Share

Ritme Perjodohan

Hari yang ditunggu pun tiba. Aku berdiri di depan cermin, mengamati diriku dalam gaun putih kebiruan yang melengkung indah di tubuhku. Gaun itu menambah kilau pada mataku yang cerah. Rambutku disanggul rapi, dengan sedikit aksesori, membuatku merasa seperti karakter dalam dongeng.

Namun, di balik kecantikan itu, ada ketegangan yang menyelimuti hatiku. Dapatkah aku menjalani hari ini tanpa memikirkan semua yang terjadi? Janji yang membebani, harapan yang terasa berat. Dengan napas dalam-dalam, aku berusaha mengusir keraguan. Hari ini harus sempurna, meskipun di dalam diriku berperang perasaan yang saling bertentangan.

"Alya, kamu sudah siap?" tanya Ibu, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

"Ya, Bu," jawabku, berusaha terdengar percaya diri meskipun hatiku berdebar.

Hari ini adalah hari untuk bertemu dengan keluarga konglomerat, keluarga yang terikat dengan janji yang dibuat kakekku.

Ibu melangkah masuk, menatapku dengan penuh kasih. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu, matanya bersinar bangga.

Aku hanya bisa tersenyum, meski di dalam hatiku masih bergejolak. Ibu merapikan rambutku yang sedikit berantakan, memastikan setiap helai terlihat rapi. Sentuhannya lembut, menenangkan kepanikan yang melanda.

"Jangan terlalu tegang, ya. Mereka pasti baik," Ibu menambahkan, seolah mencoba mengusir bayangan negatif yang menghantuiku.

"Aku akan mencoba," jawabku pelan, menatap refleksi diriku di cermin. Gaun itu memang cantik, tetapi terasa seperti beban.

Kami pergi ke rumah konglomerat itu dengan taksi. Sepanjang perjalanan, aku tak berhenti meremas tanganku, berusaha menenangkan diri. Suasana di dalam mobil terasa tegang, dan detak jantungku semakin jelas terdengar.

Ibu sesekali mencuri pandang ke arahku, memberikan senyuman penuh dukungan. "Ingat, ini hanya pertemuan. Kita hanya ingin berkenalan," katanya, berusaha meyakinkan diriku.

"Alya tak ingin perjodohan ini, Bu," ucapku tiba-tiba, suaraku bergetar.

Ibu terdiam sejenak, lalu menatapku dengan penuh pengertian. "Alya, ibu tahu ini sulit. Tapi ini keputusan yang sudah dibuat sejak lama. Janji itu penting bagi banyak orang."

Aku terdiam, tak tahu bagaimana melanjutkan perdebatan ini. Rasa cemas dan ketidakpastian masih mengganggu saat mobil melaju mendekati rumah konglomerat itu.

Kendaraan melaju di jalanan yang semakin sepi, dan saat kami mendekati rumah besar yang megah, tenggorokanku terasa kering. Rumah itu berdiri anggun, dikelilingi taman tertata rapi, seolah mengundang kedatangan kami.

Aku keluar dari taksi dan terpesona melihat rumah berwarna krem seperti istana. Pagarnya tinggi menjulang, terbuat dari besi tempa yang dihiasi ukiran megah, menampilkan motif bunga dan daun yang berputar halus. Setiap detail tampak sempurna, mencerminkan kemewahan dan keanggunan.

Seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan membukakan pagar. Wajahnya ramah, namun ada kesan profesional dalam tatapannya. "Selamat datang. Silahkan masuk. Tuan Besar sudah menunggu di dalam.", katanya, membimbing kami masuk ke rumah besar itu.

Kami melewati taman terawat, dikelilingi tanaman hijau lebat. Berbagai bunga berwarna cerah bermekaran di sepanjang jalan menuju pintu masuk, memberikan aroma manis yang memenuhi udara. Di tengah taman, kolam kecil dihiasi batu halus, airnya berkilau di bawah sinar matahari.

Pintu utama rumah terbuat dari kayu mahoni yang mengkilap, dengan pegangan berlapis emas yang berkilau. Di sebelahnya, jendela-jendela besar berbingkai kayu putih dengan tirai sutra yang melambai lembut, menawarkan sekilas kehidupan di dalam, lampu-lampu hangat menciptakan suasana menenangkan.

Saat kami melangkah ke dalam, suasana tenang dan teratur menyambut kami. Setiap langkah terdengar lembut di permukaan marmer mengkilap, dan aroma bunga segar menambah nuansa elegan. Interior rumah megah ini memiliki langit-langit tinggi dan lampu gantung berkilau, menciptakan kesan mewah.

Di ruang tamu yang megah, sepasang suami istri duduk di sofa mahal. Wanita itu mengenakan gaun elegan, sementara pria di sampingnya memakai setelan jas yang sempurna. Keduanya tampak anggun dan menyambut kami dengan senyum ramah.

Di sisi lain, seorang pria tua duduk di kursi roda. Meski fisiknya mungkin terbatas, aura wibawanya tetap tak tergoyahkan. Dia mengamati kami dengan cermat, seolah menilai setiap gerakan.

"Kamu, Alya?" tanyanya sambil mendekatiku. Senyumnya sangat ramah, seolah dia mencoba menciptakan suasana yang nyaman. "Kamu sudah besar sekarang. Saya masih ingat dulu kakekmu membawamu ke sini."

Aku tersenyum canggung, berusaha mengingat momen itu, tetapi semuanya terasa kabur. "Maaf, saya tidak ingat," jawabku pelan, menatap wajahnya yang bersinar dengan kenangan.

Dia tertawa kecil, matanya berbinar. "Ah, itu tidak masalah. Yang penting, sekarang kita bisa bertemu lagi. Keluargamu selalu menjadi bagian penting dari sejarah kami. Ayo duduk." lanjutnya, dengan nada ramah sambil mempersilahkan aku dan ibuku duduk di sofa mahal itu. Sofa yang empuk dan berlapis kain halus berwarna krem, memberikan kesan elegan dan mewah.

Sementara kami duduk, aku memperhatikan ruang tamu yang luas ini. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah, menampilkan pemandangan alam dan potret keluarga yang sepertinya sudah ada selama beberapa generasi. Di sudut ruangan, ada meja kopi yang dipenuhi buku-buku tua dan beberapa benda antik, menambah nuansa klasik dan berkelas.

"Oh, iya, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Robert Permana, dan ini anak saya, Rio Permana, serta istrinya, Mery," ucap kakek itu dengan suara yang mantap, menunjukkan wibawa meski tetap ramah.

Wajahnya adalah perpaduan menarik antara keturunan asing dan lokal, dengan fitur yang memberikan kesan karismatik dan percaya diri. Sorot matanya penuh kebijaksanaan, seolah mengisahkan banyak hal tanpa perlu mengucapkannya.

Ibu mengangguk sambil tersenyum. "Saya Winda, ibu Alya. Ini putri saya, Alya Putri Kusuma," Ia memperkenalkan diri dengan nada hangat. Ada rasa bangga dalam suaranya, seolah ingin menunjukkan bahwa meskipun kami berada di dunia yang baru dan asing, kami tetap berakar kuat pada keluarga kami.

Mereka tersenyum dan melirikku. "Senang bertemu denganmu, Alya." katanya, mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Mana ayah, Alya? Dia tak ikut kesini?" tanya Kakek Robert dengan nada penasaran, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tulus.

Ibu menundukkan kepala sejenak, tampak mengumpulkan kekuatan sebelum menjawab. "Suami saya meninggal dua tahun yang lalu," jawabnya pelan, suaranya penuh haru.

"Saya sangat menyesal mendengarnya. Tidak mudah membesarkan anak tanpa suami," kata Kakek Robert, suaranya penuh simpati. Dia menatap Ibu dengan lembut, seolah memahami beban yang harus dihadapinya. "Tapi ingatlah, kamu tidak sendirian. Kami di sini untuk mendukungmu dan Alya."

Ibu tersenyum tipis, terlihat sedikit terhibur oleh kata-kata kakek itu. "Terima kasih, Pak Robert.", ucap Ibu.

Seorang pelayan muncul, membawa nampan berisi minuman, dan menawarkan kami segelas air lemon yang segar. "Silakan," katanya dengan sopan, senyumnya ramah di tengah suasana tegang.

"Kenapa dia lama sekali?" bisik Kakek Robert pada anaknya, wajahnya sedikit cemas saat matanya berkeliling, mencari sosok yang belum hadir.

Rio, anak Kakek Robert, mengangkat bahu dan menjawab pelan, "Mungkin dia terjebak macet, Pak. Kita tahu betapa padatnya jalanan di pagi hari."

Kakek Robert mengangguk, tetapi ekspresi kekhawatirannya tetap terlihat. "Aku berharap dia segera tiba. Kita perlu menyelesaikan urusan ini secepatnya." Suasana di ruang tamu mulai terasa tegang, seolah semua orang menunggu kehadiran yang akan mengubah segalanya.

Suara mobil berhenti di depan rumah, suara rem yang dihentikan dengan tiba-tiba menggema di ruang tamu yang tenang. Tak lama kemudian, seorang pelayan muncul di ambang pintu, mengenakan seragam rapi dengan wajah yang tampak serius.

“Tuan Muda sudah datang,” lapornya dengan nada formal.

Kakek Robert langsung menegakkan punggungnya, tampak lebih bersemangat. "Akhirnya, dia tiba," ujarnya, menghapus sedikit kekhawatiran yang sempat menghantui wajahnya. Semua mata kini tertuju ke arah pintu, menunggu sosok yang diharapkan akan segera muncul. Suasana semakin tegang, dan jantungku berdegup lebih cepat.

Sosok laki-laki tinggi tegap berdiri di samping pintu, menonjolkan postur tubuhnya yang penuh wibawa. Wajahnya dingin dan tajam, seakan setiap garis di wajahnya adalah hasil dari pengalaman hidup yang keras. Ketika matanya bertemu dengan mataku, sebuah gelombang ketegangan melanda ruangan.

Aku menutup mulutku, berusaha menahan teriakan yang ingin meluncur. Jantungku berdegup kencang. Dia adalah Revan Permana, guru killer yang dikenal di sekolahku—seorang yang tak hanya menegakkan disiplin, tetapi juga meninggalkan jejak ketakutan di hati murid-muridnya. Dalam sekejap, semua kenangan pahit tentang teguran dan hukuman yang pernah aku terima darinya kembali menyeruak.

Bagaimana mungkin orang yang selalu membuatku merasa tertekan di sekolah bisa muncul di sini, dalam situasi yang sama sekali tidak terduga? Semua mata di ruangan beralih padanya, menunggu reaksi, dan aku merasa seperti terjebak dalam drama yang tak ingin kujalani. Dalam hati, rasa ingin tahuku tumbuh: apa yang sebenarnya terjadi di balik kehadirannya di rumah ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status