"Evan, senyum dong. Kamu kayak mau dibawa ke tiang gantungan," ucap mamanya berusaha mencairkan suasana tegang di kamar hotel itu.
Hari ini, Evan harus mengubur semua mimpinya, meninggalkan usaha yang dirintisnya demi memenuhi permintaan orang tuanya untuk terjun ke dalam perusahaan keluarga ayahnya.
"Ma ...." Masih ada waktu, mungkin ia masih bisa meyakinkan mamanya untuk membatalkan permintaan mamanya itu.
"Evan, maafin Mama ya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kalo aja ayahmu masih muda, Mama nggak akan minta kamu buat ngelakuin yang sebenernya nggak kamu suka. Maafin Mama ya, Van."
Melihat sudut mata mamanya yang sudah basah, tangan Evan langsung menggenggam tangan mamanya. "Nggak apa-apa, Ma. Aku ... coba ngerti. Ini tanggung jawabku sebagai anak sulung."
Evan mencoba tersenyum di depan mamanya, walau hatinya juga hancur.
"Hei, Van! Kamu apain Mama kamu sampe matanya berkaca-kaca?" tanya ayahnya panik begitu keluar dari kamar mandi.
"Posesif," ledek Evan saat melihat kebucinan ayahnya yang tidak kunjung hilang sejak dulu.
"Nggak apa-apa, Mas. Yuk kita keluar, biar Evan punya waktu sendiri sebelum acara."
Ares menggandeng Letta untuk keluar dari kamar hotel.
Malam itu, akan diadakan seremonial pengangkatan beberapa anggota Board of Director (BoD) Cakrawangsa Group yang baru, dan salah satu nama yang mengisi anggota BoD adalah Evan Gale Cakrawangsa, sebagai Direktur Pengembangan Usaha.
Ares menatap Letta dengan sungguh-sungguh. "Kenapa? Evan ngomong apa sampe kamu nangis?"
"Jujur aku sedih, Mas. Maksa Evan ngelakuin apa yang nggak dia suka, tapi ... aktingku meyakinkan kan?" Kini Letta tersenyum pongah karena berhasil mengelabui anak dan suaminya.
"Hah? Kamu akting? Astaga!"
"Kalo nggak gini, Evan nggak akan mau turun ke perusahaan, Mas."
Acara malam itu berlangsung lancar. Evan bahkan memberikan sambutan yang dihadiahi applause meriah dari para tamu undangan.
Ia bukannya tidak terlatih mengelola bisnis. Hanya saja bisnis yang dirintisnya masih seumur batita, dan scope-nya jelas jauh berbeda dibanding bisnis keluarganya yang sudah dipegang keturunan keempat.
"Evan, mulai hari ini Hana bakal jadi asistenmu," ucap ayahnya saat jamuan makan malam usai dan mereka bisa mengobrol ringan.
"Hah? Si golden princess?" tanyanya tidak percaya.
"Evan!" Ares dan Letta bersamaan menegur putranya itu yang dengan tidak sopannya memberikan julukan pada Hana.
Julukan golden princess memang menjadi rahasia umum di keluarganya. Ia dan seorang adiknya, Elaksi, benar-benar membenci Hana yang mendapat perlakuan spesial dari keluarganya.
Dulu ayah Hana adalah sahabat Ares. Saat Ares terpaksa terjun ke perusahaan karena ayahnya tiba-tiba terkena stroke, ayah Hana lah yang membantunya. Di sisi lain, ibunya Hana adalah sekretaris Letta saat menjabat sebagai Direktur Utama PT Mahendra yang kini di-handle keponakannya.
Sayangnya, orang tua Hana tidak berumur panjang, mereka terlibat kecelakaan beruntun di jalan tol, dan meninggalkan Hana untuk hidup sebagai yatim piatu.
"Maksudku, dia kan asisten Ayah. Kenapa tiba-tiba jadi asistenku. Nanti aku bisa cari asisten sendiri, Yah."
Ares menggeleng tegas. "Hana yang jadi asistenmu. Dia salah satu orang kepercayaan Ayah, dan dia udah terjun ke perusahaan lebih dulu dibanding kamu. Pengalaman dia lebih banyak."
"Tapi, Yah—"
Belum sempat Evan mengajukan protes lebih lanjut, seorang wanita dengan one shoulder dress berwarna hitam mendekat ke meja mereka.
"Malam Pak, Bu," ucapnya sopan.
"Hana, kenapa manggilnya formal begitu sih?" tanya Letta sambil menarik Hana agar duduk di sampingnya.
Hana tersenyum. "Kan sedang acara perusahaan, Bu."
Letta berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Evan yang baru saja seperti mendapat musibah karena ucapan ayahnya yang 'memberikan' Hana kepada Evan untuk jadi asistennya, menatap Hana tajam. Andaikan dia superman, kepala Hana pasti sudah bolong tertembus sinar laser dari tatapannya.
"Hana, seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya, mulai detik ini kamu jadi asisten Evan," perintah Ares.
"Iya, Pak," jawaban singkat Hana itu membuat Evan mengangkat satu sudut bibirnya ke atas.
"Udah malem, saya sama istri saya pulang dulu." Ares kemudian meraih tangan istrinya untuk berdiri.
"Yah, aku ikut pulang sekalian lah." Evan—yang merasa tidak terima karena ditinggalkan—refleks ikut berdiri.
"Kamu mesti keliling ballroom buat kenalan sama partner bisnis perusahaan. Nanti biar Hana yang nganter kamu keliling."
"Tapi, Yah—"
"Kenapa? Kamu perlu Ayah temenin keliling? Come on, Van, kamu udah dewasa kan."
Titah ayahnya itu mengakhiri rasa keberatan Evan. Ia tidak ingin lagi mendengar ledekan ayahnya, apalagi diucapkan di depan si golden princess.
"Hana, tolong ya temenin Evan,” ucap Letta yang akhirnya membuat Evan menahan geraman kesalnya.
Usai kepergian Ares dan Letta, di meja itu hanya tersisa Evan yang kini tengah menatap intens ke arah Hana yang seperti tidak terganggu dengan tatapan Evan.
"Mari, Pak," ajak Hana yang mulai tidak betah menghadapi keterdiaman di antara mereka.
Tanpa menjawab ajakan Hana, Evan langsung bediri dan berjalan menuju meja lain. Hana mengikuti Evan dengan posisi sedekat mungkin untuk memberikan informasi kepada Evan siapa yang akan ditemuinya.
"Selamat malam, Pak Heru," sapa Hana ramah pada seorang lelaki yang ditemuinya.
"Malam, Hana. Pak Ares?" tanya Heru tidak kalah ramahnya.
"Pak Ares baru saja pulang, Pak. Sebagai gantinya, ada Pak Evan, Pak." Hana memang terlihat santai dan cukup luwes menghadapi orang-orang yang sepertinya sudah mengenalnya.
Evan memperkenalkan diri dan mencoba masuk ke dalam obrolan yang diciptakan lelaki yang ada di depannya.
Tidak hanya berhenti di situ, Evan mengikuti ke mana Hana melangkah. Ada sedikit harga dirinya yang terluka saat menyadari Hana lah yang mengarahkan ke mana langkahnya dan pada siapa dia harus bertemu terlebih dulu.
Bukankah lengkap penderitaannya, harus terjun ke dalam perusahaan keluarga yang sebenarnya tidak ia inginkan, ditambah mendapat asisten yang cukup mendominasi dan membuatnya tampak tidak kompeten.
"Pak, Pak Evan bener-bener mau minum wine?" tanya Hana. Pasalnya ia tahu keluarga Cakrawangsa bukan keluarga yang familiar dengan alkohol. Ia bahkan belum pernah melihat sama sekali atasannya terdahulu, yang juga adalah Ayah dari Evan, meminum alkohol.
"Kenapa? Apa ini job desc-mu juga untuk menentukan apa yang boleh saya makan dan minum?" Evan menatap Hana dengan angkuh dan kembali menyesap wine yang ada di tangannya. "Minum!" perintah Evan yang telah mengangsurkan segelas wine ke arah Hana.
Hana terbelalak kaget dengan apa yang diperintahkan Evan. "Saya nggak minum, Pak."
"Hana." Evan terdiam setelah memanggil nama asisten barunya itu. "Saya yakin kamu pernah minum sekali dua kali sama orang-orang yang tadi kita temui. Nggak mungkin kamu bisa seakrab itu sama mereka kalau cuma berurusan sama kerjaan."
"Maksud Pak Evan apa?" tanya Hana yang kini balas menatap Evan dengan nyalang.
Evan tersenyum sinis. "Minum lah! Kalau perlu nanti saya tambahin di job desc-mu untuk nemenin saya minum," ucapnya tiba-tiba.
Hana mengernyit bingung. Apakah tiga gelas wine yang diminum Evan tadi telah membuat Evan teler sampai mengucapkan hal yang tidak-tidak? Dengan ragu, Hana meraih gelas yang disodorkan Evan. Seumur hidupnya, ia hanya sekali mencoba minuman sejenis itu, saat masih kuliah, itu pun karena teman-temannya mengusilinya. Kalau boleh jujur, ia tidak suka dengan rasanya, apalagi efek yang ditimbulkan setelahnya. Satu gelas di depannya itu, pasti sanggup membuatnya pusing.
"Minum!" desak Evan lagi.
***
Hana bersandar pada kaca jendela mobil, kepalanya saat ini terasa pengar. Sementara di sebelahnya, Evan terlihat lebih kacau. Untung saja ada supir keluarga yang memang menunggu Evan sampai acara selesai dan bisa mengantar mereka.
"Mbak Hana, ini ke rumah Menteng atau nganter Mbak Hana dulu ke apartemen?" tanya supir yang sesekali melirik melalui rear view mirror.
"Ke rumah Menteng aja, Pak," jawab Hana. Hana punya sebuah kamar di kediaman Ares. Itu kamarnya sejak kecil dan tetap dirawat oleh ART di sana agar ia bisa istirahat jika tidak kuat untuk pulang ke apartemen.
Hana menghela napas, bagaimana ia bertanggung jawab pada orang tua Evan? Ini tugas pertamanya sebagai asisten Evan, dan kini ia mengantar Evan dalam kondisi teler.
"Pak, bantuin nganter Evan ke kamar dulu ya." Karena mereka sudah tiba di kediaman keluarga Ares, Hana bisa menanggalkan panggilan 'Pak' dari Evan. Meskipun saat ini kondisinya sendiri tidak bisa dibilang normal, Hana masih bisa berdiri untuk menopang Evan dari sebelah kanan, sementara supir keluarganya menopang Evan dari sisi kiri.
The worst case adalah posisi kamar Evan yang ada di rumah belakang. Rumah itu terdiri dari dua bangunan utama yang dipisahkan kolam renang di tengahnya. Rumah bagian depan ditempati orang tua dan adik Evan yang paling kecil, dan rumah bagian belakang ditempati Evan, adik pertamanya, dan Hana—kalau sesekali ia harus menemani lembur Ares.
Hana menghela napas berat setelah berhasil mendorong Evan ke dalam kamarnya.
"Makasih ya, Pak," ucap Hana sebelum supir itu berlalu.
Sambil memijat pelipisnya yang terasa berkedut, Hana berbalik badan, berniat meninggalkan Evan. Baru ia melangkahkan kakinya, tangan kanannya terasa ditarik.
"Apa menemaniku tidur nggak ada dalam job desc-mu?"
"Evan!" Hana menatap Evan yang bersandar pada dinding, berusaha untuk berdiri tegap walaupun kesulitan."Panggil ... aku 'Pak'!" ucap Evan dengan nada yang menyiratkan kalau dia sudah benar-benar mabuk."Kita udah di rumah, Van. Aku nggak perlu manggil kamu 'Pak'. Oh please, Van. Aku juga pusing banget gara-gara kamu paksa minum."Evan terkekeh, kemudian menatap Hana tanpa berkedip. "Bohong!""Aku mau balik ke kamarku," ucap Hana tegas. Kepalanya semakin berdenyut dan matanya hampir menutup karena kantuknya tidak tertahan lagi. Hana lantas melangkah, mengabaikan Evan dengan segala ucapannya yang mulai tidak masuk akal.Tapi lagi-lagi Evan menariknya, kali ini hingga ke arah kasur dan mendorong Hana dengan cukup keras.Hana menggeram kesal. Namun sepertinya Evan tidak memperhatikannya."Kamu asistenku," ucapnya sambil menyeringai dan menahan tangan Hana.Meskipun Evan sedang mabuk, tapi tenaganya nyatanya masih bisa untuk mendorong dan menahan Hana dengan posisi mengungkungnya di atas
Letta mematung di depan pintu, sebelum akhirnya berhasil menguasai diri dan berjalan ke arah kasur untuk menyeret anaknya agar bangun. Sementara Hana yang kini telah berdiri dengan hanya mengenakan kemeja Evan, menambah pemandangan yang membuat Letta menghela napas."Evan!" Letta memukul betis Evan yang sedang tengkurap, berkali-kali, karena hanya itu area yang bisa dijangkau Letta.Meskipun Evan sering berolah raga, terutama pergi ke gym, hingga otot-ototnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana liatnya, pukulan mamanya yang merupakan pemegang sabuk hitam tae kwon do dan mantan atlet tae kwon do saat SMA tidak perlu ditanya lagi kekuatannya.Evan langsung berteriak pada pukulan kedua, dan masih terus berteriak karena mamanya belum berhenti memukulnya. Pada akhrinya, entah di pukulan yang ke berapa, Evan tidak kuat lagi dan bangkit dari posisinya. Ia berdiri di atas kasur mengambil jarak sejauh mungkin dari mamanya."Mama kenapa sih?" tanya Evan bersungut. Tidak biasanya mamanya memban
"Kak, ngerasa aneh nggak sih sama suasana makan tadi?" tanya Elga yang mengekori Elaksi menuju kamarnya usai sarapan."Aneh gimana?" Elaksi memang paling cuek di antara tiga bersaudara itu, karenanya ia tidak memperhatikan hal-hal detail seperti adiknya, Elga yang berbeda delapan tahun darinya itu."Mama sama Ayah kayak kelihatan tegang gitu. Trus Mas Evan kayak ketakutan gitu, nunduk terus. Apa Mas Evan ngelakuin kesalahan ya, Kak?""Ya ampun, El. Mas Evan udah sedewasa itu, bukan anak sekolahan lagi yang ketahuan nilainya jelek atau cabut dari sekolah. Kesalahan apa yang bisa bikin dia ketakutan kayak asumsimu? Tidur sama cewek?""Hush! Kakak ah. Ngomongnya itu loh."Elaksi terbahak melihat adiknya yang bergidik ngeri sambil merebahkan diri di kasurnya.Di keluarga Cakrawangsa, tidak mengenal istilah seks sebelum menikah. Ares dan Letta selalu mengajarkan kepada mereka untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Ares tahu hal itu sulit, di zaman sekarang yang serba bebas, apalagi jik
"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya."Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua se
"Selamat pagi, Pak," ucap Hana sambil menunduk singkat saat melihat Evan melewati mejanya untuk masuk ke dalam ruangan.Evan tidak menjawab sapaan Hana, bahkan melemparkan senyuman pun tidak.Hana mengoceh tanpa suara melihat kelakuan Evan padanya."Mbak Hana kenapa?" tanya seorang cleaning service yang bertugas membersihkan lantai itu saat melihat mulut Hana komat-kamit.Hana mencebik kesal. "Tuh, bos songong," jawabnya singkat."Oh, bos yang baru ya, Mbak? Anaknya Pak Ares? Masa sih songong, Mbak? Pak Ares baik banget loh.""Nggak semua buah jatuh deket pohonnya, Mbak. Kali aja buahnya sebelum jatuh ke tanah udah kesundul sama jerapah, trus nggelundung jauh," jawab Hana asal.Cleaning service bernama Tina itu terbahak mendengar gerutuan Hana di pagi hari. "Tapi ganteng, Mbak. Wajar songong.""Ih." Hana makin berdecak kesal mendengar pujian Tina terhadap Evan. "Teori dari mana itu?"Mengabaikan Tina yang masih mengelap dispenser sambil terkekeh, Hana memilih mengetuk pintu ruangan Ev
"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya."Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya."Saya mau print out-nya," desak Evan.Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan."Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama."Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.Evan mend
"Han, ke ruangan saya!" perintah Evan melalui sambungan internal.Beberapa detik kemudian, Hana telah berdiri di hadapan Evan. "Ada apa, Pak?"Evan menelaah reaksi Hana. Apakah Hana masih marah padanya karena kejadian malam sebelumnya? Tapi rasa-rasanya ia tidak menemukan perbedaan berarti dari ekspresi Hana padanya. Tetap dingin."Saya nggak suka warna background power point yang kamu siapkan buat presentasi."Seriously? Warna background power point? Ingin rasanya Hana mengumpat. Hana selalu menggunakan warna netral dalam setiap presentasi yang ia siapkan, jadi ia harus mengganti dengan warna apa? Pink?"Pak Evan mau warna apa?""Terserah kamu. Pokoknya jangan ini.""Kalau terserah saya, mungkin saya akan ganti warna biru ini jadi pink atau merah darah. Pak Evan mau?"Evan mendesis kesal. Kenapa wanita di depannya itu selalu bisa membantahnya. Dan itu adalah hal yang paling dibencinya. "Ah udah lah. Nggak jadi.""Lah, labil!" gumam Hana yang ternyata didengar Evan."Kamu bilang apa b
Hana mengerjapkan matanya perlahan. Setelah matanya membuka sempurna, barulah Hana mengernyit bingung, pemandangan yang ada di depan matanya bukanlah dinding dan plafon kamarnya. Saat ia akan menggerakkan tangannya, sesuatu terasa menahan tangannya. Hana menoleh dan mendapati Azka yang tertidur di kursi yang ada di sebelah kasurnya sambil menggenggam tangannya."Udah bangun?" tanya Azka saat merasakan gerakan tangan Hana yang digenggamnya."Hmm ...." Hana hanya menjawabnya dengan gumaman. Kemudian ia teringat sesuatu. "Tante Rimbi nggak tau kan kalo aku masuk rumah sakit? Tante Letta? Om Ares?""Kamu beruntung, mama papaku, Tante Letta sama Om Ares, semua lagi ke Jogja ke tempat Mbah, coba kalo mereka di sini, udah penuh ini kamar."Hana terkekeh dan berusaha untuk mengubah posisinya."Kamu butuh sesuatu? Aku panggiling dokter ya?"Hana menggeleng. Dari jam dinding yang ada di kamar itu, ia tahu kalau waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan pastinya psikiaternya sudah tidak b
"Han."Sapaan seorang lelaki yang berdiri di depan meja kerjanya membuat Hana langsung mendongak."Eh, Fin, udah nyampe?" Beberapa jam sebelumnya memang Hana mendapat pesan dari Arfindo yang ingin mengatur janji temu dengan Evan. Karena jadwal Evan hanya kosong di saat jam istirahat, maka Hana membuat jadwal temu mereka saat makan siang."Nggak apa-apa nih aku makan siang sama Evan? Kamu gimana?"Hana tersenyum penuh arti. "Aku yang makasih malah. Kalo kamu nggak dateng, nggak mungkin si bos mau ditinggal, padahal kan kadang aku pengen makan bareng sama temen kantorku yang lain.""Dasar, si posesif.""Ayo, kuanter sekalian aku pamit." Hana berjalan terlebih dulu lalu mengetuk pintu ruang kerja Evan."Mas, udah dateng nih tamunya," ucap Hana sambil menunjukkan senyum tanpa rasa bersalahnya. Bisa dilihatnya wajah Evan yang tertekuk karena kesal.Tanpa menunggu dipersilakan, Arfindo langsung mengambil posisi duduk di sofa yang ada di tengah ruangan."Aku makan di luar sama Ribka ya. Nant
Hana mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan retina matanya dengan pencahayaan temaram di dalam kamar yang baru beberapa kali ditempatinya itu.Evan ikut bangun saat menyadari gerakan Hana yang bangkit dari tidurnya. "Udah bangun?""Mau bantu Mama."Malam sepulang dari rumah Azka, mereka berdua memutuskan menginap di rumah orang tua Evan. Mumpung weekend, pikir mereka.Dan karena kelelahan, keduanya langsung terlelap di kamar Evan setelah ritual bersih-bersih singkat."Udah ada banyak ART yang bantu Mama.""Ya tapi kan Mama masak kalo pagi, masa aku nggak bantuin.""Mama bakal lebih seneng kalo kamu melakukan sesuatu di pagi hari daripada bantuin Mama masak.""Apa?""Bikinin cucu untuk Mama."Hana mencibir niat terselubung Evan di balik kata-katanya."Beneran, kalo nggak percaya tanya sendiri ke Mama.""Masa yang begituan ditanyain ke Mama."Evan terkekeh melihat rona merah yang muncul di pipi Hana tanpa aba-aba. "Eh, Sayang, aku mau nanya sampe lupa. Kita udah dua bulan nikah, tapi ka
"Serius lo, Han?" Vio menatap Hana dengan rasa tidak percayanya.Hari sabtu itu, keduanya memutuskan untuk bertemu dan makan siang di Sop Konro Karebosi Kelapa Gading. Vio yang kebetulan baru saja bertemu klien di daerah Rawamangun mengajak Hana untuk makan siang bersama, dan beruntungnya dia, Azka sedang berkunjung ke rumah Evan dan Hana. Kalau tidak, mana mungkin Evan akan melepaskan Hana untuk keluar di hari sabtu tanpa dirinya."Gue udah nggak bisa bedain sih, antara belum bisa move on atau terobsesi.""Terobsesi sih kayaknya. Kalo belum bisa move on itu kayak lo selama ini ke Evan."Hana yang sedang menyesap es palubutung tiba-tiba saja tersedak mendengar kenyataan yang diutarakan Vio. Kenapa dia baru menyadarinya?"Bener kan?" ledek Vio. "Lo setelah jatuh cinta sama Evan, yang entah tahun kapan itu kejadiannya, sama sekali nggak berminat jalin hubungan sama orang lain karena perasaan lo cuma buat dia. Tapi kan bukan berarti lo jadi dengan nggak tau malunya deketin Evan atau beru
-Jamuan makan malam sebelumnya-Melinda menatap nanar kepergian Evan dari hadapannya. Bahkan setelah ia memohon dan merendahkan harga dirinya seperti itu pun, Evan tetap memilih kembali pada Hana.Pandangannya mulai berkabut, beberapa saat lagi orang tuanya tiba. Entah apa yang bisa dijadikannya sebagai alasan pembenaran ketidakhadiran Evan, orang yang sangat ingin ditemui orang tuanya.Bukan tanpa alasan orang tua Melinda mengupayakan segala cara untuk dapat datang di acara malam itu. Pasalnya Evan sudah tidak pernah lagi menyambangi kediaman mereka dan Melinda selalu saja berkilah ketika orang tuanya bertanya."Mel." Suara itu berhasil membuyarkan lamunan Melinda.Tepat beberapa menit setelah Evan menghilang dari pandangannya, orang tuanya yang malam itu mengenakan pakaian batik yang serasi, tiba di restoran."Evan mana?" Tak berbasa-basi, papanya langsung menanyakan calon menantu yang selalu dibanggakannya."Evan ... ada urusan, Pa," jawab Melinda sambil menunduk."Ikut Papa, ada y
"Sayang." Evan hanya bisa bernapas lega setelah memasuki kamar dan melihat Hana berada di teras kamar sambil memandangi view di depannya yang langsung menyajikan pemandangan laut. Setidaknya Hana benar-benar menunggunya dan tidak meninggalkannya pergi begitu saja karena marah."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Hana sengaja bertanya dengan satire. Ia benar-benar memosisikan diri sebagai asisten, seperti yang disebutkan Evan sebelumnya. Tidak lebih dari tiga detik Hana menatap Evan dan detik selanjutnya ia kembali menatap lautan. Melihat lautan jauh lebih menenangkan untuknya saat ini daripada menatap suami yang hanya mengakuinya sebagai asisten.Tanpa berkata apa-apa lagi, Evan memeluk istrinya dari belakang, mencoba menyampaikan permintaan maaf melalui gesture-nya. Lebih dari semenit Evan menunggu Hana berbicara, tapi tak juga mendengar sepatah kata pun dari bibir manis yang selalu digilainya itu."Maaf. Mau denger penjelasanku?"Hana mengangguk. "Tapi sambil duduk, aku nggak mau kamu
"Han, udah bangun?"Hana memang sudah bangun sejak sekitar setengah jam sebelumnya. Karena ia masih merasakan pening walau tidak separah sebelumnya, Hana memilih duduk sambil bersandar pada headboard ranjang."Kok kamu udah balik?"Evan tidak menjawab pertanyaan istrinya dan memilih membuka kemejanya hingga menyisakan kaos yang mencetak bentuk tubuhnya. "Kamu udah makan?""Belum, tapi udah pesen tadi, nunggu dateng."Evan mendekat pada istrinya, memegang kening istrinya yang tentu saja dalam suhu normal, karena sebelum pergi pun suhu tubuh istrinya normal, hanya pusing tiba-tiba itu yang membuat istrinya mengeluh."Pusingnya gimana?" tanya Evan sambil ikut masuk ke dalam selimut dan duduk di samping Hana, bersandar pada headboard ranjang, dengan tangannya yang terulur ke belakang tengkuk Hana untuk membuat wanita itu bersandar padanya."Udah nggak sepusing tadi. Tinggal sisanya aja dikit.""Ke dokter aja yuk, mumpung masih belum terlalu malam."Hana menghela napas berat. "Buat nyusul
Hana tampaknya harus banyak-banyak bersyukur. Dua hari menghabiskan waktu di Lombok, Melinda sama sekali tidak bertingkah. Pun begitu dengan suaminya yang kini jangankan menggodanya dengan mendekati Melinda, setiap Evan dan Melinda dalam ruangan atau forum yang sama, Evan selalu menjaga jaraknya.Evan dan Hana bahkan sempat menghabiskan waktu berdua untuk berjalan-jalan di beberapa pantai yang berada di daerah Lombok Selatan, sebagai pengganti honeymoon yang sampai saat itu belum juga terlaksana."Mas, aku nggak ikut makan di resto ya, badanku nggak enak, nanti aku pesen makanan ke kamar aja." Hana memijat pelipisnya karena kepalanya mendadak pusing setelah mereka pulang dari lokasi proyek.Evan yang semula berniat untuk mandi, membatalkan niatnya dan duduk di samping istrinya, menggantikan tangan Hana untuk memijat pelipisnya. "Pusing banget? Masuk angin ya? Mau ke dokter?"Hana mengernyitkan keningnya setiap sakit di kepalanya terasa menyiksanya. "Kayaknya kepanasan tadi di lokasi p
Seperti de javu, Evan dan Hana berada di bandara, dengan Arfindo dan Melinda yang sudah menunggu mereka di dekat area check in."Kalo penganten baru tu emang lengket gini terus ya?" tanya Arfindo sambil menggeleng-gelengkan kepala."Cobain aja sana, biar tau rasanya nggak bisa jauh sama istri," balas Evan."Ck! Kamu nggak risih Han dikekepin terus sama Evan?""Nggak lah, masa dikekepin suami risih.""Shit! Paket lengkap banget suami istri ini," umpat Arfindo.Bukan tanpa alasan Arfindo sejak awal menyindir kemesraan mereka. Ia hanya ingin membuka mata Melinda kalau kesempatan untuknya sudah tertutup, dengan cara yang lebih halus.Sayangnya, Melinda tidak acuh dengan apa yang sedang diusahakan Arfindo. Ia juga tidak ingin melihat pemandangan mesra yang tersaji di depannya. Jadilah yang dilakukannya hanya bermain ponsel dan menyesap kopi dari cup berlogo sebuah merk franchise coffee shop yang terkenal yang berada di tangannya."Kalian mau duluan masuk ke ruang tunggu? Gue mau nemenin Ha
Dengan perlahan, Evan mendorong Hana ke dinding setelah mengunci pintu kamar.Kepulangan mereka di siang hari tentu saja membuat dua ART di rumah mereka kebingungan. Tapi melihat keduanya yang tergesa masuk ke kamar dan mengunci pintu, kedua ART mereka hanya bisa mengulum senyum.Tangan Evan bergerak cepat membuka blazer yang dikenakan Hana dan menjatuhkannya ke dekat kakinya. Begitu juga dengan blouse tanpa lengan dan celana panjang yang dikenakan istrinya. Ia seperti sudah terlatih menanggalkan itu semua dalam waktu singkat.Sementara Hana masih berkutat dengan kancing baju suaminya yang sialnya terasa sangat sulit dilepaskan karena tangannya yang bergetar.Evan menikmati waktunya, membiarkan istrinya berlatih menanggalkan pakaiannya. Ia tersenyum simpul sambil memandang lantai tempat baju Hana berserakan. Istrinya tidak akan mengomel di tengah pemanasan mereka hanya karena Evan meletakkan baju sembarangan kan?Napas keduanya yang tersengal menjadi bukti betapa mereka merindukan sat