Aku berada di kantin, terasing di tengah hiruk-pikuk teman-teman yang berebut makanan. Suara tawa dan obrolan mereka teredam bagai gemuruh ombak yang jauh, sementara aku memilih duduk diam, wajah tertunduk di atas meja. Mataku tertuju pada kalender di ponsel, jari-jariku menggeser layar hingga angka tujuh muncul di layar. Tujuh hari lagi aku akan bertunangan dengan Revan.
Perasaan campur aduk menyelimuti pikiranku. Dalam tujuh hari, aku akan terikat dalam sebuah janji, tapi bukan janji yang kuinginkan. Kepingan-kepingan ketidakpastian mengisi dadaku, seolah ada beban berat yang membuatku sulit bernafas. Semua ini terasa seperti badai yang akan datang—siap menghancurkan segala harapan yang kuimpikan. Suara sendok dan garpu berdenting membuatku tersadar dari lamunan. Teman-temanku sibuk menyiapkan makan siang, berbagi cerita dan canda tawa, seolah dunia di luar sana tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Mereka tidak tahu bahwa di balik senyumku, ada ketakutan yang merayap perlahan, membungkus hatiku dalam gelap. Aku merindukan kebebasan untuk memilih, untuk mencintai tanpa paksaan. Dan saat itu, aku merasakan betapa pernikahan ini lebih seperti sebuah kontrak ketimbang sebuah kebahagiaan. Semua harapan dan impian yang seharusnya menyertai momen bahagia ini seolah pudar dalam keraguan. Dalam sekejap, semua kesibukan di sekelilingku terasa jauh. Hanya aku dan kalender yang berfungsi sebagai pengingat akan hari yang mendebarkan sekaligus menakutkan. Kapan aku bisa melarikan diri dari kenyataan ini? "Hey, Alya! Kenapa kamu kayak zombie beberapa hari ini?" Suara ceria sahabatku, Seira, tiba-tiba terdengar, memecah lamunanku. Dia duduk di sebelahku dengan sepiring makanan, seolah-olah baru saja kembali dari pertempuran melawan makanan kantin yang terlihat lebih menyeramkan daripada lezat. Aku mengangkat kepala dan melihatnya, berusaha memaksakan senyum di wajahku. "Seira, kamu tahu kan, kadang menjadi zombie itu lebih menyenangkan daripada menghadapi kenyataan." "Kenyataan apa?" tanyanya, suaranya sedikit terputus-putus karena mulutnya yang masih penuh dengan makanan, seolah-olah dia sedang berusaha menyelesaikan misi menghabiskan makan siangnya sambil berbincang. "Kamu nggak perlu tahu. Lanjutkan saja makan siangmu," jawabku sambil menghempaskan kepala kembali ke meja, seolah berharap dapat menarik perhatian kantin yang penuh dengan suara ramai. "Oh iya, kamu sudah lihat pesan di grup kelas? Hari ini ada ulangan kimia," lanjut Seira, sambil mengunyah sisa makanan di mulutnya dengan ekspresi tak peduli. "Apa?! Ulangan kimia?!" Aku bangkit dari tempat dudukku dengan panik, hampir menjatuhkan kursi. Semua orang di kantin tiba-tiba menoleh, seolah aku baru saja mengumumkan akhir dunia. Seira menahan tawanya sambil menepuk bahuku. "Ya ampun, Alya. Ulangan kimia udah diumumin sejak kemarin, kali!" Aku melotot padanya, "Kenapa nggak ada yang kasih tahu aku?!" Seira mengangkat alisnya, mulutnya masih penuh makanan. "Kamu nggak baca grup? Ketua kelas udah ngasih tahu berkali-kali. Tapi kayaknya kamu lebih sibuk ngelamun daripada buka chat." Aku mengerang, menjatuhkan diriku kembali ke kursi. "Kenapa sih hidupku selalu ribet?" Seira tersenyum licik. "Yah, mungkin karena kamu terlalu fokus mikirin hal lain. Apa sih yang bikin kamu ngelamun mulu akhir-akhir ini?" Aku hanya menghela napas, berusaha menyembunyikan kenyataan soal perjodohanku dengan Revan. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma... sibuk aja." Seira terkikik sambil menyeruput jusnya. "Sibuk ngelamun, maksudnya? Jangan-jangan kamu lagi mikirin cowok, ya?" Dia menatapku dengan tatapan menggoda, jelas berniat meledek lebih jauh. Aku hanya memutar bola mata, berharap bisa mengalihkan topik sebelum dia semakin gencar. Seira tidak melepaskan tatapan isengnya, sementara aku berusaha keras untuk menghindari pertanyaannya yang semakin mendekati kebenaran. Dia menyenggol lenganku, masih dengan senyum lebar yang semakin membuatku terpojok. "Jadi... siapa dia? Ayolah, aku tahu kamu sembunyiin sesuatu," ujarnya, nadanya menggoda. "Jangan-jangan si cowok misterius ini anak sekolahan juga?" Aku nyaris tersedak air minumku mendengar ledekan itu. Kalau saja dia tahu siapa 'cowok misterius' yang sebenarnya. "Hah, apaan sih? Enggak ada cowok. Kamu ini kebanyakan nonton drama." Seira tertawa, jelas tidak percaya dengan bantahanku. "Oh ayolah, Alya. Aku tahu kamu lebih dari yang kamu kira. Wajahmu itu nggak bisa bohong, apalagi kalau soal cowok!" Aku terdiam, mencoba mencari alasan untuk keluar dari situasi ini. Namun sebelum aku sempat membuka mulut, suara bel berbunyi, menyelamatkanku dari interogasi Seira. "Ugh, bel berbunyi! Saatnya kita menghadapi ulangan kimia," kataku cepat, langsung berdiri sambil merapikan tas. "Ayo buruan, kita nanti telat!" Seira melirikku dengan alis terangkat, seolah tahu aku sengaja menghindar. "Hmm, ini nggak akan berakhir di sini, Alya. Kita bakal lanjutin nanti." Aku hanya tersenyum canggung sambil menarik lengannya. "Iya, iya. Nanti aja. Sekarang kita harus selamat dari Pak Revan dulu." Senyum Seira semakin lebar saat mendengar namanya. "Pak Revan, ya? Kamu pasti nggak mau ngecewain si guru killer itu." Aku meringis, jantungku berdebar lebih cepat saat namanya disebut. Ah, andai saja dia tahu alasan sebenarnya aku panik dengan ulangan kimia ini. Aku berdoa dalam hati, berharap Revan tidak masuk kelas hari ini. Rasanya aku belum siap bertemu dengannya, apalagi setelah makan siang penuh ketegangan di rumahnya kemarin. Sial. Semoga ada keajaiban yang membuatnya sibuk di tempat lain, mungkin seminar mendadak atau tugas guru super penting yang memaksanya absen. Aku tidak butuh dia di sini, mengawasi setiap gerakku dengan tatapan dinginnya yang seperti mampu menembus dinding. Tapi harapanku sia-sia. Tubuh jangkung Revan melangkah dengan tenang menuju kelas, tampak begitu tenang dan profesional, sebaliknya, aku merasa perutku bergejolak seperti akan meletus. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang, lalu duduk di barisan depan bersama Seira. "Yah, sepertinya mimpiku untuk hari bebas Revan tinggal mimpi," gumamku pelan, sambil membuka buku catatan yang sepertinya juga ikut gugup. Seira menatapku sekilas sambil menyunggingkan senyum jahil. "Kamu kayaknya benci banget sama Pak Revan. Eh, atau ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" godanya, melirikku dengan penuh arti. Aku hampir tersedak mendengar ledekan Seira. "Apaan sih! Nggak ada apa-apa. Aku cuma... nggak suka ulangan, itu saja," jawabku cepat, mencoba mengalihkan topik. Namun, Revan yang berdiri di depan kelas langsung menatap ke arahku, dan aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang. Seolah-olah dia tahu apa yang barusan Seira katakan, dan itu membuatku semakin gelisah. "Kalian sudah tahu kalau hari ini ada ulangan kimia, kan?" ucap Revan dengan tenang, tatapannya menyapu seluruh kelas. "Tapi, saya tidak akan memberi kalian soal tertulis seperti biasa. Kali ini, kalian akan maju satu per satu ke depan, dan saya akan menuliskan soal di papan tulis. Siap-siap." Suasana kelas langsung tegang. Aku bisa merasakan jantungku mulai berpacu lebih cepat, dan rasanya setiap orang di kelas menahan napas, termasuk aku. Teman-teman di sekitarku mulai berbisik, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Mereka jelas tidak menyangka ulangan kimia kali ini akan berbeda. "Apa? Maju satu-satu?" suara lirih dari bangku belakang terdengar, penuh ketidakpercayaan. "Ini bakal kacau banget," bisik yang lain. Aku hanya bisa menghela napas panjang, menatap papan tulis seakan-akan itu adalah medan perang yang akan segera kumasuki. Sial, Revan benar-benar tahu cara membuat semuanya jadi lebih menegangkan. Revan berdiri di depan kelas dengan santai, mengambil spidol dan mulai menulis tiga soal kimia di papan tulis. Gerakannya lambat, seakan ingin memperpanjang ketegangan yang semakin terasa. Setiap goresan spidol itu seperti membangun ketakutan di antara kami, murid-muridnya. "Baiklah," katanya setelah selesai menulis, suaranya terdengar tegas namun tenang. "Saya ingin tiga orang maju ke depan dan masing-masing menyelesaikan satu soal." Ruangan terasa makin sunyi, bahkan suara berbisik yang tadi terdengar mulai mereda. Aku bisa merasakan ketegangan memenuhi udara, seolah semua orang sedang berdoa agar namanya tidak dipanggil pertama kali. Revan mengangkat kepalanya dari papan tulis dan memandang ke arah kami, seolah mengamati reaksi setiap muridnya. "Dino, Rian, dan... Alya. Silakan maju ke depan." Ketika namaku disebut, rasanya seperti seluruh dunia berputar. Satu detak jantungku berdengung keras dalam telinga, dan mataku seolah membelalak. "Apa?! Kenapa harus aku?" pikirku dalam hati, seakan tak percaya dengan keputusan yang baru saja keluar dari bibirnya. "Jangan cuma berdiri di sana, Alya! Ayo, maju!" Seira berbisik, menggoda sambil menyemangatiku. Dengan langkah kaki yang terasa seberat batu, aku akhirnya maju ke depan. Mengerjakan soal kimia yang terlihat paling sulit di antara yang lainnya. Rasanya seperti melangkah ke arena perang, dan papan tulis itu menjadi medan pertempuranku. Aku melirik ke arah Dino, drummer kami, dan melihat wajahnya yang seolah ingin menangis. Dia menggigit bibirnya, matanya membulat lebar seperti melihat hantu. "Duh, Alya, semoga kamu berhasil!" bisiknya dengan nada panik. Aku melihat soal yang tertulis di papan tulis: Reaksi berikut adalah reaksi redoks antara asam klorida (HCl) dan seng (Zn): Zn + 2HCl —> ZnCl2 + H2 Jelaskan proses oksidasi dan reduksi yang terjadi dalam reaksi ini dan tentukan bilangan oksidasi dari masing-masing unsur sebelum dan setelah reaksi. Mataku melebar saat membaca soal itu. Proses oksidasi dan reduksi? Bilangan oksidasi? Semua istilah ini berputar-putar di dalam kepalaku seperti badut di sirkus. Aku tahu apa itu reaksi redoks, tetapi mengapa dia harus mencampurkan istilah yang bikin pusing seperti "bilangan oksidasi"? Apa dia ingin balas dendam tentang kemarin? pikirku, mendengus pelan. Sambil berusaha menenangkan diri, aku berkata, "Oke, Alya, ini cuma soal. Ambil napas dalam-dalam dan cari cara untuk menjelaskan." Aku mulai menjelaskan soal yang diberikan Revan. "Oke, jadi... besi itu berkarat, kan? Itu kayak... kayak saat kamu lupa pakai sunblock di pantai, terus kulitmu... eh, maksudku, besi itu jadi... korosi." Revan mengangkat alisnya, tampak bingung dan sedikit geli dengan analogi anehku. "Jadi, kamu ingin mengatakan bahwa korosi itu sama dengan terbakar matahari? Menarik." Aku melihat Seira dan teman sekelas tidak bisa menahan tawa mendengar penjelasanku. Beberapa dari mereka bahkan terpingkal-pingkal, dan aku merasakan pipiku memanas. Sementara itu, Revan masih berdiri di depan kelas dengan ekspresi datar, seolah-olah dia berusaha menyembunyikan senyum yang hampir muncul di wajahnya. Aku berusaha mengabaikan mereka dan melanjutkan penjelasanku. "Hmm... jadi, besi itu bereaksi dengan oksigen di udara... dan kemudian... jadi... Oksida besi! Atau bisa juga disebut karat, gitu. Jadi, bayangkan saja seperti kamu pergi ke pantai tanpa sunblock. Pertama, kamu tampak cerah dan bersinar, tapi setelah beberapa jam, kulitmu mulai mengelupas dan berubah jadi warna merah, kan? Nah, besi itu juga sama! Tanpa 'perlindungan' yang tepat, dia bakal jadi korosi, seperti kulitmu yang terbakar matahari. Ingat, jangan sekali-kali lupa pakai sunblock, atau hasilnya sama saja—merah, mengelupas, dan terlihat tidak bagus!" Dino yang juga berdiri di depan langsung nyeletuk, "Jadi, jika aku pakai sunblock di besi, bisakah dia selamat dari karat? Mungkin aku bisa jual sunblock khusus untuk besi!" Aku menatap kesal ke arah Dino. "Serius, Dino? Ini bukan waktu untuk bercanda!" Namun, dia seolah tidak peduli dengan ekspresi kesalku dan malah melanjutkan. "Bayangkan saja, "Sunblock untuk Besi, Dijamin Bebas Karat!" katanya dengan nada bersemangat, matanya berbinar-binar seperti sedang membayangkan masa depan cemerlang. "Ya, dan setiap kali kita jual, kita bisa bilang, 'Mau besi awet dan bebas karat? Jangan lupa pakai sunblock, ya!' Seira menambahkan dengan ekspresi konyol, mengangkat tangannya seolah-olah menjadi juru bicara produk. "Wah! Mereka benar-benar meledekku habis-habisan. Aku sumpahin kalian berjodoh!" ucapku dalam hati, sambil menatap Seira dan Dino dengan ekspresi penuh kemenangan. "Dino, kerjakan soalmu," ujar Revan, suaranya datar namun tegas. Dalam sekejap, tawa dan canda di kelas mendadak sirna. Dino dan teman-teman sekelas lainnya langsung terdiam, seolah-olah ada sirene yang berbunyi, memperingatkan mereka bahwa waktu bersenang-senang telah berakhir. Dino kembali menatap papan tulis dengan spidol di tangannya, tampak bingung, seperti seseorang yang baru saja tersesat di tengah labirin. Ia mengerutkan dahi, berusaha keras mencari inspirasi yang sepertinya menghindar darinya. "Ayo, otak! Bekerja!" gumamnya pelan, terlihat hampir seperti berbicara kepada spidolnya yang bersinar cerah. Sementara itu, Revan menoleh ke arahku. "Selanjutnya, bilangan oksidasi?" "Saya tidak tahu, Pak." kataku, merasakan kegugupan menjalar di dalam diriku. Suara Revan seolah bergetar di telingaku, dan semua mata tertuju padaku. Rasanya seperti berada di panggung tanpa persiapan. "Serius?" tanya Revan dengan nada setengah mengejek. "Soal sudah diajarkan di kelas. Inilah yang terjadi jika kalian tidak belajar." Aku mendengus, merasa tertekan oleh tatapannya yang tajam. "Tapi siapa yang bilang kita tidak belajar? Ini kan... hanya metode yang berbeda!" balasku, berusaha untuk terlihat tenang meski dalam hati sudah penuh ketegangan. Revan menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap datar. "Metode yang berbeda? Menggunakan sunblock untuk menjelaskan reaksi kimia? Sangat inovatif, Alya." Ia menekankan namaku dengan nada sinis, membuatku ingin menyembunyikan wajahku di bawah meja. "Setidaknya aku membawa sedikit kreativitas ke dalam pelajaran!" sahutku, berusaha mempertahankan semangat meski rasa malu sudah menjalar ke seluruh tubuh. "Ya, dan kita semua tahu bagaimana kreativitasmu membuat kamu kehilangan poin-poin penting tentang kimia," kata Revan dengan nada mengejek. "Jadi, bersiaplah untuk tidak lulus ulangan ini." Aku menatapnya, seolah ingin mengatakan, Tapi, ini semua salahmu! Namun, semua yang keluar dari mulutku hanyalah, "Yah, siapa tahu? Mungkin sunblock bisa jadi solusi untuk semua masalah kami." Kelas mulai tertawa, dan aku merasa sedikit lega bisa menciptakan momen konyol yang membuat Revan menatapku lebih tajam.“Alya! Fokus dong, sebentar lagi kita mau pentas!” seru Seira sambil tersenyum lebar, matanya berkilat penuh semangat.Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali memetik senar gitar, mencoba menemukan melodi yang pas untuk lagu kami. Ruang musik yang sudah akrab dengan kehadiran kami dipenuhi oleh gema suara instrumen—tempat di mana tawa, obrolan serius, dan musik selalu menyatu.Seira berdiri di depan mikrofon, sementara Dino sibuk memukul snare drumnya, pemanasan sebelum latihan dimulai. Di pojokan, Rakha duduk dengan tenang, jari-jarinya gesit di atas senar bass, ekspresinya selalu fokus, meski tak pernah menunjukkan emosi berlebih.“Serius, Alya. Pentas kali ini harus keren! Ini kesempatan besar buat kita,” tambah Seira, kini dengan nada yang lebih mendesak.Aku tersenyum tipis, mengangguk. “Iya, iya. aku cuma merasa perlu menambah sesuatu di intro tadi biar lebih terasa feel-nya.”Rakha yang biasanya pendiam, tiba-tiba menimpali, “Sesuatu yang beda, tapi nggak perlu ribet. Kadang k
Saat aku berdiri di luar kelas, pikiranku penuh dengan rasa frustrasi dan bersalah. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara guru baru yang tegas itu, melanjutkan pelajaran seperti tak peduli dengan keberadaanku di luar. Tatapannya yang tadi dingin seolah masih terasa, seperti dia puas karena berhasil 'mengusir' ku.Aku menunduk, bermain dengan ujung seragamku, merenung, "Kenapa aku harus terlambat di hari pertama dia mengajar?" Tentu saja, dengan gaya khasku, aku selalu berhasil menciptakan kesan pertama yang... unik.Tiba-tiba, pintu kelas terbuka perlahan, membuatku hampir terkejut. Dino, teman sekelasku yang selalu santai—bahkan mungkin terlalu santai—muncul dengan senyum lemah, seolah dipaksakan."Aku temani kamu di sini, Al.", ucapnya ringan, meski aku tahu dia sedang menahan tawa. “Aku lupa bawa buku kimia.”Aku menatapnya, setengah tidak percaya. "Serius? Jadi kamu lebih memilih berdiri di luar daripada kembali mengambil buku?"Dino mengangkat bahu, seolah keputusan itu h
Aku mengetuk pintu rumah dengan cemas, berharap apa pun yang ingin dibicarakan Ibu tidak seburuk yang aku bayangkan. "Aku pulang!" seruku, suaraku sedikit bergetar. Saat pintu terbuka, aku melihat Ibu sudah duduk di sofa depan televisi, wajahnya terlihat serius meski TV menyala dengan volume rendah. Hawa tegang menyelimuti ruang tamu, membuat jantungku berdegup lebih cepat. Aku melangkah mendekat, mencoba tersenyum meski hati ini penuh tanya. "Ada apa, Bu? Kenapa mendadak sekali?" Ibu menoleh pelan dan menatapku sejenak sebelum menghela napas. "Sebelum ibu menceritakannya, kamu ganti baju dulu," katanya dengan nada tenang tapi tegas. Aku mengangguk, meski rasa penasaran makin menggelayut. Dengan langkah cepat, aku menuju kamar, berganti pakaian, dan mencoba menenangkan diri. Pikiran-pikiran acak terus berputar di kepala. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ibu terlihat begitu serius? Setelah berganti baju, aku kembali ke ruang tamu, duduk di sebelah Ibu yang kini mematikan televi
Hari yang ditunggu pun tiba. Aku berdiri di depan cermin, mengamati diriku dalam gaun putih kebiruan yang melengkung indah di tubuhku. Gaun itu menambah kilau pada mataku yang cerah. Rambutku disanggul rapi, dengan sedikit aksesori, membuatku merasa seperti karakter dalam dongeng.Namun, di balik kecantikan itu, ada ketegangan yang menyelimuti hatiku. Dapatkah aku menjalani hari ini tanpa memikirkan semua yang terjadi? Janji yang membebani, harapan yang terasa berat. Dengan napas dalam-dalam, aku berusaha mengusir keraguan. Hari ini harus sempurna, meskipun di dalam diriku berperang perasaan yang saling bertentangan."Alya, kamu sudah siap?" tanya Ibu, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran."Ya, Bu," jawabku, berusaha terdengar percaya diri meskipun hatiku berdebar.Hari ini adalah hari untuk bertemu dengan keluarga konglomerat, keluarga yang terikat dengan janji yang dibuat kakekku. Ibu melangkah masuk, menatapku dengan penuh kasih. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu, matanya be
Tante Mery melangkah anggun menuju Revan, seolah baru saja menaklukkan catwalk, dan mengajaknya duduk di sofa dengan gaya yang sangat percaya diri. Saat mata Revan menangkap sosokku, ekspresinya seketika berubah, seolah dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini—“Oh, dia muridku!” seolah dia ingin berteriak, sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangan, seakan-akan aku adalah hantu dari masa lalu. Jelas sekali, dia berpura-pura tidak mengenalku, seperti aku hanya sekadar ornamen tak diinginkan di ruang tamu—barangkali satu-satunya barang yang tidak pernah diharapkan muncul dalam acara ini. Aku ingin tertawa, tetapi rasanya lebih baik menjaga wajahku tetap serius, mengingat aku sedang berada di rumah orang.Aku menatapnya dengan tajam, sementara dia membalas dengan senyuman sinis yang seolah mengejekku, seperti dia baru saja menangkapku dalam permainan yang tidak aku ketahui aturannya."Alya, ini Revan Permana, cucu kakek," kata Kakek Robert dengan nada bangga."Revan, ini Alya