Hari yang ditunggu pun tiba. Aku berdiri di depan cermin, mengamati diriku dalam gaun putih kebiruan yang melengkung indah di tubuhku. Gaun itu menambah kilau pada mataku yang cerah. Rambutku disanggul rapi, dengan sedikit aksesori, membuatku merasa seperti karakter dalam dongeng.
Namun, di balik kecantikan itu, ada ketegangan yang menyelimuti hatiku. Dapatkah aku menjalani hari ini tanpa memikirkan semua yang terjadi? Janji yang membebani, harapan yang terasa berat. Dengan napas dalam-dalam, aku berusaha mengusir keraguan. Hari ini harus sempurna, meskipun di dalam diriku berperang perasaan yang saling bertentangan. "Alya, kamu sudah siap?" tanya Ibu, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. "Ya, Bu," jawabku, berusaha terdengar percaya diri meskipun hatiku berdebar. Hari ini adalah hari untuk bertemu dengan keluarga konglomerat, keluarga yang terikat dengan janji yang dibuat kakekku. Ibu melangkah masuk, menatapku dengan penuh kasih. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu, matanya bersinar bangga. Aku hanya bisa tersenyum, meski di dalam hatiku masih bergejolak. Ibu merapikan rambutku yang sedikit berantakan, memastikan setiap helai terlihat rapi. Sentuhannya lembut, menenangkan kepanikan yang melanda. "Jangan terlalu tegang, ya. Mereka pasti baik," Ibu menambahkan, seolah mencoba mengusir bayangan negatif yang menghantuiku. "Aku akan mencoba," jawabku pelan, menatap refleksi diriku di cermin. Gaun itu memang cantik, tetapi terasa seperti beban. Kami pergi ke rumah konglomerat itu dengan taksi. Sepanjang perjalanan, aku tak berhenti meremas tanganku, berusaha menenangkan diri. Suasana di dalam mobil terasa tegang, dan detak jantungku semakin jelas terdengar. Ibu sesekali mencuri pandang ke arahku, memberikan senyuman penuh dukungan. "Ingat, ini hanya pertemuan. Kita hanya ingin berkenalan.", katanya, berusaha meyakinkan diriku. "Alya tak ingin perjodohan ini, Bu," ucapku tiba-tiba, suaraku bergetar. Ibu terdiam sejenak, lalu menatapku dengan penuh pengertian. "Alya, ibu tahu ini sulit. Tapi ini keputusan yang sudah dibuat sejak lama. Janji itu penting bagi banyak orang." Aku terdiam, tak tahu bagaimana melanjutkan perdebatan ini. Rasa cemas dan ketidakpastian masih mengganggu saat mobil melaju mendekati rumah konglomerat itu. Kendaraan melaju di jalanan yang semakin sepi, dan saat kami mendekati rumah besar yang megah, tenggorokanku terasa kering. Rumah itu berdiri anggun, dikelilingi taman tertata rapi, seolah mengundang kedatangan kami. Aku keluar dari taksi dan terpesona melihat rumah berwarna krem seperti istana. Pagarnya tinggi menjulang, terbuat dari besi tempa yang dihiasi ukiran megah, menampilkan motif bunga dan daun yang berputar halus. Setiap detail tampak sempurna, mencerminkan kemewahan dan keanggunan. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan membukakan pagar. Wajahnya ramah, namun ada kesan profesional dalam tatapannya. "Selamat datang. Silahkan masuk. Tuan Besar sudah menunggu di dalam.", katanya, membimbing kami masuk ke rumah besar itu. Kami melewati taman terawat, dikelilingi tanaman hijau lebat. Berbagai bunga berwarna cerah bermekaran di sepanjang jalan menuju pintu masuk, memberikan aroma manis yang memenuhi udara. Di tengah taman, kolam kecil dihiasi batu halus, airnya berkilau di bawah sinar matahari. Pintu utama rumah terbuat dari kayu mahoni yang mengkilap, dengan pegangan berlapis emas yang berkilau. Di sebelahnya, jendela-jendela besar berbingkai kayu putih dengan tirai sutra yang melambai lembut, menawarkan sekilas kehidupan di dalam, lampu-lampu hangat menciptakan suasana menenangkan. Saat kami melangkah ke dalam, suasana tenang dan teratur menyambut kami. Setiap langkah terdengar lembut di permukaan marmer mengkilap, dan aroma bunga segar menambah nuansa elegan. Interior rumah megah ini memiliki langit-langit tinggi dan lampu gantung berkilau, menciptakan kesan mewah. Di ruang tamu yang megah, sepasang suami istri duduk di sofa mahal. Wanita itu mengenakan gaun elegan, sementara pria di sampingnya memakai setelan jas yang sempurna. Keduanya tampak anggun dan menyambut kami dengan senyum ramah. Di sisi lain, seorang pria tua duduk di kursi roda. Meski fisiknya mungkin terbatas, aura wibawanya tetap tak tergoyahkan. Dia mengamati kami dengan cermat, seolah menilai setiap gerakan. "Kamu, Alya?" tanyanya sambil mendekatiku. Senyumnya sangat ramah, seolah dia mencoba menciptakan suasana yang nyaman. "Kamu sudah besar sekarang. Saya masih ingat dulu kakekmu membawamu ke sini." Aku tersenyum canggung, berusaha mengingat momen itu, tetapi semuanya terasa kabur. "Maaf, saya tidak ingat," jawabku pelan, menatap wajahnya yang bersinar dengan kenangan. Dia tertawa kecil, matanya berbinar. "Ah, itu tidak masalah. Yang penting, sekarang kita bisa bertemu lagi. Keluargamu selalu menjadi bagian penting dari sejarah kami. Ayo duduk." lanjutnya, dengan nada ramah sambil mempersilahkan aku dan ibuku duduk di sofa mahal itu. Sofa yang empuk dan berlapis kain halus berwarna krem, memberikan kesan elegan dan mewah. Sementara kami duduk, aku memperhatikan ruang tamu yang luas ini. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah, menampilkan pemandangan alam dan potret keluarga yang sepertinya sudah ada selama beberapa generasi. Di sudut ruangan, ada meja kopi yang dipenuhi buku-buku tua dan beberapa benda antik, menambah nuansa klasik dan berkelas. "Oh, iya, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Robert Permana, dan ini anak saya, Rio Permana, serta istrinya, Mery," ucap kakek itu dengan suara yang mantap, menunjukkan wibawa meski tetap ramah. Wajahnya adalah perpaduan menarik antara keturunan asing dan lokal, dengan fitur yang memberikan kesan karismatik dan percaya diri. Sorot matanya penuh kebijaksanaan, seolah mengisahkan banyak hal tanpa perlu mengucapkannya. Ibu mengangguk sambil tersenyum. "Saya Winda, ibu Alya. Ini putri saya, Alya Putri Kusuma," Ia memperkenalkan diri dengan nada hangat. Ada rasa bangga dalam suaranya, seolah ingin menunjukkan bahwa meskipun kami berada di dunia yang baru dan asing, kami tetap berakar kuat pada keluarga kami. Mereka tersenyum dan melirikku. "Senang bertemu denganmu, Alya." katanya, mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Mana ayah, Alya? Dia tak ikut kesini?" tanya Kakek Robert dengan nada penasaran, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tulus. Ibu menundukkan kepala sejenak, tampak mengumpulkan kekuatan sebelum menjawab. "Suami saya meninggal dua tahun yang lalu," jawabnya pelan, suaranya penuh haru. "Saya sangat menyesal mendengarnya. Tidak mudah membesarkan anak tanpa suami," kata Kakek Robert, suaranya penuh simpati. Dia menatap Ibu dengan lembut, seolah memahami beban yang harus dihadapinya. "Tapi ingatlah, kamu tidak sendirian. Kami di sini untuk mendukungmu dan Alya." Ibu tersenyum tipis, terlihat sedikit terhibur oleh kata-kata kakek itu. "Terima kasih, Pak Robert.", ucap Ibu. Seorang pelayan muncul, membawa nampan berisi minuman, dan menawarkan kami segelas air lemon yang segar. "Silakan," katanya dengan sopan, senyumnya ramah di tengah suasana tegang. "Kenapa dia lama sekali?" bisik Kakek Robert pada anaknya, wajahnya sedikit cemas saat matanya berkeliling, mencari sosok yang belum hadir. Rio, anak Kakek Robert, mengangkat bahu dan menjawab pelan, "Mungkin dia terjebak macet, Pak. Kita tahu betapa padatnya jalanan di pagi hari." Kakek Robert mengangguk, tetapi ekspresi kekhawatirannya tetap terlihat. "Aku berharap dia segera tiba. Kita perlu menyelesaikan urusan ini secepatnya." Suasana di ruang tamu mulai terasa tegang, seolah semua orang menunggu kehadiran yang akan mengubah segalanya. Suara mobil berhenti di depan rumah, suara rem yang dihentikan dengan tiba-tiba menggema di ruang tamu yang tenang. Tak lama kemudian, seorang pelayan muncul di ambang pintu, mengenakan seragam rapi dengan wajah yang tampak serius. "Tuan Muda sudah datang." lapornya dengan nada formal. Kakek Robert langsung menegakkan punggungnya, tampak lebih bersemangat. "Akhirnya, dia tiba," ujarnya, menghapus sedikit kekhawatiran yang sempat menghantui wajahnya. Semua mata kini tertuju ke arah pintu, menunggu sosok yang diharapkan akan segera muncul. Suasana semakin tegang, dan jantungku berdegup lebih cepat. Sosok laki-laki tinggi tegap berdiri di samping pintu, menonjolkan postur tubuhnya yang penuh wibawa. Wajahnya dingin dan tajam, seakan setiap garis di wajahnya adalah hasil dari pengalaman hidup yang keras. Ketika matanya bertemu dengan mataku, sebuah gelombang ketegangan melanda ruangan. Aku menutup mulutku, berusaha menahan teriakan yang ingin meluncur. Jantungku berdegup kencang. Dia adalah Revan Permana, guru killer yang dikenal di sekolahku, seorang yang tak hanya menegakkan disiplin, tetapi juga meninggalkan jejak ketakutan di hati murid-muridnya. Dalam sekejap, semua kenangan pahit tentang teguran dan hukuman yang pernah aku terima darinya kembali menyeruak. Bagaimana mungkin orang yang selalu membuatku merasa tertekan di sekolah bisa muncul di sini, dalam situasi yang sama sekali tidak terduga? Semua mata di ruangan beralih padanya, menunggu reaksi, dan aku merasa seperti terjebak dalam drama yang tak ingin kujalani. Dalam hati, rasa ingin tahuku tumbuh: apa yang sebenarnya terjadi di balik kehadirannya di rumah ini?Tante Mery melangkah anggun menuju Revan, dan mengajaknya duduk di sofa dengan gaya yang sangat percaya diri. Saat mata Revan menangkap sosokku, ekspresinya seketika berubah, seakan dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini. "Oh, dia muridku!” sepertinya dia ingin berteriak, sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangan, seakan-akan aku adalah hantu dari masa lalu. Jelas sekali, dia berpura-pura tidak mengenalku, seperti aku hanya sekadar ornamen tak diinginkan di ruang tamu, barangkali satu-satunya barang yang tidak pernah diharapkan muncul dalam acara ini. Aku ingin tertawa, tetapi rasanya lebih baik menjaga wajahku tetap serius, mengingat aku sedang berada di rumah orang. Aku menatapnya dengan tajam, sementara dia membalas dengan senyuman sinis yang seolah mengejekku, seperti dia baru saja menangkapku dalam permainan yang tidak aku ketahui aturannya. "Alya, ini Revan Permana, cucu kakek," kata Kakek Robert dengan nada bangga. "Revan, ini Alya, yang akan menjadi istrimu na
Aku berada di kantin, terasing di tengah hiruk-pikuk teman-teman yang berebut makanan. Suara tawa dan obrolan mereka teredam bagai gemuruh ombak yang jauh, sementara aku memilih duduk diam, wajah tertunduk di atas meja. Mataku tertuju pada kalender di ponsel, jari-jariku menggeser layar hingga angka tujuh muncul di layar. Tiga hari lagi aku akan menikah dengan Revan. Permintaan kakek Robert agar kami menikah secepatnya kembali terngiang di kepalaku. "Alya, aku ingin melihat cucu kesayanganku menikah sebelum aku pergi.", katanya dengan nada penuh harap. Perasaan tak menentu menyelimuti pikiranku. Dalam tiga hari, aku akan terikat dalam sebuah janji, tapi bukan janji yang kuinginkan. Kepingan-kepingan ketidakpastian mengisi dadaku, seolah ada beban berat yang membuatku sulit bernafas. Semua ini terasa seperti badai yang akan datang, siap menghancurkan segala harapan yang kuimpikan. Suara sendok dan garpu berdenting membuatku tersadar dari lamunan. Teman-temanku sibuk menyiapkan maka
Aku berjalan tanpa semangat, hari ini benar-benar buruk. Sepanjang pelajaran, aku merasakan tatapan Revan yang tajam, seolah mencari celah untuk mengejekku. Setiap kali aku melirik ke arahnya, dia sudah menatapku lebih dulu, senyumannya membuatku semakin kesal. "Bagaimana bisa cowok sekejam itu akan menjadi suamiku nanti?" Ucapku dalam hati, sambil memukul lembut kepalaku. "Tenanglah! Kamu kan biasanya malu-maluin, kenapa kali ini kamu begitu frustrasi?" ucap Seira, setengah meledek sambil memakan es krim di tangannya, menikmati momen ini tanpa beban. "Ini semua salahmu, Seira!" Aku mendengus kesal, memikirkan betapa kacau hari ini. "Kenapa nyalahin aku?" tanyanya polos, mengangkat sebelah alis. "Karena kamu nggak ngasih tahu aku tentang ujian kimia!" Aku berusaha menjambak rambutnya dengan kesal, tapi dia segera mengelak sambil tertawa kecil. "Aku kira kamu udah tahu," katanya dengan nada tak bersalah. "Ayo ngaku sekarang, cowok mana yang bikin kamu jadi kayak gini?" "Aku bilan
"Alya, kamu cantik sekali tadi, Nak. Ibu sangat bangga padamu," ucap Ibu sambil melepas hiasan yang ada di kepalaku dengan hati-hati. Aku berada di rumah keluarga Revan, kamar yang luas ini bahkan tidak bisa menghentikan kekalutan dihatiku. Aku hanya tersenyum kecil. Rasanya masih seperti mimpi. Aku sudah menikah, tapi aku tahu di luar kamar ini, suamiku—Revan—mungkin sama tidak senangnya dengan pernikahan ini. "Ibu yakin semuanya akan baik-baik saja dan kamu akan terbiasa menjalani kehidupan ini." lanjut Ibu sambil memegang tanganku. Aku mengangguk, meski hatiku berkata lain. "Semoga saja, Bu." Mendadak, pintu kamar terbuka, dan Revan muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat sedikit terkejut melihat kami masih di sini. "Oh, Nak Revan," sapa Ibu dengan ramah. "Maaf, Tante. Saya kira tidak ada orang di sini," ucap Revan sambil melirik sekilas ke arahku, lalu kembali menatap Ibu. "Tidak apa-apa, masuklah," kata ibuku dengan ramah, mencoba menciptakan suasana yang lebih nyaman.
Aku memijat kakiku yang pegal karena di hukum berdiri tadi, merasakan sakitnya setiap kali jari-jari ini menekan area yang tegang. Dengan langkah pelan, aku menuju ke lapangan sekolah. Begitu aku melangkah ke lapangan sekolah, suasana semangat langsung menyambutku. Teman-temanku tampak energik, sibuk menghias stan dengan tawa dan canda. Suara mereka melambung tinggi, menciptakan melodi ceria yang menambah kehangatan di udara, sementara dekorasi berwarna-warni menggantung dengan anggun, seolah-olah siap menari menyambut hari yang ditunggu-tunggu. "Alya, cepat sini!" Seira berteriak, melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Senyum lebar di wajahnya membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak bergegas menghampiri. Aku bergegas mendekat, mencoba mengabaikan rasa pegal di kaki. "Kita butuh bantuanmu untuk menghias backdrop! Ayo, kita buat yang terbaik untuk pentas seni besok!", ucapnya. Di belakang stan, tumpukan kain berwarna cerah tergeletak, dan beberapa teman sudah mulai menggan
Pagi hari di sekolah, suasana terasa sangat berbeda. Perasaan senang dan bersemangat menguasai diriku sejak aku melangkahkan kaki di gerbang sekolah. Ini adalah hari yang sudah lama kutunggu-tunggu. Aku, Seira, Rakha, dan Dino akan tampil membawakan lagu yang aku ciptakan, sebuah karya yang telah kami latih dengan penuh dedikasi selama berminggu-minggu. Langit cerah dan angin sepoi-sepoi menambah kesegaran pagi itu. Di sekitar sekolah, orang-orang sudah mulai berdatangan. Tidak hanya siswa dari sekolahku, tapi juga dari sekolah-sekolah lain. Ada yang datang untuk menonton teman-teman mereka tampil, ada juga yang penasaran dengan acara tahunan ini. Lapangan sekolah yang biasanya lengang di pagi hari, kini sudah dipenuhi tenda-tenda dan panggung utama yang berdiri megah di tengah-tengah. Suara-suara ceria, tawa, dan obrolan ramai menyatu menjadi satu harmoni yang khas pada hari seperti ini. Aku bisa melihat wajah-wajah penuh antusias, bahkan beberapa orang sudah mulai mencari tempat du
"Aku menyukaimu, Alya." Kalimat itu terus berputar-putar di otakku. Rakha memang baik, pintar, dan tampan. Keluarganya juga dihormati di bidang pendidikan, dan dia selalu punya cara membuatku merasa nyaman di sekitarnya. Tapi, perasaanku sendiri terasa buram, apa aku benar-benar menyukainya, atau hanya sekadar kagum? Aku tidak tahu pasti. Sulit rasanya untuk membedakan perasaan ini, antara mengaguminya sebagai teman, atau sesuatu yang lebih dalam. Aku menatap gitar di pangkuanku, mencoba memetik beberapa nada, berharap bisa fokus pada musik, mengalihkan pikiran dari kata-kata Rakha. Tapi semuanya kembali ke satu hal: Rakha bilang dia akan menunggu jawabanku. Aku menghela napas pelan, mencoba menenangkan diriku. Di satu sisi, ada perasaan senang mengalir saat dia menyatakan perasaannya padaku. Tapi disisi lain, aku juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa aku sudah terikat oleh pernikahan. Perlahan, aku menyadari bahwa jawabannya tidak akan datang dengan mudah. Aku butuh waktu. "ARGH
"Ugh, lapar..." gumamku pelan. Perutku sudah meronta sejak tadi siang, tapi uangku hanya tersisa beberapa ribu, hanya cukup untuk jajan di sekolah besok, tidak lebih. Haruskah aku minta belikan makan pada Revan? Ah, mana mungkin. Malu rasanya, minta tolong sama dia. Tapi, kalau aku terus kelaparan... Aku menggeleng, mencoba membuang pikiran itu. Rasanya otak dan perutku malah saling berdebat sekarang. Aku menarik napas panjang dan mengambil remote TV, berharap acara favoritku bisa sedikit mengalihkan perhatian dari rasa lapar ini. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Revan keluar tanpa sepatah kata, langkahnya tenang namun pasti, melewati ruang tamu dan menuju pintu depan. Dalam hitungan detik, dia sudah keluar dari apartemen, meninggalkanku dalam keheningan yang sama sekali tak kuharapkan. Aku menatap pintu yang kini tertutup rapat, bingung. Ke mana dia pergi? Dia sama sekali tak peduli denganku. Rasa kesal mulai menggerogoti pikiranku, dan aku berusaha mengalihkan perhatian dengan men
“Apa maksudmu, Revan? Jelaskan padaku,” tanyaku sangat penasaran, suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuharapkan, meskipun di dalam hatiku ada gelombang emosi yang siap meledak. Revan menghela napas, seperti menyiapkan diri untuk sebuah pengakuan yang berat. “Pernikahan kita lebih dari sekedar perjodohan. Aku tak tahu pasti alasannya, tapi ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik ini semua. Dan aku... aku tidak punya pilihan lain.” Aku terdiam, menunggu kata-kata berikutnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya, sampai akhirnya dia melanjutkan. “Ayahku memberikan ultimatum—menikah denganmu atau dia akan menyakiti Nadira. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.” “Nggak mungkin Om Roy melakukan hal itu. Ayahmu nggak kelihatan seperti orang jahat.”, ujarku. Revan tersenyum tipis, senyum pahit yang hanya menambah kebingunganku. “Ayahku memang pintar menyembunyikan sisi gelapnya, Alya. Dia terlihat ramah, penuh karisma di depan orang-orang. Tapi di balik semua
Sudah tiga malam berlalu, dan Revan belum juga pulang ke rumah. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Kecemasan menggerogoti pikiranku setiap saat. Aku tahu hubungan kami tidak pernah berjalan mulus, pernikahan ini pun bukan karena cinta. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia menghilang begitu saja. Dua hari ini, aku menahan diri untuk tidak menghubungi keluarganya. Meski ada dorongan kuat untuk melakukannya, aku tahu ini adalah masalah antara aku dan Revan. Campur tangan keluarga hanya akan memperkeruh keadaan.Langit malam di luar apartemen semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hatiku yang penuh keraguan dan pertanyaan. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayanganku. Ke mana Revan? Kenapa dia tidak memberi kabar sedikit pun?Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka memecah keheningan. Aku langsung berdiri, hati berdebar-debar. Revan? Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamar dan mendapati Revan masuk dengan t
Panik menyelimuti pikiranku. Revan melihatnya! Aku harus segera bertindak sebelum situasi semakin buruk. Tanpa berpikir panjang, aku menarik tangan Rakha keluar dari kantin, berharap bisa menjauh dari kerumunan yang terus berbisik di belakang kami."Apa yang kamu lakukan?" tanyaku dengan nada mendesak begitu kami sampai di luar. "Kita nggak pacaran, Rakha. Kenapa kamu bilang begitu?"Rakha menatapku dengan ekspresi tenang, meski aku tahu dia menyadari kegelisahanku. "Setidaknya mereka diam dan nggak mengganggumu lagi," jawabnya sambil mengangkat bahu seolah-olah yang baru saja terjadi bukan hal besar.Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna logikanya. Memang benar, dengan pengakuannya tadi, semua spekulasi dan gosip di kantin mungkin akan berhenti. Tapi ini bukan solusi yang kuinginkan. "Tapi, ini bukan caranya," kataku pelan. "Kamu tahu kalau ini bisa membuat semuanya lebih rumit, kan? Aku nggak mau buat orang lain salah paham."Rakha menghela napas dan menatapku dengan tatapan serius
"Kenapa dia menciumku?" Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku, mengganggu pikiranku sejak kemarin. Rasanya semua terjadi begitu cepat, dan sekarang aku tak bisa menghilangkan sensasi ciuman itu dari pikiranku. Namun, setelah kejadian itu, Revan seperti menghindariku. Dia tidak mengucapkan apa-apa setelah menciumku. Bahkan pagi ini, ketika aku bangun, dia sudah pergi. Tidak ada pesan, tidak ada jejak. Aku menghela napas, perasaan canggung dan kebingungan bercampur menjadi satu. Apa dia menyesal? Atau dia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah itu? Mungkin... mungkin aku yang terlalu memikirkan hal ini. Aku hampir jatuh karena tersandung, tapi sebelum tubuhku benar-benar menyentuh lantai, sebuah tangan kuat menarikku dengan cepat. "Hati-hati dong, Al!" Suara itu terdengar akrab. Aku menoleh dan melihat Rakha, tersenyum seperti biasanya. Dia berdiri di depanku, masih memegang lenganku dengan ringan, memastikan aku benar-benar seimbang. "Rakha?" tanyaku, masih se
Di dalam mobil, suasana terasa canggung. Revan diam, fokus pada jalan di depannya, sementara aku hanya menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar di malam hari. Angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela, membuatku sedikit menggigil. Aku mencuri pandang ke arah Revan yang sesekali mengetukkan jarinya pada setir, seperti menahan diri untuk tidak memulai percakapan. Namun, meski kami saling diam, ada sesuatu yang menggantung di antara kami, sebuah pertanyaan yang tak terucap, atau mungkin suasana aneh yang mulai terasa sejak tadi di rumah ibuku. Aku menarik napas pelan, mencoba mencari kata-kata untuk memecah kesunyian. Tapi, apa yang harus aku katakan? Pikiran tentang 'tidur bersama yang tidak biasa' terus berputar di kepalaku. Semua ini gara-gara ibu. Ngapain coba, bicara tentang hal ‘itu’? Aku sendiri bahkan belum pernah berciuman dengan cowok, apalagi memikirkan yang lebih jauh dari itu. Malu rasanya setiap kali ingat wajah Revan yang tiba-tiba memerah
Bel sekolah baru saja berdering, aku dan Seira berjalan keluar gerbang, meninggalkan segala keributan di belakang kami. Langit sore sudah mulai merona, tapi aku merasa seolah ada awan gelap yang terus menggantung di atas kepalaku. Suasana sore itu harusnya tenang, tapi tidak buat ku. Seira melirik ke arahku, jelas dia tahu ada yang tidak beres. "Masih kepikiran soal Cindy, ya?" Seira bertanya pelan, nadanya penuh simpati. Aku mengangguk, berat rasanya buat ngomong. "Iya. Rasanya semua orang ngeliatin aku kayak aku habis ngelakuin sesuatu yang salah." Seira mendesah, kelihatan dia juga bingung harus bagaimana bantu aku. "Padahal jelas-jelas itu nggak benar." Kami terus berjalan ke parkiran, dan saat itu aku melihat Rakha berdiri di samping motornya. Dia menatap kami dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Ada yang aneh dari tatapannya, dan aku bisa ngerasain sesuatu yang buruk akan segera terungkap. "Alya, kita perlu bicara sesuatu," ucap Rakha, suaranya terdengar lebih seriu
Gosip belum juga mereda, padahal sudah beberapa hari berlalu. Aku duduk di kantin bersama Seira dan Dino, mencoba mengabaikan tatapan-tatapan penasaran dari sekeliling. "Apa kamu sudah tahu siapa yang nyebarin gosip tentang kamu?" tanya Seira sambil mengaduk minumannya, menatapku penuh simpati. Aku menggelengkan kepala, merasa lelah dengan semua ini. "Belum", jawabku. Namun, belum sempat aku berkata lebih lanjut, Cindy dan gengnya tiba di kantin. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan memar di pipinya. Dia menatapku tajam, seraya menantang, lalu duduk di seberang tempat kami. Teman-temannya mengikuti, seakan memperkuat garis depan pertarungan ini. Cindy mulai berbisik dengan teman-temannya, sesekali mencuri pandang ke arahku. Aku bisa merasakan tatapan terkejut yang beralih menjadi sinis dari mereka yang duduk di sekeliling. Seperti yang kuperkirakan, mereka sudah siap menyalakan api perperangan ini. Salah seorang cowok yang agak gemulai, dengan tatapan angkuh, men
Setelah insiden dengan Cindy tadi, Revan menungguku di ruang musik. Sesekali dia bertanya hal-hal ringan tentang musik, mencoba mencairkan suasana. Aku merespons seadanya, meski hatiku sedikit berdebar. Akhirnya, setelah obrolan yang membuatku merasa seperti guru musik dadakan, kami pun keluar dari ruang musik. Aku mengikuti Revan yang berjalan di depanku. Punggungnya lebar dan kokoh, tubuhnya tinggi menjulang, mungkin sekitar 180 cm. Kalau aku berdiri di sampingnya, tinggiku yang cuma 158 cm pasti terlihat seperti anak kecil. Pikiran itu membuatku terkekeh pelan tanpa sadar. Langkah Revan mulai menuju parkiran. Oh, apa dia mau ngajak pulang bareng? Tapi kenapa nggak bilang apa-apa? Aku menatap punggungnya, bertanya-tanya dalam hati. Mungkin dia malu. Atau, ya mungkin ini caranya menawarkan tanpa perlu bicara. Sesampainya di parkiran, Revan langsung menuju mobilnya dengan langkah percaya diri. Aku menunggu, berharap dia akan membuka pintu untukku seperti di film-film romantis atau s
Setelah bicara dengan Rakha, aku kembali ke kelas dan duduk di bangkuku. Suasana di dalam kelas terasa tegang. Beberapa teman sekelas masih berbisik dan melirikku dengan tatapan sinis, seolah-olah mereka sedang mendiskusikan gosip yang beredar. Aku mencoba mengabaikannya dan fokus pada pelajaran. Tak lama kemudian, Seira dan Melisa datang menghampiriku. Seira terlihat khawatir, sementara Melisa tampak ceria, seakan tidak ada yang terjadi. "Ngga ke kantin, Al?" tanya Seira. "Kamu nggak mau makan?" Aku menggeleng, menatap ke depan dengan rasa frustrasi. "Aku nggak selera." Melisa duduk di sebelahku, senyumnya memudar ketika melihat ekspresiku. "Ada apa, Alya? Kenapa kamu kelihatan murung?" Seira menjelaskan, "Dia lagi stress karena gosip yang beredar tentang dia dan Rakha." Melisa mengerutkan kening. "Oh, jadi itu yang terjadi. Itu nggak adil banget, Al. Kamu harusnya nggak perlu merasakan tekanan dari orang lain." Aku mencoba tersenyum, tetapi rasa cemas itu tetap membayangi. "Mu