Tante Mery melangkah anggun menuju Revan, dan mengajaknya duduk di sofa dengan gaya yang sangat percaya diri. Saat mata Revan menangkap sosokku, ekspresinya seketika berubah, seakan dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini. "Oh, dia muridku!” sepertinya dia ingin berteriak, sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangan, seakan-akan aku adalah hantu dari masa lalu. Jelas sekali, dia berpura-pura tidak mengenalku, seperti aku hanya sekadar ornamen tak diinginkan di ruang tamu, barangkali satu-satunya barang yang tidak pernah diharapkan muncul dalam acara ini. Aku ingin tertawa, tetapi rasanya lebih baik menjaga wajahku tetap serius, mengingat aku sedang berada di rumah orang.
Aku menatapnya dengan tajam, sementara dia membalas dengan senyuman sinis yang seolah mengejekku, seperti dia baru saja menangkapku dalam permainan yang tidak aku ketahui aturannya. "Alya, ini Revan Permana, cucu kakek," kata Kakek Robert dengan nada bangga. "Revan, ini Alya, yang akan menjadi istrimu nanti." Aku melihat ekspresi terkejut melintas di wajahnya sejenak, sebelum dia mengangguk dengan pelan. Di balik senyumnya, ada semburat kesedihan yang tak bisa dia sembunyikan, seolah dia baru saja menerima berita yang tak diinginkan. "Alya, apakah kamu masih sekolah?" tanya Tante Mery, menatapku dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di wajahnya. "Ya, tante. Alya sekolah di SMA Harapan.", jawabku, berusaha mempertahankan nada percaya diri meskipun jantungku berdegup lebih cepat. "Benarkah? Wah, kebetulan sekali!" Tante Mery terlihat sangat antusias, seolah menemukan sesuatu yang menarik. "Revan juga mengajar di sana, kan?" "Iyaa, Ma.", jawab Revan, suaranya tenang meski matanya sedikit ragu. "Jadi kalian sudah saling kenal, dong!" Tante Mery menambahkan, matanya berbinar penuh harap. "Tidak!" seruku cepat, suara yang hampir meluap tanpa pikir panjang. "Ya," balas Revan dengan tenang, seolah ingin mengkonfirmasi sesuatu yang tidak aku inginkan. Kami berdua menjawab serempak, tetapi hasilnya justru semakin membingungkan. Tadi dia melihatku seolah tidak mengenalku, tetapi sekarang tiba-tiba ia menyatakan bahwa kami sudah saling kenal. Perasaanku campur aduk, apakah aku sedang berbicara dengan orang yang sama? Mereka semua tertawa melihat kecanggungan yang melanda diriku. Tawa itu mengisi ruangan, menciptakan suasana yang hangat meski aku masih merasa canggung. "Kalian bisa saling mengenal lebih dekat lagi!" seru Kakek Robert dengan nada ceria, matanya berbinar penuh semangat. Aku tersenyum lemah, berusaha tidak terlalu terpaku pada pandangan mereka. Sementara itu, Revan hanya mengangkat alisnya, seolah mempertanyakan momen konyol ini. "Bagaimana Alya di sekolah, Nak Revan?" tanya Ibu, matanya penuh rasa ingin tahu. Aku segera memegang tangan Ibu dengan lembut, berharap dia mengerti isyaratku untuk tidak menanyakan hal itu. Namun, Revan hanya tersenyum sinis, jelas menikmati momen canggung ini saat melihatku panik. "Dia... menyukai pelajaran di luar ruangan." ucapnya, suaranya penuh nada menggelitik, seolah-olah mengisyaratkan sesuatu yang lebih. Aku melotot padanya, berusaha menyampaikan pesan bahwa aku tidak suka pernyataan itu. "Pelajaran di luar ruangan" sebenarnya berarti aku sering dihukum berdiri di luar kelas karena terlambat! Betapa malunya aku! Tawa ringan terdengar di antara mereka, dan aku merasa semakin terjepit dalam situasi ini. "Sungguh, Pak Revan? Apa Bapak harus membocorkan rahasia saya?" balasku dengan nada menggoda, meski hatiku berdebar-debar. Revan hanya mengangkat bahunya, masih dengan senyum sinis di wajahnya. "Maaf, Alya, itu fakta. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan pelajaran di luar ruangan, kan?" Dengan sedikit kekuatan, aku mencoba tertawa bersamanya, meskipun di dalam hati aku berharap bisa mengubur kepalanya yang seperti burung unta itu. "Oh iya, Pak Revan sangat terkenal di sekolah kami," ucapku sambil melirik ke arahnya, sengaja menyiapkan jebakan kecil. Aku bisa melihat Revan mengepalkan tangannya, bersiap menghadapi olokanku. Tatapannya seolah berkata, "Coba saja." "Benarkah? Terkenal karena apa?" tanya Tante Mery dengan rasa penasaran yang jelas, matanya berbinar seolah menantikan jawaban yang memuji keponakannya. Aku tersenyum tipis, berusaha menahan diri agar tidak tertawa. "Dia terkenal karena kehangatannya pada siswa, dan dia sangat bijaksana." Kata-kata itu hampir membuatku muntah. Menyebut Revan 'hangat dan bijaksana'? Ini adalah kebohongan terbesar yang pernah aku katakan, tapi rasanya seperti kejahatan yang harus dilakukan saat ini. Senyum palsuku semakin melebar, sementara Revan memandangku dengan mata menyipit, penuh curiga, namun dia tetap diam. Kakek Robert tertawa ringan, "Wah, Revan, ternyata kamu begitu dihargai oleh para siswa. Luar biasa!" Aku bisa merasakan Revan menahan napas, mungkin menahan keinginannya untuk membalas ucapanku dengan sesuatu yang lebih tajam. Namun, aku tetap tenang, pura-pura tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di pikirannya. Mungkin nanti, ketika kami tak diawasi, dia akan membalas dengan caranya sendiri. Aku duduk di halaman belakang rumah mewah Kakek Robert, mencoba mengumpulkan pikiranku setelah makan siang yang penuh ketegangan. Dari tempat dudukku, aku bisa mendengar samar-samar suara tawa dan percakapan dari ruang keluarga, di mana ibuku dan keluarga Revan sedang bercengkrama. Tapi di sini, di luar, semuanya terasa lebih tenang. Taman-taman bunga yang terhampar di sekelilingku memancarkan keindahan yang sulit diabaikan—warna-warni mawar dan anggrek berpadu dengan harum semerbak yang mengisi udara. Kolam ikan kecil di tengah taman memantulkan sinar matahari sore, sementara ikan-ikan koi berenang pelan, menciptakan suasana yang damai. Bangku taman di mana aku duduk terbuat dari kayu yang dipoles dengan sempurna, terasa nyaman di bawah tubuhku. Di balik semua keindahan ini, pikiranku terus melayang. Makan siang tadi seperti panggung drama, di mana aku dan Revan harus berpura-pura tenang di tengah segala kekacauan yang terasa tak terhindarkan. Di sini, aku berharap setidaknya bisa bernapas lebih lega, walaupun hanya untuk sesaat. Revan menghampiriku, langkahnya terdengar jelas di atas kerikil taman yang tenang, seolah sengaja mengusik ketenanganku. Aku memejamkan mata sejenak, berharap dia akan melewati saja, tapi tentu saja, dia berhenti tepat di depanku. "Apa?!" tanyaku dengan nada kesal, tak berusaha menyembunyikan kekesalanku. Dia menatapku dengan tatapan tajam, ekspresinya tetap dingin. "Jangan katakan pada siapapun tentang perjodohan ini," ucapnya, suaranya rendah namun tegas. Aku mendengus pelan, lalu berdiri dari bangku, menatapnya balik. "Kenapa? Malu ya? Atau takut reputasimu yang ‘hangat dan bijaksana’ di sekolah jadi rusak?" sindirku, mengingat kembali kata-kata pura-puraku tadi saat memujinya di depan keluarganya. Dia mendekat sedikit, wajahnya tak menunjukkan emosi, tapi ada sesuatu di balik sorot matanya yang sulit ditebak. "Ini bukan soal reputasi. Aku punya alasan sendiri." Aku menatapnya tajam, berusaha membaca lebih dalam. Tapi Revan, seperti biasanya, tetaplah sebuah misteri yang tak mudah ditembus. "Aku juga tak berniat mengatakannya pada siapapun.", balas ku. Jika teman-temanku tahu kalau aku dijodohkan, apalagi dengan Revan si guru killer ini, mereka pasti akan mengejekku sampai hari kelulusan nanti. Bisa kubayangkan wajah mereka saat mendengar berita ini—mulai dari tatapan terkejut sampai tawa yang tak berhenti. Mereka akan terus menggodaku di setiap kesempatan, mungkin bahkan membuat lelucon "Alya dan Pak Revan, pasangan abad ini!" di setiap jam istirahat. Aku memejamkan mata sejenak, membayangkan betapa malunya aku kalau itu sampai terjadi. Nama Revan Permana di sekolah itu seperti legenda; semua orang takut padanya. Tak ada yang bisa melupakan bagaimana dia mendisiplinkan murid-murid yang melanggar aturan. "Dan jangan berharap aku akan baik padamu di sekolah, hanya karena kita dijodohkan," katanya dingin, matanya tak menyiratkan sedikitpun keramahan. Ucapannya itu tajam seperti pisau, menusuk dengan jelas bahwa hubungan ini tidak akan mengubah sikapnya sedikitpun. Setelah mengatakannya, ia pun berbalik dan berlalu begitu saja, langkahnya mantap tanpa menoleh ke belakang. Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin menjauh, perasaan campur aduk bergemuruh di dadaku. Aku melayangkan tinju di udara, seolah berharap bisa menghantam wajahnya yang angkuh itu. "Dasar es kutub!" gerutuku pelan, membayangkan betapa menyebalkannya Revan. Dingin, keras, dan tak terjangkau, persis seperti gletser yang tak akan pernah meleleh. Rasanya kalau bisa, aku ingin sekali menjatuhkannya dari ketinggiannya yang selalu terlihat tak tersentuh itu. Tapi kenyataannya, aku hanya berdiri di sini, memukul udara kosong sementara dia terus melangkah pergi tanpa peduli. "Ya ampun, Alya... kenapa harus dia?" gumamku lagi, memijit pelipis yang mendadak terasa pening.Aku berada di kantin, terasing di tengah hiruk-pikuk teman-teman yang berebut makanan. Suara tawa dan obrolan mereka teredam bagai gemuruh ombak yang jauh, sementara aku memilih duduk diam, wajah tertunduk di atas meja. Mataku tertuju pada kalender di ponsel, jari-jariku menggeser layar hingga angka tujuh muncul di layar. Tiga hari lagi aku akan menikah dengan Revan. Permintaan kakek Robert agar kami menikah secepatnya kembali terngiang di kepalaku. "Alya, aku ingin melihat cucu kesayanganku menikah sebelum aku pergi.", katanya dengan nada penuh harap. Perasaan tak menentu menyelimuti pikiranku. Dalam tiga hari, aku akan terikat dalam sebuah janji, tapi bukan janji yang kuinginkan. Kepingan-kepingan ketidakpastian mengisi dadaku, seolah ada beban berat yang membuatku sulit bernafas. Semua ini terasa seperti badai yang akan datang, siap menghancurkan segala harapan yang kuimpikan. Suara sendok dan garpu berdenting membuatku tersadar dari lamunan. Teman-temanku sibuk menyiapkan maka
Aku berjalan tanpa semangat, hari ini benar-benar buruk. Sepanjang pelajaran, aku merasakan tatapan Revan yang tajam, seolah mencari celah untuk mengejekku. Setiap kali aku melirik ke arahnya, dia sudah menatapku lebih dulu, senyumannya membuatku semakin kesal. "Bagaimana bisa cowok sekejam itu akan menjadi suamiku nanti?" Ucapku dalam hati, sambil memukul lembut kepalaku. "Tenanglah! Kamu kan biasanya malu-maluin, kenapa kali ini kamu begitu frustrasi?" ucap Seira, setengah meledek sambil memakan es krim di tangannya, menikmati momen ini tanpa beban. "Ini semua salahmu, Seira!" Aku mendengus kesal, memikirkan betapa kacau hari ini. "Kenapa nyalahin aku?" tanyanya polos, mengangkat sebelah alis. "Karena kamu nggak ngasih tahu aku tentang ujian kimia!" Aku berusaha menjambak rambutnya dengan kesal, tapi dia segera mengelak sambil tertawa kecil. "Aku kira kamu udah tahu," katanya dengan nada tak bersalah. "Ayo ngaku sekarang, cowok mana yang bikin kamu jadi kayak gini?" "Aku bilan
"Alya, kamu cantik sekali tadi, Nak. Ibu sangat bangga padamu," ucap Ibu sambil melepas hiasan yang ada di kepalaku dengan hati-hati. Aku berada di rumah keluarga Revan, kamar yang luas ini bahkan tidak bisa menghentikan kekalutan dihatiku. Aku hanya tersenyum kecil. Rasanya masih seperti mimpi. Aku sudah menikah, tapi aku tahu di luar kamar ini, suamiku—Revan—mungkin sama tidak senangnya dengan pernikahan ini. "Ibu yakin semuanya akan baik-baik saja dan kamu akan terbiasa menjalani kehidupan ini." lanjut Ibu sambil memegang tanganku. Aku mengangguk, meski hatiku berkata lain. "Semoga saja, Bu." Mendadak, pintu kamar terbuka, dan Revan muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat sedikit terkejut melihat kami masih di sini. "Oh, Nak Revan," sapa Ibu dengan ramah. "Maaf, Tante. Saya kira tidak ada orang di sini," ucap Revan sambil melirik sekilas ke arahku, lalu kembali menatap Ibu. "Tidak apa-apa, masuklah," kata ibuku dengan ramah, mencoba menciptakan suasana yang lebih nyaman.
Aku memijat kakiku yang pegal karena di hukum berdiri tadi, merasakan sakitnya setiap kali jari-jari ini menekan area yang tegang. Dengan langkah pelan, aku menuju ke lapangan sekolah. Begitu aku melangkah ke lapangan sekolah, suasana semangat langsung menyambutku. Teman-temanku tampak energik, sibuk menghias stan dengan tawa dan canda. Suara mereka melambung tinggi, menciptakan melodi ceria yang menambah kehangatan di udara, sementara dekorasi berwarna-warni menggantung dengan anggun, seolah-olah siap menari menyambut hari yang ditunggu-tunggu. "Alya, cepat sini!" Seira berteriak, melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Senyum lebar di wajahnya membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak bergegas menghampiri. Aku bergegas mendekat, mencoba mengabaikan rasa pegal di kaki. "Kita butuh bantuanmu untuk menghias backdrop! Ayo, kita buat yang terbaik untuk pentas seni besok!", ucapnya. Di belakang stan, tumpukan kain berwarna cerah tergeletak, dan beberapa teman sudah mulai menggan
Pagi hari di sekolah, suasana terasa sangat berbeda. Perasaan senang dan bersemangat menguasai diriku sejak aku melangkahkan kaki di gerbang sekolah. Ini adalah hari yang sudah lama kutunggu-tunggu. Aku, Seira, Rakha, dan Dino akan tampil membawakan lagu yang aku ciptakan, sebuah karya yang telah kami latih dengan penuh dedikasi selama berminggu-minggu. Langit cerah dan angin sepoi-sepoi menambah kesegaran pagi itu. Di sekitar sekolah, orang-orang sudah mulai berdatangan. Tidak hanya siswa dari sekolahku, tapi juga dari sekolah-sekolah lain. Ada yang datang untuk menonton teman-teman mereka tampil, ada juga yang penasaran dengan acara tahunan ini. Lapangan sekolah yang biasanya lengang di pagi hari, kini sudah dipenuhi tenda-tenda dan panggung utama yang berdiri megah di tengah-tengah. Suara-suara ceria, tawa, dan obrolan ramai menyatu menjadi satu harmoni yang khas pada hari seperti ini. Aku bisa melihat wajah-wajah penuh antusias, bahkan beberapa orang sudah mulai mencari tempat du
"Aku menyukaimu, Alya." Kalimat itu terus berputar-putar di otakku. Rakha memang baik, pintar, dan tampan. Keluarganya juga dihormati di bidang pendidikan, dan dia selalu punya cara membuatku merasa nyaman di sekitarnya. Tapi, perasaanku sendiri terasa buram, apa aku benar-benar menyukainya, atau hanya sekadar kagum? Aku tidak tahu pasti. Sulit rasanya untuk membedakan perasaan ini, antara mengaguminya sebagai teman, atau sesuatu yang lebih dalam. Aku menatap gitar di pangkuanku, mencoba memetik beberapa nada, berharap bisa fokus pada musik, mengalihkan pikiran dari kata-kata Rakha. Tapi semuanya kembali ke satu hal: Rakha bilang dia akan menunggu jawabanku. Aku menghela napas pelan, mencoba menenangkan diriku. Di satu sisi, ada perasaan senang mengalir saat dia menyatakan perasaannya padaku. Tapi disisi lain, aku juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa aku sudah terikat oleh pernikahan. Perlahan, aku menyadari bahwa jawabannya tidak akan datang dengan mudah. Aku butuh waktu. "ARGH
"Ugh, lapar..." gumamku pelan. Perutku sudah meronta sejak tadi siang, tapi uangku hanya tersisa beberapa ribu, hanya cukup untuk jajan di sekolah besok, tidak lebih. Haruskah aku minta belikan makan pada Revan? Ah, mana mungkin. Malu rasanya, minta tolong sama dia. Tapi, kalau aku terus kelaparan... Aku menggeleng, mencoba membuang pikiran itu. Rasanya otak dan perutku malah saling berdebat sekarang. Aku menarik napas panjang dan mengambil remote TV, berharap acara favoritku bisa sedikit mengalihkan perhatian dari rasa lapar ini. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Revan keluar tanpa sepatah kata, langkahnya tenang namun pasti, melewati ruang tamu dan menuju pintu depan. Dalam hitungan detik, dia sudah keluar dari apartemen, meninggalkanku dalam keheningan yang sama sekali tak kuharapkan. Aku menatap pintu yang kini tertutup rapat, bingung. Ke mana dia pergi? Dia sama sekali tak peduli denganku. Rasa kesal mulai menggerogoti pikiranku, dan aku berusaha mengalihkan perhatian dengan men
"Kamu bisa buat lagu juga?" tanya Revan tiba-tiba, mengalihkan pandangannya dari layar TV setelah mendengar petikan gitarku. "Ya, kalau ada waktu luang, aku suka ciptain lagu," jawabku santai. "Oh," Revan mengangguk pelan, tampak terkesan meski tetap tenang. "Lagu di pentas seni kemarin bagus." Aku tersenyum tipis. "Makasih. Waktu itu, aku nggak nyangka bakal diterima baik." "...cocok untukmu," kata Revan pelan, kembali menatap layar TV seolah mencoba menyembunyikan pikirannya. "Apa? Kamu ngomong apa tadi?" tanyaku, tidak terlalu mendengar jelas apa yang dia katakan. "Tidak, tak ada apa-apa," jawabnya singkat, suaranya datar, namun ada sesuatu yang disembunyikan di balik kalimat itu. Dia nampak tenang menonton acara di tv, tanpa ekspresi. Aku memandangnya, rambutnya yang berantakan terlihat kontras dengan penampilannya di sekolah yang selalu rapi dan tegas. Di sini, dia tampak lebih santai, seperti orang yang berbeda dari sosok guru killer yang dikenal siswa. Sesuatu tentang di
“Apa maksudmu, Revan? Jelaskan padaku,” tanyaku sangat penasaran, suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuharapkan, meskipun di dalam hatiku ada gelombang emosi yang siap meledak. Revan menghela napas, seperti menyiapkan diri untuk sebuah pengakuan yang berat. “Pernikahan kita lebih dari sekedar perjodohan. Aku tak tahu pasti alasannya, tapi ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik ini semua. Dan aku... aku tidak punya pilihan lain.” Aku terdiam, menunggu kata-kata berikutnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya, sampai akhirnya dia melanjutkan. “Ayahku memberikan ultimatum—menikah denganmu atau dia akan menyakiti Nadira. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.” “Nggak mungkin Om Roy melakukan hal itu. Ayahmu nggak kelihatan seperti orang jahat.”, ujarku. Revan tersenyum tipis, senyum pahit yang hanya menambah kebingunganku. “Ayahku memang pintar menyembunyikan sisi gelapnya, Alya. Dia terlihat ramah, penuh karisma di depan orang-orang. Tapi di balik semua
Sudah tiga malam berlalu, dan Revan belum juga pulang ke rumah. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Kecemasan menggerogoti pikiranku setiap saat. Aku tahu hubungan kami tidak pernah berjalan mulus, pernikahan ini pun bukan karena cinta. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia menghilang begitu saja. Dua hari ini, aku menahan diri untuk tidak menghubungi keluarganya. Meski ada dorongan kuat untuk melakukannya, aku tahu ini adalah masalah antara aku dan Revan. Campur tangan keluarga hanya akan memperkeruh keadaan.Langit malam di luar apartemen semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hatiku yang penuh keraguan dan pertanyaan. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayanganku. Ke mana Revan? Kenapa dia tidak memberi kabar sedikit pun?Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka memecah keheningan. Aku langsung berdiri, hati berdebar-debar. Revan? Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamar dan mendapati Revan masuk dengan t
Panik menyelimuti pikiranku. Revan melihatnya! Aku harus segera bertindak sebelum situasi semakin buruk. Tanpa berpikir panjang, aku menarik tangan Rakha keluar dari kantin, berharap bisa menjauh dari kerumunan yang terus berbisik di belakang kami."Apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan nada mendesak begitu kami sampai di luar. "Kita nggak pacaran, Rakha. Kenapa kamu bilang begitu?"Rakha menatapku dengan ekspresi tenang, meski aku tahu dia menyadari kegelisahanku. "Setidaknya mereka diam dan nggak mengganggumu lagi," jawabnya sambil mengangkat bahu seolah-olah yang baru saja terjadi bukan hal besar.Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna logikanya. Memang benar, dengan pengakuannya tadi, semua spekulasi dan gosip di kantin mungkin akan berhenti. Tapi ini bukan solusi yang kuinginkan. "Tapi, ini bukan caranya," kataku pelan. "Kamu tahu kalau ini bisa membuat semuanya lebih rumit, kan? Aku nggak mau buat orang lain salah paham."Rakha menghela napas dan menatapku dengan tatapan serius
"Kenapa dia menciumku?" Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku, mengganggu pikiranku sejak kemarin. Rasanya semua terjadi begitu cepat, dan sekarang aku tak bisa menghilangkan sensasi ciuman itu dari pikiranku. Namun, setelah kejadian itu, Revan seperti menghindariku. Dia tidak mengucapkan apa-apa setelah menciumku. Bahkan pagi ini, ketika aku bangun, dia sudah pergi. Tidak ada pesan, tidak ada jejak. Aku menghela napas, perasaan canggung dan kebingungan bercampur menjadi satu. Apa dia menyesal? Atau dia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah itu? Mungkin... mungkin aku yang terlalu memikirkan hal ini. Aku hampir jatuh karena tersandung, tapi sebelum tubuhku benar-benar menyentuh lantai, sebuah tangan kuat menarikku dengan cepat. "Hati-hati dong, Al!" Suara itu terdengar akrab. Aku menoleh dan melihat Rakha, tersenyum seperti biasanya. Dia berdiri di depanku, masih memegang lenganku dengan ringan, memastikan aku benar-benar seimbang. "Rakha?" tanyaku, masih se
Di dalam mobil, suasana terasa canggung. Revan diam, fokus pada jalan di depannya, sementara aku hanya menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar di malam hari. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela, membuatku sedikit menggigil. Aku mencuri pandang ke arah Revan yang sesekali mengetukkan jarinya pada setir, seperti menahan diri untuk tidak memulai percakapan. Namun, meski kami saling diam, ada sesuatu yang menggantung di antara kami, sebuah pertanyaan yang tak terucap, atau mungkin suasana aneh yang mulai terasa sejak tadi di rumah ibuku. Aku menarik napas pelan, mencoba mencari kata-kata untuk memecah kesunyian. Tapi, apa yang harus aku katakan? Pikiran tentang 'tidur bersama yang tidak biasa' terus berputar di kepalaku. Semua ini gara-gara ibu. Ngapain coba, bicara tentang hal ‘itu’? Aku sendiri bahkan belum pernah berciuman dengan cowok, apalagi memikirkan yang lebih jauh dari itu. Malu rasanya setiap kali ingat wajah Revan yang tiba-tiba memerah
Bel sekolah baru saja berdering, aku dan Seira berjalan keluar gerbang, meninggalkan segala keributan di belakang kami. Langit sore sudah mulai merona, tapi aku merasa seolah ada awan gelap yang terus menggantung di atas kepalaku. Suasana sore itu harusnya tenang, tapi tidak buat ku. Seira melirik ke arahku, jelas dia tahu ada yang tidak beres. "Masih kepikiran soal Cindy, ya?" Seira bertanya pelan, nadanya penuh simpati. Aku mengangguk, berat rasanya buat ngomong. "Iya. Rasanya semua orang ngeliatin aku kayak aku habis ngelakuin sesuatu yang salah." Seira mendesah, kelihatan dia juga bingung harus bagaimana bantu aku. "Padahal jelas-jelas itu nggak benar." Kami terus berjalan ke parkiran, dan saat itu aku melihat Rakha berdiri di samping motornya. Dia menatap kami dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Ada yang aneh dari tatapannya, dan aku bisa ngerasain sesuatu yang buruk akan segera terungkap. "Alya, kita perlu bicara sesuatu," ucap Rakha, suaranya terdengar lebih seriu
Gosip belum juga mereda, padahal sudah beberapa hari berlalu. Aku duduk di kantin bersama Seira dan Dino, mencoba mengabaikan tatapan-tatapan penasaran dari sekeliling. "Apa kamu sudah tahu siapa yang nyebarin gosip tentang kamu?" tanya Seira sambil mengaduk minumannya, menatapku penuh simpati. Aku menggelengkan kepala, merasa lelah dengan semua ini. "Belum", jawabku. Namun, belum sempat aku berkata lebih lanjut, Cindy dan gengnya tiba di kantin. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan memar di pipinya. Dia menatapku tajam, seraya menantang, lalu duduk di seberang tempat kami. Teman-temannya mengikuti, seakan memperkuat garis depan pertarungan ini. Cindy mulai berbisik dengan teman-temannya, sesekali mencuri pandang ke arahku. Aku bisa merasakan tatapan terkejut yang beralih menjadi sinis dari mereka yang duduk di sekeliling. Seperti yang kuperkirakan, mereka sudah siap menyalakan api perperangan ini. Salah seorang cowok yang agak gemulai, dengan tatapan angkuh, men
Setelah insiden dengan Cindy tadi, Revan menungguku di ruang musik. Sesekali dia bertanya hal-hal ringan tentang musik, mencoba mencairkan suasana. Aku merespons seadanya, meski hatiku sedikit berdebar. Akhirnya, setelah obrolan yang membuatku merasa seperti guru musik dadakan, kami pun keluar dari ruang musik. Aku mengikuti Revan yang berjalan di depanku. Punggungnya lebar dan kokoh, tubuhnya tinggi menjulang, mungkin sekitar 180 cm. Kalau aku berdiri di sampingnya, tinggiku yang cuma 158 cm pasti terlihat seperti anak kecil. Pikiran itu membuatku terkekeh pelan tanpa sadar. Langkah Revan mulai menuju parkiran. Oh, apa dia mau ngajak pulang bareng? Tapi kenapa nggak bilang apa-apa? Aku menatap punggungnya, bertanya-tanya dalam hati. Mungkin dia malu. Atau, ya mungkin ini caranya menawarkan tanpa perlu bicara. Sesampainya di parkiran, Revan langsung menuju mobilnya dengan langkah percaya diri. Aku menunggu, berharap dia akan membuka pintu untukku seperti di film-film romantis atau s
Setelah bicara dengan Rakha, aku kembali ke kelas dan duduk di bangkuku. Suasana di dalam kelas terasa tegang. Beberapa teman sekelas masih berbisik dan melirikku dengan tatapan sinis, seolah-olah mereka sedang mendiskusikan gosip yang beredar. Aku mencoba mengabaikannya dan fokus pada pelajaran. Tak lama kemudian, Seira dan Melisa datang menghampiriku. Seira terlihat khawatir, sementara Melisa tampak ceria, seakan tidak ada yang terjadi. "Ngga ke kantin, Al?" tanya Seira. "Kamu nggak mau makan?" Aku menggeleng, menatap ke depan dengan rasa frustrasi. "Aku nggak selera." Melisa duduk di sebelahku, senyumnya memudar ketika melihat ekspresiku. "Ada apa, Alya? Kenapa kamu kelihatan murung?" Seira menjelaskan, "Dia lagi stress karena gosip yang beredar tentang dia dan Rakha." Melisa mengerutkan kening. "Oh, jadi itu yang terjadi. Itu nggak adil banget, Al. Kamu harusnya nggak perlu merasakan tekanan dari orang lain." Aku mencoba tersenyum, tetapi rasa cemas itu tetap membayangi. "Mu