masing-masing anggota keluarganya, makan bersama tidak pernah diisi dengan keheningan. Minimal ada Elga yang selalu mengoceh, menceritakan apa saja yang menarik menurutnya.Namun malam itu, semua orang sepertinya sedang sakit gigi atau sariawan. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu dalam ruang makan yang luasnya bisa untuk dijadikan lapangan futsal itu.Ia pun tidak berani memulai percakapan, melihat mama dan ayahnya yang masih jelas-jelas memendam kemarahan padanya."Makan yang banyak, Han." Kalimat pertama yang terucap di ruang makan itu keluar dari Letta yang gelisah melihat Hana hanya mengaduk makanan di piringnya."Iya, Ma." Hana mulai memakan makanan di atas piringnya karena tidak ingin melihat tatapan cemas dari yang lainnya."Mau makan di kamar aja? Nanti aku anter ke kamar," ujar Evan lirih.Sebelum
"Sayang, kamu ngomong apa sih?""Mungkin kalo Melinda yang jadi istrimu—""Hana!" sela Evan yang kini memejamkan matanya, berusaha untuk mengatur emosinya. "Han, apa yang kamu lihat waktu itu nggak seperti yang kamu pikirin. Please, sekarang yang penting kamu sehat dulu. Nggak usah mikir yang nggak-nggak."Hana ingin menyahuti Evan, tapi pintu ruang rawat inapnya terbuka. Ayah mertuanya masuk sambil menyunggingkan senyumannya."Gimana, Han? Perlu Ayah panggilin dokter? Kata Mama dokter belum ngecek lagi ke sini setelah kamu bangun?"Hana membalas perhatian ayah mertuanya dengan sebuah senyuman, meski sangat sulit rasanya untuk tersenyum di kondisinya saat ini. "Nggak apa-apa kok, Yah. Biar nunggu jadwalnya dokter visit aja."Ares melirik Evan dengan tatapan yang sama sejak ia menampar anaknya itu. "Kamu sehat dulu ya, Han. Kalo udah sehat, kamu boleh minta penjelasan ke Evan, kamu boleh marah sama Evan, bahkan kalau kamu mau minta cerai pun, ayah nggak akan menghalangi. Di keluarga Ca
Hening.Tidak ada yang berbicara selama perjalanan dari rumah Evan ke rumah sakit.Ares memang marah pada anaknya, tapi sifat kebapakannya tidak juga luntur. Nyatanya ia menunggu Evan di dalam mobil, setelah memberi tahu kalau Hana berada di rumah sakit."Yah, kondisi Hana ...?" Evan melirik ayahnya yang fokus menyetir, menatapnya beberapa detik dan tidak mampu melanjutkan kalimatnya."Nanti kamu tanya sendiri. Itu juga kalo Hana mau nemuin kamu."***"Han." Letta memanggil Hana yang baru saja membuka matanya. Sudah beberapa jam ini ia tertidur di bawah kontrol obat penenang. "Ada yang terasa sakit? Mama panggilin dokter ya."Hana menggeleng pelan. "Nggak usah, Ma."Melihat gerakan Hana yang seperti ingin duduk, Letta bergegas membantunya. "Tiduran aja, Han. Ranjangnya otomatis kok.""Oh, iya, Ma." Hana kembali merebahkan diri dan tak lama kemudian bagian atas ranjangnya terasa bergerak naik setelah Letta menekan beberapa tombol di samping ranjang."Kak Azka mana, Ma?""Lagi ke kantin
Letta berlari di sepanjang koridor rumah sakit setelah mendengar kabar dari Azka. Suaminya juga sedang dalam perjalanan ke rumah sakit tapi terjebak kemacetan demonstran yang terjadi di depan salah satu kantor kementerian."Gimana, Ka?" tanya Letta yang melihat Azka duduk lemas di salah satu kursi ruang tunggu."Dokter belum keluar, Tan.""Kamu udah berhasil hubungin Evan? Nomor hpnya nggak aktif." Letta benar-benar bingung dengan situasi yang terjadi. Mengapa Hana ada di Jakarta dan Evan masih di Lombok? Belum lagi ponsel Evan yang tidak bisa dihubungi sejak Letta mendapat kabar kondisi Hana dari Azka.Beruntung Azka datang ke rumah Hana pagi itu, kalau tidak, Letta tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Hana. Hanya ada dua ART di rumah itu dan semuanya perempuan. Siapa yang bisa membawa Hana ke rumah sakit dalam keadaan merintih kesakitan. Menunggu ambulance atau pertolongan dari kelaurganya tentu saja membutuhkan waktu lebih lama lagi."Masih nggak aktif hpnya, Tan," jawab A
Dante Coffee, hanya tempat itu yang kini menarik perhatian Hana. Tempatnya tidak terlalu luas, ada beberapa pengunjung di dalam dan masih ada tempat kosong di sudut coffee shop itu.Ia melangkah masuk, memesan minuman hangat selagi menunggu jadwal penerbangannya.Jangan tanyakan perasaannya saat ini.Hampa.Bahkan air mata tak kunjung ingin keluar dari sudut matanya. Padahal ia membayangkan kelegaannya jika air matanya bisa keluar saat itu juga.Hana berjalan menuju counter saat namanya dipanggil. Di tangannya kini ada secangkir cappuccino yang mengepul. Lumayan untuk Hana menghangatkan telapak tangannya yang mulai kedinginan, pasalnya ia hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans, tanpa sempat berpikir mengambil cardigan dari dalam koper. Biasanya ia tidak memerlukan cardigan karena selalu ada Evan yang siap memeluknya.Lagi-lagi Hana tersenyum nanar, lelaki yang tiba-tiba saja muncul dipikirkannya saat ini, nyatanya tengah memeluk wanita lain. Apa yang bisa ia harapkan?Se
Hana mengerjap pelan, kepalanya berat, dan kakinya masih pegal, rasanya seperti ia baru saja selesai latihan tae kwon do. Ia meraba-raba sisi kasur di sebelahnya, namun tidak menemukan keberadaan suaminya.'Mungkin di kamar mandi,' pikirnya.Ia kembali memejamkan mata, dan terlelap.Entah pukul berapa saat itu, yang jelas suara telepon internal di dalam kamar yang berbunyi nyaring membuat Hana terbangun. Ia mencoba meraih gagang telepon yang ada di atas nakas."Halo," jawabnya dengan suara serak khas orang bangun tidur."Han, lo tidur? Sorry, sorry.""Ada apa, Fin?" tanya Hana setelah yakin kalau suara di seberang sambungan telepon adalah suara Arfindo."Lo sama Evan nggak mau jalan-jalan gitu, lihat sunset mungkin? Gue gabut nih di kamar sendirian, nggak apa-apa deh gue jadi obat nyamuk kalian. Nggak enak banget sumpah, masa sampe Lombok cuma ngerem di kamar.""Hah? Lihat sunset?" Padahal Hana kira saat itu sudah pagi, tapi Arfindo mengajaknya melihat sunset? Ia lantas mengecek ponsel