Sudah tiga malam berlalu, dan Revan belum juga pulang ke rumah. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Kecemasan menggerogoti pikiranku setiap saat. Aku tahu hubungan kami tidak pernah berjalan mulus, pernikahan ini pun bukan karena cinta. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia menghilang begitu saja. Dua hari ini, aku menahan diri untuk tidak menghubungi keluarganya. Meski ada dorongan kuat untuk melakukannya, aku tahu ini adalah masalah antara aku dan Revan. Campur tangan keluarga hanya akan memperkeruh keadaan.Langit malam di luar apartemen semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hatiku yang penuh keraguan dan pertanyaan. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayanganku. Ke mana Revan? Kenapa dia tidak memberi kabar sedikit pun?Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka memecah keheningan. Aku langsung berdiri, hati berdebar-debar. Revan? Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamar dan mendapati Revan masuk dengan t
“Apa maksudmu, Revan? Jelaskan padaku,” tanyaku sangat penasaran, suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuharapkan, meskipun di dalam hatiku ada gelombang emosi yang siap meledak. Revan menghela napas, seperti menyiapkan diri untuk sebuah pengakuan yang berat. “Pernikahan kita lebih dari sekedar perjodohan. Aku tak tahu pasti alasannya, tapi ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik ini semua. Dan aku... aku tidak punya pilihan lain.” Aku terdiam, menunggu kata-kata berikutnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya, sampai akhirnya dia melanjutkan. “Ayahku memberikan ultimatum—menikah denganmu atau dia akan menyakiti Nadira. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.” “Nggak mungkin Om Roy melakukan hal itu. Ayahmu nggak kelihatan seperti orang jahat.”, ujarku. Revan tersenyum tipis, senyum pahit yang hanya menambah kebingunganku. “Ayahku memang pintar menyembunyikan sisi gelapnya, Alya. Dia terlihat ramah, penuh karisma di depan orang-orang. Tapi di balik semua
"Alya! Fokus dong, sebentar lagi kita mau pentas!" seru Seira sambil tersenyum lebar, matanya berkilat penuh semangat. Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali memetik senar gitar, mencoba menemukan melodi yang pas untuk lagu kami. Ruang musik yang sudah akrab dengan kehadiran kami dipenuhi oleh gema suara instrumen, tempat di mana tawa, obrolan serius, dan musik selalu menyatu. Seira berdiri di depan mikrofon, sementara Dino sibuk memukul snare drumnya, pemanasan sebelum latihan dimulai. Di pojokan, Rakha duduk dengan tenang, jari-jarinya gesit di atas senar bass, ekspresinya selalu fokus, meski tak pernah menunjukkan emosi berlebih. "Serius, Alya. Pentas kali ini harus keren! Ini kesempatan besar buat kita.", tambah Seira, kini dengan nada yang lebih mendesak. Aku tersenyum tipis, mengangguk. "Iya, iya. aku cuma merasa perlu menambah sesuatu di intro tadi biar lebih terasa feel-nya." Rakha yang biasanya pendiam, tiba-tiba menimpali, "Sesuatu yang beda, tapi nggak perlu ribet. Ka
Saat aku berdiri di luar kelas, pikiranku penuh dengan rasa frustrasi dan bersalah. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara guru baru yang tegas itu, melanjutkan pelajaran seperti tak peduli dengan keberadaanku di luar. Tatapannya yang tadi dingin seolah masih terasa, seperti dia puas karena berhasil 'mengusir' ku. Aku menunduk, bermain dengan ujung seragamku, merenung, "Kenapa aku harus terlambat di hari pertama dia mengajar?" Tentu saja, dengan gaya khasku, aku selalu berhasil menciptakan kesan pertama yang... unik. Tiba-tiba, pintu kelas terbuka perlahan, membuatku hampir terkejut. Dino, teman sekelasku yang selalu santai—bahkan mungkin terlalu santai—muncul dengan senyum lemah, seolah dipaksakan. "Aku temani kamu di sini, Al.", ucapnya ringan, meski aku tahu dia sedang menahan tawa. "Aku lupa bawa buku kimia." Aku menatapnya, setengah tidak percaya. "Serius? Jadi kamu lebih memilih berdiri di luar daripada kembali mengambil buku?" Dino mengangkat bahu, seolah keputusan i
Aku mengetuk pintu rumah dengan cemas, berharap apa pun yang ingin dibicarakan Ibu tidak seburuk yang aku bayangkan. "Aku pulang!" seruku, suaraku sedikit bergetar. Saat pintu terbuka, aku melihat Ibu sudah duduk di sofa depan televisi, wajahnya terlihat serius meski TV menyala dengan volume rendah. Hawa tegang menyelimuti ruang tamu, membuat jantungku berdegup lebih cepat. Aku melangkah mendekat, mencoba tersenyum meski hati ini penuh tanya. "Ada apa, Bu? Kenapa mendadak sekali?" Ibu menoleh pelan dan menatapku sejenak sebelum menghela napas. "Sebelum ibu menceritakannya, kamu ganti baju dulu," katanya dengan nada tenang tapi tegas. Aku mengangguk, meski rasa penasaran makin menggelayut. Dengan langkah cepat, aku menuju kamar, berganti pakaian, dan mencoba menenangkan diri. Pikiran-pikiran acak terus berputar di kepala. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ibu terlihat begitu serius? Setelah berganti baju, aku kembali ke ruang tamu, duduk di sebelah Ibu yang kini mematikan televis
Hari yang ditunggu pun tiba. Aku berdiri di depan cermin, mengamati diriku dalam gaun putih kebiruan yang melengkung indah di tubuhku. Gaun itu menambah kilau pada mataku yang cerah. Rambutku disanggul rapi, dengan sedikit aksesori, membuatku merasa seperti karakter dalam dongeng. Namun, di balik kecantikan itu, ada ketegangan yang menyelimuti hatiku. Dapatkah aku menjalani hari ini tanpa memikirkan semua yang terjadi? Janji yang membebani, harapan yang terasa berat. Dengan napas dalam-dalam, aku berusaha mengusir keraguan. Hari ini harus sempurna, meskipun di dalam diriku berperang perasaan yang saling bertentangan. "Alya, kamu sudah siap?" tanya Ibu, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. "Ya, Bu," jawabku, berusaha terdengar percaya diri meskipun hatiku berdebar. Hari ini adalah hari untuk bertemu dengan keluarga konglomerat, keluarga yang terikat dengan janji yang dibuat kakekku. Ibu melangkah masuk, menatapku dengan penuh kasih. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu, matanya
Tante Mery melangkah anggun menuju Revan, dan mengajaknya duduk di sofa dengan gaya yang sangat percaya diri. Saat mata Revan menangkap sosokku, ekspresinya seketika berubah, seakan dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini. "Oh, dia muridku!” sepertinya dia ingin berteriak, sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangan, seakan-akan aku adalah hantu dari masa lalu. Jelas sekali, dia berpura-pura tidak mengenalku, seperti aku hanya sekadar ornamen tak diinginkan di ruang tamu, barangkali satu-satunya barang yang tidak pernah diharapkan muncul dalam acara ini. Aku ingin tertawa, tetapi rasanya lebih baik menjaga wajahku tetap serius, mengingat aku sedang berada di rumah orang. Aku menatapnya dengan tajam, sementara dia membalas dengan senyuman sinis yang seolah mengejekku, seperti dia baru saja menangkapku dalam permainan yang tidak aku ketahui aturannya. "Alya, ini Revan Permana, cucu kakek," kata Kakek Robert dengan nada bangga. "Revan, ini Alya, yang akan menjadi istrimu na
Aku berada di kantin, terasing di tengah hiruk-pikuk teman-teman yang berebut makanan. Suara tawa dan obrolan mereka teredam bagai gemuruh ombak yang jauh, sementara aku memilih duduk diam, wajah tertunduk di atas meja. Mataku tertuju pada kalender di ponsel, jari-jariku menggeser layar hingga angka tujuh muncul di layar. Tiga hari lagi aku akan menikah dengan Revan. Permintaan kakek Robert agar kami menikah secepatnya kembali terngiang di kepalaku. "Alya, aku ingin melihat cucu kesayanganku menikah sebelum aku pergi.", katanya dengan nada penuh harap. Perasaan tak menentu menyelimuti pikiranku. Dalam tiga hari, aku akan terikat dalam sebuah janji, tapi bukan janji yang kuinginkan. Kepingan-kepingan ketidakpastian mengisi dadaku, seolah ada beban berat yang membuatku sulit bernafas. Semua ini terasa seperti badai yang akan datang, siap menghancurkan segala harapan yang kuimpikan. Suara sendok dan garpu berdenting membuatku tersadar dari lamunan. Teman-temanku sibuk menyiapkan maka
“Apa maksudmu, Revan? Jelaskan padaku,” tanyaku sangat penasaran, suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuharapkan, meskipun di dalam hatiku ada gelombang emosi yang siap meledak. Revan menghela napas, seperti menyiapkan diri untuk sebuah pengakuan yang berat. “Pernikahan kita lebih dari sekedar perjodohan. Aku tak tahu pasti alasannya, tapi ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik ini semua. Dan aku... aku tidak punya pilihan lain.” Aku terdiam, menunggu kata-kata berikutnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya, sampai akhirnya dia melanjutkan. “Ayahku memberikan ultimatum—menikah denganmu atau dia akan menyakiti Nadira. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.” “Nggak mungkin Om Roy melakukan hal itu. Ayahmu nggak kelihatan seperti orang jahat.”, ujarku. Revan tersenyum tipis, senyum pahit yang hanya menambah kebingunganku. “Ayahku memang pintar menyembunyikan sisi gelapnya, Alya. Dia terlihat ramah, penuh karisma di depan orang-orang. Tapi di balik semua
Sudah tiga malam berlalu, dan Revan belum juga pulang ke rumah. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Kecemasan menggerogoti pikiranku setiap saat. Aku tahu hubungan kami tidak pernah berjalan mulus, pernikahan ini pun bukan karena cinta. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia menghilang begitu saja. Dua hari ini, aku menahan diri untuk tidak menghubungi keluarganya. Meski ada dorongan kuat untuk melakukannya, aku tahu ini adalah masalah antara aku dan Revan. Campur tangan keluarga hanya akan memperkeruh keadaan.Langit malam di luar apartemen semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hatiku yang penuh keraguan dan pertanyaan. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayanganku. Ke mana Revan? Kenapa dia tidak memberi kabar sedikit pun?Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka memecah keheningan. Aku langsung berdiri, hati berdebar-debar. Revan? Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamar dan mendapati Revan masuk dengan t
Panik menyelimuti pikiranku. Revan melihatnya! Aku harus segera bertindak sebelum situasi semakin buruk. Tanpa berpikir panjang, aku menarik tangan Rakha keluar dari kantin, berharap bisa menjauh dari kerumunan yang terus berbisik di belakang kami."Apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan nada mendesak begitu kami sampai di luar. "Kita nggak pacaran, Rakha. Kenapa kamu bilang begitu?"Rakha menatapku dengan ekspresi tenang, meski aku tahu dia menyadari kegelisahanku. "Setidaknya mereka diam dan nggak mengganggumu lagi," jawabnya sambil mengangkat bahu seolah-olah yang baru saja terjadi bukan hal besar.Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna logikanya. Memang benar, dengan pengakuannya tadi, semua spekulasi dan gosip di kantin mungkin akan berhenti. Tapi ini bukan solusi yang kuinginkan. "Tapi, ini bukan caranya," kataku pelan. "Kamu tahu kalau ini bisa membuat semuanya lebih rumit, kan? Aku nggak mau buat orang lain salah paham."Rakha menghela napas dan menatapku dengan tatapan serius
"Kenapa dia menciumku?" Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku, mengganggu pikiranku sejak kemarin. Rasanya semua terjadi begitu cepat, dan sekarang aku tak bisa menghilangkan sensasi ciuman itu dari pikiranku. Namun, setelah kejadian itu, Revan seperti menghindariku. Dia tidak mengucapkan apa-apa setelah menciumku. Bahkan pagi ini, ketika aku bangun, dia sudah pergi. Tidak ada pesan, tidak ada jejak. Aku menghela napas, perasaan canggung dan kebingungan bercampur menjadi satu. Apa dia menyesal? Atau dia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah itu? Mungkin... mungkin aku yang terlalu memikirkan hal ini. Aku hampir jatuh karena tersandung, tapi sebelum tubuhku benar-benar menyentuh lantai, sebuah tangan kuat menarikku dengan cepat. "Hati-hati dong, Al!" Suara itu terdengar akrab. Aku menoleh dan melihat Rakha, tersenyum seperti biasanya. Dia berdiri di depanku, masih memegang lenganku dengan ringan, memastikan aku benar-benar seimbang. "Rakha?" tanyaku, masih se
Di dalam mobil, suasana terasa canggung. Revan diam, fokus pada jalan di depannya, sementara aku hanya menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar di malam hari. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela, membuatku sedikit menggigil. Aku mencuri pandang ke arah Revan yang sesekali mengetukkan jarinya pada setir, seperti menahan diri untuk tidak memulai percakapan. Namun, meski kami saling diam, ada sesuatu yang menggantung di antara kami, sebuah pertanyaan yang tak terucap, atau mungkin suasana aneh yang mulai terasa sejak tadi di rumah ibuku. Aku menarik napas pelan, mencoba mencari kata-kata untuk memecah kesunyian. Tapi, apa yang harus aku katakan? Pikiran tentang 'tidur bersama yang tidak biasa' terus berputar di kepalaku. Semua ini gara-gara ibu. Ngapain coba, bicara tentang hal ‘itu’? Aku sendiri bahkan belum pernah berciuman dengan cowok, apalagi memikirkan yang lebih jauh dari itu. Malu rasanya setiap kali ingat wajah Revan yang tiba-tiba memerah
Bel sekolah baru saja berdering, aku dan Seira berjalan keluar gerbang, meninggalkan segala keributan di belakang kami. Langit sore sudah mulai merona, tapi aku merasa seolah ada awan gelap yang terus menggantung di atas kepalaku. Suasana sore itu harusnya tenang, tapi tidak buat ku. Seira melirik ke arahku, jelas dia tahu ada yang tidak beres. "Masih kepikiran soal Cindy, ya?" Seira bertanya pelan, nadanya penuh simpati. Aku mengangguk, berat rasanya buat ngomong. "Iya. Rasanya semua orang ngeliatin aku kayak aku habis ngelakuin sesuatu yang salah." Seira mendesah, kelihatan dia juga bingung harus bagaimana bantu aku. "Padahal jelas-jelas itu nggak benar." Kami terus berjalan ke parkiran, dan saat itu aku melihat Rakha berdiri di samping motornya. Dia menatap kami dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Ada yang aneh dari tatapannya, dan aku bisa ngerasain sesuatu yang buruk akan segera terungkap. "Alya, kita perlu bicara sesuatu," ucap Rakha, suaranya terdengar lebih seriu
Gosip belum juga mereda, padahal sudah beberapa hari berlalu. Aku duduk di kantin bersama Seira dan Dino, mencoba mengabaikan tatapan-tatapan penasaran dari sekeliling. "Apa kamu sudah tahu siapa yang nyebarin gosip tentang kamu?" tanya Seira sambil mengaduk minumannya, menatapku penuh simpati. Aku menggelengkan kepala, merasa lelah dengan semua ini. "Belum", jawabku. Namun, belum sempat aku berkata lebih lanjut, Cindy dan gengnya tiba di kantin. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan memar di pipinya. Dia menatapku tajam, seraya menantang, lalu duduk di seberang tempat kami. Teman-temannya mengikuti, seakan memperkuat garis depan pertarungan ini. Cindy mulai berbisik dengan teman-temannya, sesekali mencuri pandang ke arahku. Aku bisa merasakan tatapan terkejut yang beralih menjadi sinis dari mereka yang duduk di sekeliling. Seperti yang kuperkirakan, mereka sudah siap menyalakan api perperangan ini. Salah seorang cowok yang agak gemulai, dengan tatapan angkuh, men
Setelah insiden dengan Cindy tadi, Revan menungguku di ruang musik. Sesekali dia bertanya hal-hal ringan tentang musik, mencoba mencairkan suasana. Aku merespons seadanya, meski hatiku sedikit berdebar. Akhirnya, setelah obrolan yang membuatku merasa seperti guru musik dadakan, kami pun keluar dari ruang musik. Aku mengikuti Revan yang berjalan di depanku. Punggungnya lebar dan kokoh, tubuhnya tinggi menjulang, mungkin sekitar 180 cm. Kalau aku berdiri di sampingnya, tinggiku yang cuma 158 cm pasti terlihat seperti anak kecil. Pikiran itu membuatku terkekeh pelan tanpa sadar. Langkah Revan mulai menuju parkiran. Oh, apa dia mau ngajak pulang bareng? Tapi kenapa nggak bilang apa-apa? Aku menatap punggungnya, bertanya-tanya dalam hati. Mungkin dia malu. Atau, ya mungkin ini caranya menawarkan tanpa perlu bicara. Sesampainya di parkiran, Revan langsung menuju mobilnya dengan langkah percaya diri. Aku menunggu, berharap dia akan membuka pintu untukku seperti di film-film romantis atau s
Setelah bicara dengan Rakha, aku kembali ke kelas dan duduk di bangkuku. Suasana di dalam kelas terasa tegang. Beberapa teman sekelas masih berbisik dan melirikku dengan tatapan sinis, seolah-olah mereka sedang mendiskusikan gosip yang beredar. Aku mencoba mengabaikannya dan fokus pada pelajaran. Tak lama kemudian, Seira dan Melisa datang menghampiriku. Seira terlihat khawatir, sementara Melisa tampak ceria, seakan tidak ada yang terjadi. "Ngga ke kantin, Al?" tanya Seira. "Kamu nggak mau makan?" Aku menggeleng, menatap ke depan dengan rasa frustrasi. "Aku nggak selera." Melisa duduk di sebelahku, senyumnya memudar ketika melihat ekspresiku. "Ada apa, Alya? Kenapa kamu kelihatan murung?" Seira menjelaskan, "Dia lagi stress karena gosip yang beredar tentang dia dan Rakha." Melisa mengerutkan kening. "Oh, jadi itu yang terjadi. Itu nggak adil banget, Al. Kamu harusnya nggak perlu merasakan tekanan dari orang lain." Aku mencoba tersenyum, tetapi rasa cemas itu tetap membayangi. "Mu