Share

Dibalik Seragam dan Surat Nikah
Dibalik Seragam dan Surat Nikah
Penulis: Alissandra

Hari Pertama Bertemu

“Alya! Fokus dong, sebentar lagi kita mau pentas!” seru Seira sambil tersenyum lebar, matanya berkilat penuh semangat.

Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali memetik senar gitar, mencoba menemukan melodi yang pas untuk lagu kami. Ruang musik yang sudah akrab dengan kehadiran kami dipenuhi oleh gema suara instrumen—tempat di mana tawa, obrolan serius, dan musik selalu menyatu.

Seira berdiri di depan mikrofon, sementara Dino sibuk memukul snare drumnya, pemanasan sebelum latihan dimulai. Di pojokan, Rakha duduk dengan tenang, jari-jarinya gesit di atas senar bass, ekspresinya selalu fokus, meski tak pernah menunjukkan emosi berlebih.

“Serius, Alya. Pentas kali ini harus keren! Ini kesempatan besar buat kita,” tambah Seira, kini dengan nada yang lebih mendesak.

Aku tersenyum tipis, mengangguk. “Iya, iya. aku cuma merasa perlu menambah sesuatu di intro tadi biar lebih terasa feel-nya.”

Rakha yang biasanya pendiam, tiba-tiba menimpali, “Sesuatu yang beda, tapi nggak perlu ribet. Kadang kesederhanaan lebih ngena.”

Aku mengangguk setuju. Pentas sekolah ini mungkin terlihat sederhana bagi sebagian orang, tapi buat kami, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa band kami serius—bukan hanya sekadar bermain musik, tapi juga soal passion yang kami bawa.

Dan sebentar lagi pentas seni di sekolah, kami giat latihan untuk menampilkan lagu yang baru saja kubuat. Setiap nada dan lirik dalam lagu ini mewakili perjalanan kami—dari saat pertama kali kami berkumpul hingga sekarang, momen-momen terakhir sebelum kami berpisah, karena ini sudah tahun ketiga kami bermain bersama. Setelah ini, kami akan disibukkan dengan ujian, kelulusan, dan rencana masa depan masing-masing. Rasanya aneh membayangkan semua yang sudah kami lalui mungkin akan segera berakhir. Waktu berjalan begitu cepat, dan meski kami masih di sini, memainkan lagu-lagu favorit, ada kesadaran bahwa kebersamaan ini tak akan selamanya.

"Bagus! Oke, besok kita kumpul pas jam istirahat," kata Rakha dengan nada tenang namun tegas. Meskipun dia jarang bicara, setiap kata yang dia ucapkan selalu terasa penting. Kami semua mengangguk, sadar bahwa waktu latihan semakin sedikit, dan kami harus memberikan yang terbaik.

Seira tersenyum sambil merapikan mikrofonnya. "Nggak sabar buat tampil. Lagu Alya pasti bikin semua orang terkesima!"

"Itu pasti," ucapku dengan senyum lebar, merasa bangga dengan lagu yang telah aku ciptakan. "Kita sudah latihan keras dan aku yakin penampilan kita nanti bakal luar biasa."

"Ya udah, ayo pulang. Aku lapar." kata Dino, sedikit tidak sabar.

Kami semua berkemas, membereskan alat musik. Aku dan Seira keluar dari ruang musik dan menuju mobilnya.

Dalam perjalanan pulang, angin sore masuk lewat jendela yang terbuka sedikit, menambah suasana santai. Seira mengemudi dengan kecepatan sedang, sambil bertanya, "Kamu mau tambahin apa lagi di intro?"

Aku berpikir sejenak, memikirkan melodi yang tadi kumainkan. "Mungkin aku coba beberapa variasi, biar lebih kuat di awal. Tapi overall, udah pas sih."

Kami terus berbicara tentang musik sampai Seira tiba-tiba mengganti topik. "Ngomong-ngomong, kamu udah dengar guru baru di kelas kita?"

Aku menoleh ke arahnya. “Iya, katanya dia tegas banget?”

Seira mengangguk, ekspresinya berubah serius. "Bukan cuma tegas, dia nggak ada toleransi sama sekali. Salah sedikit, kena hukuman."

Aku tertawa kecil. “Serem juga. Dia ngajar apa?”

“Kimia. Mungkin besok dia yang ngajar kita,” jawab Seira sambil melirikku. “Siapin mental deh, kamu kan sering terlambat.”

Aku menepuk dadaku dengan percaya diri. “Tenang aja, aku bisa handle.”

Seira tertawa. "Tapi katanya dia tampan, lho. Dan masih muda."

Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum heran. "Kamu bilang gitu juga tentang guru olahraga dulu, kan?"

Seira tertawa kecil. "Hei, itu kan udah dua tahun yang lalu. Lagipula, Pak Guru itu sekarang sudah menikah."

Aku menaikkan alis, tersenyum iseng. "Oh, jadi sekarang kamu nargetin guru baru ini?"

Seira mengangguk cepat, matanya berbinar penuh semangat. "Iya, ada sesuatu tentang dia yang... menarik. Tegas, tapi misterius. Kayaknya dia tipe orang yang banyak disukai."

Aku menghela napas sambil tersenyum, sedikit skeptis. “Ya, kita lihat saja besok gimana dia di kelas.”

Meski Seira antusias soal guru baru itu, aku lebih fokus pada pentas seni yang semakin dekat. Bagiku, musik selalu menjadi pelarian dari segala kekhawatiran. Aku ingin memastikan band kami tampil sempurna, karena setiap penampilan mungkin akan jadi kenangan terakhir sebelum kami semua sibuk dengan kehidupan masing-masing.

---

Pagi harinya, alarm di ponselku berbunyi keras, membangunkanku dengan tiba-tiba. "Astaga! Jam 6.30?!" Aku langsung melompat dari tempat tidur, panik, lalu berlari ke kamar mandi. Setelah selesai bersiap-siap, aku buru-buru menuruni tangga.

Di dapur, Ibu terlihat santai sambil memasak. "Kenapa nggak bangunin Alya, Bu?" tanyaku setengah terengah-engah.

Ibu tersenyum lembut, tak terlihat khawatir sama sekali. "Kamu kan sudah besar, Alya. Ibu yakin kamu bisa bangun sendiri."

Aku mengeluh kecil, mengambil sepotong roti, lalu menghampiri dan mencium pipi orang yang paling ku sayangi di dunia. "Alya berangkat dulu, Bu!", ucapku dengan tergesa-gesa.

Sampai di sekolah, rasa panik mulai menjalar ketika melihat pintu gerbang sudah ditutup. "Aduh, telat lagi," gumamku, menepuk dahiku. Tapi aku tahu ada jalan alternatif. Dengan langkah cepat, aku menuju ke samping sekolah di mana ada pintu kecil yang biasanya bisa dibuka jika tahu caranya.

Setelah berusaha beberapa kali, pintu itu akhirnya terbuka. Aku tertawa kecil, merasa lega bisa masuk tanpa ketahuan. Tapi tawa itu tak berlangsung lama ketika mendengar suara yang familiar dari belakangku.

"Alya!"

Aku terperanjat, menoleh, dan melihat Pak Syafri berdiri sambil memandangku dengan tatapan tajam. "Terlambat lagi, ya?"

Aku tersenyum canggung. "Hehe, maaf, Pak. Ini semacam latihan buat ngadepin tantangan hari ini."

Pak Syafri menggeleng sambil tersenyum tipis. "Latihan ya? Bagaimana kalau tantangan kamu hari ini adalah nggak terlambat lagi?"

Aku tertawa kecil, merasa lega suasana tidak terlalu tegang. "Siap, Pak! Tantangan diterima."

“Cepat masuk ke kelas. Tapi ingat, lain kali kalau terlambat lagi, kamu bisa-bisa disuruh bantuin bersihin sekolah satu hari penuh," candanya sambil melangkah pergi.

Aku tertawa lagi, lega karena lolos dari hukuman. Segera aku berlari menuju kelas. Namun, saat sampai di pintu kelas, napasku terhenti sejenak melihat wajah Seira yang duduk di barisan depan. Ekspresinya tegang, dan suasana kelas terasa sangat berbeda. Aku melangkah pelan-pelan ke dalam kelas, berharap tidak menarik perhatian terlalu banyak.

Tapi harapanku pupus begitu guru baru itu menatapku dengan tatapan tajam. "Kamu terlambat."

Aku menelan ludah, mencoba mencari alasan. “Maaf, Pak. Saya—"

Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, dia sudah memotong dengan nada dingin. "Murid yang terlambat tidak boleh masuk kelas. Silakan berdiri di luar."

Aku terdiam, terkejut dengan ketegasannya. Meski hatiku merasa jengkel, aku tak punya pilihan selain menurut. Dengan enggan, aku mengangguk pelan dan berjalan keluar dari kelas.

Di luar, aku melihat beberapa teman-temanku menatapku dari dalam, sama terkejutnya dengan sikap tegas guru baru itu. Aku menghela napas panjang, berusaha menerima kenyataan bahwa aku harus lebih disiplin jika ingin tetap berada di kelasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status