Share

Harga Sebuah Janji

Penulis: Alissandra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku berjalan tanpa semangat, hari ini benar-benar buruk. Sepanjang pelajaran, aku merasakan tatapan Revan yang tajam, seolah mencari celah untuk mengejekku. Setiap kali aku melirik ke arahnya, dia sudah menatapku lebih dulu, senyumannya membuatku semakin kesal.

"Bagaimana bisa cowok sekejam itu akan menjadi suamiku nanti?" Ucapku dalam hati, sambil memukul lembut kepalaku.

"Tenanglah! Kamu kan biasanya malu-maluin, kenapa kali ini kamu begitu frustrasi?" ucap Seira, setengah meledek sambil memakan es krim di tangannya, menikmati momen ini tanpa beban.

"Ini semua salahmu, Seira!" Aku mendengus kesal, memikirkan betapa kacau hari ini.

"Kenapa nyalahin aku?" tanyanya polos, mengangkat sebelah alis.

"Karena kamu nggak ngasih tahu aku tentang ujian kimia!" Aku berusaha menjambak rambutnya dengan kesal, tapi dia segera mengelak sambil tertawa kecil.

"Aku kira kamu udah tahu," katanya dengan nada tak bersalah. "Ayo ngaku sekarang, cowok mana yang bikin kamu jadi kayak gini?"

"Aku bilang nggak ada cowok!" balasku cepat, tapi kali ini aku berhasil menjambak rambutnya. Dia berteriak histeris, membuatku tertawa puas. Kami bercanda di koridor, sejenak melupakan hari buruk yang baru saja kulalui.

Tiba-tiba, benda keras menghantam kepalaku. "Aw, sakit!" Aku menoleh, mendapati Rakha yang memukulku dengan buku tebal.

"Ayo latihan," ucapnya tanpa ekspresi, seolah memukul kepalaku adalah hal yang biasa.

"Jangan memukul kepalaku!" ucapku kesal pada Rakha sambil mengusap bagian yang tadi dia hajar dengan buku.

Rakha hanya mengangkat bahu tanpa ekspresi. "Mungkin dengan dipukul otakmu yang beku itu bisa bekerja."

Aku menatapnya tak percaya. "Maksudmu otakku beku?"

Dia mengangguk dengan santai. "Iya, kayak komputer yang nge-hang. Butuh restart. Pukul sedikit, siapa tahu jalan lagi."

Seira yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak. "Aduh, Rakha, kamu parah banget! Kasian Alya."

Aku menatap cemberut pada Seira. "Kamu bilang kasihan, tapi kamu yang paling keras ketawanya!"

Seira masih terkikik sambil berusaha meredam tawa. "Sorry, sorry... tapi serius, ekspresimu lucu banget!"

Aku mendengus kesal, meski sebenarnya ini hanya kesal biasa; aku sudah terbiasa dengan ledekan mereka yang seakan tak pernah habisnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku melangkah cepat menuju ruang latihan musik, membiarkan langkahku menggema di koridor.

Seira dan Rakha mengikutiku dari belakang, suaranya bercanda dan tertawa, seolah tidak ingin ketinggalan momen. “Eh, Alya! Tunggu!” seru Seira, suaranya ceria dan penuh semangat.

Rasa kesal itu semakin menyusut saat aku melirik ke belakang dan melihat ekspresi penuh tawa mereka. Momen itu mengingatkanku betapa berartinya persahabatan kami. Sesampainya di ruang musik, aku mengambil gitar, jari-jariku langsung menyentuh senar, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan jengkel yang masih menyisa.

"Jangan langsung anggap serius, ya!" Rakha menimpali sambil mengelus kepalaku, dan entah kenapa, sentuhan itu membuat kehangatan menjalar di hatiku.

Seolah dalam sekejap, semua emosi negatif perlahan menghilang. Momen kecil seperti itu seringkali membuat kita merasa lebih baik, kan? Ini mengingatkan bahwa, meski ada perdebatan kecil, ikatan persahabatan yang kita miliki lebih kuat dari apapun.

"Oke, oke, kita latih lagu baru, ya?" kataku sambil memainkan gitar, mengalihkan fokus sepenuhnya ke musik. Nada-nada yang keluar terasa menenangkan, dan aku merasa lebih baik seiring berjalannya waktu.

Tak lama kemudian, Dino datang dengan semangatnya yang khas. "Hei, apa kabar? Siap untuk membuat keributan di sini?" tanyanya, sambil meletakkan tasnya di sudut ruangan.

"Selalu siap!" jawab Seira dengan antusias.

Dengan semangat, kami semua mulai memainkan alat musik masing-masing. Suara gitar, bass, dan drum menyatu, menciptakan harmoni yang penuh energi. Setiap nada yang kami hasilkan membawa perasaan ceria dan keceriaan ke dalam ruangan, seolah menghapus semua kesal yang sempat ada sebelumnya.

  ---

Malam hari, suasana di ruang makan terasa hangat dan akrab, aroma masakan ibu memenuhi ruangan, menciptakan nuansa nyaman di antara kami. Sambil menyantap hidangan, ibu tiba-tiba menatapku dengan senyuman yang penuh arti.

"Alya, tante Mery sudah memilihkan gaun pernikahan untukmu. Sangat cantik.", ujarnya, matanya berbinar penuh antusiasme.

Dengan lembut, ibu mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Ketika gambar gaun putih dengan manik-manik yang indah muncul di layar, jantungku berdebar. Gaun itu terbuat dari satin halus, memancarkan kilau lembut saat cahaya menyentuhnya. Desainnya anggun, dengan detail manik-manik yang berkilau seperti bintang di malam hari, dan potongan yang sangat elegan.

"Wow!" gumamku, tak bisa menahan diri untuk mengagumi keindahan gaun itu. "Itu memang cantik, Bu. Tapi… aku belum siap untuk pernikahan.", ucapku, mencoba membujuk ibu lagi.

Ibu menatapku dengan penuh pengertian, dan aku bisa merasakan kehangatan dalam pandangannya.

"Ibu mengerti, sayang. Tapi ini adalah langkah menuju masa depan yang indah. Masa depanmu akan terjamin bersama mereka.", katanya lembut, berusaha meyakinkanku dengan keyakinan yang mendalam. "Ibu tidak ingin kamu dikejar-kejar renternir karena hutang-hutang ayahmu.", Ibu menatapku serius.

Inilah sisi gelap yang tak orang ketahui tentang keluargaku. Ayahku meninggalkan banyak hutang yang menumpuk, beban berat yang terasa seperti bayangan gelap mengintai kami setiap saat. Ibuku, dengan kerja kerasnya, berjuang untuk membayarinya, berusaha sekuat tenaga demi menjaga agar kami tetap bertahan. Namun, tekanan itu semakin menguat, dan rumah ini tempat di mana kenangan-kenangan indah terukir, sebentar lagi akan diambil oleh pihak bank.

Aku merasakan hatiku tertekan oleh kenyataan pahit itu. Betapa pun aku ingin mengejar mimpiku, aku juga merasakan tanggung jawab besar untuk membantu ibu dan meringankan beban yang kami pikul. "Baiklah.", ujarku, suara yang kuucapkan terasa berat namun tegas.

Satu kata itu seolah menjadi keputusan yang mengubah segalanya. Dalam hatiku, aku tahu ini adalah langkah yang harus diambil, meski dengan perasaan campur aduk yang melanda. Menjadi bagian dari pernikahan ini bukan hanya tentang diriku, tetapi juga tentang keluargaku—tentang harapan yang terpendam, dan tentang memberi sedikit ketenangan bagi ibu dan kakek Robert.

"Bagus, sayang. Ibu tahu kamu bisa.", kata ibu, senyumnya mengembang seolah beban di bahunya sedikit terangkat. Namun, meski aku mencoba memberikan senyuman balasan, di dalam diriku ada rasa kosong yang tak bisa sepenuhnya hilang.

Keesokan harinya, saat aku mempersiapkan diri untuk pernikahan yang akan datang, aku merasa seperti berada di antara dua dunia, satu di mana impianku menanti untuk digenggam dan satu lagi di mana tanggung jawab membayangi setiap langkahku. Setiap persiapan yang kulakukan terasa seperti mengukir jalan yang sama sekali berbeda dari yang pernah aku bayangkan.

Aku berusaha keras untuk tidak membiarkan keraguan menguasai pikiranku. Aku ingin percaya bahwa ini adalah langkah yang benar, bahwa kebahagiaan akan datang seiring dengan keputusan ini. Meskipun dalam hati, suara kecil itu terus berbisik, mempertanyakan apakah aku benar-benar siap menghadapi apa pun yang akan datang setelah hari pernikahan.

Aku berdiri di depan cermin di kamar hotel, menatap diriku yang dibalut gaun pengantin yang indah. Setiap detail gaun itu mencerminkan keanggunan, mulai dari manik-manik yang berkilauan hingga jahitan yang rapi. Namun, meski penampilan luarku terlihat sempurna, hatiku bergejolak dengan seribu emosi yang berbeda.

Hari ini adalah hari yang ditunggu oleh dua keluarga, sebuah momen yang diharapkan menjadi puncak kebahagiaan. Di luar sana, suara riuh dari kerumunan tamu sudah mulai terdengar, menciptakan atmosfer penuh harapan dan antusiasme. Aku bisa merasakan getaran itu, namun entah kenapa, sebuah rasa cemas menggelayuti pikiranku.

"Apakah aku benar-benar siap?" tanyaku pada refleksi diriku sendiri, mencoba mencari jawaban dalam tatapanku. Di balik senyuman yang kulihat, ada keraguan yang tak bisa diabaikan. Aku tahu semua orang mengharapkan kebahagiaan ini, namun apakah aku bisa menemukan kebahagiaan di dalamnya?

Kedua tanganku bergetar lembut saat aku mengambil ponsel. Satu pesan dari Seira muncul di layar. 

 [Alya, kenapa kamu tidak masuk kelas selama dua hari? Kami khawatir!]

Senyum tipis terbentuk di bibirku saat membaca pesannya. Seira selalu begitu perhatian. Dalam hatiku, aku tahu aku harus memberi kabar, tetapi suara dalam hatiku menahan. Mereka tidak perlu memikul beban yang kini terletak di pundakku.

Sambil merapikan gaun, aku berusaha menenangkan diri. Melangkah keluar dari kamar hotel yang mewah, menuju aula pernikahan. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Alissandra
iya, makasih udah baca ...
goodnovel comment avatar
Sasha Adiraya
semangat nulisnya yaa ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Kehidupan Setelah Menikah (1)

    "Alya, kamu cantik sekali tadi, Nak. Ibu sangat bangga padamu," ucap Ibu sambil melepas hiasan yang ada di kepalaku dengan hati-hati. Aku berada di rumah keluarga Revan, kamar yang luas ini bahkan tidak bisa menghentikan kekalutan dihatiku. Aku hanya tersenyum kecil. Rasanya masih seperti mimpi. Aku sudah menikah, tapi aku tahu di luar kamar ini, suamiku—Revan—mungkin sama tidak senangnya dengan pernikahan ini. "Ibu yakin semuanya akan baik-baik saja dan kamu akan terbiasa menjalani kehidupan ini." lanjut Ibu sambil memegang tanganku. Aku mengangguk, meski hatiku berkata lain. "Semoga saja, Bu." Mendadak, pintu kamar terbuka, dan Revan muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat sedikit terkejut melihat kami masih di sini. "Oh, Nak Revan," sapa Ibu dengan ramah. "Maaf, Tante. Saya kira tidak ada orang di sini," ucap Revan sambil melirik sekilas ke arahku, lalu kembali menatap Ibu. "Tidak apa-apa, masuklah," kata ibuku dengan ramah, mencoba menciptakan suasana yang lebih nyaman.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Kehidupan Setelah Menikah (2)

    Aku memijat kakiku yang pegal karena di hukum berdiri tadi, merasakan sakitnya setiap kali jari-jari ini menekan area yang tegang. Dengan langkah pelan, aku menuju ke lapangan sekolah. Begitu aku melangkah ke lapangan sekolah, suasana semangat langsung menyambutku. Teman-temanku tampak energik, sibuk menghias stan dengan tawa dan canda. Suara mereka melambung tinggi, menciptakan melodi ceria yang menambah kehangatan di udara, sementara dekorasi berwarna-warni menggantung dengan anggun, seolah-olah siap menari menyambut hari yang ditunggu-tunggu. "Alya, cepat sini!" Seira berteriak, melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Senyum lebar di wajahnya membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak bergegas menghampiri. Aku bergegas mendekat, mencoba mengabaikan rasa pegal di kaki. "Kita butuh bantuanmu untuk menghias backdrop! Ayo, kita buat yang terbaik untuk pentas seni besok!", ucapnya. Di belakang stan, tumpukan kain berwarna cerah tergeletak, dan beberapa teman sudah mulai menggan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Pentas Seni

    Pagi hari di sekolah, suasana terasa sangat berbeda. Perasaan senang dan bersemangat menguasai diriku sejak aku melangkahkan kaki di gerbang sekolah. Ini adalah hari yang sudah lama kutunggu-tunggu. Aku, Seira, Rakha, dan Dino akan tampil membawakan lagu yang aku ciptakan, sebuah karya yang telah kami latih dengan penuh dedikasi selama berminggu-minggu. Langit cerah dan angin sepoi-sepoi menambah kesegaran pagi itu. Di sekitar sekolah, orang-orang sudah mulai berdatangan. Tidak hanya siswa dari sekolahku, tapi juga dari sekolah-sekolah lain. Ada yang datang untuk menonton teman-teman mereka tampil, ada juga yang penasaran dengan acara tahunan ini. Lapangan sekolah yang biasanya lengang di pagi hari, kini sudah dipenuhi tenda-tenda dan panggung utama yang berdiri megah di tengah-tengah. Suara-suara ceria, tawa, dan obrolan ramai menyatu menjadi satu harmoni yang khas pada hari seperti ini. Aku bisa melihat wajah-wajah penuh antusias, bahkan beberapa orang sudah mulai mencari tempat du

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Pindah Rumah

    "Aku menyukaimu, Alya." Kalimat itu terus berputar-putar di otakku. Rakha memang baik, pintar, dan tampan. Keluarganya juga dihormati di bidang pendidikan, dan dia selalu punya cara membuatku merasa nyaman di sekitarnya. Tapi, perasaanku sendiri terasa buram, apa aku benar-benar menyukainya, atau hanya sekadar kagum? Aku tidak tahu pasti. Sulit rasanya untuk membedakan perasaan ini, antara mengaguminya sebagai teman, atau sesuatu yang lebih dalam. Aku menatap gitar di pangkuanku, mencoba memetik beberapa nada, berharap bisa fokus pada musik, mengalihkan pikiran dari kata-kata Rakha. Tapi semuanya kembali ke satu hal: Rakha bilang dia akan menunggu jawabanku. Aku menghela napas pelan, mencoba menenangkan diriku. Di satu sisi, ada perasaan senang mengalir saat dia menyatakan perasaannya padaku. Tapi disisi lain, aku juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa aku sudah terikat oleh pernikahan. Perlahan, aku menyadari bahwa jawabannya tidak akan datang dengan mudah. Aku butuh waktu. "ARGH

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Batas yang Mulai Pudar

    "Ugh, lapar..." gumamku pelan. Perutku sudah meronta sejak tadi siang, tapi uangku hanya tersisa beberapa ribu, hanya cukup untuk jajan di sekolah besok, tidak lebih. Haruskah aku minta belikan makan pada Revan? Ah, mana mungkin. Malu rasanya, minta tolong sama dia. Tapi, kalau aku terus kelaparan... Aku menggeleng, mencoba membuang pikiran itu. Rasanya otak dan perutku malah saling berdebat sekarang. Aku menarik napas panjang dan mengambil remote TV, berharap acara favoritku bisa sedikit mengalihkan perhatian dari rasa lapar ini. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Revan keluar tanpa sepatah kata, langkahnya tenang namun pasti, melewati ruang tamu dan menuju pintu depan. Dalam hitungan detik, dia sudah keluar dari apartemen, meninggalkanku dalam keheningan yang sama sekali tak kuharapkan. Aku menatap pintu yang kini tertutup rapat, bingung. Ke mana dia pergi? Dia sama sekali tak peduli denganku. Rasa kesal mulai menggerogoti pikiranku, dan aku berusaha mengalihkan perhatian dengan men

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Siapa Dia?

    "Kamu bisa buat lagu juga?" tanya Revan tiba-tiba, mengalihkan pandangannya dari layar TV setelah mendengar petikan gitarku. "Ya, kalau ada waktu luang, aku suka ciptain lagu," jawabku santai. "Oh," Revan mengangguk pelan, tampak terkesan meski tetap tenang. "Lagu di pentas seni kemarin bagus." Aku tersenyum tipis. "Makasih. Waktu itu, aku nggak nyangka bakal diterima baik." "...cocok untukmu," kata Revan pelan, kembali menatap layar TV seolah mencoba menyembunyikan pikirannya. "Apa? Kamu ngomong apa tadi?" tanyaku, tidak terlalu mendengar jelas apa yang dia katakan. "Tidak, tak ada apa-apa," jawabnya singkat, suaranya datar, namun ada sesuatu yang disembunyikan di balik kalimat itu. Dia nampak tenang menonton acara di tv, tanpa ekspresi. Aku memandangnya, rambutnya yang berantakan terlihat kontras dengan penampilannya di sekolah yang selalu rapi dan tegas. Di sini, dia tampak lebih santai, seperti orang yang berbeda dari sosok guru killer yang dikenal siswa. Sesuatu tentang di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Gosip yang Menyebar

    "Ayo pulang," Seira menyadarkanku dari lamunanku. Mataku tak bisa lepas dari mobil yang membawa Revan dan wanita cantik itu. Sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda bahwa dia memiliki hubungan spesial dengan siapapun, atau aku saja yang tidak pernah tahu. "Aku pulang sendiri aja.", kataku. "Kenapa? Aku bisa antar kamu kok." Aku menggelengkan kepala, berusaha menutupi rasa aneh yang menyerangku. "Aku masih ada urusan. Dah!" Aku melambaikan tangan pada Seira, Rakha, Dino dan Melisa, lalu berbalik, sedikit berlari keluar dari gerbang sekolah. Aku ingin berjalan kaki saja, meredakan hatiku yang bergejolak. Melewati jalanan yang padat menuju apartemen, aku terus bertanya-tanya, apa wanita itu benar pacar Revan? Bagaimana perasaan pacarnya kalau tahu Revan sudah menikah? Sesampainya di apartemen, kulihat ruangan itu masih kosong. Revan belum pulang. Apa dia masih bersama wanita itu? Mungkin mereka sedang makan malam romantis, atau... Aku menghentikan pikiran buruk itu. Aku merebahkan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Dalam Dilema Cinta

    Setelah bicara dengan Rakha, aku kembali ke kelas dan duduk di bangkuku. Suasana di dalam kelas terasa tegang. Beberapa teman sekelas masih berbisik dan melirikku dengan tatapan sinis, seolah-olah mereka sedang mendiskusikan gosip yang beredar. Aku mencoba mengabaikannya dan fokus pada pelajaran. Tak lama kemudian, Seira dan Melisa datang menghampiriku. Seira terlihat khawatir, sementara Melisa tampak ceria, seakan tidak ada yang terjadi. "Ngga ke kantin, Al?" tanya Seira. "Kamu nggak mau makan?" Aku menggeleng, menatap ke depan dengan rasa frustrasi. "Aku nggak selera." Melisa duduk di sebelahku, senyumnya memudar ketika melihat ekspresiku. "Ada apa, Alya? Kenapa kamu kelihatan murung?" Seira menjelaskan, "Dia lagi stress karena gosip yang beredar tentang dia dan Rakha." Melisa mengerutkan kening. "Oh, jadi itu yang terjadi. Itu nggak adil banget, Al. Kamu harusnya nggak perlu merasakan tekanan dari orang lain." Aku mencoba tersenyum, tetapi rasa cemas itu tetap membayangi. "Mu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Perasaan yang Sebenarnya

    “Apa maksudmu, Revan? Jelaskan padaku,” tanyaku sangat penasaran, suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuharapkan, meskipun di dalam hatiku ada gelombang emosi yang siap meledak. Revan menghela napas, seperti menyiapkan diri untuk sebuah pengakuan yang berat. “Pernikahan kita lebih dari sekedar perjodohan. Aku tak tahu pasti alasannya, tapi ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik ini semua. Dan aku... aku tidak punya pilihan lain.” Aku terdiam, menunggu kata-kata berikutnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya, sampai akhirnya dia melanjutkan. “Ayahku memberikan ultimatum—menikah denganmu atau dia akan menyakiti Nadira. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.” “Nggak mungkin Om Roy melakukan hal itu. Ayahmu nggak kelihatan seperti orang jahat.”, ujarku. Revan tersenyum tipis, senyum pahit yang hanya menambah kebingunganku. “Ayahku memang pintar menyembunyikan sisi gelapnya, Alya. Dia terlihat ramah, penuh karisma di depan orang-orang. Tapi di balik semua

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Kepingan Misteri

    Sudah tiga malam berlalu, dan Revan belum juga pulang ke rumah. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Kecemasan menggerogoti pikiranku setiap saat. Aku tahu hubungan kami tidak pernah berjalan mulus, pernikahan ini pun bukan karena cinta. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia menghilang begitu saja. Dua hari ini, aku menahan diri untuk tidak menghubungi keluarganya. Meski ada dorongan kuat untuk melakukannya, aku tahu ini adalah masalah antara aku dan Revan. Campur tangan keluarga hanya akan memperkeruh keadaan.Langit malam di luar apartemen semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hatiku yang penuh keraguan dan pertanyaan. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayanganku. Ke mana Revan? Kenapa dia tidak memberi kabar sedikit pun?Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka memecah keheningan. Aku langsung berdiri, hati berdebar-debar. Revan? Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamar dan mendapati Revan masuk dengan t

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Kebohongan yang Semakin Rumit

    Panik menyelimuti pikiranku. Revan melihatnya! Aku harus segera bertindak sebelum situasi semakin buruk. Tanpa berpikir panjang, aku menarik tangan Rakha keluar dari kantin, berharap bisa menjauh dari kerumunan yang terus berbisik di belakang kami."Apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan nada mendesak begitu kami sampai di luar. "Kita nggak pacaran, Rakha. Kenapa kamu bilang begitu?"Rakha menatapku dengan ekspresi tenang, meski aku tahu dia menyadari kegelisahanku. "Setidaknya mereka diam dan nggak mengganggumu lagi," jawabnya sambil mengangkat bahu seolah-olah yang baru saja terjadi bukan hal besar.Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna logikanya. Memang benar, dengan pengakuannya tadi, semua spekulasi dan gosip di kantin mungkin akan berhenti. Tapi ini bukan solusi yang kuinginkan. "Tapi, ini bukan caranya," kataku pelan. "Kamu tahu kalau ini bisa membuat semuanya lebih rumit, kan? Aku nggak mau buat orang lain salah paham."Rakha menghela napas dan menatapku dengan tatapan serius

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Kehebohan yang Terjadi

    "Kenapa dia menciumku?" Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku, mengganggu pikiranku sejak kemarin. Rasanya semua terjadi begitu cepat, dan sekarang aku tak bisa menghilangkan sensasi ciuman itu dari pikiranku. Namun, setelah kejadian itu, Revan seperti menghindariku. Dia tidak mengucapkan apa-apa setelah menciumku. Bahkan pagi ini, ketika aku bangun, dia sudah pergi. Tidak ada pesan, tidak ada jejak. Aku menghela napas, perasaan canggung dan kebingungan bercampur menjadi satu. Apa dia menyesal? Atau dia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah itu? Mungkin... mungkin aku yang terlalu memikirkan hal ini. Aku hampir jatuh karena tersandung, tapi sebelum tubuhku benar-benar menyentuh lantai, sebuah tangan kuat menarikku dengan cepat. "Hati-hati dong, Al!" Suara itu terdengar akrab. Aku menoleh dan melihat Rakha, tersenyum seperti biasanya. Dia berdiri di depanku, masih memegang lenganku dengan ringan, memastikan aku benar-benar seimbang. "Rakha?" tanyaku, masih se

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   First Kiss

    Di dalam mobil, suasana terasa canggung. Revan diam, fokus pada jalan di depannya, sementara aku hanya menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar di malam hari. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela, membuatku sedikit menggigil. Aku mencuri pandang ke arah Revan yang sesekali mengetukkan jarinya pada setir, seperti menahan diri untuk tidak memulai percakapan. Namun, meski kami saling diam, ada sesuatu yang menggantung di antara kami, sebuah pertanyaan yang tak terucap, atau mungkin suasana aneh yang mulai terasa sejak tadi di rumah ibuku. Aku menarik napas pelan, mencoba mencari kata-kata untuk memecah kesunyian. Tapi, apa yang harus aku katakan? Pikiran tentang 'tidur bersama yang tidak biasa' terus berputar di kepalaku. Semua ini gara-gara ibu. Ngapain coba, bicara tentang hal ‘itu’? Aku sendiri bahkan belum pernah berciuman dengan cowok, apalagi memikirkan yang lebih jauh dari itu. Malu rasanya setiap kali ingat wajah Revan yang tiba-tiba memerah

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Fakta Teman Baru

    Bel sekolah baru saja berdering, aku dan Seira berjalan keluar gerbang, meninggalkan segala keributan di belakang kami. Langit sore sudah mulai merona, tapi aku merasa seolah ada awan gelap yang terus menggantung di atas kepalaku. Suasana sore itu harusnya tenang, tapi tidak buat ku. Seira melirik ke arahku, jelas dia tahu ada yang tidak beres. "Masih kepikiran soal Cindy, ya?" Seira bertanya pelan, nadanya penuh simpati. Aku mengangguk, berat rasanya buat ngomong. "Iya. Rasanya semua orang ngeliatin aku kayak aku habis ngelakuin sesuatu yang salah." Seira mendesah, kelihatan dia juga bingung harus bagaimana bantu aku. "Padahal jelas-jelas itu nggak benar." Kami terus berjalan ke parkiran, dan saat itu aku melihat Rakha berdiri di samping motornya. Dia menatap kami dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Ada yang aneh dari tatapannya, dan aku bisa ngerasain sesuatu yang buruk akan segera terungkap. "Alya, kita perlu bicara sesuatu," ucap Rakha, suaranya terdengar lebih seriu

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Pertarungan di Kantin

    Gosip belum juga mereda, padahal sudah beberapa hari berlalu. Aku duduk di kantin bersama Seira dan Dino, mencoba mengabaikan tatapan-tatapan penasaran dari sekeliling. "Apa kamu sudah tahu siapa yang nyebarin gosip tentang kamu?" tanya Seira sambil mengaduk minumannya, menatapku penuh simpati. Aku menggelengkan kepala, merasa lelah dengan semua ini. "Belum", jawabku. Namun, belum sempat aku berkata lebih lanjut, Cindy dan gengnya tiba di kantin. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan memar di pipinya. Dia menatapku tajam, seraya menantang, lalu duduk di seberang tempat kami. Teman-temannya mengikuti, seakan memperkuat garis depan pertarungan ini. Cindy mulai berbisik dengan teman-temannya, sesekali mencuri pandang ke arahku. Aku bisa merasakan tatapan terkejut yang beralih menjadi sinis dari mereka yang duduk di sekeliling. Seperti yang kuperkirakan, mereka sudah siap menyalakan api perperangan ini. Salah seorang cowok yang agak gemulai, dengan tatapan angkuh, men

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Momen yang Mendebarkan

    Setelah insiden dengan Cindy tadi, Revan menungguku di ruang musik. Sesekali dia bertanya hal-hal ringan tentang musik, mencoba mencairkan suasana. Aku merespons seadanya, meski hatiku sedikit berdebar. Akhirnya, setelah obrolan yang membuatku merasa seperti guru musik dadakan, kami pun keluar dari ruang musik. Aku mengikuti Revan yang berjalan di depanku. Punggungnya lebar dan kokoh, tubuhnya tinggi menjulang, mungkin sekitar 180 cm. Kalau aku berdiri di sampingnya, tinggiku yang cuma 158 cm pasti terlihat seperti anak kecil. Pikiran itu membuatku terkekeh pelan tanpa sadar. Langkah Revan mulai menuju parkiran. Oh, apa dia mau ngajak pulang bareng? Tapi kenapa nggak bilang apa-apa? Aku menatap punggungnya, bertanya-tanya dalam hati. Mungkin dia malu. Atau, ya mungkin ini caranya menawarkan tanpa perlu bicara. Sesampainya di parkiran, Revan langsung menuju mobilnya dengan langkah percaya diri. Aku menunggu, berharap dia akan membuka pintu untukku seperti di film-film romantis atau s

  • Dibalik Seragam dan Surat Nikah   Dalam Dilema Cinta

    Setelah bicara dengan Rakha, aku kembali ke kelas dan duduk di bangkuku. Suasana di dalam kelas terasa tegang. Beberapa teman sekelas masih berbisik dan melirikku dengan tatapan sinis, seolah-olah mereka sedang mendiskusikan gosip yang beredar. Aku mencoba mengabaikannya dan fokus pada pelajaran. Tak lama kemudian, Seira dan Melisa datang menghampiriku. Seira terlihat khawatir, sementara Melisa tampak ceria, seakan tidak ada yang terjadi. "Ngga ke kantin, Al?" tanya Seira. "Kamu nggak mau makan?" Aku menggeleng, menatap ke depan dengan rasa frustrasi. "Aku nggak selera." Melisa duduk di sebelahku, senyumnya memudar ketika melihat ekspresiku. "Ada apa, Alya? Kenapa kamu kelihatan murung?" Seira menjelaskan, "Dia lagi stress karena gosip yang beredar tentang dia dan Rakha." Melisa mengerutkan kening. "Oh, jadi itu yang terjadi. Itu nggak adil banget, Al. Kamu harusnya nggak perlu merasakan tekanan dari orang lain." Aku mencoba tersenyum, tetapi rasa cemas itu tetap membayangi. "Mu

DMCA.com Protection Status